09. Lucky Charm

Happy reading!

***

"Pak Dok, kita mau kemana? Lewat tol segala."

Hafa memutar lehernya, menyapukan pandang pada gerbang tol yang baru saja mereka lewati, kemudian kembali pada Daru dengan alis masih berkerut keheranan. Karena... bagaimana tidak? Daru tiba-tiba meneleponnya, menanyakan keberadaannya, lalu tiba-tiba saja sudah datang ke hadapan. Sepedanya segera pria itu masukkan ke dalam bagasi mobil tanpa meminta persetujuan. Hafa bahkan dapat melihat setang sepedanya atau keranjang kuningnya yang menyembul.

Dan sekarang, setelah menculiknya sedemikian rupa, pria itu masih tidak bersedia menjelaskan tujuan mereka.

"Ada.... pokoknya kamu bakal tahu."

Hafa bersedekap, matanya dipicingkan menatap Daru. "Apa saya sedang diculik? Pak! Ginjal saya ini nggak sesehat itu.Keseringan makan mi instan dan minum obat maag, ginjal saya nggak bakal laku kalau Pak Dokdok mau jual!"

Daru tergelak. "Kamu tenang aja. Saya nggak nyulik, kok. Daging kamu alot, susah dipotong nanti," balasnya, melirik ke arah Hafa dan kembali terkekeh mendapati ekspresi tidak terima gadis itu. "Kalo saya mau nyulik kamu juga, siapa yang nebus?"

"Ish! Pak Dok!" Hafa mencubit lengannya, cukup keras hingga membuat Daru berjengit.

"Hafa, no. Kita lagi di jalan."

"Pak Dok, nih! Kasih tahu, nggak?!"

"Oke, oke, kita ke Cimory."

"Peternakan sapi itu?"

"Hm."

"Itu kan jauh! Terus Ayes gimana?" Ntar dia nyariin."

"Ayes udah di sana. Sama Teh Ayla."

"Kok nggak bilang-bilang? Terus, kita ke sana mau ngapain?"

Daru mengangkat satu tangannya yang bebas, memberikan tanda berhenti bagi Hafa. "No more question, I've spilled too much tea already."

Sementara Hafa merengut, Daru tersenyum. Ia menyukai ekspresi gadis itu ketika sedang merajuk. Ia juga tidak sabar menunggu ekspresinya berubah seketika, begitu melihat apa yang menanti di sana. Sebuah kejutan. Ayla membantunya menyiapkannya, kejutan kecil-kecilan itu.

Gadis itu lupa, bahwa hari ini dia berulang tahun.

Hafa bilang ia lahir di Bandung, namun belum pernah pergi ke tempat-tempat yang jauh bahkan masih di provinsi yang sama; peternakan sapi, perkebunan stroberi, camping ground yang ada rusanya itu. Masa kecilnya tidak seindah dan semudah anak-anak lainnya, Daru tahu itu. Masa remajanya dihabiskan untuk menjadi dewasa, bekerja, merawat ibunya yang sakit, dan merawat adiknya yang masih bayi. Sekarang, Daru hanya ingin mewujudkan impian gadis itu satu-persatu.

Sementara Hafa akhirnya memilih menghempaskan punggungnya di sandaran jok mobil dan menoleh ke luar jendela, merasakan angin menampar pelan wajahnya ketimbang menyaksikan Daru yang tersenyum geli dan penuh rahasia. Ia mengacak-acak tas pundaknya, menemukan kembali jam tangan kecil berwarna hitam yang hampir tidak pernah ketinggalan ia bawa kemana-mana, selayaknya jimat pelindung. Benda itu, benda yang bukan miliknya, namun memiliki arti yang demikian penting selama lima belas tahun ini. Satu-satunya barang berharga yang ia miliki.

***

Bandung, 2005.

Aku masih ingat rasanya. Tidak punya teman karena anak-anak perempuan di sekolah tidak bersedia bermain dengan anak yang tidak punya boneka barbie, tidak punya jepit rambut kupu-kupu dan bandana yang saat itu sedang trend, dan memakai sepatu robek. Mereka juga tidak menyukaiku karena aku tidak tahu siapa itu Pangeran Shin dan Pangeran Yeol, atau Princess Hours yang kerap mereka bicarakan.

Jadi aku bermain di rumah sakit, merecoki Kak Daru. Ayahnya seorang dokter dan ia bercita-cita sama, ia ingin jadi dokter juga. Ia sering diajak ke sini, menunggui ayahnya hingga selesai bekerja.

Semuanya normal, sampai pada satu hari, aku tersesat. Tahu-tahu aku berdiri di depan kamar rawatnya. Seorang anak laki-laki sebayaku. Dia sedang sendirian dan tampak kesepian. Meski ia tidak mengatakannya, meski aku tidak bisa melihat wajahnya. Aku tahu ia kesepian.

Anak laki-laki itu... dia memakai perban menutupi seluruh kepala sampai wajahnya. Aku menyebutnya 'kepala mumi', karena dia seperti memang mumi di film-film yang kutonton di rumah Kak Daru, rumahku tidak punya TV, omong-omong.

Kemudian, aku mengunjunginya setiap hari. Menemaninya dan meceritakan padanya dongeng tentang peri hujan, dongeng kesukaanku yang dulu selalu diceritakan ibuku. Aku pikir ia akan menyukainya, aku bisa merasakan ia tersenyum kecil dalam tidur panjangnya.

Aku ke sana setiap hari, dan berencana seperti itu terus sampai ia sadar. Ketika ia benar-benar bangun, aku ingin kami bisa bermain bersama. Namun ternyata anak itu tidak benar-benar sendirian. Beberapa kali aku melihat ibunya, menangisinya setiap hari. Tapi tetap saja, anak itu bandel dan tidak bersedia bangun. Jadi hari itu, tepat tujuh hari setelah aku terus menerus mengunjunginya, aku membujuknya, memaksanya untuk bangun. Aku menangis, dan berdoa pada peri hujan semoga ia bangun agar ibunya berhenti bersedih.

Hari itu aku tahu, bahwa besok ia akan bangun. Aku tidak tahu apakah ia akan senang melihatku. Namun ada suatu perasaan kuat yang mendesakku untuk bertukar kenang-kenangan dengannya, meski ia sedang tidur dan tidak bisa menjawabku. Aku pasti kurang ajar sekali.

"Kepala mumi, mau tukeran kenang-kenanganm nggak? Jadi saat kamu bangun nanti, kamu langsung bisa menemukanku."

Aku melepaskan gelangku. Sebuah gelang perak dengan lima buah semanggi berdaun empat yang menggantungi rantai-rantai kecilnya. Gelang keberuntunganku. Kenang-kenangan terakhir dari Ayah sebelum ia pergi. Harta paling berhargaku. Aku menyebutnya gelan peri.

Aku memasangkan gelang itu di tangannya. Tampak lucu.

"Ini gelang peri, simpan baik-baik, ya? Aku bakal marah kalau sampai hilang! Terus... boleh, nggak, aku menyimpan jam tangan kamu? Agar kita bisa saling menemukan."

***

Jam tangan kecil itu tergenggam erat di tangan Hafa. Ia benar-benar menjaganya dengan sangat baik selama lima belas tahun ini. Tidak tahu alasannya, tetapi ia menjadikan arloji itu benda pusakanya, kenangan berharganya. Sama tidak tahunya ia dengan alasan kenapa ia tidak bisa melupakan bocah kepala mumi lima belas tahun lalu itu.

"Hafa? Kamu melamun?" Daru menegur, tangannya mengibas, hingga menyentak Hafa kembali ke dunia nyata.

Gadis itu berjengit, meminta maaf, lalu cepat-cepat membenarkan duduknya diiringi senyum simpul. Kembali, ia menatap ke luar jendela. Mereka masih berada di jalan tol yang sama, dimana kendaraan melaju kencang di sekitar, tanpa hambatan. Hafa melongokkan kepalanya lebih jauh melewati kaca jendela, merasakan angin menghembuskan rambutnya, menepuk-nepuk lembut pipinya, membisikinya dengan udara segar.

Daru yang memperhatikannya di sela-sela menyetir tersenyum dan menggeleng. Tidak heran sama sekali. Ia hapal persis tabiat gadis ini.

"Ei! Jangan gitu, nanti kepala kamu kenapa-kenapa," tegurnya. Bagaimanapun, bukan pilihan yang disarankan untuk mengulurkan kepala keluar dari mobil, meskipun hanya separuh. Bahaya.

Hafa menarik kembali tubuhnya dan menyandar. Senyum di bibirnya lenyap, berganti cebikan dan gerutuan pelan.

"Hey, saya cuma nggak mau kamu kehilangan kepala, oke? Nanti muncul di film horor kamu mau?" kekehnya, membuat Hafa semakin memajukan bibirnya kesal.

Sementara senyum Daru, sulit dihentikan. Ia suka mencuri pandang pada gadis itu meski ia sedang marah, seperti sekarang. Ia tampak selalu cantik di matanya. Hanya... apakah ia cukup tampan di mata gadis itu? Apakah pernah gadis itu menatapnya dengan cara yang sama seperti saat ia menatapnya? Sebagai seseorang yang ia inginkan sebagai pendamping seumur hidup, bukan hanya tetangga dan teman.

Pikiran Daru kembali bercabang. Ia menggeleng dan berusaha mengembalikan fokus ketika tiba-tiba saja, mobil di depannya berhenti. Sebuah truk pengangkut pasir terguling di tengah aspal. Refleks, Daru menginjak rem dengan keras, berharap tidak terjadi kecelakaan beruntun yang menyeretnya dan Hafa. Ban berdecit nyaring saat ia berputar kehilangan kendali, sebelum kemudian mobil itu terlonjak keras dan terhenti. Mereka berdua bahkan hampir saja terlempar ke depan kaca jika tidak ingat untuk mengenakan seatbelt. Hafa. Kata pertama yang terlintas di benak Daru lebih daripada kepeduliannya dengan keselamatan dirinya sendiri. Ia segera menoleh ke samping dan menemukan gadis itu terguncang.

"Hafa? Kamu nggak apa-apa?!"

Gadis itu tidak menjawabnya. Segera setelah keterguncangan sesaatnya, Hafa tampak panik mencari-cari di dalam mobil dan semua tempat yang bisa ia gapai.

"Arloji... arloji saya mana?!"

Kemudian ia menghentikannya begitu matanya menangkap satu bayangan di luar jendela. Berkilauan di atas aspal jalanan, tampak adalah kaca dari arloji yang ia cari-cari. Terlempar sejauh itu.

Sebelum Daru sempat menahannya, gadis itu telah keluar dari mobil, mencuri kesempatan di antara mobil-mobil yang belum berhenti melaju untuk sampai ke tengah jalan dan memungut arlojinya. Ia berhasil awalnya, arloji itu berhasil ia dapatkan kembali. Tetapi apa yang terjadi ketika dia mengambil beberapa detik waktu untuk sekedar menunduk dan mengambil arloji itu tidak pernah ia perhitungkan. Atau tepatnya, tidak sempat ia pikirkan.

Sebuah Porsche Panamera Turbo berwarna hitam metalik melaju begitu kencang, tepat ke arahnya. Dan dalam keterkejutannya gadis itu tidak mampu menggerakkan satu inchi saja kakinya. Tidak mampu menghindar atau sekedar berteriak. Otaknya terasa lumpuh. Ia sudah berpikir ia akan mati detik itu ketika tiba-tiba mobil itu membelok secara membabi buta, menabrak mobil lain dan menyebabkan kecelakaan beruntun di sana.

Porsche itu terseret dalam gesekan mengerikan sebelum akhirnya terpental dan terbalik sejauh beberapa meter. Bunyi begitu banyak klakson seketika memekakkan telinga, di tengah-tengah jalanan yang berhenti beraktifitas, seperti ada perhentian waktu untuk sesaat. Hafa masih membeku di tempatnya di tengah jalan yang mendadak ribut itu. Tidak bergerak sedikit pun.

Kemudian, tahu-tahu ia sudah menemukan dirinya berjalan ke arah mobil itu, yang kerusakannya tampak begitu parah. Hampir tidak berbentuk, dan seluruh kacanya nyaris pecah. Ia melihatnya, seorang pria dengan jas hitam. Tidak bergerak dari posisinya yang terjepit. Cairan merah tampak mengalir dari sana. Ia berjalan lebih dekat untuk melihat wajah pria itu, dan mungkin melakukan sesuatu apapun yang ia bisa untuk menolongnya tepat ketika seseorang menarik dan memeluknya.

"Pak Dok?" suara gadis itu bergetar.

"Kamu nggak, pa-pa" Daru melonggarkan pelukannya sedikit untuk menatap Hafa panik, tidak ada ekspresi lain di wajahnya selain kecemasan. Ia memeluk gadis itu lagi, lebih erat. Seolah jika ia tidak melakukannya, ia akan kehilangan Hafa. Ia hampir kehilangan Hafa.

"Pak Dok... Ini semua... salahku."

***

Hmm gimana? Apa Pak Payung akan baik-baik saja?

Ini nggak akan menjadi cerita se-angst Paper Hearts, tapi juga bukan cerita seringan Rindang. Akan ada konflik. Penasaran? Pantengin aja terus

Sampai ketemu di chapter selanjutnya. Terimakasih atas vote dan komen-komennya <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top