22. Sentence
I'm a bit nervous to post this chapter, tbh. But ... happy reading ^^
***
MV Augusta merah milik Levant terparkir di pinggiran sirkuit sementara pemiliknya hanya duduk di tribun, menonton apa yang berlangsung di bawahnya. Levant menenggak air mineralnya lagi. Merasa lelah. Bahkan ketika ia belum memulai apapun, belum memacu motornya sekencang-kencangnya di arena sirkuit. Hanya duduk pasif di situ semenjak puluhan menit lalu, memperhatikan sekelompok anak muda yang memulai balap racingnya. Tampak kompak dan bersenang-senang.
Levant tidak tahu apakah orang itu—salah satu pria yang paling tinggi diantara semuanya— menyadari kehadiran Levant atau tidak. Seharusnya ia sadar, karena keberadaan Levant begitu mencolok, sendirian duduk di tribun, menatap mereka dengan mata elangnya. Hanya saja, pria itu berpura-pura tidak peduli, tidak melihat, tidak merasakan apa-apa. Seolah Levant transparan.
Remy Adrianata, anak itu. Levant tidak tahu apa yang membawa dirinya masih kesini. Ia tahu persis Remy sering ke sini, ia terlalu mencintai motornya dan balapan. Mereka suka berbalap sepeda dulu. Levant juga tidak bisa mengira-ngira apakah ia ingin melihat Remy atau tidak. Karena ia hanya bisa melihatnya tanpa mampu mengembalikan apapun. Dan melihat Remy biasanya hanya akan menambah kadar kebenciannya pada pria itu, begitu pun Remy yang menghabiskan harinya dengan memupuk kebencian pada Levant. Mereka biasanya hanya akan menukar tatap dingin jika pertemuan benar-benar tidak terelakkan. Remy bahkan akan terang-terangan menatapnya seperti ingin membunuhnya sementara Levant kebanyakan memilih diam dan menutupi diri dengan topeng tanpa ekspresi.
Gagasan itu membuat Levant tiba-tiba memutuskan berdiri. Ia mengeluarkan kunci motornya dan mulai berjalan ke arah dimana Augusta-nya berada. Mengabaikan perasaan terusik untuk berhenti ketika ia merasakan Remy memandangnya dari kejauhan. Ia memutuskan tidak ingin bicara dengan pria itu, karena ia tidak akan bisa bicara baik-baik. Lebih baik pergi saja, seperti pilihannya biasanya.
Pria itu tidak membawa motornya ke sirkuit barang untuk mencoba satu putaran saja, ia menggiringnya ke jalan raya dan mulai berkendara gila-gilaan lagi. Rasanya seperti melayang di tengah udara. Tidak peduli dengan apapun. Levant merasa seperti berada di antara ada dan ketiadaan. Pikirannya kosong dan penuh secara bersamaan. Tidak ada dokumen bisnis dan hal-hal menyebalkan lainnya. Ia hanya memutar memori-memori masa kecilnya, tentang Remy, tentang ibunya, tentang Leona, tentang satu-satunya saat dimana ia pernah bermain dengan sang ayah waktu kecil dulu, tentang peri hujan...
Lalu tiba-tiba saja ingatannya berpindah pada gadis itu. Gadis yang di jam sebelumnya masih berada di boncengan motornya. Teringat gadis itu yang menyumpah-nyumpah dan menasehatinya seperti nenek-nenek.
Lain kali kamu harus lebih sayang sama nyawa sendiri! Bapak nggak tahu berapa banyak orang di luar sana yang berdoa agar kembali sehat? Yang berdoa agar nyawa keluarganya dikembalikan?!
Berdengung seperti lebah sehingga kemudian Levant mendapati dirinya menurunkan kecepatan kendaraannya hingga batas normal. Ia melakukan perjalanan pulang seperti orang kebanyakan, damai, dan ... aman.
***
Levant memeriksa ponselnya, reminder itu telah berbunyi berkali-kali, sangat mengganggu dan akan terus berbunyi seperti itu jika tidak segera dimatikan. Reminder bertuliskan pesan bahwa Levant harus menemui dokter untuk mengambil hasil pemeriksaan labnya. Dalam keadaan normal, ia hanya akan mengabaikan memo elektronik itu, menyumpah jika mungkin, tentang kenapa ia repot-repot menyimpan reminder semacam itu. Tidak sekarang. Dengan Leona yang membuatnya ingin melarikan diri dari pembicaraan tidak penting ini, ia bersyukur sekali.
"Maaf, Leona. Aku kayaknya harus pergi sekarang, ada urusan penting."
"... dan aku dipaksa menunggu oleh sekretaris kamu yang─ APA?!" Belum selesai menumpah semua keluh kesahnya, kedua mata besar Leona dipaksa membola oleh kalimat Levant yang memotongnya seenak jidat. "Kamu mau kemana? Kita belum selesai!"
Jika tadi Leona begitu ekspesif menggambarkan betapa frustasinya dia susah payah datang ke kantor Levant hanya untuk diberitahu bahwa Levant sedang ada meeting yang memaksanya menunggu tiga jam hanya untuk diabaikan, sekarang ia nyaris menjambak rambut.
Ia menghela napas sesak karena emosi. "Aku udah lama nunggu cuma biar kita bisa makan siang bareng, Levant! Aku nunggu tiga jam! Kemaren aku juga ke rumah kamu dan kamu tidak ada. Dua hari lalu aku mengajakmu makan dan kamu bilang kamu sibuk. Kamu itu tunanganku atau bukan?!"
Sambil menatap Leona skeptis, Levant ikut-ikutan menghela napas, yang sedikit lebih pelan.
"Oke, aku minta maaf. Tapi sekarang sudah lewat jam makan siang dan kamu sendiri sudah makan, kan? Kita juga sudah ketemu, apa masalahnya?"
"Levant, tapi kita tunangan, dan kamu seenggaknya─"
"Look," Levant menjedanya, lagi. Karena ia yakin, omelan Leona tidak akan memiliki jeda, atau akhir sama sekali. "Aku benar-benar sibuk dan ada janji sekarang. I don't have time to hear you nagging, okay? Kamu lihat?" Ia menunjukkan ponselnya, "aku sampai pasang alarm."
Dan menyadari Leona tidak akan diam sebelum seluruh emosinya terkuras habis, Levant cepat-cepat berdiri. Ia menyerahkan pada Leona selembar kertas dan sebuah pulpen.
"Aku tahu kamu belum puas ngomel, jadi kamu boleh menulis semua omelan kamu di sini. Kalau belum cukup kamu bisa ambil kertas lain di laci, ya? Nanti aku baca."
"A-apa? LEVANT!!!"
Percuma bahkan jika gadis itu berteriak. Levant sudah pergi, selalu seperti itu. Tidak perhatian sama sekali. Pria batu. Membuat gadis itu terus-terusan mempertanyakan, apakah pria itu, apakah tunangannya itu, pernah... sekali saja... mencintainya?
***
Sebagai seorang pebisnis yang pandai membaca ekspresi rekan bisnisnya, atau calon investornya, Levant merasa tidak nyaman dengan keseriusan dan kehati-hatian sikap dr. Evandaru padanya. Dokter muda itu tengah memegangi map dokumen hasil CT scan yang dijalani Levant dua hari lalu, tetapi untuk satu alasan, ia masih belum menyerahkannya juga.
Dan ini membuang waktu Levant. Masih banyak pekerjaan di kantor menantinya.
"Jadi... bagaimana?" tanyanya demi mempercepat proses. "Apa saya punya maag kronis atau apa?"
Dokter Daru menggeleng. "Secara mencengangkan, lambung kamu cukup sehat."
Lalu... apa? Kenapa gerakan matanya tampak ragu?
Dan pada akhirnya, Levant menyuarakannya. "Lalu?"
"Saya perlu wali kamu, Levant."
"Apa ada sesuatu yang serius?"
Kediaman dr. Daru, dan keheningan yang mengisi menjadi jawaban setelahnya. Something's off. Tetapi, ia tidak tahu apa. Dan Levant bukan orang yang cukup sabaran.
"Saya adalah wali untuk diri saya sendiri. Jadi... just tell me what's wrong? Apa ada ... sesuatu yang serius?"
Jeda. Lalu Daru mengangguk. "Ya."
Levant menyipit. "Apa?"
"Berhubungan dengan kecelakaan yang kamu alami beberapa minggu lalu. Ada ... efek samping yang sebelumnya tidak terdeteksi."
Levant terdiam, tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang. Dan menatap Daru, ia sekarang paham apa yang dokter muda itu ingin sampaikan. Ia sedang memilah kata.
"Begini. Kamu saya rekomendasikan untuk menjadwalkan operasi secepatnya. Semakin cepat semakin baik."
"Untuk?"
Akhirnya, Daru menyerahkan map itu, membiarkan Levant meneliti hasilnya sebelum akhirnya bicara kembali.
"Hasil pemeriksaan menemukan ada sedikit robekan yang menyebabkan ada genangan darah di otak kamu. Sepertinya, trauma akibat kecelakaanmu waktu itu yang menjadi penyebab kerobekan pada salah satu vena yang melewati bagian subdural. Terjadi pendarahan secara lambat, yang tidak kita sadari. Kamu lihat ini?" Ia menunjuk pada satu bagian dari lembaran hasil CT-scan yang memperlihatkan keadaan otak Levant. Mengetuk dengan ujung mata penanya kemudian membuat satu lingkaran yang lebih besar
"Kerusakan pada hematoma ini akan bertambah luas jika dibiarkan. Kamu boleh dibilang beruntung karena memeriksakannya sejak awal, banyak pasien yang tidak menyadari ini. Sekarang mungkin kamu bisa menganggap itu bukan apa-apa, hanya berefek samping pada sakit kepala. Tapi sebenarnya, keadaan ini sangat fatal. Jika darah sudah menggenangi batang otak..."
Levant menunggu, karena tampaknya Daru agak kesulitan menyampaikan itu. Atau dia ingin mendramatisasi saja, seperti di film, atau apapun itu. Levant mengeratkan kepalan tangannya di sisi tubuh.
"... ia dapat menyebabkan kematian."
***
Hujan turun deras sore itu. Memerangkap Levant dalam Audinya hingga tidak bisa kemana-mana, ia tidak membawa payung, selain itu juga ia memang tidak ingin beranjak. Mobil itu hanya diam di sana, di parkiran rumah sakit. Sama saja seperti pemiliknya yang hampir menyerupai patung karena sulit sekali mencari pergerakan darinya, kecuali dadanya yang naik turun pelan, menandakan bahwa ia masih butuh bernapas.
Pikirannya masih tidak bisa berpindah dari obrolannya di ruangan putih berbau mengerikan itu tadi.
Jika darah sudah menggenangi batang otak ... ia dapat menyebabkan kematian.
Berapa lama kamu dapat bertahan, itu urusan Tuhan Tetapi secara medis bisa diprediksikan kamu tidak dapat bertahan lebih dari dua bulan jika kamu tidak melakukan apa-apa. Saya belum pernah mendengar ada yang melebihi jangka waktu itu. Karena itu, saya sarankan kamu melakukan operasi secepatnya, sebelum semuanya terlambat.
Levant menyeringai. Ekpresi pertama yang bisa ia lakukan adalah menyeringai. Mati. Bukankah itu yang ia impikan dari dulu? Ia sudah mencoba berkali-kali namun kematian masih belum mau meliriknya. Sekarang tanpa ia undang, kematian itu telah mengintai. Ia bisa apa selain menyerahkan diri?
"Saya nggak akan operasi."
Daru mengerutkan alis. "Kamu sadar dengan keputusan kamu? Pulang, bicarakan dengan keluargamu, lalu kembali ke sini saat kamu siap," setelah jeda sedetik, ia menambahkan. "Dan itu harus secepatnya."
Levant sudah memutuskan, untuk tidak berbuat apa-apa agar dirinya bisa hidup. Toh, tidak akan ada gunanya. Tidak akan ada yang merindukannya.
Ia sudah memutuskannya dengan mantap, bahwa ia menginginkannya, bahkan jauh sebelum ia tahu soal hal tidak beres di otaknya itu. Ia sudah menunggunya lama. Tetapi kenapa ... ketika ia hanya perlu menghitung mundur waktunya yang tersisa, semua terasa aneh?
Levant mendongak menatapi hujan di luar, hujan deras yang menyisakan embun di mobilnya. Di luar, hampir seperti tirai putih yang menari kasar, dan Levant membayangkan seseorang di tengah-tengahnya. Dengan kaki telanjang dan mahkota bunga di kepalanya, saat ini tengah tersenyum kepada Levant.
"Satu hal yang kuinginkan sebelum aku mati, hanya... aku ingin menemukanmu sekali saja, Peri Hujan."
***
Oke, saatnya kabur... wkwk
In my defense, cerita ini ditulis 2014 dan saya nggak merubah apapun dari plot, jadi... ya ... mainstream uwu.
Jika ada kesalahan, dan di antara kalian ada yang lebih tahu dari saya, boleh ditegur sayanya, ya. Atau diedukasi lagi.
Jadi... apakah perlu saya spoilernya? Sad or happy ending?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top