15. Bus

*ceritanya, belum ada kasus covid-19. happy reading~

***

Bus penuh kala itu, membuat Levant terpaksa berdiri berjejal di dalam sana bersama orang-orang lainnya. Menahan diri sendiri agar tidak jatuh saat bus mulai ugal-ugalan dengan berpegangan pada handrail. Seumur hidup, ia terbiasa menaiki mobil mewah kemana-mana, dengan jalan yang begitu mulus hingga tidak terasa seperti bergerak, dengan AC, pewangi mobil dan jok empuk yang selalu membuat nyaman. Sekarang ia terjebak di sini, memaksanya berjejal seperti ini, bercampur puluhan manusia lain yang penuh dengan bau keringat dan hawa panas.

Hanya gara-gara gadis itu.

Memundurkan tubuhnya, menghindari pedagang cangcimen yang sedang mengangkat satu tangan tinggi-tinggi di udara, menampakkan noda basah di keteknya, Levant mengedarkan pandang. Dengan mudah ia menemukannya, gadis itu mendapat satu tempat duduk diantara jejalnya para pria, tepat di samping seorang bapak-bapak gemuk yang tampak wajahnya terlihat mesum. Maka sedikit demi sedikit, Levant bergeser ke arahnya, menyalip pagar betis dan menghalau orang-orang di sekitar.

Gadis itu duduk dengan tenang, tampak mengantuk dan kelelahan. Beberapa kali bahkan ia tampak hampir jatuh ke depan karena tidak bisa menahan gerak tubuhnya sendiri. Matanya seolah terpejam begitu mudah. Untung saja, saat hal itu terjadi untuk ketiga kalinya, saat dirinya oleng ke samping dan kemungkinannya akan jatuh mencium lantai bus, Levant berdiri tepat di sampingnya. Sehingga yang terjadi adalah, ia menabrak perut pria itu dan terbangun.

"Kamu memang segampang itu, tidur di sembarang tempat?" kata Levant, terlalu ketus untuk bisa disebut sapaan bangun tidur.

Hafa mengucek matanya dan mengerjap-ngerjap. "Pak Payung? Bapak ngapain di sini?"

Beberapa saat, Hafa celingukan, coba mencari tahu apa yang terjadi. Atau setidaknya, memastikan bahwa ia tidak sedang memimpikan pria galak yang melemparnya payung. Namun ketika dalam beberapa kerjapan mata pria tinggi berjas branded itu masih belum menghilang juga, ia mendadak merasa sakit kepala. Apakah ia sedang berhalusinasi ataukah matahari sedang berputar balik dan memutuskan untuk terbit dari barat saja hari ini?

"Gara-gara kamu, Kriminal! Kamu bikin saya bisa terlambat menghadiri rapat."

Masih segalak biasanya. Hafa mencibir.

"Siapa suruh Bapak nabrak sepeda saya," balasnya. "Hidup itu adil. Kalo nggak adil, harus kita adil-adilin!"

"Kamu─"

"Apa?! Bapak macem-macem saya teriak nih!"

Levant melotot, tatapannya menyapu sekitar, pada banyaknya manusia bar-bar yang akan dengan sukarela bergerak meski tidak tahu masalahnya. Ia harus mengurungkan niat. Hal yang membuat Hafa pada akhirnya tersenyum penuh kemenangan. Sementara Levant hanya dapat menahan keringat yang mulai membanjiri keningnya. Kemeja berlapis jas dalam bus yang penuh sama sekali bukan perpaduan sempurna.

Ketika pria itu mengalihkan tatap ke luar jendela, ia menyadari bahwa tujuannya sudah dekat. Ia mengeluarkan dompet dan meringis saat tidak menemukan selembar uang pun. Ia sudah memberikan semuanya pada Hafa tadi dan meskipun gadis itu mengembalikan, egonya terlalu besar untuk menerima. Ia membiarkan semua uangnya di jalanan. Pintar sekali, memang.

Hingga beberapa saat, Levant tampak sibuk membolak-balik meeriksa setiap detil dompetnya, merogoh-rogoh sakunya penuh harap, dan kembali memeriksa dompet. Hal yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Menghitung jumlah uang di dompetnya, ia bahkan tidak pernah melakukannya. Tapi saat ini, ia benar-benar berharap bisa menemukan beberapa recehan di sana. Jika tidak, bagaimana ia akan bayar ongkos bus?

Sementara Hafa yang memerhatikan, tidak dapat menahan tawa geli sekarang. Ia menarik tangan Levant lembut, menaruh dua lembar lima ribuan di telapak tangan Levant serta sebuah memo kecil.

Hutang batagor + aqua + obat + ojek sepeda = Rp. 227.000

+ Bus: Rp. 10.000

Total: Rp. 237.000,00

PS: Busnya 5 ribu aja, sisanya buat Bapak jaga-jaga. ^^

Levant mengernyit, segera teringat bon hutang tempo hari. Ia mendengkus dalam usaha menyamarkan sedikit tersenyum geli yang mengancam keluar. Gadis ini... seperhitungan itu.

"Iya, nanti saya bayar," balasnya, sedingin mungkin.

***

Setelah bus berhenti di halte yang terletak beberapa blok sebelum kantornya, Levant buru-buru turun bersama beberapa orang lainnya, mengingat ia sudah hampir terlambat menghadiri rapat di perusahan. Ditambah, ia sudah merasa akan kehabisan napas karena mencium sesak bau keringat yang memenuhi udara.

Pria itu membenarkan tatanan jas dan dasinya, membersihkannya dari debu-debu yang melekat, dan lagi-lagi berpikir untuk memecat supirnya nanti sebagai bentuk pelampiasan kekesalannya. Baru beberapa langkah ia berjalan ketika ia berhenti tiba-tiba di tengah trotoar. Mungkin efek tiba-tiba turun dari bus, atau efek makan terlalu sedikit dan melewatkan sarapan, atau mungkin efek lelah karena pekerjaan yang ia paksa kebut. Yang jelas, ia sekarang merasakan pusing yang hebat di kepalanya. Perasaan pusing yang sekaligus membuat mual-mual. Pria itu kesulitan meneruskan langkahnya, meski sekedar mencari tempat yang lebih nayaman. Ia menekan-nekan keningnya, merasakan pening mendadak itu semakin menjadi-jadi.

Pria itu bahkan nyaris jatuh karena tidak bisa menopang beban tubuhnya sendiri sementara sakit kepala membuatnya lemas. Beruntungnya, tepat ketika itu, seseorang memegangi lengannya dari belakang. Menahannya berdiri meski tidak cukup kokoh.

Levant menoleh dan menemukan Hafa, gadis tadi, sedang memegangi lengannya erat-erat, sepenuh kekuatannya dengan wajah khawatir.

"Pak Payung nggak pa-pa?"

Dengan napas yang terasa sulit, Levant sebisanya berusaha menggeleng. Tapi gadis itu tentu saja tidak percaya. Wajah pucat Levant jelas berkhianat. Ia tampak mengkhawatirkan. Ia bahkan memaksakan tubuhnya berjongkok ke tepi trotoar hanya agar ia bisa muntah.

"Bapak kenapa? Maag?" tanya Hafa sambil menepuk-nepuk punggung Levant.

Maka gadis itu memapah Levant untuk duduk di bangku jalan terdekat yang bisa mereka jangkau dan memaksanya untuk tetap di situ. Sementara Levant tidak punya cukup tenaga untuk berdebat atau melakukan hal lain selain terkonsentrasi pada rasa pusingnya.

"Tunggu! Saya cariin obat dulu! Jangan kemana-mana!"

Dan gadis itu berlari bahkan sebelum Levant sempat mencegah.

***

Levant terus bersungut-sungut dan memaki dirinya sendiri. Apa yang sedang dan sudah ia lakukan?! Ia seharusnya tidak di sini. Ia seharusnya sekarang sudah duduk di kantornya, memimpin sebuah rapat penting, dan bukannya di sini, duduk di pinggir jalan dan menghitung mobil-mobil yang lewat seolah ia tidak punya pekerjaan.

Semua ini karena gadis kriminal itu. Yang setengah jam lalu memaksanya untuk menunggu sementara gadis itu mencarikan obat namun sampai saat ini belum kembali. Dan betapa bodohnya Levant yang terus menunggu sementara bahkan kepalanya sudah tidak terasa apa-apa lagi? Apa memangnya yang ia tunggu? Ia tidak punya alasan memercayai gadis itu.

Tepat saat pria itu memutuskan untuk beranjak pergi, dari kejauhan terlihat gadis itu kembali. Setengah berlari dan dengan napas terputus-putus begitu tiba di hadapan Levant. Ia harus menopangkan tangannya ke lutut hanya agar ia bisa bernapas kembali saat menyodorkan bungkusan obat pada pria itu.

"Apa ini?" tanya Levant dingin.

"Obat, Pak. Emangnya Bapak pikir apa? Cilok?!" jawabnya kesal di sela-sela kegiatan mengambil napas cepat. "Saya nggak tahu Bapak sakit apa persisnya, jadi saya beli aja obat maag, obat sakit kepala sama Paracetamol. Terserah Bapak mau minum yang mana."

Kemudian, seolah baru teringat, ia buru-buru menyorongkan botol air mineral dari tangannya yang lain. "Cepat diminum!"

Levant menyergahnya. Sakit kepala dan mualnya telah menghilang sejak tadi. "Sudah nggak perlu. Buang saja."

Sejenak, gadis itu berhenti tersengal, mungkin menahan napas. Lalu Levant melihatnya berdiri bersedekap. "Kamu tahu gimana capeknya saya mencari toko obat?! Sampai lari-lari karena panik?! Warung dekat sini nggak jual obat maag, jadi saya sampai harus lari jauh cuma buat kamu! Sekarang saya harus buang obat ini?"

Dengan paksa, gadis itu menjejalkan botol minuman dan bungkus obat ke tangan Levant. "Terserah lah! Mau kamu telan semua juga nggak pa-pa!"

emudian dengan emosi ia berbalik dan berjalan pergi. Langkahnya cepat. Levant melangkahkan satu kakinya, bermaksud mengejar gadis itu sebelum akhirnya ia tersadar, bahwa ia tidak punya alasan apapun untuk mengejarnya.

Ia kembali duduk, memeriksa bungkus obat di tangannya dan menemukan secarik kecil kertas.

Hutang batagor + Aqua + obat + ojek sepeda = Rp. 227.000

+ Bus: Rp. 10.000 + Obat + air = Rp. 15. 500

Total: Rp. 237.000,00 Rp. 252.500,00

"Dia masih menagihnya?" Levant tidak habis pikir.

***

Ada banyak cerita di luar sana yang lebih menarik, lebih seru. Banyak sekali.

Karena itu, kepada kamu yang masih bertahan menunggu cerita ini, meluangkan waktu membacanya, bahkan begitu baik sampai meninggalkan vote dan komentar yang lucu, makasih, ya.

Semoga kamu dan keluarga selalu dalam lindungan Tuhan <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top