08.Up-side Down

Teteh Hafa absen dulu, ya di part ini. 

***

"Pak Levant? Anda—"

Sekretaris Levant langsung berdiri kaget begitu menemukan atasannya datang ke kantor dalam keadaan... begitu berbeda. Biasanya pria itu akan terlihat sangat rapi, wangi, dengan pakaian branded yang debu saja tidak berani menempel. Dengan rambut ditata rapi, menampilkan jidatnya yang membuat para wanita suka lupa diri. Mereka menyebutnya kesempurnaan berjalan. Namun kali ini, Levant tampak basah, pucat, dan berantakan.

Hanya sorot mata dinginnya yang tidak berubah. Ia tidak berhenti untuk sekedar mendengarkan kekhawatiran bawahannya itu melainkan langsung masuk ke ruang kantornya. Sekarang sudah lewat dari pukul empat, rapat seharusnya sudah dimulai. Namun rasanya tidak mungkin juga ia langsung menghadirinya dalam penampilan tidak layak seperti sekarang.

"Bawakan saya pakaian ganti. Cepat," perintahnya ketika akan memasuki ruangan.

"Baik, Pak."

"Dewan direksi sudah datang semua?" Ia berhenti sejenak di depan pintu, menatap sekretarisnya, yang balik menatapnya dengan keraguan.

"Sudah, sepertinya," ujarnya, wajahnya menunjukkan jelas sekali pertimbangan. Dan ketika berbalik untuk melanjutkan aktivitas, ia membulatkan tekat. "Pak Levant, tadi beberapa kali ada telpon penting dari rumah, saya diminta untuk menyampaikannya segera pada anda."

Secara natural, alis Levant berkerut samar. "Ada apa?"

"Nyonya besar... penyakitnya kambuh. Sekarang sedang dibawa ke Rumah Sakit."

Gerakan Levant yang hampir memutar kenop pintu terhenti. Rasanya sedetik dari dunianya berhenti. Ibunya sakit lagi?

"Ayah mana?"

"Sedang menghadiri rapat direksi."

"What?"

***

Pintu menjeblak terbuka, dan seketika, seluruh pasang mata di ruangan itu tertuju ke arah yang sama. Levant muncul di ambang pintu, masih sama berantakan dengan sebelumnya. Yang berbeda hanya matanya. Seolah ada sesuatu yang terbakar di mata itu. Ia tidak berbasa-basi. Tatapannya hanya terpusat pada satu orang, yaitu seorang pria paruh baya yang duduk di ujung meja, di kursi yang menandainya sebagai pemimpin rapat.

Arun Aditya Devara, pria lima puluh tahun dengan wajah kaku itu, bangkit berdiri. Mulutnya menggeramkan kemarahan yang tidak bisa ia tahan-tahan.

"Park Levant! Apa yang anda sedang lakukan dengan penampilan seperti ini?! Kenapa─"

"Ayah," sela Levant tiba-tiba, memanggil pria itu Ayah alih-alih predikat formal. Tatapannya dingin menusuk. "Apa Ayah sudah tahu Ibu masuk rumah sakit? Maag-nya pasti kambuh lagi."

"Lalu?" balasnya di sela mulutnya yang merapat. "Saya harap ini adalah terakhir kali anda berbuat ceroboh. Lain kali saya tidak akan menolerir sikap tidak professional─"

Levant berdecih sebagai selaan. Kekehan sarkastik terkembang di bibirnya.

"Tidak profesional, ya?"

Ia menatap pria itu dengan sorot kebencian yang lebih-lebih, kebencian yang berlipat-lipat setiap harinya. Sebaliknya, Arun Aditya menatap putra tunggalnya dalam percampuran antara perasaan marah dan malu dikarenakan banyaknya orang yang menonton mereka saat ini. Semua orang penting dalam bisnis mereka tengah berhadir; para pemegang saham, dewan direksi. Dan Levant mengacaukan rapatnya.

"Saya mau menjenguk Ibu saya dulu. Silakan kalian rapat."

Dengan senyum mengejek, Levant pergi dari pria itu dalam langkah lebar. Persetan dengan Ayah! Ia sudah kehilangan Ayah sejak masih kecil sekali.

***

Di dunia ini...

Aku...

Benar-benar sendirian

Tidak ada yang bisa mendengarku. Tidak mau. Kenapa?

Levant terus mengemudikan mobilnya cepat, sebuah Porsche Panamera Turbo berwarna hitam metalik yang telah disiapkan sang sekretaris, menuju Rumah Sakit. Tanpa supir. Ia menyukai kebebasan. Menyukai kesendirian. Atau... karena suka dan terbiasa hanya mempunyai perbedaan sangat tipis.

Beragam kenangan, setiap kata, teriakan, masalah, bahkan amarah bergumul dalam pikirannya.

Leona... gadis sialan itu. Dia pikir gadis itu mencintainya, seperti ia yang mencintai gadis itu. Yah, dia pikir dia menyukai Leona. Mereka sudah bersama sekian tahun. Jadi bagaimana mungkin bahkan gadis itu berselingkuh dengan pria lain?! Brengsek! Ayahnya lebih brengsek lagi. Arun Aditya Devara, adalah pria keparat paling brengsek yang pernah ia temui. Pria yang menikahi ibunya namun bercinta dengan uang dan jabatan. Bagi pria itu, istrinya, ibunya Levant, hanyalah pajangan di rumah, alat pelampiasan kemarahan, dan kadang... benalu yang dirasa menyulitkan. Dan Levant sendiri adalah benalu kecilnya. Anak pembangkang, keras kepala, tidak bisa diharapkan.

Mungkin tidak ada yang tahu masa lalu Levant. Semuanya tertutupi. Semua orang hanya tahu ia berkuliah di Oxford, menyandang gelar cumlaude, lalu kembali sebagai seorang CEO cerdas yang menjadi harapan perusahaan. Tidak sama sekali.

Masa lalu Levant adalah sebuah terowongan gelap yang mengerikan sekaligus menjijikkan. Satu hal yang sebagian orang tidak pernah terpikir untuk melakukannya, ia sudah mencobanya berkali-kali meski selalu gagal. Untuk meninggalkan dunia ini. Untuk pergi dari dunia yang sepi dan memuakkan ini. Untuk mencoba bersanding dengan kematian. Ia sudah mencobanya, dengan berbagai cara, bahkan dari saat ia masih anak-anak. Meracuni diri, melompat dari atap, menabrakkan diri...

Menabrak?

Levant menyeringai. Saat ini ia tengah berada di jalan tol, mengemudikan mobilnya di atas kecepatan rata-rata. Ia sudah pernah mencobanya. Bagaimana jika ia mencoba lagi? Siapa tahu keberuntungan itu kali ini berpihak padanya. Hal yang ia sebut beruntung ketika ia tidak lagi harus hidup di dunia yang menyebalkan ini.

Jalanan tidak padat, tetapi cukup ramai. Dan Levant melesat terlalu cepat, sekali lagi, sangat cepat. Jika ia melenceng sedikit... bisa saja, semuanya berakhir. Ia ingin ini berakhir. Ingin semua rasa sakit itu berakhir.

Sekali lagi, Levant menekan pedal gas, menambah laju mobilnya menjadi mengancam. Dengan sorot mata dingin yang kosong, yang tidak punya harapan apa-apa, ia menatap lurus ke depan tanpa tujuan.

Tapi sesuatu yang tidak pernah ia perkirakan terjadi. Seseorang sedang menyebrangi jalan, sepertinya begitu. Seorang gadis. Jaraknya terlalu dekat untuk ukuran kecepatan mobilnya. Nyaris tanpa berpikir ia membanting stir ke kanan. Yang ia sadari berikutnya adalah bunyi tubrukan keras dan guncangan hebat. Ia dipaksa bergumul dan melayang, terbentur, bergulingan. Namun selain image yang kabur dan kegelapan, tidak ada apapun yang bisa ia lihat. Telinganya berdengung hebat. Tubuhnya disorientasi, lalu terhempas keras.

Sesaat kosong. Kemudian, Levant mulai merasakan kepalanya berputar. Darah menetes-netes di kening, hingga mengaburkan pandangannya. Denging di telinganya tidak berhenti, justru semakin keras. Rasanya dingin. Dan gelap. Untuk ke sekian kali, ia merasakan kesunyian. Kesunyian yang mengerikan.

***

Hayooo nyangka nggak, kejadiannya malah kayak gini? Wkwk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top