[Extra Part] Menemukan Kebenaran
(AN: bagi yang udah pernah baca sequel a.k.a Eighteen yg skrg sudah dihapus, jangan bingung ya, beberapa memang aku ganti informasinya. Kalian akan tahu nanti yang mana yang aku ubah. Enjoy ceritanya ;) dan ini panjang; 2069 words semoga kalian betah dan mata kalian nggak sakit :^))
London Point of View
Sacramento, 00:00
Aku menggerang kesal akibat suara ponselku yang begitu nyaring. For God sake! Aku baru saja mencoba tertidur setelah mengerjakan tugas sialan yang menumpuk. Dengan malas, aku meraba coffee table di samping kasurku dan meraih ponselku yang tak hentinya berteriak nyaring minta diperhatikan.
Dengan mata yang setengah terpejam dan kesadaran yang sedang ada di ambang batas, aku menggeser layar ponsel membuat telpon tadi diterima. Dan masih dengan gerakan malas, aku mendekatkan ponsel tersebut dengan telinga kananku sedangkan telinga kiriku menempel pada bantal bermotif bunga berwarna merah.
"Hmm?" gumamku, mataku kini sepenuhnya terpejam.
"Eh, ini London? Aku Dylan, kau tahu 'kan? Kakak kelasmu tahun kemarin yang sekarang sudah menjadi mahasiswa."
Mendengar hal tersebut mataku membulat. Well, aku sudah menyukai Dylan sejak aku masih duduk di bangku freshman. Perasaan itu memang tidak sepenuhnya hilang meski sekarang aku adalah siswa senior dan dia sudah pergi ke universitas.
Dengan gerakan buru-buru, aku merubah posisiku menjadi duduk dan mengembangkan senyum lebar. Rasa penat dan kantuk yang kurasakan sekarang menguap.
"Eh, ada apa Dylan?" tanyaku, kuharap suara parauku tidak terdengar mengerikan di telinganya.
"Apa aku mengganggumu?"
"Sama sekali tidak, ada apa?"
"Bitch! Happy birthday! Kau gila ya?! Bagaimana bisa kau mempercayaiku sebagai Dylan? Hahah... kau tidak baca id caller terlebih dahulu?"
Dengan mata membulat aku menjauhkan ponselku dari telinga dan melihat bahwa itu adalah telpon dari Helen. Shit! Kurasa aku terlalu mengantuk sampai tidak menyadari suara familiar dari Helen.
Kudeketakan kembali ponselku dengan telinga kemudian menghempaskan tubuh kembali ke atas kasur. Sesaat setelah aku tahu bahwa bukan Dylan yang sedang kuajak bicara, rasa kantuk menerjangku begitu saja.
"Sialan kau Helen... aku mengantuk," kataku diikuti dengan erangan.
Helen di sebrang sana tertawa lebar. "Hey! Kau itu sedang berulang tahun, payah!"
"Aku baru saja mengerjakan tugas cukup banyak."
"Young lady, besok adalah hari Sabtu, apa yang kau lakukan dengan tugas?"
"Aku tidak mau menundanya, Helen."
Bisa kudengar Helen mendengus, "typical London."
"Hmm..."
"Sekali lagi, selamat ulang tahun yang kedelapan belas, London."
"Hmm... thank you, Helen. Sekarang, boleh aku tidur?"
Helen tertawa. "Payah! Baiklah, selamat tidur."
Aku bergumam sekali lagi dan segera mematikan ponsel. Tanpa merasa perlu repot-repot menaruh kembali ponselku ke atas coffee table, aku menjatuhkannya begitu saja tanpa tahu ke mana benda itu terjatuh.
Malam ini begitu hening. Angin dari air conditioner menggelitik kulitku, memintaku untuk segera tertidur. Dengan mata terpejam aku mulai tenggelam dalam kegelapan. Tapi kurasa Tuhan tidak mengijinkanku untuk tidur.
"London..."
Dengan enggan dan perlahan, aku membuka mata. Lampu kamarku sudah menyala, sudah ada Mom, Dad, bibi Eleanor, paman Louis dan tidak ketinggalan, Dani. Meski aku merasa senang dengan kedatangan keluarga bibi Eleanor, mataku tidak bisa sepenuhnya terbuka.
Oh, shit! Harusnya aku ingat hari ini hari ulang tahunku.
"Happy birthday!" Mereka semua berteriak membuatku tersenyum lebar, mungkin senyumku terlihat aneh karena mataku masih setengah terpejam.
Mom mencium pipiku, begitu pula dengan Dad, diikuti bibi Eleanor dan Dani. Paman Louis hanya melihatku sambil tersenyum.
"Hari ini juga hari ulang tahun Dani! Happy birthday Dani," kata paman Louis, ia melirik Dani dan menghujam bocah itu dengan ciumam. Aku terkekeh kecil melihat pemandangan di hadapanku dan merubah posisi menjadi duduk.
Aku baru sadar ada dua kue di sini, satu dibawa oleh Mom dan satu dibawa oleh bibi Eleanor. Malam itu--atau pagi, entahlah--kami semua bersuka cita karena ulang tahunku dengan Dani, aku berusaha untuk menikmati waktu meski badanku terus berteriak minta istirahat.
-
Aku terbangun pukul sepuluh yang mana tidak begitu mengejutkan. Maksudku, apa yang kau harapkan dari gadis yang tidur pukul 4 pagi? Bangun pukul 6 pagi?
Aku segera menuruni anak tangga setelah mandi dan mengganti baju. Suasana rumah masih sepi namun kudengar sedikit kegaduhan dari arah dapur, mungkin masih banyak yang sedang tertidur.
Saat aku pergi ke ruang keluarga untuk menonton televisi, aku menyadari paman Louis tengah duduk sendirian di ruang tamu. Wajahnya terlihat tegang, seperti sesuatu tengah mengganggunya, ia memandang ke depan namun aku jelas tahu dia tidak benar-benar melihat objek pengelihatannya. Maksudku, apa yang menarik dari vas bunga?
Setelah memantapkan hati, aku berjalan mendekati paman Louis dan duduk di samping pria itu. Ia melonjak kaget saat sofa bergerak karena kududuki.
"Pagi, paman."
"London! Kau mengejutkanku!" paman Louis mengelus dadanya, kurasa dia benar-benar kaget.
Aku hanya bisa tertawa kecil. "Ada yang salah?"
"Maksudmu?"
"Kau melamun sedari tadi."
"Oh..." paman Louis nampak terkejut. Ia memaksa untuk mengembangkan senyum. "Kau tidak perlu khawatirkan aku. Sekarang aku akan bangunkan Dani, kau ke dapur, Tasha dan Eleanor ada di sana."
Paman Louis bangkit berdiri dan pergi. Keningku berkerut, aku tidak tahu mengapa namun sejak umurku menginjak 16 tahun ia seolah menjauhiku. Aku tidak tahu, mungkin ini hanya perasaanku atau apa, tapi sungguh, ini sedikit menggangguku.
Mengikuti ucapan paman, aku bangkit berdiri dan melangkah menuju dapur. Saat sudah dekat, bisa kudengar suara bising dari sana.
"Kau yakin? Kau sudah menunda ini terlalu lama, Eleanor, dia seharusnya tahu sejak berumur enam belas," bisa kudengar Mom berucap.
Perbincangan mereka terdengar sangat serius membuatku urung masuk dan hanya berdiri di dekat dapur.
"Aku tahu, Tasha, tapi aku belum siap melihat reaksinya."
"Aku melihat Louis juga menjaga jarak darinya, kenapa?"
"Louis juga takut... sama sepertiku... dia mengkhawatirkan rekasi London jika tahu bahwa baik Dennis maupun dia bukanlah ayahnya. Alasan yang paling besar adalah dia takut London mencari Harry, kau tahu, dia sangat membenci Harry meski kubilang untuk melupakan semuanya."
Tubuhku menegang di tempat. Otakku dengan cepat menyusun semua informasi yang kudapat dan menarik sebuah kesimpulan. Kugelengkan kepalaku, menolak kesimpulan yang muncul di pikiranku.
Tidak, tidak mungkin.
Aku segera berjalan masuk ke dalam dapur, mengejutkan dua orang yang nampak sibuk membuat adonan panekuk.
Dengan suara yang bergetar dan air mata yang sudah siap bergerak turun aku berkata, "apa maksudnya semua ini?!"
-
"Kami minta maaf tidak pernah menceritakan hal ini, London," kata Mom, atau yang seharusnya kupanggil bibi Tasha. Ia menatapku dengan raut wajah yang bercampur aduk antara penyesalan, sedih, khawatir denganku, dan entah apalagi.
Sekarang aku, Mom--mulai sekarang aku akan memanggil bibi Eleanor sebagai Mom, walau aku tahu itu sangat tidak mudah--bibi Tasha, paman Dennis, dan Dad--aku tidak tahu apa aku harus memanggil paman Louis dad atau tidak, tapi kurasa itu lebih baik--tengah duduk di ruang keluarga. Dani sudah berhasil dibawa oleh Samantha, asisten rumah tangga, ke taman setelah sempat memberontak.
Bibi Tasha sudah menjelaskan padaku bahwa ibuku sebenarnya adalah seseorang yang selama ini kupanggil bibi. Ayah kandungku tidak di sini, mereka sudah kehilangan kontak dengannya sejak lama. Di umurku yang sudah delapan belas tahun ini, aku mengerti jelas tentang apa yang terjadi pada Mom dulu, dan paham mengapa ia tidak bisa merawatku sendiri. Tapi tetap saja, perasaan kecewa hadir, ada juga perasaan tidak percaya.
Informasi yang baru kudapatkan benar-benar membuat kepalaku pusing. Dengan fakta bahwa aku kemarin begadang dan masih ada sisa-sisa kantuk, pusing di kepalaku bertambah. Maka, aku bangkit berdiri, satu-satunya hal yang kubutuhkan saat ini adalah menyendiri di kamar, memikirkan baik-baik apa yang harus kulakukan setelah ini.
"Kau mau ke mana London," kata Mom saat aku mulai bergerak pergi dari ruang keluarga.
"Kamar. Aku butuh waktu sendiri."
Aku langsung menaiki anak tangga dan melenggang masuk ke kamarku. Setelah mengunci pintu aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur, memperhatikan langit-langit kamarku yang monoton.
Jadi, ini alasan Dad--ya, kuputuskan untuk memanggil paman Louis seperti itu meski dia bukan ayah kandungku--bersikap aneh sejak umurku 16 tahun? Ia khawatir bahwa aku akan mencari Harry, ayah kandungku yang sekarang entah di mana, karena ia masih membenci laki-laki itu? Dan ia juga khawatir pada reksiku?
Sejujurnya aku benar-benar tidak tahu aku harus bereaksi seperti apa. Aku kecewa karena seseorang yang merupakan ibu kandungku tidak merawatku, tapi di sisi lain aku paham betul mengenai masalah Mom dan tidak mau menyalahkannya, apa yang harus kulakukan dengan semua perasaan ini?
Aku menarik nafas dalam-dalam.
Apa aku harus mencari ayah asliku? Itu pasti akan mengecewakan Dad, jika aku mencarinya dan berhasil menemukannya hal itu pasti membangkitkan kenangan yang Mon milikki. Dan Dad jelas tidak suka. Tapi di sisi lain, aku penasaran dengannya, bagaimana dengan hidupnya sekarang? Apa dia bahagia dengan keluarganya? Bagaimana rupanya? Apa dia menyayangiku?
Apa aku harus mendiami semua orang? Aku tidak yakin jika diam adalah sebuah solusi.
Kenapa hal ini harus kuketahui di hari ulang tahunku? Ini mengesalkan! Harusnya ini menjadi hari bahagiaku namun di sinilah aku, terjebak dalam pemikiran apa yang harus kulkukan. Menyebalkan!
Di saat pikiranku sibuk mencari cara untuk menghadapi semua ini, sebuah ketukan terdengar, membuat aku sontak bangkit berdiri dan membuka kunci. Aku memang tidak siap bertemu dengan siapapun, tapi memangnya kapan aku akan siap?
Dad berdiri di balik pintu. Ia nampak canggung saat melihatku.
"Apa aku boleh masuk?"
Aku mengangguk kemudian bergeser untuk memberinya ruang. Dad kemudian duduk di kursi belajarku, setelah aku menutup pintu, aku segera duduk di pinggir kasur dan memandangi jemari kakiku yang diolesi sebuh kuteks berwarna hitam.
"Aku tahu kau mungkin kecewa atau sedih, jika aku jadi kau, aku juga akan merasakan dua hal itu. Tapi kumohon, jangan mendiami kami semua atau pergi dari kami, Eleanor sangat menyayangimu dan ibumu itu sekarang benar-benar ketakutan mengenai reaksimu. Kuharap kau menerima kami sebagai orang tuamu dan tolong, untuk sekarang lupakan fakta bahwa aku bukan ayah kandungmu, suatu saat, kau akan punya waktu untuk bertemu dengannya tapi tidak sekarang."
"Lalu... apa yang harus kulakukan? Kepalaku terasa pecah memikirkan semua ini," kataku, suaraku parau.
Dad berdiri, dia berjalan mendekatiku dan duduk di sampingku. Tangannya terangkat untuk menggenggam tanganku dan berkata, "bersikaplah seperti biasa. Kami akan pulang beberapa hari nanti, selesaikan studimu di sini dengan baik, setelah lulus highschool kami akan membawamu ke London dan kuliah saja di sana. Kuharap kau paham, kau adalah milik kami. Tapi aku tidak memaksa, kau punya waktu untuk memikirkan semuanya, kau sudah delapan belas tahun dan aku yakin kau mampu memutuskan sesuatu sendiri."
Dad melepas genggamannya, ia kemudian membawaku pada pelukannya. Meski Dad bukanlah ayah kandungku, aku masih bisa merasakan rasa hangat yang menjalar saat ia merengkuhku seperti sekarang.
Aku tidak yakin apa yang akan aku lakukan setelah ini. Apa aku akan mengikuti semua ucapan Dad? Aku tidak tahu. Tapi aku tahu pasti satu hal, Mom sudah cukup menderita dulu dan aku tidak bisa menambah penderitaannya lagi sekarang dengan memberikan rekasi yang tidak diharapkan.
-
Setelah mendekam di dalam kamar dalam waktu yang sangat lama dan melewati waktu makan siang sekaligus makan malam--yang mana berhasil membuat semua orang khawatir berlebih--aku keluar. Kakiku membawaku menuju kamar di pojok kanan rumah ini.
Kamar itu terbuka, mengijinkanku untuk memperhatikan Dani yang memeluk boneka minionnya dan Mom serta Dad yang sekarang saling berpelukan. Di tengah keheningan, suara mereka dengan mudah menyapa indera pendengaranku.
"Apa kau yakin?" tanya Mom, ia menyurukkan wajahnya pada dada Dad. Aku tersenyum melihat itu, sejak pertama kali aku melihat mereka berdua di umurku yang 4 tahun, aku sudah tahu bahwa mereka sangat cocok satu sama lain dan terlihat manis saat bersama.
Dad menaruh kepalanya di atas kepala Mom kemudian mengecup dan menghirup aroma rambutnya. "Ya, semuanya akan baik-baik saja. Semuanya harus baik-baik saja," kata Dad sambil mengusap punggung Mom.
Aku bisa saja larut dalam adegan langsung yang kutonton jika tidak ingat alasan mengapa kakiku membawaku ke mari. Maka, aku langsung berdiri di ambang pintu dan mengetuk pintunya. Mom dan Dad dengan segera menoleh ke arahku, mereka terlihat terkejut dan segera memisahkan diri. Aku secara mental tertawa.
"Ada apa London?" Dad segera bertanya.
Aku tersenyum. "Apa aku menginterupsi sesuatu?"
"Tidak," jawab Mom dengan cepat membuat mentalku semakin tertawa keras.
"Mom, Dad, aku sudah memikirkan semuanya dan kurasa memang aku seharusnya aku ikut bersama kalian setelah menyelesaikan studiku di sini. Kalian akan mengurus semuanya 'kan?"
Mom yang mendengar ucapanku segera beringsut mendekat. Matanya berbinar-binar, ia terlihat sangat senang.
"Benarkah? Kau tidak marah 'kan?"
Aku tersenyum. "Mom, aku bahkan tidak punya alasan untuk marah. Tapi..."
"Apa?" Dad bertanya, dia terlihat kesal melihatku yang menggantungkan ucapanku.
"Suatu saat, jika aku mencari ayah kandungku, aku diperbolehkan 'kan?"
Mereka tidak langsung menjawab. Mom menoleh ke arah Dad yang melihatnya. Keduanya nampak berkomunikasi dengan tatapan mata.
"Tentu saja boleh. Suatu saat kau sudah dewasa, London, dan kau bebas melakukan sesuatu selama itu tidak salah," jawab Mom setelah cukup lama.
Ia membawaku pada rengkuhannya dan aku segera membalasnya. Aku bisa merasakannya. Aku bisa merasakan ketulusan dari seorang ibu. Aku bisa merasakan perbedaan memeluknya dengan memeluk bibi Tasha.
⚫⚫⚫⚫
Extra part ini emang dikhususkan buat semua orang yang kepo gimana London tahu kalau ibunya yg sebenarnya itu Eleanor, dan bagaimana reaksi London.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top