10. Kepala Mumi
Rasanya.... suara ambulan yang keras masih terngiang-ngiang di telinga. Hafa merapatkan jaket besar yang tersampir di pundaknya, merasa kedinginan.
Kejadian itu berlangsung dengan cepat, dan berlalu dengan cepat pula, kecelakaan itu, tanpa Hafa bisa mengambil waktu untuk mencerna. Tahu-tahu sirine ambulan telah meraung-raung, orang-orang berkumpul, dan Hafa ditarik paksa.
Ia ingat melihat Daru dengan cepat melompat pada sosok yang baru dikeluarkan dari dalam mobil itu, dengan cekatan memeriksa tanda-tanda vitalnya, memberikan pertolongan pertama. Ia ingat petugas berseragam datang, meletakkannya di atas tandu mereka, lalu Daru melompat bersamanya ke dalam ambulan.
Usahanya untuk mengikuti pria itu terhalang pintu yang tertutup, petugas medis dan kepanikan di dalam dirinya sendiri. Ia bahkan tidak tahu bagaimana ia bisa tiba di rumah sakit ini, menumpangi mobil siapa, ia tidak ingat sama sekali.
"Bukan salahmu."
Suara itu familiar. Hafa yang berjongkok dengan tubuh menyandar pada dinding mendongak, menemukan Daru yang ikut berjongkok di hadapannya.
"Hafa? Tenangkan diri kamu," kedua tangannya menangkup kedua tangan Hafa yang gemetar, dingin. Matanya yang sayu terlihat begitu khawatir. "Dengar, ini bukan salah kamu. Ini murni kecelakaan. Tolong, jangan salahkan diri kamu, oke?"
Kedua mata milik Daru menguncinya, berusaha memahamkannya bahwa ... tidak apa-apa, dia tidak salah. Dan hal itu membuat tubuh Hafa bergetar kemudian. Semua rasa panik, sesal, ketakutannya seolah ingin meluap. Ia menyimpan wajahnya ke antara dua lutut, lalu ketika ia mendongak kembali, airmata kembali mengalir di pipinya.
Bibirnya gemetar. "Aku seharusnya...." Air matanya deras di pipi, menyedaknya. "Aku seharusnya nggak berdiri di sana. Aku... Aku cuma..."
Ucapannya terhenti di pundak Daru. Pria itu memeluknya, erat. Dan Hafa tidak ragu untuk menumpahkan airmatanya di sana, meskipun harus membasahi jubah dokter yang Daru kenakan. Ketika reda, Daru membimbingnya bangkit, mendudukkannya di bangku tunggu pasien.
"Dengar Hafa. Jangan cemas," bisiknya. Tangannya terulur untuk menyingkirkan helai rambut yang berada di wajah Hafa. "Kami akan berusaha yang terbaik untuk menyelamatkan dia. Dan semuanya berada di tangan Tuhan, ingat? Kamu jangan takut. Doakan yang terbaik untuknya."
Hafa mengangguk. Kedua tangannya yang terkepal erat terbuka, menampakkan arloji hitam itu masih di sana, tidak pernah ia tinggalkan.
Sementara di belakang mereka, pintu ruang operasi terbuka. Dokter yang Daru tunggu muncul di ujung koridor, bersama para asisten bedah. Daru sekali lagi membisikkan kalimat menenangkan pada Hafa. Lalu meninggalkannya bersama arloji yang tidak pernah Hafa lepaskan itu.
***
Seperti tidak pernah habis, Daru memperhatikannya. Gadis itu tengah tertidur dengan kepala terkulai ke samping dalam posisi duduk di depan ruang operasi. Masih dalam posisi yang sama seperti beberapa jam lalu ketika Daru meninggalkannya.
Operasi barusaja selesai kala itu, setelah memakan waktu hampir lima jam. Tubuhnya penat, meminta diistirahatkan. Namun begitu menemukan Hafa seperti sekarang, ia tahu gadis itu menanggung penat yang sama.
"Sudah malam, Hafa. Kenapa kamu masih di sini?"
Daru berjongkok di hadapan Hafa, jaket yang ia pinjamkan, yang terkulai dari pundak Hafa ia benarkan kembali. Kemudian, ia menyentuh pipi gadis itu yang dingin, sebelum mengguncang pundaknya pelan.
"Hafa, bangun."
Dapat ditebak, usai Hafa terbangun, mengusap kelopak matanya yang berat, kalimat pertama yang meluncur dari bibirnya adalah, "Bagaimana keadaannya?"
"Operasinya berjalan lancar."
"Apa aku boleh melihatnya."
Daru menggeleng. "Kamu tentu tahu itu tidak dibolehkan. Dia belum bangun. Kami akan terus memantaunya."
"Tapi... aku-"
"Aku tahu. Kamu bisa kembali lagi besok."
"Pak Dok─"
"Pulang, Hafa. Dia tidak akan bangun karena kamu menungguinya. Sebaliknya, Ayes membutuhkan kamu di rumah. Kamu tidak ingin membuatnya khawatir, kan? Saya sudah menelponkan taksi buat kamu, jadi cepatlah bersiap."
"Tapi-"
"Sssh. Cepat sana!" pria itu memutar pundak Hafa dan mendorongnya agar gadis itu menjauh. Dan meski terus menoleh ke belakang, Hafa akhirnya mau pulang juga dengan bisa dipastikan ia akan kembali esok.
Di sela lelahnya, Daru tersenyum tipis. Tidak mengherankan jika besok ketika ia kembali bekerja ia menemukan Hafa sudah lebih dulu berada di sini. Gadis itu mungkin juga akan meneror Daru semalaman Dan Daru sama sekali tidak akan keberatan, hanya khawatir. Ia selalu khawatir dengan gadis itu. Takut ia terjatuh di atas kakinya sendiri, takut ia terluka, takut ia ceroboh dan mencelakakan diri sendiri. Ia begitu menempatkan Hafa di atas segalanya sehingga perasaannya menjadi seperti sekarang. Seharusnya, yang Daru khawatirkan adalah hatinya sendiri.
Tepat ketika pemuda itu berbalik begitu Hafa menghilang di tikungan koridor, dari arah sebaliknya, seorang wanita setengah baya berlari mendekatinya. Wajahnya pucat dengan mata yang sembab. Dan pakaiannya, adalah seragam rumah sakit untuk pasien. Beberapa orang mengekor di belakangnya, tampak panik dan bingung mencegah agar wanita itu tidak berlari.
"Pak Dokter! Anak saya... Levant... Apa Levant di dalam? Bagaimana keadaannya?!"
***
Hafa tidak bisa tidur malam itu, tidak tahu kenapa. Berkali-kali, ia harus bolak-balik di tempat tidur sambil mengamati jam tangan kecil di tangannya.
Si Kepala Mumi, apa kabar anak itu sekarang? Satu kalimat pertanyaan itu tiba-tiba saja melintas di benaknya. Dia baik-baik saja, kan? Dia mendoakan anak itu agar sembuh sehingga ibunya tidak perlu menangisi Kepala Mumi lagi. Ia hanya sempat bertukar kado dengan anak itu, tanpa pernah saling bicara atau sekali saja, melihat wajah. Ia tidak tahu bagaimana rupa anak itu dan tidak tahu bagaimana suaranya. Ia ingin menyapanya ketika dia sudah bangun. Tetapi esoknya, ketika Hafa kembali untuk menemuinya lagi, anak itu sudah tidak ada. Ia sudah dibawa pulang.
Hafa mengubah posisi tidur lagi. Pikirannya sekarang kembali pada pria yang mengalami kecelakaan kemarin, dan satu perasaan familiar menyerangnya. Sayangnya, ia tidak tahu itu apa. Apa ia mengenal pria itu? Ia tidak sempat melihat wajahnya, tidak sanggup, darah melumurinya dimana-mana. Ia ingin ketika pagi tiba besok, ia sudah berlari ke Rumah Sakit dan kembali mengecek keadaannya. Tapi tentu Daru akan mengusirnya. Lagipula ia harus mengurus Ayres, bocah yang sekarang tidur pulas di sisinya.
Tsk.
Hafa berguling lagi di spasi sempit di samping Ayres. Sepertinya benar-benar harus menunggu hingga pulang kerja. Sampai saat itu... semoga pasien itu baik-baik saja, semoga dia masih hidup, atau semoga dia belum pulang, doa gadis itu.
***
"Batalkan semua pemotretan!" Leona berseru keras di telepon. Dia masih begitu berantakan, jelas sehabis bangun tidur. Tetapi ada sesuatu pagi itu yang membuatnya dua kali lipat lebih berantakan dari sekedar sehabis bangun tidur yang panjang.
Dia terbangun cukup pagi-pagi menurutnya adalah jam sepuluh dan waktu ia untuk bangun biasanya jam sebelas jika di hari libur- karena suara telpon yang begitu berisik. Ia hampir saja menyumpah tanpa melihat siapa yang menelpon. Dan bersyukur sekali belum sempat melakukannya karena orang yang menelpon di seberang sana adalah Ayudya Devara, ibunda dari Levant Elenio Devara, calon mertuanya. Sulit membayangkan ibu Levant membatalkan semua pertunangan mereka, dan Leona sama sekali tidak ingin bahkan sekedar membayangkannya.
Omong-omong, tumben sekali Ibu Levant menelponnya? Gerutunya dalam hati.
Berita yang kemudian disampaikan wanita itu tidak bisa dikatakan menyenangkan, justru membuat Leona kalang kabut dan hampir jatuh dari tempat tidur mendengarnya. Bisa dimengerti, sejak kemarin ia putus asa menghubungi Levant tanpa mendapat balasan. Ia mencoba menjelaskan kesalah pahaman kemarin, meski tahu Levant keras kepala, dan pencemburu. Hanya berakibat pada ponselnya yang lecet karena ia banting. Lalu tiba-tiba, pagi-pagi ia mendengar bahwa Levant, pria itu, mengalami kecelakaan, sekarang sedang dirawat di Rumah Sakit dan belum sadarkan diri.
Tunangan mana yang tidak panik?!
Sekarang ia barusaja selesai mandi, nyaris menghancurkan kamarnya dalam usaha mencari pakaian yang pas untuk ke Rumah Sakit, ketika Bestari, managernya, menelepon.
"Kamu nggak bisa seenaknya begitu dong, Leona!" seru Besta tidak terima atas gagasan Leona untuk membatalkan seluruh jadwal pemotretan. Tentu saja tidak semudah itu. Di mana ia akan menaruh muka dan mencari uang ganti rugi atas pembatalan kontrak itu?!
"Kamu mau memecatku? Terserah! Now just shut you fcking mouth 'cause I don't give a flying fck! I'm going to the hosiptal!"
"Tunggu! Rumah Sakit! Kamu sakit?!" suara pria di seberang sana berubah terdengar panik.
Leona sedang memasang sebuah sweter warna merah gelap saat itu, sebelum kembali mendekatkan ponsel ke mulutnya dan mendesah.
"Not me. Kamu lagi sama Aiden, kan?"
"Iya, kenapa?"
"Suruh siap-siap karena malaikat maut bakal menjemput dia nanti! Aku sendiri yang bakal nganter!"
Besta terdengar menahan tawa geli, sebelum akhirnya mendesah panjang. "Ih se Eneng jahat banget itu mulutnya. Kamu tahu kan Aiden itu gampang nangis, jangan kejam-kejam lah. Emangnya dia abis ngapain?"
"Tanya sendiri!"
"Leona, kamu kenapa sih pagi-pagi udah tegangan tinggi aja? Emangnya ada-"
Tut.. tut...
"-apa..."
Sambil mengesah dan mengangkat bahu, Besta menutup ponselnya setelah sambungan yang diputuskan Leona secara sepihak. Sudah biasa terjadi. Malang benar nasibnya, tidak punya harga diri sebagai seorang manager.
"Apa kata Leona?" tanya Aiden yang duduk tepat di hadapan Besta, memperhatikan wajah Besta mengerucut kesal setiap ia bicara dengan Leona, sambil sesekali menyeruput milkshakenya.
"Dia katanya mau bawain ngenalin elo sama malaikat Izrail. Ada pesan terakhir?"
Aiden mendengkus. "Bilangin kalo gue cinta mati sama dia."
"Najis." Besta nyaris tersedak. Ia mengedarkan pandang pada keadaan di sekitar kafe Inggris yang barusaja mereka kunjungi, untung tidak ada yang mendengar. "Lagian ngapain sih cinta mati sama cewek yang lebih mirip Mak Lampir kayak gitu? Ya cantik sih cantik. Tapi sadar diri dong, bro. Dia tingginya menyamai tiang listrik!"
Aiden memandangi ponselnya di atas meja, dimana yang menjadi wallpaper layar ponsel itu tentu saja wajah seorang Leona Karlesha.
"Does love needs a reason?" gumamnya, tidak lepas memandangi foto Leona. "Or does it know its level?"
Besta kembali memasang tampang jijiknya. "Mulai deh, mulai. Bucin dipelihara." Ia mengaduk minumannya keras guna mengenyahkan image Aiden yang baru saja mendayu-dayu dari kepala. "Tapi serius, dia kayak marah banget tadi," ujar Besta lagi seraya menyesap strawberry milkshakenya.
"Kenapa?"
"Nggak tahu. Levant atau siapalah itu, tunangannya itu, katanya kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di Rumah Sakit. Kamu tahu, kan, dia itu suka stress sendiri cuma karena itu? Ya moga-moga sih tunangannya nggak kenapa-kenapa ya, nggak ngerti juga."
Mengabaikan kalimat Besta yang terakhir, Aiden menghentikan seluruh aktifitasnya, bahkan bernapas. Ia tercenung sejenak, menatap Besta dengan bola mata melebar.
"Levant kecelakaan?!"
"Hm, jadi dia membatalkan semua pemotretan." Besta mendesah.
Tepat saat itu, pesanan sarapan mereka datang, dua piring berisi setumpuk wafel dengan toping blueberry.
"Why it comes so late?" protes Besta.
Gadis yang mengantar pesanan itu hanya menunduk sambil menggumamkan maaf yang nyaris tidak terdengar. Besta menatapnya. Cantik, bukan... manis lebih tepatnya. Kesan yang pertama ia dapati ketika melihat gadis itu. Kulitnya putih seperti iklan body lotion, terlihat dari tangannya yang sedang menaruh piring-piring kecil berisi menu sarapan yang dipesan di atas meja. Tapi tunggu, berbicara soal tangan, ada yang janggal dengan gadis itu.
"Mbak, kok pakai jam tangan cowok?" tanyanya langsung.
Gadis itu tersentak dan saat itulah Besta menatapnya seolah berusaha menyelidiki.
"K-kenapa, memangnya?"
"Oh, enggak," ia melibaskan tangan, lalu tersenyum, yang bagi Aiden, aneh.
Pendapatnya baru Besta utarakan usai gadis itu menghilang kembali ke dapur, menyisakan mereka berdua, sepasang anak SMA yang sedang main game di ponsel di sudut lain, seorang gadis berjilbab di sofa terjauh, dan pelayan berambut pendek di balik meja bar.
Besta mencondongkan tubuh. "Liat nggak, sih? Jam tadi... kayak nggak pas banget. Itu jam buat anak cowok. Merk mahal pula. Apa jangan-jangan dia..."
"Nyuri?" Aiden menyelesaikan pertanyaan itu untuknya, ada nada tidak suka dalam suaranya yang ditujukan untuk Besta. "Udahlah nggak usah ngurusin orang. Suudzon terus nih."
"Yah, aneh, abisnya."
Aiden tidak berusaha menanggapiya lagi. Ia mulai menggigit makanannya yang terlambat datang itu dan teringat sesuatu.
Pernah sekali, ia menderita migrain hebat hanya karena harus menemani Leona berbelanja hadiah. Hari itu tanggal 2 februari, besoknya adalah ulang tahun Levant, dan Leona panik setengah mati. Aiden sudah mencoba menawarkan alternatif hadiah yang terus-terusan gadis itu tolak. Sampai akhirnya idenya sampai kepada sebuah jam tangan.
"Enggak! Nggak bakal diterima!" sanggah Leona langsung.
"Kenapa? Cowok biasanya seneng, loh, dapat hadiah jam tangan mahal. Rolex, mungkin?"
"Levant enggak kayak gitu," jawab Leona muram. "Tahun lalu ayahnya ngasih Rolex aja dikembaliukan. Kamu tahu, dia memakai satu jenis jam tangan aja yang modelnya kuno. Fossil Men's model yang sama dengan yang ia pakai dari kecil, nggak pernah mau ganti. Kalau rusak, diperbaiki, atau nggak, dia mesan yang modelnya sama persis. Menurut kamu, dia sepelit itu?" tanya Leona waktu itu, setengah putus asa.
Dan Aiden hanya bisa menatap manik berlensa kebiruan itu. Ia lebih suka manik Leona yang asli, cokelat gelap, tetapi ia juga tidak pernah keberatan dengan apapun yang gadis itu pakai. Leona akan selalu menarik di matanya. Meski dalam keadaan frustasi seperti saat itu.
Kemudian, jawaban yang ia berikan pada Besta sama dengan jawaban yang ia berikan pada Leona saat itu. Masih belum berubah.
"Menurutku... dia punya kenangan berharga dengan jam tangan itu."
***
It's getting dramatic!!! *cries* and probably boring too.
Just... terimakasih yang udah membaca sampai akhir tanpa kabur. I love you <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top