23. Wish
Hidupnya akan berakhir segera. Dan pengetahuan itu cukup untuk membuat kedua tangan Levant mengengam setir dengan erat dan kakinya menekan pedal gas dalam. Kematian tidak pernah menakutinya, terutama sekarang.
Rasanya seperti duduk di deretan bangku tunggu di rumah sakit ditemani majalah lama yang membosankan, menunggu giliran untuk dipanggil dan menghadapi beragam pemeriksaan, atau vonis mengerikan. Lalu, manakah yang lebih mudah? Menunggu di luar lama, gelisah? Atau dipanggil dengan cepat ... dan semuanya berakhir dengan cepat juga? Levant sudah menunggu sejak lama. Dan sekarang ... gilirannya.
Ia tidak sempat memikirkannya lebih jauh, karena tiba-tiba saja, segala konsentrasinya tercurah demi menghentikan mobil dengan segera hingga decit ban terdengar menggores aspal jalanan. Sebuah gerobak rujak terhenti kurang dari satu meter di depannya. Wajah pedagang rujak itu terlihat syok, semua orang di posisinya mungkin akan mengalami hal yang sama, ketika mereka hampir saja tertabrak.
Tanpa menunggu detik berikutnya, Levant segera turun dari mobilnya.
"Kalau bawa mobil hati-hati woy!" Ia meneriaki Levant, marah. Menarik perhatian warga sekitar, yang hanya menoleh sekilas kemudian kembali ke tujuan masing-masing. "Terserah kalau kamu tidak sayang nyawa kamu sendiri, tapi perhatikan nyawa orang lain juga, dong! Belegug sia!"
Sedetik, Levant termangu. Kemudian mengedip. Kalimat itu begitu menohok dirinya hingga kalimat sanggahan yang biasanya selalu tersedia di otaknya menguap seketika. Membuat pria di depannya menatap Levant bingung.
"Kamu kesurupan?!"
Levant masih menatapnya, intens. "Misal ... Bapak pernah ketabrak, kepala terbentur lalu Bapak diberitahu kalau ada yang salah sama otak Bapak dan Bapak akan mati paling lama dua bulan lagi. Apa... yang akan Bapak lakukan?"
Jika sebelumnya orang itu hanya curiga dengan keadaan Levant, maka pertanyaan barusan memberinya sebuah keyakinan.
"Astaga! Kamu, teh, ngomong apa? Beneran kemasukan ini, mah. Beneran kebentur!"
"Jika Bapak hanya punya waktu dua bulan lagi untuk hidup, apa yang akan Bapak lakukan?"
"Situ gila, ya?!" Pria itu membulatkan mata, namun tidak bisa menahan diri untuk tidak menjawab pertanyaan barusan. "Ya bertaubat, terus menikmati hidup! Percuma saya kerja capek-capek kalau sebentar lagi mati juga. Saya jual rumah, foya-foya, cari istri baru, toh uang nggak dibawa mati. Aduh, jadi mengkhayal. Kamu sih─"
Ucapan pria itu segera terpotong oleh segepok tebal uang di atas telapak tangannya. Levant tersenyum kecut. Ia menggumamkan 'terimakasih' saat memberikan semua uang yang ada di dompetnya pada pria itu, sebelum berbalik kembali ke mobilnya.
***
Selain suara televisi yang dinyalakan dengan volume tidak terlalu besar, ruangan itu sepi. Di jam sekarang, para pelayan biasanya berkumpul di dapur, atau ruangan mereka sendiri, beristirahat. Ayah tentu saja masih di kantor. Dan Ibu ... Ibu sedang duduk di sofa, menonton televisi sendirian.
"Ma," Levant merebahkan badannya di sisi sofa yang kosong dan meletakkan kepalanya di pangkuan Ayudya.
Wanita itu memberikannya senyuman, namun tidak pertanyaan. Tentang bagaimana Levant pulang dengan cukup berantakan. Tentang bagaimana pria itu secara tiba-tiba melepas jasnya, menyampirkannya di badan sofa untuk kemudian berbaring di pangkuan ibunya seperti Levant kecilnya dulu. Ia hanya diam, sembari tangannya merapikan rambut Levant, mengusap-usapnya. Dan wanita pendiam itu adalah ibunya, yang kehadirannya cukup untuk membuat Levant tenang.
"Mama lagi nonton apa?"
"Nggak ada, yang kayak biasa aja."
Di layar televisi, Levant dapat melihat salah satu reality show yang sering ibunya tonton sedang ditayangkan. Entah wanita itu benar-benar menyukai acaranya, atau benar-benar bosan. Dan melihat dari ekspresinya, sepertinya yang kedua. Seperti Levant, ia mungkin selalu kesepian.
"Ma, Mama tahu cita-cita Levant?"
"Ingin jadi pilot?"
Levant terkekeh. Ia selalu ingin menjadi pilot, sebelum rancangan masa depan yang telah dibangun Sang Ayah menghancurkan impian itu. "Selain itu."
"Emangnya ada lagi?"
Ada tarikan napas yang dilakukan Levant sebelum akhirnya ia mengalah dan memilih dan berhenti menunggu ibunya berhasil menebak. Tidak akan berhasil.
"Aku ingin mati lebih dulu dari Mama."
"Hm?" Alis Ayudya mengernyit. Sekarang televisi tidak lagi mendapatkan perhatiannya, seluruh tatapannya fokus pada Levant, putranya yang sedang memejamkan mata.
"Mama adalah satu-satunya yang Levant punya. Jadi Mama nggak boleh pergi lebih dulu. Siapa yang mau ngabisin jatah roti Levant nanti?"
"Dasar kamu!" tawa wanita itu lepas kemudian. Ia mengacak rambut Levant yang sudah ia rapikan, gemas atas jawaban putranya itu. Namun, Levant menahan tangannya, menggenggamnya. Ketika pria itu membuka mata, ia menatap Ayudya dengan serius.
"Ma, kalau Levant pergi lebih dulu... apa yang akan Mama lakukan?"
"Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu."
"Cuma ... bertanya. Apa yang akan Mama lakukan?"
"Apa yang akan Mama lakukan?" Ayudya tercenung sejenak. Ia mengijinkan pertanyaan Levant membawa pikirannya lebih dalam. "Mama nggak bisa mengatur nyawa seseorang. Enggak ada yang bisa. Itu... hal yang diluar jangkamuan kita, Levant."
"Apa Mama akan sedih?"
Sesaat Ayudya melayangkan tatapannya jauh ke depan. Tidak ke arah televisi yang para host-nya sedang terbahak oleh lelucon entah apa, lebih jauh dari dimensi itu. Seolah ia membayangkan hal itu terjadi sehingga ada gurat kesedihan di wajahnya. Ia menatap Levant lagi, tersenyum lagi, tipis.
"Bukannya sudah jelas? Ibu manapun pasti akan sedih."
Levant melepaskan tangan Ayudya dari genggamannya agar wanita itu kembali melanjutkan kegiatannya yang ia sukai: merapikan rambut Levant. Pria itu kemudian menggeliat memperbaiki posisi berbaringnya, dan mencoba memejam kembali sementara ibunya bekerja dengan rambutnya.
"Levant mau istirahat .... Mama harus tetap baik-baik aja. Jangan telat makan, jangan stress, jangan suka tidur telat."
Gumaman Levant memelan menjadi sebuah bisikan, lalu hilang. Ia tidak mencoba membuka mata, tidak mencoba menatap mata sendu ibunya. Ia takut... ia akan menangis, dan itu hanya akan menambah beban batin yang ibunya selama ini pikul. Levant hanya berdiam seperti itu, dengan mata terpejam, menghitung detak jam dinding, sampai akhirnya, entah kapan dan bagaimana, ia tertidur di pangkuan ibunya.
***
Hampir di setiap tayangan televisi, atau pun papan iklan digital di tempat-tempat umum, iklan itu telah dipasang. Para wanita, tanpa memandang usia, biasanya akan merelakan waktunya untuk berhenti, menyimak pria yang sedang bicara di sana, dan hampir-hampir tidak menyadari apa yang sedang ia katakan, sibuk terpesona.
Levant di sana, masih dengan setelan kemeja dan jas hitam koleksi terbatas Burberry-nya, dengan rambut gelapnya yang tidak pernah absen menjadi panutan haircut kebanyakan pria, menatap tanpa ekspresi ke arah kamera.
"Ini Levant Elenio Devara. Dan saya hanya ingin menyampaikan satu hal." Biasanya, di bagian ini para wanita sudah menahan jeritan, karena ... kenapa tatapannya pada kamera tajam sekali? Dan mereka nyaris meleleh karena merasa seolah ditatap langsung.
"Ada seseorang yang ingin saya temui. Saya mengenalnya lima belas tahun lalu tanpa pernah melihat bagaimana wajahnya. Saya tidak pernah tahu namanya dan tidak tahu apapun tentang dia. Tapi, dia adalah seseorang yang sangat penting bagi saya. Dia... cinta pertama saya."
Jeda. Dan dimana-mana, jeritan itu semakin menjadi-jadi.
"Sekarang saya ingin sekali bertemu dengannya, setidaknya sekali dalam hidup. Saya tidak punya petunjuk selain sebuah gelang," kamera tampak dizoom, menampakkan secara jelas gelang perak dengan semanggi berdaun empat yang berada di tangan Levant.
"Kamu, Peri Hujan, saya tidak tahu dimana kamu saat ini. Apakah kamu masih hidup? Atau kamu pergi lebih dulu? Apa kamu sudah menikah? Apa kamu banyak berubah? Saya tidak peduli. Kamu, saya mohon, luangkan sedikit waktu untuk menemui saya, sekali saja. Saya akan menunggu kamu."
"Woooo what a brave move! Crazy but ... ouch, so handsome."
Tanpa mengedip dari layar televisi yang sedang ditontonnya, Mentari meniup-niup kuku yang baru saja ia beri warna dan hiasan. Hari ini temanya biru dan bling-bling dengan permata-permata kecil agar menyesuaikan dengan baju. Begitu wajah Levant yang tampan mulai mengecil, digantikan wajah pasangan pembawa acara gosip, Mentari menggunakan kesempatan tersebut untuk menyapukan kembali kuas ke kukunya yang belum diwarnai dengan sempurna.
"Siapa?"
Suara itu membuat ia terlonjak, yang berbuntut pada kesalahan fatal, luar biasa fatal; kuteknya tercoreng ke luar garis kuku!
Segera, ia menatap gadis yang sedang berdiri di pintu dengan amat sangat galak. Jika Hafa atau pegawai lain di sana, niscaya ia sudah mengomeli mereka. Sayangnya, tatapan itu hanya bertahan tidak lebih dari sedetik. Mentari segera menyadari siapa yang berdiri di sana dan bahaya apa yang mengintainya jika ia macam-macam pada Rindang. Adik laki-lakinya, Samudera bisa mengamuk hebat dan membakar seluruh koleksi poster pria tampannya.
"Oh, enggak, Lin. Kamu ngapain ke sini? Sama Sammie, ya?"
Rindang meloloskan diri dari pintu yang telah terbuka setengahnya, melangkah masuk. "Katanya Mbak Tarkhi yang nyurkhuh aku ke sini?"
"Oh, iya bener. Cuma mau ngobrol-ngobrol, kok. Biar kita jadi sodara ipar yang akrab," kekehnya.
"Oke." Rindang mengangguk ragu, tidak yakin apa yang harus ia katakan. Masih ada kecanggungan yang sulit sekali ia berantas terhadap keluarga barunya tersebut.
"Great!" Tari menjentikkan jari. "Biar kita jadi apa?"
"Sodarkha iparkh yang akrkhab."
"Bagus. Duduk sini deh, Lilin, kita nonton gosip," ajak Mentari. Sembari menahan tawa, ia menepuk bagian kosong sofa di sisinya. "Kamu terpesona, nggak, sama cowok itu? Udah ganteng, masih muda, kaya, romantis pula."
Rindang menurut, ia mengambil tempat di sisi Mentari, lalu mengarahkan pandang pada layar televisi yang sedang ditunjuk-tunjuk gadis itu. Dan, meski seberapa keras pun ia mencoba menatap baik-baik, ia masih tidak mengerti segi mana dari pria plontos itu yang menarik, yang begitu diagungkan oleh Mentari.
Ganteng? Muda? Kaya? Romantis? Dari kaca mata mana? Ia terlihat seperti pria yang usia telah meluruhkan setiap pertumbuhan rambutnya.
"Mbak, jadi Mbak sukanya cowok yang .... eung, lebih dewasa, gitu?"
Mentari mengangguk cepat.
"Yang kayak dia?" Rindang menunjuk televisi dan Mentari mengangguk semakin cepat, dengan senyum begitu ceria dan tatapan mendamba.
Tanggapan itu membuat Rindang perlahan mundur, menjauhkan diri sebisanya dari Mentari. Ternyata, bukan hanya Samudera yang memiliki selera aneh dengan memilih dirinya, tetapi ternyata .... Mentari jauh lebih aneh.
Dan dia mungkin satu-satunya manusia normal di sini.
***
Maaf baru up karena kemarin ada kesibukan lain. Dan bonus Rindang as cameo haha. Tolong jangan tanya kapan Rindang update, karena sekarang lagi fokus sama Tiga Minggu, Orionis: Zeta dan cerita ini. Jadi padat sekali, guys.
See you on next part!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top