05. York

Di tempat saya pas banget lagi hujan. Tempat kalian?

***

"You're late!"

Belum lagi Hafa mencapai pintu belakang, menggigil karena kedinginan setelah jauh sekali menyeret sepedanya yang bermasalah, Oliv, Yorker dari Jakarta yang telah empat bulan ini dipindahtugaskan ke Bandung menghadangnya. Tatapan bercanda dari gadis berjibab itu seketika berubah khawatir setelah menyaksikan keadaan Hafa. Well, Hafa dan sepedanya.

"Eh, Teteh kenapa? Sepedanya kenapa, Teh?! Kok, dituntun?"

Hafa berdecak di sela gertakan giginya. Ia berhenti di depan pintu, memeras ujung-ujung bajunya, lalu bergegas masuk. Udara sedikit lebih hangat di dalam. Dengan kesal, ia melempar payung yang ia pegang dari tadi ke sudut. Benar-benar tidak berguna! Benda itu hanya menyulitkannya saat berjalan menuntun sepeda yang sudah tidak bisa ditunggangi.

Yui yang barusaja melongok ke dapur turut memberikan pertanyaan serupa ketika menemukan Hafa. Sepertinya, keadaannya memang semengerikan itu.

"Enggak. Teteh tadi kan ijin ke sekolah Ayes buat ngambil rapor. Teteh lupa. Kalau nggak dateng, nanti anak itu ngambek."

"Terus, kenapa hujan-hujanan gini? Itu juga kok baju Teteh kotor?"

Hafa mengibas-ngibaskan bajunya. Tidak berhasil. Noda lumpur menempel di bajunya yang berwarna cerah, belum lagi robekan di bagian lutut yang membuatnya geram. "Yu, kamu bawa baju ganti, nggak?"

Dengan sedikit terpincang, Hafa berjalan ke arah Yui, yang segera memegangi lengannya demi memberi sokongan.

"Nggak bawa atuh, Teh. Kan nggak nginep di sini."

"Kayaknya Mbak Tari suka bawa baju, deh," Oliv menyahut. "Mau aku tanyain? Tapi beliau lagi sibuk sih."

Hafa mengernyit. Memakai baju Bu Mentari, apa nanti dia harus membayar dengan sebelah ginjal jika sesuatu terjadi dengan baju itu?

"Hmm Mbak Tari emangnya sibuk apa?" Perasaan semua yang dia lakukan adalah sibuk menonton drama tentang pelakor?

"Biasa. Rapat sama Pak Sam."

"Pak Sam ke sini?!" Melepaskan Hafa yang tengah memerlukan bantuan, Yui menghambur pada Oliv dalam kecepatan cahaya. Mata besarnya menatap Oliv dengan berbinar-binar. "Duh, udah lama nggak liat! Makin ganteng apa makin ganteng banget, ya?!"

"Dia bawa istrinya."

Satu kalimat saja. Singkat, padat, berbobot. Namun sudah lebih dari cukup untuk melunturkan cengiran di wajah Yui. Seketika, Yui menatap Oliv jutek. Memangnya tidak cukup apa, seember air mata yang telah ia habiskan begitu mendengar kabar pernikahan Pak Samudera, adiknya Bu Mentari?

"Teteh mah suka menghancurkan harapan orang aja."

Oliv terkikik. "Habis, halu aja. Tapi cogan di York masih banyak kok. Ada Kak Juan. Mau nomer hapenya, nggak? Aku kasih nih, cuma bayar lima puluh ribu."

"Kalian masih mau ngeributin cowok?!" Suara cempreng Hafa yang menggelegar membuat keduanya menoleh. "Ini Teteh di sini terluka, loh! TERLUKA!"

Sambil Hafa terus mengomel, ia berjalan ke arah loker. Mencari baju, atau apapun untuk menolongnya saat ini. Sialnya, lagi-lagi ia harus tertabrak pintu dapur ketika seseorang membukanya tiba-tiba.

"Sorry."

Hafa meringis sambil memegangi dahinya. Ketika ia mendongak, hal pertama yang dapat ia pikirkan adalah ... cantik, gadis ini keterlaluan cantiknya. Lalu ia segera menyadari bahwa gadis itu tidak lagi menaruh perhatian pada Hafa. Bahkan maaf singkat yang ia ucapkan tadi tidak terdengar bermakna sama sekali.

"Dimana toiletnya?" tanyanya dalam gumaman.

Kira-kira, jika ia mengayunkan pintu dengan keras sampai menabrak hidung mancung orang ini, apakah ia akan dipecat? Hafa merasa gatal untuk melakukannya. Gadis itu menatapnya dengan dagu terangkat, dengan tatap merendahkan. Dengan aroma parfum mahal yang wanginya saja terasa menghinakan. Ia hampir saja melakukannya, membalas gadis itu. Hanya di detik terakhir, ia berubah pikiran.

"Di sebelah kiri," tunjuknya.

Tidak ada ucapan terimakasih setelahnya. Gadis itu mengangguk singkat, lalu berlalu begitu saja dengan ketukan sepatu yang teratur. Membuat Hafa merasa kian mengenaskan saja.

"Swombong amat!" Yui berdecih. Dan Hafa tidak bisa untuk tidak setuju.

"Ini alasan kenapa kita harus membenci orang kaya selagi kita belum kaya!"

"Maksudnya iri dengki sirik?" Oliv bersedekap.

Hafa menyengir. "Mohon maap, Teteh nggak bisa liat orang kaya selagi Teteh belum kaya." Kemudian, belum sempat kedua orang lainnya itu mengajukan protes, Hafa mendorong pundak Yui menuju pintu. "Telponin tukang reparasi, ya. Sepeda Teteh penyok. Sekalian pinjemin baju ke Bu Tari."

***

"Ini baju saingan saya."

Kepada Hafa yang sedang berjongkok di sudut dapur, Yui menyerahkan satu buah dress terlipat. Warnanya broken white. Ketika direntangkan, panjangnya menyentuh lutut dengan lengan pendek. Dress yang sepertinya akan pas dengan ukuran Hafa.

"Saingan kamu siapa?"

"Siapa lagi. Bu Rindang! Ngomong R aja nggak bisa, malah ngambil gebetan aku," ujarnya, bersungut-sungut.

Hafa berdecap. "Jodoh kamu si Asep kali. Tukang rujak yang suka mampir ke sini. Dia bela-belain lo bawa kamus biar bisa ngobrol sama kamu."

"Tapi masa tukang rujak? Sekalian aja tukang cilok!"

"Yang penting kan duitnya banyak," ujar Hafa. "Dah. Teteh mau ganti baju dulu. Kamu layanin tuh tamu-tamu. Kayaknya banyak yang datang!"

Sementara Yui masih masih bersungut-sungut tentang istri Pak Samudera yang Hafa juga belum pernah lihat, Hafa buru-buru mengganti baju di kamar mandi. Ketika ia kembali, Yui sudah tidak ada di dapur. Hafa segera memakai rompi kerja serta ikat kepalanya, kemudian berlari ke luar. Melihat pengunjung yang tiba-tiba cukup banyak berdatangan, Yui sepertinya tidak mungkin menangani semua sendiri.

"Perlu bantuan?"Bisiknya. Ada setidaknya lima orang yang berdiri di depan meja bar, mengantre.

"Enggak, Teh," balas Yui dalam bisikan pula. Jika Bu Tari tahu mereka tidak menggunakan bahasa Inggris seperti konsep kafe ini sendiri, habislah. "Yang ini tertangani. Tapi di sana ada yang duduk dari tadi, belum mesan. Teteh samperin, ya."

Mengikuti arah kemana dagu Yui menunjuk, Hafa melihatnya. Seorang pria, berjas, hanya tampak punggungnya dan potongan rambut yang tebal dan rapi. Di hadapannya, gadis menyebalkan tadi. Menghembuskan napas kasar, Hafa meraih baki di belakang bar dan sedikit terpincang menghampiri pasangan tersebut.

"Welcome to York. Do you want to order something, Miss? Sir─"

Senyumannya berhenti. Gadis yang menabaknya di pintu tadi adalah satu hal. Tapi ...pria di hadapan gadis itu... ASTAGA!. Pria kurang ajar yang menatapnya dingin dari dalam jendela mobil yang menabraknya. Mereka pasangan?! Cocok sekali.

"Long black coffee, dan ... Bangers and Mash," pesan Levant, menyebutkan menu makanan Inggris yang York tawarkan. Tidak banyak sebenarnya, hanya yang sederhana, sebagian yang lain adalah modifikasinya. Seperti Bangers and Mash atau sosis dan kentang tumbuh, cukup bisa diolah. Atau Fish and Chips yang dimodifikasi dengan bahan lokal.

Hafa mencatatnya cepat kemudian ia menoleh pada gadis di depan Levant.

"Dua," tambah gadis itu.

Selesai dengan buku menunya, Levant mengangkat pandang, memerangkap wajah yang berdiri di sampingnya itu sesaat. Sedetik sebelum Hafa memutar tubuh dan berjalan menjauh. Dengan kakinya yang tidak tampak berfungsi begitu baik.

Ia melihat gadis itu sekarang. Ia mengenali sepeda kuningnya. Hal yang membawa ia berhenti di sini, di tempat ini.

"Leona, stop being obssesive."

"Obsesif?!" Leona mengerutkan alis, mencela sedikit pahatan wajahnya yang sempurna.

"Kamu selalu memesan menu yang kupesan. Nggak punya kreatifitas?"

"Itu 'kan karena kita sehati, Levant!"

Levant hanya tersenyum, asimetris, yang lebih mirip seringai namun terlalu tipis. Ia kembali menatap layar i-padnya dan mulai sibuk bermain game. Game, satu-satunya hal menyenangkan di dunia, sesuatu yang membuatnya lupa untuk merasa lelah dan kesepian.

"Kamu main apa? Game baru?" tanya Leona penasaran. Ia memanjangkan leher, coba mengintip ke layar milik Levant.

"Rahasia. Masih game pengembangan di Black Sun. Aku hanya menguji-cobanya," jawab Levant tanpa menoleh, hanya sedikit senyum geli kembali menghiasi bibirnya.

Leona mencibir. "It's not like I'm any stranger. I'm soon to be Mrs. Devara."

"Soon, artinya belum terjadi."

"Tsk! Kamu itu nggak ada romantis-romantisnya, deh! Kamu sayang nggak sih, Vant, sama aku?"

Hafa menjatuhkan sendok mendengarnya. Ia baru saja tiba untuk mengantarkan pesanan dan tiba-tiba mual mendengar apa yang melewati telinganya. Hal yang membuat Leona segera mendelik ke arahnya. Mengambil sendoknya, Hafa lalu menyengir minta maaf dan buru-buru pergi usai menyajikan makanan.

"Emangnya benda itu lebih menarik daripada aku? Kamu itu tunangan aku apa tunangan game, sih?"

Menit berlalu sejak kedatangan makanan dan minuman mereka, namun Levant belum menyentuhnya sedikitpun. Masih terlalu asik tenggelam dalam permainan yang ia mainkan.

"Aku nggak bisa menikah dengan game, meskipun ide itu menarik."

"Tsk. Jawaban apa-apaan itu?"

Leona mengaduk kopinya dengan wajah ditekuk. Lagi-lagi seperti ini, kehabisan topik. Tidak ada yang bisa dibicarakan.Levant itu... tidak suka keributan, nyaris seperti dirinya. Berbeda jauh dengan Aiden yang terus bertanya macam-macam....

Tepat saat itu, ponsel Leona bergetar, sebuah pesan masuk dari Aiden.

Boleh minta satu foto kamu yang tadi?

"Buat apa?!" Leona, tanpa sadar menyuarakan dengan keras pikirannya. Ia mengetik dengan cepat membalas pesan tersebut.

Buat apa? Jangan macam-macam, ya! Uah bosan melihat matahari terbit, apa?!

Bergetar lagi.

Buat dipajang di IG.

Eh, ini ajakan dating, ya? Kamu mau melihat matahari terbit bersamaku?

Soal foto, sudah di-upload. Kamu cantik banget.

"Lo gila?!"

"Siapa?"

Leona terkesiap, menemukan Levant sudah memandangnya dengan tajam. Seperti maling yang tertangkap basah, ia berusaha menyimpan androidnya di sisi tubuhnya.

"Memangnya benda itu lebih menarik dariku?"

Levant merebut ponsel itu dengan mudah. Dan yang lebih buruk dari itu, Leona tengah membuka akun Instagram miliknya. Tepat ketika Levant melihatnya, sebuah foto di halaman beranda menyapa. Leona Karlesha Bekker dengan gaun merah dan senyum yang rekah terpampang di akun @aiden_91, dengan caption 'Leona. Masa depan. Aiden adalah cowok paling beruntung di dunia.'.

Leona membuka mulut dan Levant berdecih. Ia mengembalikan ponsel itu, nyaris seperti melemparnya.

"Kalau menurutmu aku membosankan..., teruskan saja."

Segera, Levant bangkit dari duduknya, menyimpan ipadnya di kantung jas, dan meletakkan sejumlah besar uang di atas meja untuk membayar makanan merekatanpa repot-repot menghitung nominalnya.

"Levant! Levant, tunggu!"

Ia hanya berjalan cepat meninggalkan Leona, tidak mengindahkan upaya gadis itu untuk menghentikannya.

"Levant, kamu cemburu?"

Tapi Levant sudah tidak mendengar. Sekejap pria itu sudah berada di luar York. Menembus gerimis tipis yang masih membayangi udara. Di parkiran, ia membuka pintu depan mobilnya dengan keras, menyebabkan supir yang menungguinya terkejut setengah mati. Pria setengah baya itu melompat dan menegakkan badannya lurus-lurus.

"Keluar."

"Y-ya, Pak? Tapi... kenapa? Apa salah saya?"

"Saya bilang keluar!"

Wajah Levant mengeras saat itu. Dan si supir, tidak sampai habis pikir apa saja yang sudah ia lakukan sampai majikannya semarah itu. Kecelakaan tadi? Atau— Dengan gelagapan, ia membuat gestur siap untuk bersujud kapan saja.

"P-Pak Levant. Maafkan saya kalau—"

"Berisik. Kamu dipecat!"

Dengan itu Levant duduk di belakang kemudi. Ia menekan gas dalam-dalam bahkan sebelum keluar dari parkiran. Untuk selanjutnya melaju kencang di jalan raya.

***

Hmm, segitu dulu. Apakah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan? Silakan ditanyakan aja. Kritik dan saran juga sila diajukan.

Bonus, Yui, saingan Rindang, wkwk. Aku bayanginnya Shen Yue.

           

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top