Eleanor
Hari ini aku mendapati punggungku sangat nyeri. Memang, hal ini sudah sangat sering terjadi dan sangat menyebalkan karena nyeri ini membuatku tak bisa bergerak bebas dan saat kuperiksakan ke dokter, dia bilang ini semua terjadi karena aku jarang berolahraga.
Dulu, aku sering pergi ke gym namun sejak empat tahun lalu rutinitas itu tak lagi kujalani. Aku lebih suka menyendiri di kamar sambil melamun dan mungkin akan terus seperti itu jika saja Tasha atau Max tidak datang mendobrak kamarku.
Aku bangkit dari posisi tidurku kemudian bergerak menuju ke dapur. Saat ku buka kulkas, aku sedikit terlonjak kaget mendapati kulkas sedang kosong, hanya ada satu botol air. Dan ya, tentu hal ini tidak akan terjadi jika aku tidak lupa untuk belanja.
Aku mengambil ponsel milikku yang tadi malam aku charge di ruang tengah kemudian menelpon Max, memastikan apa dia akan ke sini atau tidak karena jika iya, aku akan memintanya menjaga London selagi aku berbelanja mengingat dengan punggung seperti ini, aku pasti akan kesusahan.
"Hallo, ada apa?" Max bersuara di sebrang sana, suaranya parau dan bisa kusimpulkan bahwa dia baru saja menjauhkan punggung lebarnya dari kasur.
"Max, apa nanti kau kesini?"
"Oh, maaf Eleanor, kurasa tidak, hari ini aku akan menghabiskan seluruh waktuku dengan Candice, dia libur hari ini dan kau ingat 'kan bahwa bosnya itu sering menahan Candice di kantor?"
Oh, sayang sekali tapi aku tidak mungkin memaksa Max walaupun bisa jika aku mau mengingat ucapan pemuda itu sangat benar. Candice jarang mendapatkan hari libur, biasanya, di hari Sabtu seperti ini ia tetap harus bekerja jadi sebuah keajaiban Candice bisa libur.
"Oh, baiklah."
"Hmm.. ya, maaf ya," kata Max kemudian tau-tau sambungan sudah di matikan secara sepihak.
Aku mendengus kesal lalu menaruh ponsel secara sembarangan di atas meja. Kugigit tanganku, berpikir siapa sekiranya orang yang bisa menjaga London karena aku harus segera membeli kebutuhanku di supermarket atau aku dan London tidak akan sarapan.
Aku tidak mengenal tetangga di sekitarku. Hanya nenek Georgia yang kukenal, dia sudah tua renta dan ia menghabiskan banyak waktunya dengan menyulam. Tidak mungkin aku menyerahkan London padanya, itu akan sangat merepotkannya.
Hah, aku harusnya bersosialisasi dengan tetangga sekitar--oh, ya, sebuah ide menghantamku telak, dengan itu, aku langsung keluar dari flat-ku menuju flat lainnya kemudian menekan belnya, tak perlu waktu lama bagiku untuk di bukakan pintu oleh si empunya flat.
Louis menyembulkan kepalanya. Matanya masih setengah terpejam, rambutnya berantakan. Kurasa, aku membangunkan orang untuk kedua kalinya.
"Bukankah sudah kuberikan kunci untukmu, Niall?" tanyanya dengan suara parau. Oh, kurasa dia mengiraku sebagai Niall, teman pirangnya waktu itu.
"Aku bukan Niall, aku Eleanor," ucapku pun, Louis membuka kedua matanya dengan terkejut. Kedua matanya membulat begitu menangkap diriku.
"Oh, Eleanor, maaf, ada apa?"
"Apa kau akan bekerja?"
"Tidak, ini weekend jadi aku bebas. Ada apa?"
"Sebelumnya, maaf jika merepotkanmu, aku ingin pergi ke supermarket dan aku tidak bisa membawa London karena punggungku sakit, jadi, aku minta tolong jaga London selagi aku pergi."
"Oh, bukan masalah, ayo!" ucap Louis, dia memakai sandalnya kemudian keluar dan menutup pintunya. Kami kemudian berjalan memasuki flat-ku.
Kusuruh Louis duduk di sofa kemudian aku bergegas mengganti pakaianku menjadi layak dan tak lupa untuk membawa dompetku. Setelah siap, aku kembali ke hadapan Louis yang mengedarkan tatapannya ke seluruh penjuru flat-ku yang terjangkau oleh matanya.
"London masih tidur, aku pergi dulu ya," kataku kemudian berlalu dari hadapannya.
#
Tidak ingin membuat repot Louis, aku melakukannya dengan cepat. Kumasukkan benda-benda yang kubutuhkan kedalam troli. Beruntung, supermarket masih sepi sehingga aku bisa bergerak dengan bebas.
"Eleanor?"
Aku tersentak kaget mendengar seseorang memanggil namaku. Kutolehkan kepalaku dan kudapati sosok pemuda berambut keriting dan mata hijau yang sempat kutemui di mall saat aku pergi bersama Louis dan London.
Kurasa kota London mulai menyempit, bagaimana bisa aku bertemu dengan dia lagi di sini.
"Kita bertemu lagi," ucapnya sambil mengulas senyum yang dulu membuat hatiku berdebar-debar. Kukira efek itu sudah hilang tapi tidak, dia masih sama dan aku benci dengan kenyataan itu.
Eleanor, ingatlah semua kelakuan bejatnya! Setelah semua ini, kau masih seperti ini?
"Ya," jawabku singkat, sesingkat kontak mata yang kami lakukan karena aku segera mengalihkan tatapanku ke arah kardus susu untuk anak berumur empat tahun, kuraih salah satunya dan kumasukan kedalam keranjang.
"Apa kau sudah menikah dan memiliki anak?"
"Kau masih sama seperti dulu, sok mengerti banyak hal padahal kau sama sekali tidak mengerti."
"Lantas yang kemarin bersamamu di mall siapa? Jangan pura-pura bodoh, kalian terlihat seperti keluarga. Pria itu terlihat sangat menyayangi anak di gendongannya, begitupula denganmu."
Aku yang sedari tadi memunggungi Harry yang terus mengoceh dan menyampaikan pengamatannya yang sungguh tidaklah benar segera berbalik, menatap pemuda itu yang kukira sudah berubah karena ini sudah empat tahun lamanya semenjak kami tak lagi berhubungan tapi ternyata tidak, sama sekali tidak. Harry tetaplah Harry.
"Bisakah kau diam? Lagipula, apa urusanmu jika aku sudah berkeluarga?"
"Aku hanya bertanya-tanya kenapa kau sungguh jahat karena tidak mengundangku dan Alli."
"Kurasa kau dan Allison bukanlah orang-orang penting. Dan lagi, aku takut Alli akan mengambil priaku lagi," kataku kemudian berbalik dan mendorong troliku menuju kasir.
Sebelum berbelok masih kudengar suara Allison, "kau bicara dengan siapa, babe?"
#
"Maaf, sudah merepotkanmu, Louis," kataku sambil menaruh barang belanjaan di dapur. Kuambil gelasku dan memasukkan air dingin sebanyak-banyaknya kemudian meminumnya. Kurasa berbicara dengan Harry telah berhasil membuatku kehilangan banyak tenaga.
"Bukan masalah, aku suka London," kata Louis, dia menghampiriku di dapur bersama London di gendongannya, "dia menggemaskan."
"Hmm ... kau benar."
"Aku akan membuat sarapan, kau bermainlah bersama London, jika kau masih ingin."
"Ya, tentu," Louis tersenyum sebelum berbalik menuju ruang tengah.
Dari dapur, aku masih bisa melihat kegiatan mereka. Sambil memasak pancake, kuperhatikan Louis yang dengan penuh kesabaran mengajarkan London membuat bangunan dari mainan lego yang baru kubeli kemarin saat pergi ke mall. Sesekali mereka berdua tertawa yang entah kenapa berhasil membuat sudut-sudut bibirku terangkat membentuk kurva melengkung.
Louis terlihat sama seperti Max, maksudku keduanya terlihat sama-sama memiliki aura ayah yang membuat keduanya terlihat menggemaskan saat bersama anak kecil. Kurasa, siapapun yang menjadi istri Louis maupun Max kelak akan sangat beruntung bisa melihat momen seperti ini tiap harinya.
"Guys, pancake sudah siap," kataku sambil menaruh dua piring besar dan satu piring kecil yang semuanya berisi pancake.
"Terima kasih sudah membuatkanku sarapan," kata Louis saat dia duduk di kursi meja makan.
"Seharusnya aku yang mengatakan itu. Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasihku."
"Hmm ... bagaimana dengan punggungmu?"
"Sudah agak baikan," kataku kemudian kumasukkan potongan pancake ke dalam mulutku.
Sarapanku kali ini diwarnai dengan perbincanganku bersama Louis yang terkadang membantu London saat bocah itu berpura-pura kesusahan. Ya, hanya berpura-pura karena aku betul dia bisa saja melakukannya sendiri.
Selesai makan, Louis dan London kembali bermain sedangkan aku sibuk mencuci menggunakan mesin cuci. Siangnya, London tertidur karena lelah bermain hide and seek bersama Louis yang sekarang duduk di lantai dengan punggungnya yang menyender pada sofa.
"Terima kasih sudah menemani London bermain," kataku sambil duduk di sampingnya.
"Bukan masalah besar. Sudah kukatakan aku menyukainya, dia sangat menggemaskan," ucap Louis membuatku terkekeh.
"Besok London ulang tahun. Malam nanti aku ingin memberinya kejutan, kau mau membantuku?"
"Yeah, tentu."
Kami kemudian melanjutkan obrolan kami mengenai hal-hal ringan sambil menoton televisi. Aku cukup nyaman berbincang dengan Louis. Meski kami baru saja dekat, dia sangat lucu dan image menakutkan seolah hilang dari dirinya. Meski begitu, aku bertanya-tanya siapa Lottie itu dan kenapa dia selalu marah-marah dan terkesan sangat kasar? Aku ingin bertanya tapi kemudian aku ditampar oleh kenyataan bahwa mungkin Louis masih menganggapku sebagai orang yang benar-benar asing dan jelas aku bukanlah orang yang seharusnya tahu mengenai hal pribadi semacam ini.
Kurasa pertanyaan ini bisa kutelan terlebih dahulu.
• • • •
Happy new year!!! (Aku nulis ini waktu tahun baru 2016)
I know this story really weird. I mean, lo baru kenal sama orang, lo nggak tau latar belakangnya tapi udah mau nitipin anak kecil ke orang itu. Tapi coba kalau lo ada di posisi Eleanor, posisi sulit.
Okay, hope you guys know what I mean. Gimme your vomment(s)! Love ya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top