06. Peri Hujan

Vote dulu dong ❤

***

Ada beberapa hal yang biasa bagi orang lain namun kita benci setengah mati. Seperti bunyi deret pintu yang mengilukan telinga sejumlah orang, gemeletuk gigi yang mengganggu, kebiasaan makan dengan decap yang dapat menghilangkan selera..., banyak. Bagi Hafa, ia benci ketika melihat Yui dengan jins robek-robek, karena baginya hal itu sama dengan merusak baju yang sudah bagus-bagus dibuat agar awet. Ia juga benci makanan yang telah dipesan namun tidak dihabiskan oleh pengunjung York. Hal itu tidak sering, namun beberapa kali sempat terjadi.

Sekarang, contohnya.

"Mubazir," gumamnya begitu membereskan meja yang Levant tinggalkan. Bahkan makanan dan kopi milik Levant tidak tersentuh sama sekali. "Dasar orang kaya songong, bisanya buang-buang makanan aja!"

Gadis itu melirik sekitar. Sekarang hujan kembali deras sejak beberapa saat lalu sehingga Yorkish yang biasanya pada jam sekarang mulai berdatangan untuk selanjutnya berjubel menyambut kelas sore, kali ini belum ada yang datang.

York kembali sesepi tadi pagi.

Hafa tersenyum, dan dengan diam-diam, setelah memastikan tidak ada yang melihat, ia mecomot sosis panggang yang Levant tinggalkan. Sosis yang gemuk-gemuk dengan aromanya yang menggugah, selalu membuat Hafa otomatis kelaparan setiap melakukan pekerjaannya, menyiapkan dan menyajikan semua makanan itu. Bagaimana mungkin pria kaya sombong itu melewatkan sosisnya yang enak ini? Penghinaan!

Ia baru akan menyuapkan sepotong ke mulutnya saat kehadiran seseorang di belakang nyaris membuatnya melemparkan jantung ke lantai.

"What are you up to?"

Teguran itu membuatnya menjatuhkan kembali garpunya ke atas piring. Hafa menoleh, menemukan wanita berambut bob di bawah telinga dengan wajah seperti anak SMP tengah menatapnya. Ibu Bos yang satunya. Tatapan matanya yang polos tidak ada seram-seramnya. Namun mengingat apa yang bisa gadis itu lakukan dengan satu ucapan, itu membuat Hafa cukup gentar.

Kenapa dirinya terus-terusan sial hari ini?!

"E-enggak, Bu. Ini..."

Rindang, istri pemilik York yang di Jakarta, adik iparnya Bu Tari berjinjit, mencoba menengok apa yang Hafa coba sembunyikan di balik bahunya. Bagaimanapun, mereka seumuran namun Hafa bertumbuh lebih baik dibanding dirinya yang terhenti pada tinggi 158 cm dan wajah anak lima belas tahun.

"Makanannya nggak dimakan?" tanyanya setelah mendapat kilasan hidangan di atas meja.

"Disentuh pun, enggak. Orangnya keburu pergi."

"Dia sudah bayarkh?" Begitu Hafa mengangguk mengiyakan, Rindang mengambil langkah maju, mengambil garpu, dan menusuk sosis gemuk yang Hafa incar. "Lumayan," gumamnya seraya mengambil satu gigitan.

Dasar BosSabar, Hafa. Sabar. Sambil mengurut dada, Hafa dipaksa menyaksikan pemandangan menyeramkan bosnya mengambil makanan yang ia idam-idamkan. Tidak lupa, Hafa meneguk ludahnya payah.

"Oh ya," sambungnya, di sela kunyahan. Lalu dengan pelafalan huruf R yang tidak pernah sempurna dan semakin tidak sempurna dengan sosis yang memenuhi mulut, Rindang melanjutkan. "Kalo Pak Samuderkha nyarkhi, bilangin saya mau jalan-jalan dulu naik motorkh. Saya bawa map dan baterkhai hape penuh kok, saya juga bawa banyak uang rkheceh jadi InsyaAllah nggak bakal nyasarkh."

Hah? Dia bilang apa?

"Iya, Bu," jawab Hafa dengan senyum meyakinkan. Bagaimanapun, ia tidak bersedia mendengar kalimat penuh getar tadi. Apapun itu.

Rindang langsung pergi setelahnya, meninggalkan Hafa dengan cengiran lebar. Ia meraih garpu lainnya, menusuk potongan sosis yang tersisa dan baru akan menyuap ketika pintu York bergemerincing. Suasana yang sepi dan hujan yang entah sejak kapan mereda membuat suara itu terdengar keras di telinganya. Membuatnya kembali menjatuhkan garpu.

Begitu melihat siapa yang datang, Hafa tidak tahu apakah ia harus mengelus dada karena lega, atau justru bersabar menahan geram.

"Astaga! Kirain siapa."

Evandaru berhenti tepat di depan Hafa, tangan ia masukkan ke dalam saku jaket bomber hitamnya. "Kayaknya kamu nggak senang melihat saya ke sini?"

Meski ia memasang wajah serius, dengan alis ditekuk, ada nada canda dalam suaranya. Lagipula, siapa juga yang akan percaya bahwa ia akan marah untuk hal sepele. Semua orang, pasien, perawat, staf rumah sakit, siapapun yang pernah ia temui percaya bahwa Evandaru Irawan adalah simbol seorang dewa kebaikan dengan wajah dan mata kalem yang tidak memiliki bakat menyeramkan sama sekali. Pria itu segera menarik kursi di meja yang tadi diduduki Levant, lalu bersedekap.

"Maaf, tadi cuma kaget," Hafa menyengir. "Mau mesan apa, Pak Dokdok?

Daru mengedarkan pandang pada seisi kafe. "Last time I checked, it's an English cafe. Shouldn't you be talking in English then?"

Giliran Hafa yang sekarang merengut dan berdecap. "Uh, nggak paham! Lagian nggak ada orang dan nggak ada Bos."

"Yang lain kemana?"

"Ngajar," jawabnya, mengendikkan bahu. "Kalau Oliv sama Rizky jalan ke luar nyari batagor. Ibu Rkhindang nggak tahu ngapain. Bu Bos rapat. Pak Dokdok mau pesan apa?"

"Kayak biasa," jawabnya dalam senyuman. "Espresso, susu kocok rasa yang sedang kamu inginkan, sosis dan... tambahan waktu kamu. Temani saya ngobrol sebentar. Ini jam istirahat kamu, kan?"

"Hm. Tapi lima belas menit aja, oke? Pak Dok sendiri? Lagi istirahat makan siang? Ish, kenapa rajin banget jauh-jauh ke sini, kan Rumah Sakit ke sini luamyan jauh, macet juga kadang. Mana lagi hujan! Lagian di sana bukannya juga banyak kafe? Gimana nasib pasien-pasien nanti ditinggalin terus begitu?"

Sementara Daru terdiam di sana, tidak mengerti cara mencerna cepat seluruh kalimat yang gadis itu lontarkan dalam waktu di bawah satu menit, Hafa membereskan meja, mengelapnya hingga mengilat, lalu beranjak ke dapur. Tidak lama kemudian, ia sudah kembali dengan baki berisi secangkir espresso, susu kocok stroberi dan dua piring sosis goreng di tangannya.

"Pak Dokdok yang traktir, kan? Nggak akan nagih bonnya nanti, kan?" Hafa memicingkan mata usai menata pesanan di atas meja kemudian mendudukkan dirinya sendiri.

"Tenang. Takut banget ya, disuruh bayar?"

"Oh, jelas!" Sesaat, ia mengedarkan pandang, memastikan Mentari atau siapapun tidak berada dalam jarak dengar. "Di sini mahal! Lebih murah beli jajanan pinggir jalan."

Daru mengulum tawa, dan gagal. Ia terkekeh. "Yaiyalah, kan bos kamu mengeluarkan biaya yang nggak sedikit juga untuk membangun tempat senyaman ini. Ada harga yang harus dibayar untuk sekedar duduk di tempat bagus, kan?"

Sementara Hafa masih mengomel tentang banyaknya keuntungan yang bosnya mungkin raup, Daru memotong-motong sosis di piringnya sendiri. Ia lalu memilih menukarnya dengan piring Hafa. Selalu begitu jika mereka makan bersama, memberikan yang sudah dipotong dan mengambil yang belum. Karena gadis itu bisa saja cepat dalam bekerja, tapi teramat payah jika menyangkut kesabaran menghadapi makanan. Hafa biasanya akan menggigit semuanya sekaligus.

Hafa hanya menyengir. Ia buru-buru menusuk potongan dagingnya dnegan garpu. Terlalu bersemangat sehingga garpu itu malah melayang ke bawah meja. Membuat gadis itu refleks membungkuk untuk mengambilnya dan mengakibatkan kecelakaan yang lebih kacau. Kepalanya terbentur daun meja dalam upayanya kembali duduk dan lututnya membentur kaki meja. Seketika, gadis itu meringis kesakitan. Kakinya harus sekali membentur di bagian yang sudah sakit semenjak kecelakaan tadi.

"Kamu kenapa?"

"Oh?" Dengan susah payah, Hafa duduk kembali, menyengir sebagai jawaban "Nggak pa-pa, kok. Kena meja dikit."

Namun tentu saja, Daru tidak percaya. Ia kenal Hafa terlalu lama untuk tahu gadis itu tidak akan meringis seperti tadi untuk hal-hal kecil. Tanpa basa-basi, ia sudah berlutut di depan gadis itu dan menemukan luka kebiruan di bawah lututnya.

"Kamu lebam gini apanya yang nggak pa-pa?! Ayo, ikut ke Rumah Sakit!"

"Terus diamputasi?" Hafa mendengkus, yang diikuti kekeh kecil. "Nggak pa-pa kok. Nanti juga sembuh sendiri. Tadi keserempet mobil, tapi nggak pa-pa, kok. Cuma keserempet dikit. Nggak ada luka."

Daru berdecap. "Kalau gitu tunggu sebentar!"

Tanpa menunggu persetujuan, pria itu telah berlari keluar dan menghilang dari pandangan sejurus kemudian, meninggalkan Hafa dalam kebingungannya. Ketika ia kembali, napasnya sedikit lebih cepat dari seharusnya, namun dengan senyum di wajah, ia menyodorkan sebungkus plastik berisi alat-alat pertolongan pertama.

"Ada apotik dekat sini."

"Pak Dokdok harusnya nggak usah repot-repot," Hafa merengut, menerima plastik itu dengan rasa terimakasih yang tidak ia sampaikan lewat kata.

"Tadi ada lecet dikit. Nanti kamu bersihin dulu lukanya pakai air mengalir, baru dikasih alkohol. Betadine-nya dioles di sekitar luka, terus tutup dengan kasa. Untuk memarnya, kamu kompres dengan es dulu. Nanti, di rumah, kakinya di angkat lebih tinggi dari dada untuk mengurangi pembengkakan. Setelah itu kamu kompres air hangat. Paham? Ini tadi aku beliin Heparin Sodium juga buat obat oles biar cepat sembuh."

Hafa mengangguk dengan pikiran yang mendadak kusut setelah mendengar arahan Daru. Sekalinya tetangga gantengnya ini bicara banyak, yang dibicarakan adalah masalah pengobatan.

Melihat raut kebingungan gadis itu, dengan kekehan pelan, Daru menepuk punggung tangan Hafa. "Pokoknya, kamu ijin hari ini, pulang. Nanti kaki kamu tambah bengkak kalau dipaksain kerja. Jangan lupa dikompres."

Hafa mengangguk lagi. Membuat Daru tersenyum.

"Yaudah, buruan makan dulu Keburu dingin.."

Namun gadis itu belum melakukan apapun, bahkan ketika Daru sudah menyuapkan potongan sosis ke mulutnya. Ia melipat tangan di atas pangkuan, dan mengaitkan jemari-jemarinya. Pria di depannya ini baik, teramat baik. Hingga sulit, untuk percaya bahwa manusia jenis ini ada. Ada terlalu banyak pertolongan darinya, dan terlalu sedikit terima kasih yang Hafa bisa balas.

"Pak Dok, sebagai ucapan terimakasih..., Hafa bikinin seblak, mau?"

Daru tersenyum. "Tapi jangan terlalu pedes, ya."

***

Dengan kecepatan mencapai seratus dua puluh kilometer per jam, Lamborghini Aventador hitam pekat itu melesat gila-gilaan di sepanjang Jalan Ir. H. Juanda yang agak lengang siang itu. Di tengah hujan lebat seperti sekarang, rasanya hal itu nyaris mustahil dilakukan tanpa membahayakan nyawa, terlebih pengemudinya.

Sadly, he doesn't give a fluck. Persetan dengan nyawa! Seperti ia membutuhkannya saja.

Ponsel pintar yang dilempar sembarang di jok samping menyala lagi, bergetar di atas kursi. Semenjak tadi, benda itu terus menerima panggilan bertubi-tubi yang tidak pernah Levant angkat. Dari Leona. Gadis itu mungkin sedang panik setengah mati mendapati reaksi Levant. Ia tidak peduli. Tidak ada keinginan sama sekali dalam dirinya untuk bicara dengan gadis sialan itu sekarang.

Dengan melepas jas hitam formalnya dan melonggarkan dasi, pria itu mengemudi tidak kira-kira, berkelok berkali-kali demi menghindari tabrakan yang nyaris terjadi dengan kendaraan lainnya. Berkali-kali pula ia mendapat rentetan klakson marah dari pengendara yang lain. Ia mengabaikannya. Tidak melambat sedikit pun. Bahkan ketika mencapai perempatan dan lampu lalu lintas menyala merah terang di atas kepala.

Dengan cepat ia mengambil arah kanan. Terus melaju kencang mengikuti jalan, dengan kepala yang tidak bisa diajak berpikir realistis. Dalam waktu singkat, ia sudah tidak tahu dimana ia berada. Jalanan semakin sepi semakin lama ia melesatkan mobilnya. Toko-toko pinggir jalan berkurang, digantikan deret pohon besar yang memayungi jalanan.

Levant terpaku selama sedetik, memandangi pohon yang berlarian cepat ke belakang. Ketika ia ditarik kembali pada fokusnya, di depannya sudah ada mobil kijang dengan kecepatan sedang, menghalangi. Ia memutar setir ke kanan, coba menyalip hanya untuk menemukan sebuah truk pasir telah berada di arah sebaliknya. Dekat. Makin dekat. Sangat dekat.

Insting yang mengambil alih membuatnya membanting kemudi seketika. Kakinya menekan rem kuat-kuat saat mobil itu berputar seperti gasing. Decit ban beradu dengan kerasnya guruh hujan, lalu berakhir dalam sentakan di bagian depan. Ia barusaja menabrak pohon.

Ketika Levant meraih kembali kesadarannya, ia menatap kedua tangannya yang memerah akibat cengkeraman kuat pada setir. Ia merasakan napasnya keras sekali menabrak tulang rusuknya. Nyaris sesak. Penuh adrenalin. Namun entah bagaimana, ia merasa lega. Seperti ada duri yang barusaja dicabut dari dagingnya. Ia mengusap wajah, nyaris tertawa dengan keadaan.

Mungkin seharusnya ia melawan saja tadi, membiarkan diri merasakan hantaman truk sekali lagi.

Setelah beberapa menit mencoba menormalkan cara pasokan udara menuju parunya, mengembalikan akal sehatnya dan membiarkan amarahnya redam, Levant menghidupkan mobil. Mesin itu berdeham pelan, lalu mati. Pada percobaan kedua, mobil itu batuk sekali kemudian mati lagi. Dan terakhir, sudah tidak ada tanda-tanda ia bisa dinyalakan. Mati total.

Kesal, Levant melepaskan tinjunya pada setir, membuat klaksonnya menyalak keras.

"Supir nggak becus! Apa dia nggak pernah memeriksa mobil ini?!"

Levant menyambar ponsel di jok samping, kembali mengumpat menemukan ponselnya yang sudah kehabisan daya baterai. Ia melempar benda itu sembarang dan bersumpah tidak akan pernah mencari benda sialan itu lagi.

Dengan putus asa, setelah menit-menit yang menyiksa mencoba menghidupkan mobil, atau menunggu seseorang lewat untuk membantunya, namun hasilnya tidak ada satu mobil lewat pun yang mau berhenti meski Levant memberinya klakson seperti orang gila, pria itu turun dari mobilnya. Tidak sampai semenit untuk membuat tubuhnya basah oleh hujan yang mengguyur. Ia berdiri di depan kap mobil, membuka kap itu dan mencoba memeriksa mesinnya. Di tengah hujan lebat, dengan ia yang tidak pernah menyentuh masalah otomotif sama sekali, mustahil ia bisa melakukan perbaikan berarti.

Akhirnya, pria itu menyerah. Hanya terduduk bersandar pada bagian samping mobil, duduk di atas aspal jalanan yang basah dengan frustasi. Sudah tidak peduli percikan air hujan mengotori slim fit suit koleksi Burbery miliknya.

Di luar, hujan deras ternyata begitu berisik, ia baru menyadarinya. Hujan itu membentuk kabut putih, ia juga baru kembali mengingatnya setelah sekian lama. Selama ini ia selalu tidak punya waktu untuk sekedar menengok langit, selain saat ini. Hujan lebat ternyata mengepungnya. Hujan putih...

Aku peri hujan. Aku datang ke sini buat bantu kamu. Kamu tahu dongeng tentang hujan?

Seketika ingatan itu kembali. Ingatan yang sudah terkubur dalam-dalam, hampir Levant lupakan. Ingatan yang... dulu, ketika ia masih kecil, ia percayai dengan sepenuh hati. Ketika ia sudah sadar dari komanya dulu, dan menemukan sebuah gelang peri di tangannya, Levant terus mencari tentang peri hujan. Ia tidak pernah menemukannya. Ia berdoa setiap turun hujan, dan tetap saja, peri itu tidak muncul. Setiap ia bertanya, semua orang mengatakan dongeng sejenis itu tidak pernah ada. Ketika beranjak dewasa ia memilih menguburnya, secara tidak sengaja. Ia tidak pernah lagi benar-benar memperhatikan hujan. Namun sekarang... sekarang hujan putih itu datang lagi.

Dan sebenarnya, ia masih terus percaya dongeng itu.

"Peri hujan... jika aku berdoa sekarang... maukah kamu mengabulkannya?"

Ia terus bersandar di sana, pada kap mobil. Menatap langit, menatap hujan yang berkabut putih dan mengisolasinya dari dunia. Membiarkan tubuhnya basah kuyup dan dingin. Ia tidak lagi peduli dengan semua itu.

***

Wahhh habis ini kayaknya bakal ada yang ketemu uwu

Ada yang nunggu pertemuan Pak Bos dengan Teteh?

Atau justru berada di pihak Pak Dok?

Jangan bosan-bosan mampir, ya. Aku tuh selalu menunggu kalian. Sehat selalu <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top