[6] Pengakuan Gila Harry

Eleanor

From : Max

Maaf, aku tidak bisa ikut untuk ulang tahun London. Aku dan Candice baru saja dari pub dan dia minum--kau tau 'kan bagaimana Candice ketika minum sedikit alkohol saja? Jadi, aku akan merawatnya. Sekali lagi, maaf.

To : Max

Yeah, no prob, jaga Candice oke? Semoga dia tidak muntah terlalu banyak

Candice adalah tipikal orang yang memiliki perut yang tidak didesain untuk minum. Sedikit saja dia minum alkohol--apalagi yang berkadar tinggi--dia akan mabuk berat dan akan merasakan hangover parah yang membuat Max terkadang harus merelakan kaos-nya terkena sedikit mutahan dari Candice--oke, mungkin tidak sedikit. Itulah mengapa Max selalu menjauhkan Candice dari alkhol.

Walau aku kecewa karena teman terbaikku tidak bisa membantuku menyiapkan kejutan untuk London yang akan benar-benar berumur 4 tahun beberapa jam lagi, aku mencoba menghapusnya. Aku tidak boleh menjadi egois dengan mengharapkan Max akan selalu di sini, di sampingku, ada gadis lain yang juga sangat membutuhkan Max dan sangat dibutuhkan Max.

Aku menatap London yang sekarang sudah tertidur pulas di kamarku. Ya, di kamarku, dia tadi terlalu asyik bermain dengan beberapa barang di kamarku sampai ketiduran. Dia terlihat sangat damai dan melihatnya seperti itu membuat kedua sudut bibirku terangkat naik.

Aku keluar menuju ke arah dapur. Kukeluarkan semua barang keperluanku dari kabinet sambil berusaha untuk melakukannya secara perlahan karena aku tidak ingin membangunkan London dan London sayangnya adalah tipikal anak yang akan langsung bangun saat mendengar suara berisik di sekitarnya--setidaknya, itulah yang Tasha katakan padaku.

Aku kemudian membuat adonan kue black forest yang merupakan kue kesukaan London yang juga akan menjadi kue ulang tahun London nanti. Sedang sibuk-sibuknya membuat kue, bel flat-ku berbunyi nyaring membuatku reflek menaruh benda apapun tadi yang kubawa dan berlari ke arah pintu dan membukanya. Wajah Louis menjadi pemandangan pertama yang tertangkap oleh dua bola mataku sebelum seorang pemuda pirang di belakangnya. Aku ingat dia, dia Niall, teman Louis.

"Hai, bagaimana persiapan kejutan ulang tahun London?" Louis bertanya seraya melangkah masuk diikuti oleh Niall.

Aku tersenyum senang. "Kau tahu? Kukira aku akan melakukan semuanya sendirian. Max sedang sibuk mengurusi kekasihnya yang sedang sakit jadi dia tidak bisa membantuku. Kau pahlawan Louis." Aku menahan jeritanku dan Louis hanya bisa terkekeh pelan sedangkan Niall yang berdiri di samping pemuda itu hanya tersenyum kecil namun entah kenapa aku merasa ada sesuatu di balik senyuman itu dan aku tidak bisa mengira-ira apa sesuatu itu.

"Senang bisa menjadi pahlawanmu. By the way, tidak masalahkan aku membawa orang satu ini kemari?" Louis menunjuk Niall dan aku hanya tersenyum sambil mengangguk. Tentu aku tidak mempermasalahkan, toh, Niall pasti juga bisa membantuku.

"Jadi, apa yang bisa kami bantu?" Niall bertanya, dia mengangkat salah satu alisnya.

"Siapa di antara kalian yang bisa membuat kue? Jujur saja, aku tidak begitu mahir jadi aku butuh bantuan."

"Wah, owner dari kafe yang menjual kue-kue lezat ternyata tidak bisa membuat kue." Louis berucap penuh nada humor diikuti dengan kekehan yang membuatku juga ikut terkekeh.

"Ayolah, siapa yang peduli bahwa aku tidak bisa membuat kue, yang jelas kafeku menjual kue lezat."

"Terserah. Aku bisa sedikit membuat kue. Ya, itu lumayan dibanding dia, dia hanya bisa memakan dan menghabiskan makanan orang," kata Louis, diliriknya Niall di sebelahnya yang langsung dihadiahi tatapan tajam penuh ancaman.

Aku terkekeh melihat dua manusia di hadapanku ini. Aku yakin, mereka sudah berteman sejak lama.

"Baiklah, Niall, kau bisa meniup balon-balon dan mendekor kamarku sedemikian rupa. Mungkin kedengarannya mudah tapi tidak, karena kau tidak boleh membuat gaduh sedikitpun. Pastikan London tidak bangun. Dan kau, Louis, kau bisa bantu aku membuat black forest. Semuanya harus selesai sebelum jam dua belas," ujarku dan dua pemuda itu mengangguk.

Aku kemudian menginteruksi Niall untuk segera melakukan tugasnya yang sebenarnya mudah namun karena tidak boleh membuat berisik, kurasa ini akan sangat sulit apalagi Louis mengaku bahwa Niall adalah orang paling berisik. Kuharap, Niall tidak membuat London terbangun sebelum waktunya.

Aku kemudian membuat black forest bersama Louis berbekal resep yang kudapatkan dari internet. Louis memang tidak ahli, tapi setidaknya kehadirannya cukup membantu. Sedikit banyak aku menyesal karena dulu tidak pernah menyuruh Harry untuk mengajariku cara memasak--at least, cara membuat kue.

Oh, sial! Ada apa dengan otakku? Kenapa nama itu muncul kembali?

"Kau baik-baik saja?" Louis bertanya, wajahnya menampakkan raut kekhawatiran mungkin karena aku baru saja mengetuk kepalaku sendiri dengan sendok.

"Ya, aku baik-baik saja," kataku, kemudian kembali mencoba fokus pada oven. Adonan kue sudah jadi dan adonan itu kini sedang dipanggang di oven, kita harus memperhatikan betul waktunya agar kue buatanku tidak overcook dan membuatnya menjadi hancur.

"Jadi, siapa itu Max?" Tiba-tiba Louis bertanya disela-sela kegiatannya membuat cream dari cokelat putih yang akan menjadi hiasan cantik black forest.

"Sahabatku."

"Apa dia orang yang sama dengan yang selalu datang ke flat-mu?" tanya Louis dan aku mengangguk. Sedikit penasaran kenapa dia bertanya tapi aku menelan bulat-bulat rasa penasaranku itu.

Kue di dalam oven sudah matang, aku mengeluarkan setelah sebelumnya tanganku diselimuti oleh sarung tangan tangan tebal lalu menaruhnya. Kemudian kami berlanjut menghiasi black forest sedemikian rupa. Aku menahan jeritanku saat melihat untuk pertama kalinya aku bisa membuat black forest sendiri--walau tidak benar-benar sendiri. Tepat di saat yang bersamaan, Niall muncul dari kamarku.

"Aku sudah menyelesaikan tugasku tanpa membangunkan London," kata Niall, terlihat sangat bangga.

"Masih tiga puluh menit sebelum jam dua belas. Kalian bisa menikmati ini dulu." Mengeluarkan tiga kaleng soda dari kulkas dan satu toples berisi makanan ringan dari kabiner, kutaruh itu di depan mereka. Niall dan Louis kemudian mengambil masing-masing satu soda begitu pula denganku.

Kami mengobrol ringan sambil memakan camilan dan menegak soda. Well, sebenarnya hanya aku dan Louis yang banyak mengobrol sedang Niall hanya memperhatikan kami berdua. Di balik bulu mataku, aku melihat sudut bibir Niall berkedut seolah dia sedang menahan senyum. Sungguh aku ingin menelanjangi pikirannya, aku sangat penasaran dengan isi kepalanya saat ini. Ahh, andai aku Edward Cullen.

Waktu bergulir cepat. Sekarang sudah jam dua belas dan aku dan yang lain sudah siap memberikan kejutan untuk London. Kubangunakan bocah itu yang kini menggeliat dan membuka bola matanya. Bola matanya mengecil untuk beberapa saat sebelum menjadi bulat ketika melihat aku membawa black forest dengan lilin berangka empat di atasnya.

London sangat bersemangat ketika aku menyuruhnya meniup lilin dan mengatakan bahwa kue black forest-nya sangat enak membuat aku dan Louis tersenyum lebar dan ber-high five. Kami melanjutkan acara dengan London yang terus bermanja-manja pada Louis dan Niall terus tertawa karena berbagai hal--bahkan yang tidak lucu sekalipun.

Bel berbunyi nyaring, aku berpikir bahwa mungkin itu Max dan Candice karena biasanya Candice didera hangover dengan waktu yang tidak begitu lama. Tapi, ketika kubuka pintu, aku sangat menyesal karena telah membukanya.

"Pergi dari sini!" kataku sambil berusaha menutup pintu, namun Harry bergerak sangat cepat, dia menahan pintu, aku tidak mampu menahan karena kekuatan Harry yang lebih besar.

"Aku tidak sengaja mendengarkan Max saat bertelpon denganmu. Aku mendengar soal ulang tahun London. Aku bertanya pada Max siapa dia dan dia bilang itu keponakanmu," kata Harry, dan aku tidak tahu ke mana dia membawa pembicaraan ini dan apa yang membuatnya ke sini. Dan yang terpenting, kenapa dia bisa tau letak flat-ku?

Max? Sialan jika memang benar, kukira dia mengerti bahwa aku tidak mau lagi berurusan dengan Harry.

"Apa dia bocah yang waktu itu kulihat?" tanya Harry namun kurasa dia tidak butuh jawaban karena dia jelas tahu jawabannya.

"Aku ke sini untuk memberinya ini," kata Harry menyerahkan sebuah kotak berlapis kertas kado. Aku menerimanya tanpa melepas kontak mata kami. Mata hijau indahnya masih memberi efek sama dalam diriku, namun aku sangat bersyukur karena nyatanya efek itu tidak sedahsyat dulu. Kuharap, ini berarti baik.

"Terima kasih."

"Ele, kau tidak bisa membodohiku. Aku jelas tau siapa dia, dia bukan keponakanmu 'kan? Berapa umurnya? Ele, biarkan aku melihatnya!"

Lututku mendadak lemas mendengar ucapan beruntun dari Harry. Dan bagaimana ia menyebutku 'Ele' membuatku semakin--astaga, aku bahkan sangat sulit mendeskripsikan perasaanku yang campur aduk sekarang!

"Ele, aku berhak menemuinya, perlihatkan dia padaku!" ucap Harry dan aku melemparkan kado darinya ke arah wajah yang dulu sangat kupuja.

Kututup pintu itu namun, sekali lagi, sebelum aku berhasil melaksanakan misiku, Harry berhasil mencegahnya. Lengannya sangat kuat dan jelas aku kalah. Aku berteriak memanggil Louis dan Niall membuat dua pemuda itu dengan tergopoh-gopoh mendatangiku, raut mereka terlihat khawatir.

"Pergi dari sini, son of bitch!" kataku, kasar dan seharusnya ini ilegal karena di dalam sana ada London dan aku yakin dia mendengar jelas teriakanku. Tapi, mari lupakan sejenak. Aku cukup senang memakinya saat ini.

"Tidak sebelum kau membiarkanku menemui London."

"Bajingan sepertimu tidak akan pernah melihat London! Pulanglah! Temui kekasih jalangmu itu, dia sedang menunggumu dengan vagina yang minta diperhatikan. Lagipula, kau dulu tidak pernah menganggapnya ada 'kan?" kataku, lagi-lagi sangat kasar dan lagi-lagi aku tidak peduli.

Tanpa kuduga, Louis menendang perut Harry membuat pemuda berambut keriting itu terjengkang ke belakang.

"Sana pergi!"

"Siapa kau?! Kau itu bukan siapa-sapa just shut the fuck up!" Harry berkata tidak kalah kasar, ia menatap Louis dengan sangat tajamnya.

"Ini memang bukan urusanku namun kau membuat gaduh di sini. Jadi, sana pergi dan berbuat gaduhlah di kamarmu sendiri."

Harry terkekeh, dijiatnya bibir bawahnya, "aku akan pergi setelah bertemu dengan London."

"Untuk apa kau bertemu dengan dia?" tanya Louis sambil memincingkan matanya.

Aku hanya diam menatap Harry yang masih menaruh pandangannya pada Louis.

Don't say.

Don't say.

Don't say.

D--

"Jesus, London is my daughter and i want to meet her, is that wrong?!"

"What?!"

Shit! Harry ruin my life. Again..

I want to kill him right now.

Aku berlari ke dalam, memasuki kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Aku menangis tanpa peduli apa yang terjadi di luar sana.

Aku hanya ingin melupakan segalanya tapi kenapa Harry selalu membuat semuanya sulit untukku? Dan kini, dia kembali menghancurkan hidupku, menghancurkan awal baru yang kubuat.

"Eleanor! Buka, Eleanor! What the fuck?! Eleanor, open the door! Eleanor! Open the fucking door!" Aku bisa mendengar suara Louis disana diikuti dengan gedoran pintu tapi aku tidak peduli.

Aku berjalan ke arah bathup, mengisinya dengan air dingin dan kemudian berendam di dalamnya setelah kulucuti semua kain yang melekat pada tubuhku. Suara di luar sana tak kupedulikan karena sekarang pikiranku melalang buana.

#

[Ada hubungannya sama chapter 2 waktu Ele flashback ke kejadian di mana dia ketemu sama Max untuk pertama kalinya.]

Seperti biasa, London terasa sangat dingin, apalagi di saat-saat musim gugur seperti saat ini. Desau angin memainkan dedaunan dan menjatuhkannnya ke tanah menciptakan lautan daun di atas jalanan.

Eleanor mengeratkan mantel yang ia kenakan ketika dirasa tubuhnya sedikit menggigil karena suhu kota London. Helaian rambutnya yang menari-nari akibat permainan para angin tak ia gubris, ia terus berjalan dengan mata yang terus menatap ke arah bangunan di ujung jalan yang sudah mulai terlihat yang menjadi destinasinya.

Setelah sampai, Eleanor membuka pintunya, memperdengarkan suara lonceng yang memang biasa terdengar ketika seseorang keluar ataupun masuk ke dalam. Aroma kopi langsung menyeruak ke dalam indera penciumannya, sedangkan indera pendengarannya langsung disuguhkan oleh lantunan musik pop yang seolah menyatu dengan keramaian kafe.

Mata Eleanor mengedar hingga jatuh ke titik di mana ia bisa melihat seorang pemuda keriting duduk. Ia sendirian tanpa sipapun kecuali secangkir kopi dan sepiring kecil cheese cake yang sekarang sudah sisa setengah. Pemuda itu menunduk, menatap ponselnya yang ia mainkan.

Buru-buru, Eleanor berjalan mendekat ke arahnya dan tanpa memerlukan persetujuan, ia sudah menghempaskan bokong di atas kursi membuatnya kini berhadapan dengan Harry sedangkan meja kecil menjadi penghalang. Mendengar suara deritan yang diakibatkan pertemuan antara kaki kursi dan lantai, Harry mendongak, dilihatnya sejenak Eleanor yang berpenampilan tidak begitu rapi sebelum kembali sibuk dengan ponselnya seolah layar ponselnya lebih menarik dibanding wajah rupawan Eleanor yang hari ini tak terpolesi make up apapun.

"Kau ingin bicara apa?" tanya Harry, ia maruh ponselnya di atas meja hingga menimbulkan bunyi tuk pelan.

Eleanor menatap intens ke arah kedua bola mata hijau Harry yang seolah selalu berhasil menghipnotisnya. Menghela napas sejenak, ia merasa sudah siap untuk mengucapkan informasi yang sejak tadi hanya tertahan di tenggorokannya dan sudah meronta-ronta untuk dikeluarkan.

"Aku... hamil."

"What?!" Harry berteriak lantang menyebabkan beberapa orang melirik ke arahnya, hanya sebentar karena setelah itu mereka acuh dan kembali sibuk dengan makanan dan obrolan mereka.

"Iya, aku hamil."

"T-tapi siapa ayahnya?"

"Geez, kau masih tanya setelah semuanya jelas? Tentu saja ayahnya adalah kau, memangnya siapa lagi?! Aku hanya melakukan seks denganmu."

Harry menggelengkan kepalanya berulang kali dengan tempo cepat, menampik keras-keras asumsi Eleanor. Atau ... dia hanya tidak ingin mengakuinya karena dalam sudut hati pemuda itu, dia jelas sadar bahwa anak itu adalah tanggung jawabnya.

"T-tapi aku selalui memakai--"

"Harry kau sudah lupa soal malam itu? Ketika kita terlalu mabuk di pesta Zoe?"

Harry melarikan jemari panjangnya ke arah rambutnya dengan frustasi. Dia benar-benar tidak menyangka jika begini jadinya. Dia mau-mau saja bertanggung jawab tapi tidak untuk sekarang, dia masih belum siap sedikitpun untuk mempunyai anak. Dia masih belum siap sedikitpun untuk menanggung kehidupan manusia lain karena saat ini ia masih ingin bersenang-senang, menghamburkan uangnya demi kesenangan dan dipandang oleh teman-temannya.

"Dia. Bukan. Anakku. Oke? Aku yakin betul aku selalu pakai pengaman. Mungkin ... kau sudah berselingkuh?" Harry tahu dia sudah sangat jahat mengatakan ini, dia juga bukanlah pemuda bertanggung jawab padahal dia jelas tahu janin itu adalah tanggung jawabnya dan dia tahu betul Eleanor tak pernah melakukan seks kecuali dengan dirinya.

"Lagipula, selain kau, aku juga memiliki informasi," kata Harry, dia sudah menahan ucapan ini sejak tadi.

Seorang gadis berjalan melenggak-lenggok ke dalam kafe hingga berhenti tepat di samping Harry. Matanya memincing menatap Eleanor sedangkan sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman sinis.

"Allison?" Eleanor menyebut nama gadis itu. Jelas, dia kenal orang ini karena bagaimanapun juga Allison sudah menjadi sahabatnya sejak kecil sebelum kejadian di mana saat secondary school dulu Harry mengajaknya berkencan dan dia menyetujuinya membuat Allison marah besar karena ternyata gadis itu menyukai Harry padahal Eleanor sama sekali tak mengetahui hal itu. Allison tidak pernah mau bicara dengannya bahkan sampai detik ini seolah-olah ingin memberitahu Eleanor bahwa ucapan Max yang mengatakan bahwa Allison akan berbicara padanya adalah sesuatu yang salah.

"Maaf Ele, tapi aku ingin kita mengakhiri hubungan ini. Aku sudah tidak nyaman denganmu dan aku juga sudah memiliki gadis lain," Harry berkata, membuat Eleanor membeku di tempatnya sedangkan pemuda itu justru bangkit berdiri dan tersenyum miring ke arah Eleanor. Tangan kekar pemuda itu kemudian bergerak merengkuh pinggang gadis di sampingngnya yang semakin melebarkan senyuman sinisnya. "Kami pergi."

Dua insan itu berlalu meninggalkan Eleanor yang terpaku di tempatnya. Mata gadis itu menatap kosong ke arah cangkir kopi Harry yang juga ikut kosong menyisahkan ampas. Tangannya bergerak menyentuh ke arah perut datarnya, diusapnya perut itu sambil menahan tangis.

Ia tidak menyangka, pemuda yang selama ini mengumbar janji manis padanya, pemuda yang selama ini membahagiakannya, pemuda yang selama ini mengisi hari-harinya kini justru menjadi satu-satunya pemuda berengsek yang menghancurkan hidupnya. Dia sudah memasukkan spermanya kedalam ovum Eleanor membuat kehidupan di dalam perut gadis itu namun dengan mudah dia pergi dari kehidupannya bersama seorang gadis yang selama ini selalu Eleanor anggap sebagai sahabatnya meski ia tahu mungkin Allison sudah menganggapnya tak lebih dari bongkahan sampah tak berguna.

Eleanor bangkit dari duduknya, dengan sempoyongan ia keluar dari kafe tersebut. Kepalanya mendongak, menatap langit London siang itu, langitnya cerah, awan-awan berarak bagai sebuah parade bunga, matahari membagikan sinarnya bagi para manusia dengan cerah, meliat hal itu tak membuat Eleanor merasa mood-nya naik, alih-alih ia masih merasa sangat sedih dan sangat bodoh disaat yang bersamaan.

Apa yang harus kulakukan?

⚫⚫⚫⚫

Ada yg pernah kepikiran kalo London itu anak Ele? Wkwk

Btw, kemarin aku kaget bgt waktu buka TL LINE nemu berita tentang meninggalnya ibu Louis dari salah satu OA LINE. Antara percaya gk percaya. Terus tweet Zayn, postingan ig Liam, ucapan bela sungkawa yg berdatangan buat keluarga Louis ... akhirnya aku sadar itu bukan kerjaan org gk penting yg nyebarin hoax.

Rest in peace Jay :"(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top