17. Battenberg
Kangen Teteh? Happy reading~
Hari ini saya masak Nasi Goreng Dokdok special. Ada banyak, saya nggak bakal habis sendiri. Kamu datang ke tempat kerja saya, ya? Karena hari ini nggak bisa keluar. Saya tunggu.
Daru ingat, kira-kira seperti itulah isi pesan singkat yang ia kirimkan untuk Hafa satu jam yang lalu. Hari ini pekerjaannya cukup padat sehingga ia tidak akan sempat mampir ke restoran tempat Hafa bekerja hanya untuk melihat gadis itu. Fatalnya, ia tidak bisa jika sehari saja tidak melihatnya. Sehingga kemudian ia meminta gadis itu yang datang dengan iming-iming nasi goreng kebanggaan Daru, gadis itu tidak pernah bisa menolaknya. Ditambah dengan bonus hari ini, gadis itu pasti akan menyukainya.
Rintik Hafa, ia tahu persis gadis itu menyukai bunga. Utamanya tulip. Dan ia sudah membeli sebuket besar hari ini dengan warna baby pink yang manis. Khusus untuk gadis itu. Dan jika kali ini gadis itu cukup peka untuk bertanya alasan Daru, ia akan mengatakannya dengan jujur. Sudah saatnya ia mengatakan pada gadis itu, bahwa gadis itulah satu-satunya gadis yang selama ini ia tatap, gadis yang namanya sering sekali muncul di otaknya, gadis yang menjadi pemilik sah atas rumah masa depan yang akan ia bangun nanti.
Ia sudah cukup matang sekarang. Begitupun gadis itu. Ia hanya akan melamarnya nanti. Lalu menikah.
Memikirkan itu membuat Daru tersenyum-senyum sendiri.
***
Hei, Mr. Sun. Kamu hari ini lupa, ngasih makan tunanganmu?
Leona membaca sekali lagi pesan yang sudah dikirimnya beberapa menit lalu dan merasa ingin mengutuk dirinya sendiri. Kenapa ia harus jatuh dalam pesona pria yang keberadaan hatinya diragukan itu? Kenapa ia harus selalu mempermalukan dirinya demi untuk mendapatkan pria itu? Tapi ia tidak mungkin melepasnya, tentu saja. Ia tidak bisa lepas dari pesona pria itu, seberapa banyak pun harga diri yang harus ia tukar. Seperti saat ini. Lagi-lagi ia merasa murahan setelah mengirimi pria itu pesan berisi ajakan makan tersirat dan belum mendapat balasan juga. Kenapa ia harus selalu menjadi yang kedua setelah semua kertas-kertas sialan itu?
Hampir setengah jam gadis itu harus menahan napas saat ponsel yang ia tatap terus-terusna itu akhirnya berbunyi, menampilkan balasan pesan dari Levant.
Maaf, aku tidak merasa bertunangan dengan seekor peliharaan. Kamu pasti bisa ngasih makan dirimu sendiri. Aku lagi sibuk, tapi makasih sudah mengingatkan buat makan
"Balasan macam apa ini?!" omel gadis itu seketika. Ia menyesali diri sudah mengirimi pesan kalau hanya untuk ditolak dan dipermalukan. Gadis itu menyumpah-nyumpah hebat dan baru berhenti saat sesuatu yang jatuh di meja di hadapannya membuat gadis itu terkejut. Sebuah bungkusan yang dibawa oleh seorang pria menyengir yang sekarang duduk di sampingnya. Tidak perlu ditanya, siapa lagi kalau bukan si pendek Aiden?
"Levant nyuekin kamu lagi?" terkanya dengan kurang ajar. "Sudah kuduga."
Wajah inosen pria itu hanya membuat Leona ingin menonjoknya. Namun seperti biasa, Aiden tidak terpengaruh dengan wajah galak yang Leona selalu pasang untuknya.
"Tadi aku beli mie tek-tek langganan yang kamu suka itu. Belum makan siang, kan?" katanya lagi, mulai membukakan sebuah bungkusan untuk Leona baru kemudian untuk dirinya sendiri.
Namun saat pria itu membukakan sumpit untuknya, Leona berdiri. Gadis itu mengambil tas tangan, menyampirkannya di bahu dan justru melangkah ke luar.
"Kamu mau kemana?! Nggak mau makan?!"
"Nggak laper!" serunya diiringi debum pintu.
***
Ruangan itu luas, nyaman dengan pengaturan AC yang pas, karpet bersih di bawah kaki, dan penerangan yang temaram dari lampu hias gantung yang menatapnya akan memakan waktu setidaknya setengah jam bagi Hafa karena hanya akan membuatnya kagum. Ada rangkaian lilin di atas meja yang menyala remang beserta beberapa tangkai bunga di atas vase cantik. Ada pemutar vynil di sudut yang membawakan musik klasik. Ada berbagai makanan enak di atas meja, juga beserta minuman dengan gelas wine yang selalu terlihat mewah. Ditambah dengan buket penuh mawar putih yang wangi. Seumur hidup, atau setidaknya selama bekerja di York, Hafa selalu membayangkan dirinya berada di sini, di ruangan ini, dengan semua kelengkapan yang ditawarkan.
Sekarang mimpi itu terwujud. Gadis itu seharusnya gembira, seharusnya tampak begitu, bukannya gadis ini yang dari tadi bersedekap dengan wajah mengkerut.
Levant meliriknya sekilas, lalu kembali sibuk menuang dan menikmati wine-nya sendiri. Seperti yang terus terjadi selama setengah jam ke belakang, tanpa ada kata yang ditukar. Baru kemudian, ketika Levant mendekatkan bibir gelas ke mulutnya, ia merasakan gadis itu menatap tajam padanya sehingga ia berhenti dan menatap Hafa. Jidatnya seperti menampilkan sendiri tulisan 'Ada apa?' tanpa mulutnya perlu susah payah berbuat sesuatu.
Gadis itu masih bersedekap dan masih tetap menatapnya tidak suka.
"Kamu mau?" tanya Levant seraya menganjurkan gelasnya sendiri.
"Haram."
"Ini non alkohol."
Ketika Hafa sudah berhenti menyahut, Levant berdecak. "Bunga, makanan mewah, ruang VIP, dan wine ini. Semuanya berharga lebih dari tiga ratus ribu rupiah. Kuanggap ini cukup untuk membayar hutangku," jelasnya akhirnya di sela-sela kegiatan menuang wine.
Kali ini Hafa bergerak. Ia mendekatkan padanya piring-piring makanan dan mengembalikan ke sisi Levant buket bunga yang ia terima. Buket yang sebenarnya begitu menarik perhatian mata dan penciumannya. Ia suka bunga, bagaimanapun.
"Makanan ini boleh aja dianggap impas buat ganti batagor kemaren. Saya bisa terima walaupun jumlahnya beda. Batagor saya kemaren tuh dua piring penuh, Pak. Ini apa? Sesendok! Tapi... oke. Tapi... ini bunga nggak bisa dipake buat bayar ongkos bus, atau kalau saya sakit kepala, saya juga nggak bisa makan bunga. Emangnya Suzanna!"
Levant berjengit sesaat mendengar semburan omelan dari mulut Hafa, tidak menyangka. Lalu, ekpresinya melembut dan bibirnya mulai tertekuk, membentuk senyum geli.
"Jadi saya masih harus bayar buat tumpangan bus dan obat?"
Hafa menggangguk cepat. Lalu mengambil kembali bunga yang tadi berusaha ia buang. "Setelah saya pikir, saya anggap ini sebagai bunga dari pinjaman Bapak selama ini. Bunga dalam arti sesungguhnya."
"Pfft. Perhitungan banget."
***
Mungkin sudah hampir satu jam sejak Levant memulai makannya. Nyatanya ia belum selesai. Bukannya ia tidak ingin menyelesaikannya, namun tidak bisa. Hampir lebih dari setengah botol wine ia tenggak dan harus ia tenggak lagi hanya demi membunuh waktu. Ia tahu itu tidak sehat, dan sangat tidak tepat meminum wine di siang hari. Apa boleh buat, ia tidak ada pekerjaan lain di situ.
Kembali ia memeriksa arlojinya, sudah lama sekali waktu berlalu. Ia punya banyak pekerjaan menunggu di kantor. Dan anehnya ia sedang berpikir bahwa mungkin tidak apa melewatkan semua itu sekali-sekali. Mungkin Ayahnya akan marah-marah lagi, hanya itu, apa pedulinya?
Gadis itu tertidur. Gadis itu tertidur sejak setengah jam yang lalu, selang tidak begitu lama setelah ia menghabiskan dua porsi Batternberg Cake, kue khas Inggris yang berbentuk kotak-kotak, termasuk punya Levant, dua porsi sosis bakar, termasuk menu tambahan beserta kentang tumbuk dan kentang gorengnya. Wajar memang jika perutnya terlalu penuh hingga hampir meledak dan membuatnya jatuh tertidur saking kenyangnya.
Dan itulah yang menahan Levant. Levant bukannya tidak mencoba membangunkan gadis itu, ia mengetuk-ngetuk punggung tangannya beberapa kali tanpa hasil. Gadis ajaib itu malah terdengar mendengkur halus, membuat Levant kebingungan antara harus mengumpat atau menertawakannya sekali lagi, atau mungkin harus menertawakan dirinya sendiri. Ia bisa pergi kapan saja meninggalkan gadis itu. Toh, ini tempatnya bekerja, ia akan baik-baik saja. Tapi setiap berpikir begitu, Levant menemukan dirinya tetap diam tidak kemana-mana.
Entah untuk keberapa kali, Levant memperhatikannya, memastikan seribu persen bahwa ia benar tidur, tidak berpura-pura. Sekaligus memastikan penglihatannya benar, gadis itu memiliki kelopak mata yang indah, tidak tahu dimananya, hanya terasa nyaman bagi Levant untuk terus menatapnya seperti itu. Sehingga ia mendapati dirinya sanggup menunggu berjam-jam, mengabaikan betapa berharganya waktu, mengabaikan berbagai panggilan dan pesan yang masuk di ponselnya maupun getaran yang sepertinya berasal dari ponsel gadis itu. Berjam-jam, hanya dengan wine dan gadis itu.
Gadis aneh itu... menahannya dengan alasan yang tidak bisa ia pahami.
***
Maaf telat, hehe. (sok) sibuk banget ya ini orang satu.
Sampai jumpa di part selanjutnya, kita lihat nasib Pak Dok? :'(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top