[5] Ide Aneh Niall

Book jacke by me (vyomantara-) di tengah kegabutan setelah UAS XD

Louis

Aku terlonjak kaget melihat sosok Niall yang sudah duduk manis di atas sofaku sambil memakan snack yang kuingat baru kubeli kemarin. Sialan! Inilah efek negatif jika aku memberikan kunci flat-ku padanya. Beruntung itu bukan snack favorite-ku dan juga bukan favorite-nya.

"Kau dari mana?" tanya Niall ketika aku menutup pintu di belakangku.

Aku duduk di sampingnya kemudian mengambil sedikit snack di tangannya lantas memasukannya ke dalam mulutku. Aku menatap ke arah televisiku yang menyala, menampakkan acara talkshow yang dihadiri oleh salah satu penyanyi wanita yang sedang booming akhir-akhir ini.

Kurasakan Niall menatapku dari sudut matanya tapi aku tidak memperdulikannya, aku malas menceritakan semuanya. Lagipula, bagaimana bisa aku memiliki sahabat yang ingin tahu sekali urusan orang lain?

"Louis, kau dari mana saja? Aku sudah di sini sejak tadi pagi tapi kau sudah tidak ada. Dan kau juga belum mandi. Kemana saja kau?" kata Niall, terlihat kesal karena aku tak kunjung membuka mulutku untuk menjawab.

"Aku tersanjung, kau tahu aku belum mandi. Kalau begitu, aku mandi dulu ya," kataku, menepuk kepalanya secara tidak begitu pelan kemudian bangkit dan bergerak masuk ke dalam mandi tanpa mempedulikan tuan-ingin-tahu-segalanya yang sekarang sedang berteriak memakiku.

Aku melepas semua pakainku kemudian menyalakan shower dan berdiri di bawahnya. Kurasakan air yang mengalir sambil membayangkan betapa menyenangkan pagi hingga siangku ini.

Aku bermain dengan London yang mengingatkanku pada si kembar Daisy dan Phoebe, sudah lama sejak kejadian itu yang berarti pula sudah lama sejak terakhir kali aku melihat mereka. Aku tak tahu rupa mereka tapi kuharap mereka bisa tumbuh dengan baik. Aku rindu dengan mereka dan London sudah berhasil mengobati rasa rinduku walau tak begitu banyak.

Eleanor juga ternyata sangat menyenangkan. Dia teman yang cukup asyik untuk diajak mengobrol. Dan selain itu rambut brunette-nya, tubuhnya yang semampai dan wajahnya yang rupawan menambah nilai plus sendiri dalam dirinya.

Shit! Aku bicara apa sebenarnya?

Setelah menyelesaikan urusan di kamar mandi, aku keluar dengan badan yang segar, kaos dan celana baru. Aku tidak percaya, aku baru saja berbincang banyak bersama gadis cantik dengan tubuh yang belum mandi dan kaos serta celana yang kupakai saat tidur.

Aku memutuskan untuk membuat teh hangat dan menyiapkan camilan yang kusembunyikan di kabinet yang sengaja kukunci agar Niall tak seenaknya mengambilnya. Aku tidak jahat oke, karena si pirang itu juga melakukannya, dia menyembunyikan camilan kesukaanku yang--sialnya--juga kesukaannya di kabinet yang ia kunci. Dan lagi, dia akan marah besar jika aku minta sedikit saja.

Setelah selesai aku membawa nampak berisi dua cangkir teh hangat dan satu piring berisi camilan. Kutaruh itu diatas meja berhadapan dengan sofa tempat dimana Niall duduk sambil melihat acara talkshow yang masih sama.

"Kau suka Demi Lovato?" tanyaku sambil mengambil salah satu cangkir teh dan menegaknya sedikit kemudian kembali kutaruh cangkir itu di atas nampan hingga menimbulkan bunyi 'tuk' pelan.

"Bukannya aku pernah bilang padamu ya?"

"Oh, aku tidak ingat atau.. aku tidak peduli?" kataku pelan, lebih kepada diri sendiri namun tetap Niall bisa mendengarnya dan sekarang dia mendengus kesal.

"Sialan kau! Kapan kau pernah peduli dengan sampahku? Padahal 'kan aku selalu menjadi tempat sampahmu," gerutu Niall, dia mengambil salah satu camilan dan memasukannya ke dalam mulut besarnya.

Bagaimana aku peduli dengan sampahnya jika dia saja sering kali berbicara hal tak penting?

Namun, Niall memang benar, bahkan sepenuhnya benar, aku selalu menjadikannya tempat sampah, mengumbar keluhanku padanya dan mungkin Niall sudah lelah mendengarnya. Aku selalu menjadikannya tempat sampah karena tak ada lagi orang lain di dunia ini yang kupercayai. Bahkan ibuku.

"Aku kemarin malam bertemu Lottie,"
kata Niall sebagai penanda bahwa dia akan membawa topik sensitif itu ke dalam obrolan kami. Bah, padahal aku sedang mengharapkan obrolan ringan dan karena itulah aku membuatkan teh dan repot-repot mengeluarkan camilan, "--di pub. Dia bersama seorang pemuda dan aku tidak tahu siapa itu. Lottie tidak mengatakan apa-apa padaku. Dia.. terlihat lelah dengan semua ini. Apa kau tidak lelah, louis?"

Aku menghela napas, melarikan jemari lentikku di helaian rambutku kemudian menatap Niall frustasi. "Niall--"

"C'mon Louis, dia itu hanya ingin berbicara denganmu, apa salahnya? Memangnya kau tidak rindu padanya? Tidak rindu dengan lainnya juga? Jika memang kau tidak mau kembali ke rumahmu, bicaralah dengan orang-orang di dalamnya."

"Alasan aku menolak bicara dengan Lottie karena aku tahu, pada akhirnya dia akan membawa topik itu ke dalam pembicaraan kita dan berapa kali kubilang bahwa aku tidak suka. Dan, aku. Tidak. Suka. Dipaksa," kataku, menekan setiap kata yang kuucap.

"Aku sudah mengatakan hal itu pada Lottie ketika dia berkata padaku pagi ini melalui pesan bahwa dia ingin bicara denganmu, dia bilang tidak masalah, satu-satunya hal yang dia inginkan hanya mengobrol lagi bersamamu dengan hangat tanpa teriakan, barang yang dibanting dan kata-kata kasar." Niall mengangsurkan ponselnya padaku. Kubuka ponselnya dan mencari nama Lottie di antara percakapan-percakapannya dengan yang lain, kubaca percakapannya dengan lottie dan Niall benar, Lottie tidak mempermasalahkan permintaanku.

To be honest, aku juga sudah sangat lelah ketika setiap bertemu dengan Lottie aku berteriak di hadapannya, memakinya dan bahkan sempat aku membanting ponselnya. Ya, aku tahu, aku kakak bajingan.

"Bagaimana?"

"Ya."

"Malam ini? Kuatur pertemuan kalian."

Aku menggeleng, "tidak malam ini."

"Kenapa?"

"Aku sudah berjanji akan membantu Eleanor untuk menyiapkan kejutan ulang tahun London," kataku dan bisa kulihat Niall terkejut, dia membulatkan matanya dan mulutnya menganga.

"Kau sudah dekat dengan Eleanor?"

"Tidak bisa dikatakan sedekat itu."

"Membantu untuk menyiapkan kejutan ulang tahun adalah sesuatu yang tidak menunjukkan kedekatan, are you kidding?" kata Niall, dia kemudian memindah posisi duduknya menjadi lebih nyaman sekaligus bisa berhadapan denganku, "tell me?"

"Huh?"

"Louis!"

Aku menghela napas kemudian ceritaku dengan Eleanor keluar dengan mudahnya dari mulutku. Aku terus bercerita tentang kejadian kemarin dimana aku akhirnya tahu bahwa kafe yang sering kudatangi adalah kafe milik Eleanor dan bagaimana kami menghabiskan waktu di mall, aku juga tidak melewatkan momen dimana Eleanor bertemu dengan dua orang asing dan terlihat tidak nyaman sampai kejadian tadi pagi dimana Eleanor meminta bantuanku menjaga London selagi dia pergi ke supermarket.

Aku mengatakan semua itu dengan lancar sembari membayangkan kejadiannya seolah ada reka adegan yang terputar di proyektor yang di letakkan di hadapanku. Sambil bercerita, aku menegak teh buatanku dan memakan camilan.

Niall mendengarkan saksama, dia tidak menginterupsi sama sekali. Tak jauh beda denganku, dia mendengarkan sambil menikmati teh dan camilan. Sesekali kudapati Niall tersenyum-senyum sendiri dan aku sama sekali tidak memiliki ide tentang apa yang membuatnya berkelakuan demikian.

"Kalau aku tidak salah ingat, kau terakhir kali memiliki hubungan dengan seorang gadis di tahun pertama secondary school. Itupun hanya bertahan lima hari karena Gia kemudian tertarik dengan anak lain yang menurutnya jauh lebih baik darimu. Aku benar 'kan?" Kata Niall setelah aku selesai bercerita.

Ke mana dia membawa perbincangan ini?

"Well, kau benar. Aku bahkan sudah lupa dengan itu dan kau masih ingat? Wow, kau memang yang terbaik, Niall."

Niall tak menanggapi pujianku. Wajahnya serius padahal biasanya jika aku melayangkan pujian, dia akan menepuk-nepuk dadanya yang dibusungkan dan berkata bahwa dia memang yang terbaik.

"Kau mungkin bisa mencoba suatu hubungan dengan Eleanor? Kau tahu, kau tidak mungkin seperti ini terus 'kan? Aku juga sudah punya Celine dan tidak mungkin aku bisa terus bersamamu meski yah, kau memang sahabatku."

"Jesus, kau sudah gila Niall? Bagaimana dengan pemuda yang kau bilang sering keluar masuk flat-nya? Lagipula, aku tidak tertarik dengan Eleanor."

Niall mengedikkan bahunya, "kita lihat saja."

Aku tidak pernah memiliki pemikiran untuk memiliki hubungan serius dengan seorang gadis dan itulah alasan mengapa sampai sekarang aku sendiri. Aku bahkan tidak peduli jika Niall sudah memiliki Celine. Aku tahu, cepat atau lambat Niall menemukan gadis pujaannya dan akan menghabiskan banyak waktunya dengan gadis itu ketimbang aku. Lagipula, Niall bahagia dan aku akan menjadi sangat jahat jika berlakon egois dengan marah padanya karena dia menghabiskan lebih banyak waktunya dengan gadis.

Dan, lagi, aku tidak yakin para gadis bisa menerima keadaanku. Pasti, latar belakangku bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan saat diceritakan pada orang lain dan bukankah para gadis lebih suka dengan cerita yang membanggakan demi menjaga image mereka di hadapan orang lain?

#

Rintik air hujan turun dan jatuh di atas tanah dengan keras bagai sebuah anak panah yang dihujamkan dari atas langit. Sesekali, petir menyambar diikuti dengan suara gemuruh memekakkan telinga. Gumpalan awan kelabu yang terlihat bagai kapas bercat abu-abu digantung di atas langit menutupi kecantikan sang dewi malam.

Angin mendesau, menghantarkan sensasi dingin yang menelusup hingga ke tulang belulang para manusia, termasuk Louis. Pemuda itu kemudian menaikkan suhu mobilnya hingga merasa lebih hangat. Telinganya dengan saksama mendengarkan lantunan musik jazz yang seolah menyatu dengan suara hantaman hujan di luar sana.

Mesin mobilnya ia matikkan saat akhirnya ia tiba di destinasinya, sebuah rumah sederhana di salah satu sudut kota Doncaster. Dari luar, rumah itu terlihat sunyi, dingin dan kelam. Louis menghela napas menyadari betapa dingin dan kelamnya rumah ini namun merasa lega secara bersamaan ketika ia sadar bahwa rumah ini diselimuti keheningan meski ada satu titik di dalam pikirannya yang bertanya-tanya kenapa hal langka ini terjadi diikuti dengan asumsi-asumsi yang tiada henti bermunculan kecuali jika sekarang juga dia keluar dan masuk ke dalam sana untuk mendapati jawaban sebenarnya.

Ia kemudian benar-benar keluar dari mobil, dengan cepat--karena tidak ingin hujan membasahi mantel yang dikenakannya--ia berdiri di depan pintu kayu yang ia tahu adalah satu-satunya akses keluar masuk rumah dihadapannya. Diputarnya knop pintu dan didorongnya pintu itu hingga menimbulkan bunyi derit akibat pertemuan kaki pintu dengan lantai marmer.

Telinganya menangkap lantunan musik klasik dari dalam. Ditutupnya pintu di belakangnya dan masuk lebih dalam.

Piringan hitam terlihat berputar dan tak jauh dari situ, di atas sebuah kursi di meja makan, seorang wanita setengah baya tengah duduk diatasnya, mata wanita itu yang terlihat sayu menatap kosong di hadapannya sedangkan kedua tangannya memangku wajahnya. Tidak perlu menjadi seorang psikolog untuk tahu bahwa wanita itu tidak sedang baik-baik saja dan tengah merasakan sebuah tekanan.

Louis melangkahkan kakinya, memotong jarak yang terbentang antaranya dan wanita itu kemudian ditepuknya pelan bahu wanita itu. Tanpa diduga, wanita itu terlonjak kaget dan menatap Louis dengan mata membulat selama beberapa detik sebelum kembali normal.

"Louis, kau sudah pulang?" Pertanyaan basa-basi wanita yang ia panggil mum itu tak dijawab olehnya, Louis justru mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan yang terjamah oleh kedua bola mata birunya yang menurut sebagian orang terlihat indah.

"Rumah ini sepi," kata Louis, mengucapkan satu kalimat yang bisa mendeskripsikan dengan baik suasana rumah ini, "ke mana Lottie, Félicité, Phoebe dan Daisy? Dan, ke mana dad?" Louis menyebutkan satu per satu saudarinya sekaligus lelaki lain selain dirinya yang bernapas di rumah ini.

"Adikmu tidur, kelelahan."

Louis mengerutkan dahinya, "lelah? Kenapa? Ada lomba di sekolah mereka?"

Wanita itu menggeleng, "tidak." Hening beberapa saat, hanya ada lantunan musik klasik yang keluar dari piringan hitam yang tak hentinya berputar, "ada yang harus kubicarakan denganmu. Duduklah."

Louis mengangguk, dia kemudian duduk di hadapan ibunya. Dengan berhati-hati ibunya mulai bercerita, bercerita sebuah cerita yang tak pernah ingin ia dengar. Sebuah cerita yang sama sekali berbeda dengan cerita dongeng yang sering ibunya bacakan pada Phoebe dan Daisy sebagai pengantar tidur.

Ini seperti mimpi buruk di mana Louis tidak bisa bangun.

⚫⚫⚫⚫⚫

Menulis dengan sudut pandang orang ketiga itu 'bukan gue banget'. Bcs, aku lebih nyaman nulis pakai sudut pandang orang pertama, aku maksain diri aku buat nulis pake sudut pandang orang ketiga supaya lebih kelihatan part flashback-nya. I hope u guys love this chapie :)) btw, leave vote and comment(s) so I know that you enjoy this story. Thanks :) xx

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top