[7] Flashback Eleanor

Eleanor menghela napas berat, menatap dua garis yang terpampang di sebuah benda yang sedang ia pegang saat ini. Mata gadis itu sayu, ada lingkaran hitam yang menggelantung di bawah matanya dan semua orang yang menatap Eleanor sambil lalupun tahu bahwa gadis itu sama sekali tidak baik-baik saja.

Musik elektronik ia putar secara keras-keras hingga suaranya memenuhi kamar pribadinya yang sudah ia tempati selama 21 tahun ini. Bahkan, suaranya sampai terdengar dari luar membuat orang lain yang juga tinggal di tempat itu menghela napas berat sekaligus bertanya-tanya apa yang membuat seorang Eleanor berlakon demikian.

21 tahun hidup Eleanor, gadis itu selalu dikenal sangat ceria dan sangat sadar pada penampilan dirinya. Dia tidak pernah membiarkan ada kantung mata di bawah mata indahnya, ia juga tidak pernah terus menerus bergelung di bawah selimut, menatap lukisan yang ia buat secara acak-acakan saat masih di secondary school dulu sambil memutar musik yang tidak benar-benar ia degarkan dalam volume keras. Jadi, tentu hal ini adalah hal langka dan wajib diketahui penyebabnya.

Tapi Tasha Calder, kakak dari Eleanor yang merupakan satu-satunya keluarga yang terisisa dalam hidup Eleanor, tidak tahu bagaimana cara mencari tahunya. Eleanor bungkam, tidak membiarkan satu frasa pun keluar dari katup bibirnya tentang apa yang menimpanya. Dan Tasha juga tidak punya gagasan apapun, bahkan saat ditinggalkan orang tuanya dulu, Eleanor tak terlihat sefrustasi ini.

Pada akhirnya, Tasha menyadari bahwa ia tidak punya opsi lain selain diam dan membiarkan Eleanor bercerita sendiri. Seperti dulu, Eleanor bercerita sendiri bahwa Allison sudah tak lagi menganggapnya sahabat padahal saat Tasha terus menerus bertanya soal Allison yang tak lagi terlihat, Eleanor terus bungkam.

Seharian ini Eleanor mengurung diri di dalam kamarnya yang terlihat tak lagi cerah meski warna biru muda dan pernak-pernik khas perempuan memenuhi kamar itu. Ia memutar musik folk jazz--lagi-lagi dengan volume paling keras sampai orang lain di luar rumahnya bisa mendengar--tanpa benar-benar mendengarkan karena yang gadis itu lakukan hanya memandangi televisinya yang mati dengan tatapan kosong.

Berulang kali Tasha berseru, memintanya untuk keluar dan mencicipi makanan meski hanya sesuap karena bagaimanapun juga Eleanor sudah lama tidak makan dan sebagai kakak, Tasha sangat takut adiknya terkena penyakit. Tasha tak ingin kembali kehilangan. Perginya dua orang tuanya sudah cukup memukulnya dengan telak.

Tasha memutuskan untuk memanggil Max, gadis itu yakin Max tahu apa penyebab dari semua ini. Tapi dia salah, Max tidak tahu dan pemuda itu terlihat sangat kaget mengetahui bahwa Eleanor bertindak tidak seperti biasa.

"Kau harus mencoba untuk bicara dengannya Max, ini sudah tiga minggu dan aku sangat khawatir. Kupikir, dia akan bicara padaku setelah kudiami tapi dia tidak kunjung bicara," kata Tasha, wajahnya dipenuhi ketakutan dan kekhawatiran. Max sempat akan panik sebelum menyadari dirinya sendiri bahwa panik akan membuat segalanya menjadi semakin rumit.

Maka, Max memutuskan untuk menggedor pintu kamar Eleanor, namun sebelum dia melakukannya, pintu lebih dulu terbuka, menampakkan sosok gadis dengan celana pendek dan kaos putih kebesaran. Gadis itu berantakan, rambutnya berantakan, pipinya dipenuhi dengan jejak air mata, lingkaran hitam menggantung di bawah matanya. Sangat berantakan.

"Eleanor!" Tasha yang lebih dulu bereaksi, ia memeluk tubuh adiknya yang sekarang terlihat sedikit berisi walaupun kenyataannya beberap hari ini Eleanor tidak makan secara teratur.

"Aku ... ingin teh," kata Eleanor, suaranya parau.

Tasha terdiam sejenak. Ia menatap secara saksama lekukan wajah Eleanor kemudian berbalik dan membuat keinginan adiknya sedangkan Eleanor sendiri mendudukkan dirinya di atas sofa.

"Ada apa denganmu?" tanya Max pelan seraya mendudukkan dirinya di samping Eleanor, tangannya terangkat untuk merapihkan rambut brunette Eleanor yang mencuat ke mana-mana, sedangkan gadis itu sendiri hanya bisa menautkan jemarinya dan memainkannya. Sudah lama mereka berteman sehingga mudah bagi Max untuk tahu bahwa gadis di sampingnya ini tengah gusar untuk alasan yang ia sendiri tidak tahu.

"Apa ini soal Ha--"

"Jangan menyebut namanya!" Eleanor berteriak, memotong ucapan Max sekaligus membuat pemuda itu terlonjak kaget namun senang karena akhirnya ia tahu akar peramasalahannya. Harry Styles. Tapi, Max sama sekali tidak memiliki gagasan tentang apa yang Harry lakukan sampai membuat Eleanor seperti ini. Ia beberapa kali melihat Harry sedang bersama seseorang yang masih Eleanor panggil sebagai sahabat meski orang itu sudah tidak mau mengakuinya sebagai sahabat, Allison--apa kira-kira itu alasannya? namun Max mengenal Eleanor dengan sangat baik dan dia tahu gadis itu tidak akan seperti ini hanya karena hal itu. Pasti ada hal lain namun Max tak mampu menebaknya.

"Ada ... sesuatu yang ingin kubicarakan pada kalian," ujar Eleanor--nyaris berbisik--tepat saat Tasha datang dan memberikannya secangkir teh seperti yang ia inginkan--atau yang diinginkn makhluk di dalam rahimnya.

Tasha duduk di sofa untuk satu orang di samping sofa yang diduduki Eleanor dan Max. Matanya menatap Eleanor yang kini menyesap teh hangatnya dengan tatapan senang karena akhirnya Eleanor mengatakan alasan dari semua ini.

"Aku ...," Eleanor menghela napas berat, ia terdiam sejenak seolah tengah menyiapkan mental untuk mengatakan sesuatu yang sudah ada di ujung lidahnya. Ia menelan air liurnya, "Hamil...," lanjut Eleanor, berbisik sangat pelan hingga orang-orang pasti tak akan mendengarnya jika keadaannya sedang ramai. Beruntung, hanya ada tiga orang di ruangan yang sekarang Eleanor rasa sangat sempit itu sehingga Tasha dan Max yang sedari tadi menyiapkan telinga mereka bisa mendengar dengan baik.

Max dan Tasha terdiam, mereka menatap Eleanor dengan ekspresi yang sulit gadis itu tebak terutama dengan kondisinya yang seperti ini. Gelombang keheningan menghantam mereka, bahkan suara detak jarum jam tak terdengar sama sekali seolah-olah ingin ikut diam. Eleanor mencengkram kuat ujung kaos yang ia kenakan, matanya menutup dan setitik air mata menelusup keluar dari sana.

Suara helaan napas Tasha terdengar sebelum gadis itu berucap, serta merta memecahkan gelombang keheningan. "Eleanor ... aku rasa aku salah dengar."

"Tidak Tasha! Aku hamil dan bajingan itu yang melakukan semua ini. Saat aku mengatakannya, dia pergi bersama si jalang itu! Aku merasa hidupku berantakan dan tidak ada yang bisa diperbaik! Aku hancur! Di satu sisi, aku tidak mengarapkan kehadirannya dan di sisi lain, aku tidak ingin membunuhnya. Dia--d-dia bahkan tidak pernah melihat dunia dan aku sudah membunuhnya? Aku tidak akan melakukan itu! Never in million years!" ujar Eleanor panjang lebar. Sudah menjadi kebiasannya untuk bicara banyak di saat panik dan frustasi seperti ini.

Tangisan gadis itu pecah dan semakin keras. Max sesegara mungkin membawa temannya ke dalam dekapannya, mengelus pelan surai Eleanor sambil membisikkan kalimat-kalimat menenangkan. Well, itu tak berarti banyak, yang Eleanor inginkan bukan Max--ya, terdengar sangat kurang ajar--tapi dia hanya ingin Harry saat ini. Mengesalkan memang mengetahui kenyataan bahwa seseorang yang menghancurkan hidupnya justru menjadi orang yang sangat ia butuhkan.

Tasha tidak lagi bicara, dia hanya diam menatap adiknya yang hancur. Hancur karena seorang pemuda tak bertanggung jawab. Ia seharusnya tahu sejak awal melihat Harry, wajah pemuda itu tak terlihat meyakinkan.

Hari terus berjalan dengan normal. Eleanor mulai makan dengan baik meski ia tidak ingin karena ia sadar hal itu akan berdampak negatif pada bayi yang ia kandung dan ia tidak ingin membunuh bayi itu. Baik Tasha serta suaminya maupun Max mulai membantu gadis itu untuk mendapatkan apa-apa yang gadis itu butuhkan. Meski begitu, Eleanor masih sering menangis, mengurung dirinya sendiri dalam kamar dan mendengarkan musik dengan volume besar.

Dan Harry, Eleanor tidak mendegar apa-apa lagi soal pemuda itu maupun Allison pasalnya ia memutuskan untuk keluar dari universitas sedangkan Max yang masih menjalankan kehidupan sebagai mahasiswa enggan untuk angkat bicara perihal dua manusia itu.

Delapan bulan berlalu sangat panjang hingga terasa seperti delapan tahun lamanya. Perut Eleanor semakin membesar dan gadis itu semakin pusing. Dia tidak tahu apa yang harus ia lakukan pada bayi itu jika nanti dia lahir dan melihat dunia pasalnya ia sangat sadar bahwa dia tidak bisa merawat bayi dengan baik. Dia tidak pernah berpengalaman soal itu.

Dan hal itu menjadi alasan baru bagi Eleanor untuk merasa frustasi. Memiliki anak, tidak tahu apa yang harus ia lakukan, tidak memiliki seseorang yang bisa anaknya panggil ayah. Eleanor merasa gila dengan semua itu dan ada satu titik dalam dirinya yang mulai ragu. Apa aku tetap akan melahirkan anak ini? Eleanor berbisik pada dirinya sendiri. Ia menatap perutnya yang membesar dan mengelusnya.

Tangis Eleanor pecah. Ia merasa kepalanya akan pecah dan hal yang ingin ia lakukan saat ini hanyalah bunuh diri. Tanpa ia duga, ia berteriak nyaring bahkan mengalahkan lantunan musik klasik yang terputar dengan volume keras.

Suara derap langkah kaki terburu-buru terdengar. Pintu kamar Eleanor yang sengaja tak dikunci terbuka, menunjukkan sosok Tasha dengan napas terengah-engah dan menatap penuh kekhawatiran ke arah Eleanor yang sekarang menjabak rambut brunette-nya di atas kasur.

"Hey, hey, are you okay?" tanya Tasha penuh kekhawatiran seraya dengan pelan melepaskan jambakan Eleanor. Ia menatap wajah Eleanor yang sekarang penuh dengan genangan air  mata kemudian membawanya ke dalam pelukan. Dengan penuh sayang, Tasha mengelus rambut adiknya.

"Tasha, a-aku takut. Bagaimana jika anak ini menanyakan soal ayah bajingannya? Bagaimana jika anak ini tidak bisa kujaga dengan baik dan dia akan mencapku sebagai ibu yang tidak bisa apa-apa? Dan ... bagaimana jika dia sedih memiliki ibu frustasi sepertiku? Bagaimana Tasha? Aku t-takut ... apa aku harus melakukan aborsi? Aku mulai ragu ... aku takut  ... Tas--"

"Hsstt...," Tasha menghentikan raungan Eleanor yang tidak mungkin selesai jika memang tidak dihentikan. Tasha tidak menyangka bahwa hal-hal itulah yang membuat adiknya bertindak sedemikian.

"Aku sudah memikirkan semuanya, Eleanor. Lahirkan anak ini, dia akan kurawat. Kau tahu 'kan bahwa Dennis mandul dan kita tidak mungkin memiliki anak. Kupikir-pikir lagi akan merepotkan jika aku mengadopsi anak dari panti asuhan. Jadi ... akan kurawat anakmu, saat dia besar aku akan memberi tahu segalanya. Bagaimana? Dengan itu ... semua ketakutanmu tak akan terealisasikan," bisik Tasha, dia menatap intens Eleanor yang kini mulai terdiam dan tenang.

"Sound good. Tapi ... aku tidak akan tinggal di sini lagi setelah anak ini lahir."

"Aku akan menyuruh Max mencarikan flat bagus untukmu."

"Thank you Tasha. I love you sooo much ... mum dan dad pasti bahagia memiliki anak sepertimu." Eleanor memeluk Tasha erat, ia menangis lagi di bahu gadis itu, namun ini bentuk tangis yang berbeda. Dia merasa lega, merasa bahagia.

"Sssttt... mereka juga bahagia memiliki anak sepertimu. Mereka bahagia memiliki anak seperti kita," kata Tasha, cukup membuat kedua sudut bibir gadis itu membentuk kurva melengkung.

Eleanor tiba-tiba melepaskan pelukannya. Keningnya membentukan lipatan horizontal.

"Tasha ... perutku sakit."

Seketika Tasha panik. Ia buru-buru meraih ponselnya, memanggil ambulan, memanggil Max dan suaminya yang mungkin saat ini tengah ada di tengah-tengah rapat penting--namun Tasha tidak peduli. Ia ingin orang-orang yang selama ini mendukung Eleanor tahu tentang ini.

"Tahan Eleanor. Kau harus tenang, aku tahu kau bisa melalui semua ini. Bayi lucu akan segera keluar."

#

Satu malam yang terasa sangat panjang. Setelah berjam-jam, akhirnya Eleanor benar-benar dinyatakan siap melahirkan. Gadis itu kini sedang di dalam ruangan bersama satu dokter dan beberapa suster, ada Tasha yang tangannya rela dicengkram kuat-kuat oleh Eleanor.

Sedangkan di luar, Max yang buru-buru pergi ke rumah sakit setelah ditelpon Tasha tadi siang tengah duduk gusar. Berulang kali dalam hati merapalkan doa demi keselamatan bayi yang dikandung Eleanor dan gadis itu sendiri. Tak jauh beda dengan Max, Dannis juga nampak gusar. Dia takut calon bayi yang akan ia angkat menjadi anak tidak bisa keluar sekaligus takut jika istrinya terpuruk karena ditinggalkan sang adik.

Setelah waktu-waktu mencengkam, pada akhirnya bayi itu keluar. Eleanor mendesah lega begitupula dengan Tasha. Eleanor menatap bayi merah yang kini tengah ada di dalam gendongan dokter wanita sambil tersenyum takjub dan penuh akan kelegaan.

#

Siang ini terasa sangat membosankan. Hanya duduk di atas kasur putih, memandang jam big ben dari kaca jendela dan berteman dengan suara detak jarum jam. Indera penciumannya hanya bisa mencium aroma obat-obatan khas rumah sakit. Benar-benar membosankan namun entah kenapa hal ini membuat Eleanor tenang.

Kamar inapnya terbuka, seorang suster datang dengan bayi di dalam gendongannya. Perempuan itu tersenyum ke arah Eleanor yang kini menaruh atensi penuh padanya.

"Kau bisa memberinya ASI," kata suster itu, ia memyerahkan bayi perempuan di gendongannya pada Eleanor kemudian ia mulai menyibukkan diri dengan hal yang tidak Eleanor mengerti selagi gadis itu memberikan ASI pada bayi perempuannya.

Pintu kembali terbuka, kali ini sosok Tashalah yang terlihat. Ia sendirian, tak bersama Dennis maupun Max. Kakak Eleanor itu kemudian mendudukkan dirinya di kursi samping ranjang yang Eleanor tempati.

"Matanya hijau...," bisik Tasha, menatap lamat-lamat ke arah bayi di gendongan Eleanor.

"Aku tidak menyangka Harry menurunkan mata hijaunya pada anak ini."

"Setidaknya Dennis memiliki mata hijau juga," kata Tasha, dia tidak ingin adiknya itu kembali menyebut nama pemuda yang sudah ia cap sebagai bajingan minim tanggung jawab. "Kau sudah punya nama untuk dia?"

Eleanor yang tadinya menatap anak yang ia kandung kini menoleh ke arah jendela kamar inapnya. Ditatapnya big ben yang terlihat tinggi menjulang kemudian tersenyum. "London Edward ...," Eleanor terdiam sejenak "Dillingham. Ya, Dillingham. Bukankah nama keluarga Dennis adalah Dillingham?"

"Kau yakin ingin memberi nama itu?"

Eleanor menoleh ke arah Tasha, "kenapa? Apa aneh? Oh, baiklah kalau memang aneh aku tidak akan memberinya nama London. Hmm kurasa nama J--"

"Tidak, Eleanor, aku tidak mengatakan jika nama London itu aneh. Aku mempermasalahkan nama tengahnya, kau yakin akan memberi nama itu?"

"Setidaknya aku ingin ada sesuatu yang dapat mengingatkan kepadaku siapa ayah anak ini sebenarnya."

Tasha hanya diam. Dia tidak mampu menjawab ucapan Eleanor. Selagi adiknya berpikir itu baik dan tidak terlalu mempermasalahkannya, Tasha rasa nama Edward tidaklah buruk.

"Oh, ya, Max sudah mendapatkan flat bagus untukmu. Setelah kau keluar dari sini, kau akan tinggal di sana. Karena kau sudah tidak kuliah, kau bisa bekerja di restoran Jepang milik Max, hitung-hitung untuk membunuh waktumu. Kuharap, kau bisa melupakan semuanya yang terjadi selama ini. Maksudku, kuharap kau paham bahwa masa lalu adalah masa lalu dan biarkan semuanya berlalu agar kau tidak stuck di keadaan yang sama," Kata Tasha dan Eleanor hanya bisa bungkam.

⚫⚫⚫⚫

Nulis pakai sudut pandang orang ketiga itu... tantangan bagi aku -_- dan ini panjang banget astaga....

Hope you enjoy!

Follow : (at)vyomantara_ di ig

Aku ada keinginan buat bikin FF ELOUNOR baru, udah ada di draft dan yup aku tahu aku belum selesain WA, TFIOS, EAU, tapi aku bener-bener nggak bisa nahan diri. Kayaknya sih aku bakal publish buku itu liburan nanti, setelah ceritanya udah tamat di draft (btw, ceritanya itu nanti short story sekitar 10 part mungkin)

Btw, judulnya 'Hidden Files'

Tertarik?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top