14. Harga
"Kamu pesan apa, Yang?"
Lagi, Levant tersentak dari entah dimana keberadaan pikirannya. Ia menoleh kepada Leona, lalu kepada gadis berambut pendek yang menunggu pesanan mereka. Levant memperhatikannya, ini bukan gadis yang kemarin memberinya tumpangan sepeda dan mentraktir batagor. Dimana gadis itu? Ia tidak terlihat di seluruh penjuru kafe.
"Terserah kamu aja," jawab Levant abai. Konsentrasinya belum lagi kembali dan entah kapan akan benar-benar pulih. Belakangan, ia menemukan dirinya banyak memikirkan hal-hal yang jauh, tertingal di masa lalu.
Makan siang kali itu pun, tidak mereka lewati dengan banyak bicara. Leona terus mengajak bicara awalnya, tetapi karena Levant yang lagi-lagi terlalu fokus pada makanannya, atau kadang-kadang menatap ke luar jendela dan melamun, gadis itu pun sibuk berkeluh kesah pada Aiden lewat pesan singkat.
Levant nyebelin! Levant itu patung! Apa Levant masih hidup?! Breaking news, my fiance currently is a damn stone! Dan semua hal sejenis itu, yang biasanya dibalas Aiden dengan lelucon, nasehat untuk bersabar, atau kalau ia sedang cukup narsis, tawaran untuk menyerah pada Levant dan mulai menatap pada Aiden saja.
Levant melirik arlojinya. Sudah setengah jam, ada rapat penting hari ini berhubungan dengan kembalinya ia ke perusahaan setelah musibah itu dan masa istirahat yang membosankan. Ia mengunyah makanan di mulutnya dengan cepat dan segera menelannya, kemudian meneguk segelas air putih. Mengabaikan sisa makanan di piringnya yang lebih dari separuh. Ia lalu mengeluarkan beberapa lembar uang besar dan menaruhnya di atas meja sambil beranjak berdiri.
Leona bahkan belum dapat membuat otaknya mencerna seluruh pergerakan Levant dan menanyai "Kamu mau kemana?" saat pria itu lebih dulu bicara.
"Aku duluan, Leona."
Sebelum Leona sempat bereaksi apa-apa, pria itu sudah lebih dulu berjalan dalam langkah-langkah lebar yang menguarkan wibawa. Hingga di depan pintu, ia cukup terhambat oleh suara seorang wanita, menggelegar dari sudut luar York.
"Alasan apa lagi, sih?!" Gadis berambut cokelat dengan hidung mancung itu berkacak pinggang.
Di hadapannya, seorang gadis lain tampak menangkupkan kedua tangan di depan dada, seolah sedang mengajukan permohonan. Gadis yang kemarin.
"Jangan mentang-mentang saya bucin sama seblak kamu ya kamu bisa seenaknya! Kamu udah keseringan ijin istirahat siang terus nggak balik sampai sore!"
"Sekali iniii aja lagi, Teh!" Gadis itu memasang wajah memelas. "Tetangga saya mendadak ada halangan, jadi saya harus jemput adik saya ke sekolah. Kan nggak mungkin ditinggal sampai sore. Mereka baru kelas 1 SD loh! Kalau diculik gimana atuh, Teh?!"
Mentari bersedekap dalam kediamannya, lalu membuang pandang, tidak bersedia menyaksikan wajah memelas Hafa lalu luruh begitu saja.
"Please Teh, please! Kali ini aja!"
Namun pada akhirnya, Mentari oleng juga. Sambil mendengkus, ia menatap Hafa galak. "Oke, tapi jangan lama-lama! Awas kalo jam dua belum balik! Saya potong gaji kamu, Hafa!"
Hafa? Namanya Hafa?
Levant terhenti sejenak, mencatat nama itu tanpa sadar dalam otaknya sebelum akhirnya kembali melangkah cepat menuju tempat mobilnya terparkir. Apa yang ia rencanakan dengan mendengarkan obrolan tidak penting itu?! Ia sudah membuang waktunya, sama artinya dengan membuang-buang uang perusahaan.
Sang supir yang tertidur di kursi belakang kemudi segera terbangun dan mengucek matanya ketika Levant menutup pintu dengan cukup keras. "Kembali ke kantor. Cepat."
Namun mobil itu tidak segera melaju. Levant memperbaiki kancing di bagian lengannya lantas mendelik pada supir barunya. "Kenapa belum jalan juga?"
"Itu... ada sepeda di depan mobil ini, Pak, ngalangin jalan. Tunggu sebentar, saya pindahin dulu."
Levant mengikuti arah pandang supirnya. Ia tidak berbohong, ada sebuah sepeda dengan keranjang kuning yang diparkirkan persis di depan mobilnya yang sudah berada dalam posisi siap meluncur. Sepeda yang familiar, Levant ingat pernah melihatnya dimana. Bahkan, ia sempat menungganginya, tempo hari.
"Tabrak aja."
"... Ya, Pak?"
"Saya nggak punya waktu untuk menunggu kamu yang super lamban itu untuk memindahkan sepeda nggak berguna itu. Tabrak aja."
Tidak ada waktu untuk tersinggung, supir bertubuh tambun itu mengangguk dan buru-buru menyentuh setir. Namun ia kembali menghabiskan detik-detik berharga Levant dengan keragu-raguannya.
"Tabrak atau kamu dipecat," ancam Levant mendesak. Dingin saja. Namun tidak pernah gagal membuat setiap anak buahnya terbirit-birit dalam ketakutan demi melaksanakan perintah. Supir kali ini, tidak termasuk pengecualian.
"B-baik, Pak."
Levant menyeringai ketika Burhan, seperti nama yang tertera di bagian dadanya, menekan pedal gas lebih dalam, menabrak sepeda yang menghalangi jalan mereka hingga terbanting ke samping dengan kelontang yang menarik perhatian orang sekitar. Ia tidak peduli dengan resiko mobilnya akan lecet, tetapi lebih peduli pada kemungkinan gadis itu akan meledak marah. Ia belum pernah melihat gadis itu marah dan ia ingin melihatnya. Pasti... menyenangkan. Membuat Levant tersenyum dengan sendirinya.
Benar saja. Hafa, si pemilik sepeda, segera menoleh tepat ke arahnya. Segera saja, dari spion mobil Levant bisa melihat gadis itu berlari mengejar mereka sambil berteriak-berteriak hingga nyaris tersandung. Hafa mengerem langkah, melepaskan kedua sepatu hak sedangnya, lalu melanjutkan pengejaran hingga ke jalan.
"Stop," perintah Levant, dan seketika, rem diinjak kuat.
Levant turun. Lagi-lagi menyeringai menatap gadis itu yang barusaja berhenti berlarian. Hafa sekarang di depannya, menumpukan tangan di lutut, coba menormalkan napas yang tersengal. Tadi hanya beberapa puluh meter, padahal.
"Sepeda kamu yang nggak tahu aturan itu menghalangi jalan. Mobil saya nggak bisa lewat."
Serta-merta, Hafa melongo. Pikirnya, ia bisa mendapatkan permintaan maaf, atau setidaknya penjelasan yang menunjukkan penyesalan. Namun ia telah salah besar. Levant justru menyemprotnya lebih dulu dengan wajah tidak berdosa.
"Apa? Sepeda saya yang nggak tahu aturan?!"
"Salah, ya? Oh, benar juga. Bukan sepedanya, kamu yang nggak tahu aturan," kata pria itu ringan, dengan tangan yang disimpan di saku dan senyum miring yang ia pamerkan.. Mari kita lihat bagaimana cara gadis ini mengamuk, pikirnya.
Namun gadis itu hanya membulatkan matanya, menatap Levant galak. Kemudian ia memejam untuk selanjutnya menarik napas dalam-dalam. Tadi, matanya cantik, manik matanya seperti berbintang, sekarang... juga tampak cantik dengan mata terpejam, anehnya.
Ketika Hafa membuka mata, ia tidak bisa menahannya lagi. Ia siap meledak. Ia bahkan tidak lagi bisa mengotrol rentetan kemarahan yang keluar dari mulutnya.
"Kamu tahu nggak, biaya perbaikan sepeda itu berapa?! Mahal, tahu! Kamu mah enak, tinggal berak aja dapat duit! Saya kerja di sini, dimarah-marahin bos, malemnya bikin seblak buat dijual, terus kerjaan apa juga kalau bisa saya kerjain! Capek, tahu! Kenapa kamu seenaknya—"
Ucapan itu terhenti ketika Levant mengeluarkan seluruh isi dompetnya. Selain bertumpuk kartu di dalam sana, di telapak tangannya sekarang ada puluhan uang kertas berwarna merah dengan gambar wajah presiden pertama. Ia mengambil tangan Hafa dan menaruh itu semua di telapak tangan gadis itu.
"Cukup?"
Hafa membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Ia kehilangan kata. Perlu setidaknya satu menit penuh baginya untuk kembali menarik napasn panjang, berat. Seolah bicara dengan Levant adalah hal paling melelahkan dan menyita paling banyak emosi di dunia ini.
"Bukan kayak gini!" tegasnya, melemparkan semua lembaran uang itu ke dada Levant. Di antara keduanya, tidak ada yang peduli dengan satu-persatu uang yang berhamburan di antara kaki mereka.
Hafa mengedarkan pandang ke sekitar, dan begitu mendapatkan apa yang ia cari, ia berlari memungutnya. Benda itu kecil saja, namun tajam dan berbahaya. Sebuah paku yang ia dapatkan di dekat pagar yang sedang diperbaiki.
"Biar saya kasih tahu pembalasan itu kayak apa!"
Levant menatap aksi gadis itu dengan pikiran blank. Konsentrasinya sedang bercabang sehingga terlambat baginya untuk gadis itu menusuk ban mobilnya dengan paku, keduanya sekaligus.
"HEI!"
Levant menepuk keningnya frustasi. Ia barusaja teringat dengan rapatnya. Sementara di hadapannya, Hafa mengibaskan debu dari tangannya lantas menyengir, menampakkan lesung pipi kecilnya.
"Sorry, Pak Payung."
Gadis itu membenarkan letak tas di pundaknya. Dengan kaki yang masih telanjang, ia mengumpulkan kembali uang Levant, mengembalikannya, lalu meraih sepatunya yang tercecer. Ia berjalan kembali ke sepedanya yang penyok di bagian stang sehingga tidak bisa dipakai. Dengan gusar, ia menjatuhkan sepeda itu kembali ke tanah. Dengan lebih gusar lagi, ia menatap Levant dan mendengkus keras-keras.
"Gara-gara Bapak, saya harus naik angkot!"
Sepeninggal gadis itu, Levant mengambil langkah lebar menuju mobilnya. Membuat sang supir yang sempat tertidur dan gagal mencegah gadis tadi merusak mobil Levant menjadi gelagapan.
"Maaf, Pak, saya... B-biar saya pesankan taksi?"
Is this karma speaking? Karena ia telah membuat gadis itu tidak bia menggunakan sepedanya. Levant melirik arlojinya, tidak ada waktu menunggu.
"Nggak perlu," ujarnya, lalu dengan derap tergesa, mengambil arah yang sama dengan Hafa. Ia menemukan gadis itu sedang menaiki bus kota, di depan halte yang masih bersebelahan dengan York. Tanpa berpikir panjang, Levant berlari, memanjat masuk tepat saat bus itu akan melaju kembali.
***
Seharusnya, judulnya bukan Harga lol. Seharusnya part ini lebih panjang, tapi saya lelah mengedit dan bagi dua aja deh.
Btw ini cantik dan ganteng banget nggak sih, Pak Payung sama Teteh di foto yang di atas tadi? uwu
Selamat malam, semuanya. Sehat selalu <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top