04. Payung

Coba tebak. Negara apa yang paling rajin dan waspada?

***

Rinai hujan di luar tidak berubah banyak sejak Hafa datang dengan hoodie menudungi kepalanya. Ia memarkirkan sepeda di sudut paling terpencil dari parkiran, di bawah pohon Tatsebuya berbunga kuning, kemudian berlari masuk dan melepas jaketnya. Basah. Ia sampai harus mengibas-ngibaskan dan memeras ujungnya dahulu sebelum menggantungnya di sudut dapur.'

"Kehujanan juga, Teh?" Seseorang menyapa, seorang gadis pendek, kurus, berambut pendek di bawah telinga, memakai kemeja kotak-kotak kebesaran dan celana yang lututnya sengaja dirobek. Benar-benar. Setiap melihat celana itu, muncul gejolak tak tertahankan dalam diri Hafa untuk menjahitnya. "Kenapa nggak neduh dulu?"

"Tanggung." Hafa mengelap tangannya yang basah ke sisi bajunya, kemudian membuka loker. Ia membutuhkan seragam. Kemeja putih, rompi hitam, dan ikat kepala hitam dengan logo York. "Kamu tumben datang ke sini pagi-pagi?"

"Nggak ada jadwal kuliah hari ini."

Lalu sunyi. Sementara Hafa memasang rompinya, gadis itu, dengan nametag Yurina di dadanya mengeluarkan buku-buku tebal dari dalam tas, menumpuknya di atas salah satu meja. Dia pasti mencuri waktu untuk mengerjakan tugas lagi.

"Makalah lagi, Yu?"

Namanya Yurina, panggilannya Yui. Dan terkadang, Hafa iri dengannya. Sama-sama ditinggalkan orangtua di usia muda membuat keduanya harus hidup mandiri, mau tidak mau. Hafa, yatim piatu, dan Yui yatim yang ayahnya menikah lagi lalu lupa dengan keluarga lama. Buruk. Namun setidaknya ia masih memiliki harta yang ditinggalkan sang ibu. Ia masih dapat menyambung kuliah dengan disambi bekerja paruh waktu

Hafa tidak punya kemewahan itu. Selain hutang, ayahnya pergi dengan tidak meninggalkan apa-apa. Ibunya harus bekerja keras sampai sakit. Dan ayah tirinya tidak peduli.Ia hanya punya Ayres dan Ayres hanya memilikinya. Dan semua yang ia lakukan, yang ia tempatkan di atas kepentingan sendiri, semuanya untuk Ayres.

"Proposal skripsi, Teh. Kejam banget dosbimnya suruh revisi terus!"

"Untung kamu mah, bisa kuliah, nanti kerjanya juga lebih enak. Enggak kayak Teteh." Sambil menenteng satu buah kresek hitam, Hafa berjalan mendekat, kemudian menarik kursi di depan Yui.

"Teteh sih nggak perlu kerja," Yui berdecak. "Jadi istri juragan aja, eh bukan, istri CEO aja kalo perlu!"

"Juragan seblak?" Hafa terkekeh, ia menaruh kresek di tangannya di atas meja. "Omong-omong, nih seblak pesanan kamu."

Yui menghentikan acara mencatatnya. Seketika ia menggeser buku-bukunya ke samping, lalu menarik bungkusan yang dibawa Hafa. "Beneran dibikinin?"

Tanpa menunggu jawaban, ia telah membongkar bungkusan itu. Ada tiga buah kotak makan bersusun di dalamnya. Yui segera membuka salah satu dan membaui aroma kencur dan bumbu-bumbu yang menguar di udara. "Wah enak nih! Aku bayar pulang kerja aja ya, Teh. Dompet di loker nih. Eh ini kok bikin tiga sih? Banyak banget."

"Buat dijual-jualin dong," Hafa mengangkat kedua tangan ke belakang, memperbaiki ikatan rambutnya yang mulai longgar. "Beneran bayar, ya. Jangan ngutang aja kamu!"

"Iya, ih. Mana berani aku, ngutang sepuluh ribu aja ditagihnya dah kayak apaan."

Hafa terkekeh, pandangannya mengedar ke sekeliling.

Secara teknis, tidak ada yang berbeda dengan York hari ini dan hari-hari lainnya. Kepingan-kepingan vynil tersebar di dinding yang tersusun dari bata merah, bersama beberapa rak buku kecil dan tanaman gantung. Meja-meja dan kursi kayu bersusun rapi, berpadu dengan sofa-sofa empuk dengan warna yang menyatu. Lampu-lampu gantung minimalis yang bersusun dengan asimetris di segenap penjuru kafe. Juga meja bar di sudut ruangan. Tidak ada yang berbeda kecuali satu hal. Jika biasanya akan ada banyak anak muda berdatangan di jam sekian untuk mengikuti kelas bimbingan bahasa Inggris atau sekedar mencari tempat nongkrong, kali ini tidak ada siapapun selain mereka berdua,. Sepi.

"Ini anak-anak pada belum datang, ya? Yorkers juga?"

Yui, yang sedari tadi sibuk mencicipi seblaknya, menjulurkan lidah ke udara selema beberapa saat karena kepedasan sebelum menjawab.

"Neduh kali, Teh," ujarnya, lalu bersiut pelan. "Hujannya makin deras gini."

Seketika perhatian keduanya terlempar ke luar. Dinding kaca yang biasa menampilkan pemandangan keramaian Jalan Braga, bunga-bunga Tatsebuya yang berjatuhan ditimpa angin, atau langit yang cerah, sekarang tergantikan oleh pemandangan hujan. Hujan yang berirama lembut, membawakan lagu pengantar tidur paling indah di dunia. Hujan yang membisiki kaca-kaca dengan embun yang ia tinggalkan.

Meski tidak akan sampai, Hafa menarik napas dalam-dalam, menghidu aroma kesukaannya ini. Aroma hujan.

"Bagus, deh. Moga hujan aja terus seharian."

"Loh, kok gitu, Teh?"

Menoleh pada Yui, Hafa menyengir. Gelombang yang diciptakan alisnya menawarkan persekongkolan. "Biar nggak ada yang datang, atuh. Terus kita bisa makan gaji buta!"

Benar-benar hari yang brilian jika itu terjadi. Sempurna. Seperti Andra And The Backbone sempurna. Hujan, tidak ada pengunjung. Artinya, ia bisa tidur di belakang, mengganti waktu yang ia habiskan semalam demi membuat seblak.

Sibuk mengkhayal membuatnya melewatkan satu hal. Ia luput memperhatikan perubahan ekspresi pada wajah Yui, yang dari penuh persetujuan, menjadi ekspresi terancam. Terlambat bagi Hafa untuk menyadarinya. Karena detik yang sama, bulu kuduknya sudah meremang. Ia dapat merasakan kehadiran seseorang di belakang kursi yang ia duduki.

"Ekhem!"

Rintik Hafa. 26 tahun. Waktu kematian pukul 09. 05.

Mentari Amaira, bos besar York, sedang berkacak pinggang di belakangnya. Hafa menyengir, berharap saja Bu Tari telinganya sedang bermasalah dan ia tidak mendengar apapun yang Hafa ucapkan tadi.

"Mau makan gaji buta, ya?"

Oke, terlambat. Ralat saja doanya. Semoga Bu Tari hari ini memiliki mood yang benar-benar bagus sehingga ia akan melepaskan Hafa, kali ini saja.

"E-enggak kok, Bu! Saya nggak ngomong gitu."

"Jangan macem-macem ya. Atau saya tempatin kamu di depan bar!"

"Jangaaaan!!!" Melayani di depan bar seharusnya tidak sulit, ia hanya harus menanyakan pesanan lalu melayani pengunjung. Sayangnya, di York Cafe, semua yang datang di wajibkan berbahasa Inggris. Sementara Hafa lebih suka berpura-pura bisu selama bekerja. "Jangan dong, Bu! Bisa bangkrut kafe kalau saya yang di depan."

Dalam usahanya membujuk, Hafa memberanikan diri memeluk lengan Mentari, berharap wanita bermata besar yang sendu itu akan luluh.

"Yaudah. Kamu nggak di depan, tapi kasih saya diskon."

"Apa?"

"Seblak kamu. Saya mau beli."

Dengan senyum secerah nama bosnya sendiri, Hafa bangkit, menyodorkan kedua kotak seblak buatannya. "Jangan diskon atuh, Bu! Ini saya bikinnya sambil begadang, loh!"

"Tsk," Tari berdecak, menatap Hafa yang berusaha mengerjap-ngerjap manis di depannya dengan tidak terkesan. "Omong-omong kok kamu hari ini masuk? Bukannya tempo hari bilang hari ini mau ijin?"

Tunggu sebentar!

***

Levant Elenio Devara menatap fokus pada i-pad ditangannya, mempelajari berbagai laporan tentang pemasukan perusahaan serta menyelidiki tentang rekanan bisnisnya yang akan hadir di rapat penting sore nanti. Baru beberapa minggu ini ia menikmati —berusaha menikmati, tepatnya—posisi CEO yang diberikan ayahnya kepadanya setelah pria itu menyelesaikan studi bisnisnya di Oxford. Sedikit alasan kenapa ia lebih memilih Oxford ketimbang Harvard, karena ia lebih menyukai Inggris daripada Amerika, tidak ada alasan khusus. Di tangan CEO yang baru ini, keadaan menjadi lebih rawan bagi para karyawan. Sudah menjadi rahasia publik, bahan bisik-bisik, obrolan selepas pulang kantor, dan obrolan wajib gadis-gadis di toilet bahwa CEO muda—muda, jenius, dan perlu sekali disebutkan sangat tampan—mereka itu terlalu mengerikan.

Ia tampan, tidak ada yang membantah itu. Gadis rabun sekalipun. Dengan hidung, bibir dan alis sempurnanya, ditambah tatapan tajamnya, serta tampang dinginnya yang tanpa ekspresi, ia menjadi pahatan berjalan yang menjadi objek kekaguman semua orang, seharusnya. Sayangnya, itu tidak persis terjadi. Semua orang lebih memilih menunduk, menghindari tatapannya demi menyelamatkan hidup mereka ketimbang mengambil resiko.

Supir yang tengah membawa pria itu, adalah salah satunya. Sesekali, ia akan melirik melalui kaca spion. Hanya sedetik atau dua. Dan segera membuang pandang, ketakutan Levant akan menangkap basahnya.

Majikan barunya ini benar-benar seperti ... Medusa. Versi pria.

Levant sendiri tidak bergerak dari posisinya semula. Ia tidak peduli dengan kemacetan lalu lintas, dengan hujan yang mengguyur di luar, dengan apapun, dengan siapapun.

Hanya ketika ponselnya berdering, barulah pria itu beralih dari pekerjaannya.

        

"Ya, Leona?"

"Kamu dimana? Kafenya yang mana, sih? Aku udah di jalan."

"Belum. Nanti kukabari─"

Tiiiiiiiiiiiiiiiinnn!!!

Klakson berbunyi nyaring, bersamaan dengan decit ban yang direm mendadak. Levant terdorong ke depan, dengan ponsel yang jatuh ke kakinya. Seketika, wajahnya yang tidak ada ramah-ramahnya itu berubah lebih tidak menyenangkan.

"Ada apa?!" tanyanya pada sang supir yang tadi sibuk menengok ke jendela dan terdengar menyumpah-nyumpah.

"Maaf, Pak. Ada cewek naik sepeda tiba-tiba ke tengah. Saya tidak melihat—"

"Jadi kamu buta?" potong Levant, mendengkus.

"B-bukan!" Ia nyaris akan menyanggah, namun menatap Levant melalui spion, ia tahu itu bukan ide bagus. "Sekali lagi maafkan saya, Pak. Ini tidak akan terjadi lagi. Saya janji—"

"Cut off. Cepat jalan."

Maka Lamborghini Aventador berwarna hitam pekat itu melaju pelan-pelan. Levant membuka kaca jendela mobilnya, tidak tahu bagaimana, ia ingin melihat gadis itu. Mungkin untuk mengetahui seberapa parah lukanya. Mungkin juga tidak. Ia tidak peduli, hanya ingin tahu, orang yang telah menghambat waktunya.

Di sana, bangun usai terduduk di atas aspal pinggiran jalan, berusaha membangunkan sepedanya, adalah seorang gadis dengan rambut dikepang dua. Dressnya yang berwarna cokelat pastel dan putih basah kuyup disiram hujan.

Levant melemparkan payung padanya. Ia menatap gadis itu sedetik, tanpa ekspresi, sebelum menutup kaca mobilnya kembali rapat-rapat. Tidak mendengar, dan tidak peduli jika gadis itu meneriakkan sumpah serapah padanya.

***

Jawabannya Swedia payung sebelum hujan. Hahaha *digebukin karena garing.

Gimana pertemuan Pak Levant sama Teteh? Baru segitu, ya. Hoho.

Aku tahu cerita ini mainstreaaaaammm banget. Tentang CEO-CEO halah halah. Tapi entah kenapa aku excited sih. Mungkin karena visual yang lebih menyegarkan dari Marjan yang membantu banyak dalam proses menghalu uwu

Aku harap kalian menikmatinya juga.


York Bandung beda ya sama York Jakarta. Kira-kira suasananya begini. Tapi ditambah vynil (piringan hitam) dan rak buku di dindingnya.

Sampai jumpa Jum'at~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top