12. Terpisahkan Pintu
Agak malem nih datengnya. Happy Reading ❤
***
"Levant Elenio Devara," Daru mengeja dengan hati-hati nama tersebut.
Siapa? Kenapa namanya terdengar familiar?
Lagi, Daru memeriksa dokumen keterangan tentang pasien bernama Levant yang tengah ia pegang. Pasien dengan kasus kecelakaan dan mengalami gegar otak sedang yang tadi malam ia operasi berhubungan dengan retakan kecil di tengkorak kepalanya. Tidak membahayakan, hanya luka luar di kening dan wajahnya yang parah membuat pria itu harus diperban hampir seuruh bagian wajahnya. Dan berdasarkan informasi lain yang baru ia peroleh, Levant merupakan pendiri dan sempat menjadi CEO perusahaan game yang saat ini sedang naik daun, Black Sun Ltd. Perusahaan itu juga merupakan anak salah satu perusahaan terbesar di Indonesia, MSD Corp. Lima besar perusahaan dengan aset terbesar tahun ini, selalu menjadi topik utama dalam majalah-majalan bisnis. Dan Daru baru saja mengetahui bahwa namanya Levant. CEO baru MSD Corp, Levant Elenio Devara.
Ia mendudukkan diri di kursinya tanpa berniat menoleh dari dokumen itu. Ada sesuatu perasaan aneh yang memaksanya terus mengingat-ingat. Karena begitu ia mendengar namanya, ia merasa satu perasaan tidak menyenangkan. Seolah Levant ini pernah membuat sebuah kesalahan besar padanya.
Kemudian ingatan itu muncul ke permukaan, begitu saja.
"Le...vant ... Elenio ... Devara?"
Remaja bertubuh jangkung itu membaca papan nama yang tertempel di ujung ranjang rumah sakit. Kemudian, tatapannya beralih pada seorang anak yang terbaring di sana, dengan perban menutupi kepala dan hampir seluruh wajahnya.
Anak ini... adalah anak yang sering dikunjungi Hafa setiap harinya. Ia melihatnya. Dan entah bagaimana, ia tidak menyukai gagasan itu. Ide tentang Hafa, gadis kecilnya yang mempunyai teman baru, yang tidak lagi merengek padanya mengajak bermain. Ataukah ide tentang... ia mulai merasa menyukai gadis itu, di masa remajanya, ia menyukai seorang gadis untuk pertama kali. Sialnya, gadis itu adalah gadis yang tumbuh bersamanya, seperti adik kecilnya. Dan sekarang, gadis itu tertarik kepada anak laki-laki lain.
Tidak. Ia tidak akan membiarkannya.
Jadi, detik itu juga ia bergegas menemui Hafa. Ia menemukan gadis itu mengobrol dengan Suster Nani, salah seorang perawat paling ramah di rumah sakit.
"Kak Daru!" Hafa menyapa, segera setelah ia menyadari kedatangan Daru. "Udah, ke toiletnya?"
"Hmm."
"Kak Daru tadi dicariin Oom Irawan. Sana, temuin! Hafa mau pergi dulu!"
"Mau kemana?"
Tidak. Jangan pergi. Jangan ke sana. Jangan temui anak laki-laki itu.
"Ada dehhh~"
Hafa melambai, lalu mulai beranjak pergi. Tidak sabar ingin menemui Kepala Mumi. Namun ia harus terhenti di langkah kedua karena Daru yang menahan pergelangan tangannya.
"Temenin Kakak sebentar, ya?"
"Levant? Apakah dia...," Daru mnegangkat wajahnya, sekarang menatap jendela, "... Levant yang itu?"
***
"Kamu udah datang?"
Hafa, dengan langkah tergesa dan napas yang terputus-putus berlari dari parkiran, melewati lobi lalu menaiki tangga karena tidak mengerti cara menggunakan lift. Ia segera melambai pada Daru yang baru saja keluar dari ruangannya.
"Sore, Pak Dokdok!" serunya, tersenyum lebar meski keringat sebesar biji jangung bermunculan di dahinya.
Daru melambatkan langkah agar Hafa tidak terburu-buru menyusulnya. Sekarang, mereka berjalan bersisian di koridor. Daru menatap jam tangannya, baru lewat lima belas menit dari jam akhir waktu gadis itu bekerja.
"Kamu pulang cepet?"
"Yup. Temen yang shift berikutnya datang cepet."
"Bagus, deh. Aku mau beli kopi sebentar. Kamu mau?"
Dengan cepat, Hafa menggeleng. Satu senyum sungkan terkembang di bibirnya. "Enggak. Saya mau nengok orang yang kecelakaan kemaren."
"Oh, dia..," Daru berhenti sejenak, ada keinginan kuat untuk tidak membicarakan pria itu, yang sedang berusaha ia lawan. "Dia baik. Tadi siang baru aja selesai melepas sebagian perban di wajahnya."
"Beneran? Boleh saya tengok?"
Selama beberapa saat, pria itu terhenti dari semua kegiatannya; berpikir, berjalan, bahkan bernapas. Hafa ingin menemui pria itu, pria lain selain dirinya. Ia tidak pernah menyaksikan gadis itu begitu berminat dan perhatian pada seorang laki-laki lain selain Ayres, dan dirinya, kadang. Meskipun ia paham alasannya, ia tetap tidak bisa mencegah dirinya untuk merasa tidak suka. Ditambah fakta lain bahwa pria itu, Levant, adalah Levant yang sama dengan yang lima belas lalu pernah berhasil mencuri seluruh perhatian Hafa. Dan sampai sekarang gadis itu tidak juga melupakannya adalah fakta sialan lainnya.
Selama beberapa saat itu, sambil menatap punggung gadis itu yang berjalan di depannya, Daru terus bertanya-tanya; apakah dia tahu? Apakah dia tahu pria yang ingin ia jenguk ini adalah pria yang sama dengan yang setiap hari ia jenguk dulu? Pria yang ia rindukan itu? Apakah... bahkan ia tahu namanya Levant?
"Pak Dok! Kenapa berdiri di situ aja?"
Satu teguran itu membuat Daru ditarik paksa dari lamunanya. Ia buru-buru berdeham, mengambil langkah untuk menipiskan jarak, kemudian tersenyum tipis.
"Hafa... tunggu sebentar."
Pria itu sudah bangun. Levant sudah bangun dan cukup sadar untuk mempertanyakan keberadaan Hafa nantinya. Apa yang akan ia tanyakan nanti? Apa yang akan mereka bicarakan? Apakah mereka akhirnya akan saling menyadari masa lalu masing-masing. Lalu setelah itu... apa lagi?
Daru melirik arloji hitam di tangan Hafa. Benda itu mungkin bisa menjelaskan semuanya. Mereka akan segera tahu. Lalu... lalu... ia tidak bisa membayangkan selanjutnya.
Ia tidak bisa membiarkannya. Tidak. Ia bahkan tidak bisa sekedar menebak-nebak bagaimana reaksi Hafa jika bertemu kembali dengan pemilik jam tangan itu. Mereka tidak seharusnya bertemu. Ia harus melakukan sesuatu!
"Temani aku... minum kopi. Atau makan, kalau kamu mau."
Hafa terdiam sebentar dengan wajah serius, ia memiringkan kepalanya, tampak mempertimbangkan. "Hmm... saya udah makan. Lain kali aja, gimana? Saya mau liat pasien itu dulu."
Lalu, gadis itu berbalik memunggungi Daru untuk kemudian berlari kecil sepanjangan koridor. Meninggalkan Daru. Meninggalkan dokter itu sendirian, nyaris kehilangan akal. Dia sudah tahu. Dari dulu sudah begitu. Gadis itu... akan selalu mendahulukan pria bernama Levant itu, bahkan tanpa ia sadari alasannya.
***
Kelima buah semanggi berdaun empat yang bergelantungan di gelang itu berayun pelan tiap kali Levant menggerakkan jemarinya. Gelang itu, ia masih betah memandanginya. Gelang itu, gelang peri yang paling ia rawat sangat hati-hati di antara barang-barangnya yang lain.
Semalam peri hujan hadir di sini, ia meyakininya. Apakah ia akan datang lagi? Jika hari ini... peri hujan itu datang, ia akan melihat gelang ini dan segera menyadarinya.
Ia akan ingat, kan?
Levant mendesah, mendadak ia merasakan gugup yang tidak biasa ia rasakan. Ia tidak tahu apa yang dimiliki peri hujan itu sampai membuatnya seperti ini. Membuatnya merasa... agak bersemangat. Yang membuatnya tanpa sadar tersenyum-senyum sendiri. Apakah ia secantik itu? Levant ingin sekali melihatnya, dan mendefiniskan bagaimana wajah itu sesungguhnya.
Terdengar ketukan di pintu. Membuat pria itu panik seketika. Apakah... itu dia? Apa secepat itu? Apakah sekarang mereka hanya terpisahkan sebuah pintu?
***
Sebelah tangan Hafa yang memakai arloji memegangi handle pintu sementara tangan lainnya sibuk menggeledah tas selempangnya, mencari-cari dimana ponselnya berada. Sejak semenit lalu ia merasakan benda itu bergetar cukup keras menandakan sebuah panggilan masuk. Dan seperti biasa, gadis itu cukup kesulitan menemukan ponselnya di tengah lautan barang-barang dalam tasnya. Tas ajaib yang berisi lebih banyak camilan dan bekas-bekas bungkus makanan daripada barang lainnya.
Ia berhasil menemukannya di panggilan kedua.
Teteh Ayla?
"Halo?" sapanya, buru-buru menempelkan ke telinga. Nomor yang menghubungi adalah milik Teh Ayla, tetangganya, namun yang menelepon adalah saura anak kecil yang ia kenali. "Iya, kenapa, Nasya? Ayes? Ayes kenapa lagi?
Sementara Nasya di seberang sana menjelaskan, Hafa menarik napas, pegangannya pada pintu terlepas.
"Iya, Teteh pulang sekarang, ya. Bilangin, jangan nangis!"
Usai mematikan telepon dan menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas, Hafa berbalik. Sempat, ia menoleh pada pintu yang menjulang di depannya. Hanya sebuah pintu, yang mungkin menyimpan satu rahasia besar. Atau tidak. Ia tidak sempat memikirkan kemungkinannya karena berita tentang Ayres telah membuyarkan segalanya.
Jadi ia berlari, menjauhi Levant. Menjauhi Kepala Mumi.
***
"KEJUTAN!!!"
Sedetik lalu Levant buru-buru menoleh ke arah pintu dengan senyum tipis yang tidak ia sadari itu. Namun sedetik berikutnya, senyum itu mengabur sebelum menghilang total pada akhirnya. Tatapannya dingin tanpa ekspresi, seperti Levant biasanya.
"Ada apa?"
"Kamu nggak kaget?" Leona merengut, wajah datar itu sama sekali bukan reaksi yang ia harapkan.
"Enggak."
Leona Karlesha Bekker mendengus. Lantas ia segera melangkahkan heelsnya lebih dekat ke arah Levant dan melempar ke atas meja nakas di samping tempat tidur sekeranjang buah.
"Kamu nggak terharu gitu? Aku bela-belain nungguin kamu, tahu."
"Terharu."
Leona semakin mendengkus. Masalahnya, wajah Levant tidak menunjukkan haru sedikitpun. Garis bawahi ini, sedikit pun.
"Untung aku lagi malas berdebat," omelnya, bersedekap. "Sekarang cepat beres-beres. Kita pulang!"
"Pulang?"
"Yup! Dokter bilang kamu sudah boleh pulang! Tante juga sudah pulang lebih dulu. Beliau mau bikin pesta penyambutan buat kamu."
Dibantu seorang perawat Rumah Sakit serta dua orang asisten rumah tangga laki-laki yang dibawanya dari rumah Levant, mereka bergerak cepat memindahkan Levant ke kursi roda. Pria itu nyaris tidak bisa melawan dengan tubuhnya yang lemas dan suaranya yang parau. Sebenarnya, ia keberatan dipindahkan. Bukan karena ia mencintai rumah sakit, tetapi karena ... ada urusan yang belum ia selesaikan.
"Mr. CEO, saatnya kita pulang!" seru Leona gembira. Gadis itu jarang menunjukkan senyum lebar seperti sekarang. Di lain waktu, Levant mungkin bisa menggodanya. Tidak hari ini. Karena hari ini, pikirannya telah dipenuhi sesuatu, seseorang, tepatnya.
Dan sementara Leona mendorong kursi roda Levant semakin jauh meninggalkan ruangan, Levant terus menoleh ke belakang, merasa enggan untuk pergi. Tidak sebelum ia bertemu dengan peri hujan itu.
Mereka sudah begitu dekat. Hanya terpisah satu buah pintu. Namun kenapa... takdir belum mengijinkan bertemu?
***
uwu maaf kalian belum beruntung, mereka belum ketemu. Heheh~
See you on the next part. Jangan lupa vote dan komennya. Love ya ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top