[3] Lottie dan Mereka
Eleanor
Aku terbangun dengan kepalaku yang sangat pusing hingga aku merasa bahwa bangunan ini berputar-putar. Aku menoleh, menatap ke sekitar, rasanya ruangan ini asing bagiku namun kepalaku sangat pusing membuat otakku tak bisa bekerja.
Aku merasa perutku dililit, semua isi perutku berdemo minta segera dikeluarkan. Pun, aku berlari tidak jelas hingga menemukan toilet duduk dan segera muntah di sana. Kukeluarkan semua isi perutku hingga aku puas, kemudian membersihkan mulut dan menyiram hasil muntahanku.
Kepalaku masih terasa sangat pusing namun perlahan-lahan aku mencoba mengingat apa yang terjadi padaku. Kemarin aku pergi ke pub yang dulu sering aku kunjungi saat masih menjadi mahasiswi bersama London dan aku mabuk berat karena melihat mereka. Aku kemudian mengajak London pulang dan--oke, kurasa ingatanku berhenti di situ. Tapi, bukan itu yang kini kupedulikan. Di mana London?
Aku berlari keluar dari kamar asing yang terlihat cukup berantakan, mencari sosok London yang bahkan tak tahu kini berada di mana. Aku akan menggapai pintu yang kuanggap sebagai pintu keluar ketika aku mendengar suara tawa seorang bocah dan seorang pria, sontak, aku berhenti dan terdiam di tempat sebelum aku bergerak mengikuti asal suara tersebut.
Aku menemukan London nampak tengah tertawa keras saat hidungnya dicoleki sedikit selai cokelat oleh seorang pemuda dan pemuda itu adalah Louis Tomlinson, tetanggaku. Mereka tidak sadar akan eksistensiku dan terus tertawa entah karena apa setidaknya sampai aku berdehem keras.
"Oh, Eleanor, kau sudah bangun?" kata Louis, dia turun dari kursi yang ia duduki ketika aku berjalan mendekati meja makan dan duduk berhadapan dengan London yang kini sibuk memainkan cangkir berisi entah apa.
Louis kembali tak lama kemudian dengan cangkir berwarna hijau di tangan kiri dan satu tablet obat. Keningku berkerut melihat itu, mengira-ngira apa yang ia bawa.
"Ini untukmu. Teh dan obat, kau sangat mabuk semalam," kata Louis, mendekatkan cangkir yang ternyata adalah teh dan satu tablet obat tadi kemudian duduk di tempatnya semula, samping London.
"Terima kasih," kataku, kemudian meminum tehnya sedikit sebelum menelan obatnya dan kembali minum teh sebanyak-banyaknya. Teh hangat tadi menjalar ke seluruh tubuhku, sedikit membuat pusingnya menghilang.
Aku ingin bertanya soal beberapa hal yang menari-nari di pikiranku semacam; kenapa aku bisa berada di sini? Apa yang terjadi padaku semalam setelah membawa London keluar dari kelab? Dan lain sebagainya namun urung begitu aku sadar bahwa mungkin aku tak akan bisa menangkap informasi apapun mengingat kepalaku yang masih sangat pusing.
Ck, seharusnya aku tidak perlu mabuk berat seperti ini apalagi alasan di baliknya adalah mereka.
Aku menatap pandangan di hadapanku. Louis membantu London mengoleskan selai cokelat di atas lembaran roti tawar sedangkan London sendiri memperhatikan Louis dengan seksama, ekspresinya serius yang hampir membuatku mencubit kedua pipinya yang tambun.
"Kenapa kau melihat seperti itu? Kau mau? Ambil saja! Kau bisa mengolesi selai sendiri 'kan?" kata Louis, sepertinya bicara padaku karena rasanya sangat tidak mungkin ia bicara pada London yang sekarang menikmati roti tawar selai cokelatnya dan tidak ada orang lain di sini selain kami bertiga. Saat mengatakannya, mata Louis tidak tertuju padaku melainkan iPhone-nya.
Aku memilih tidak menjawab, justru masih mengamati London dan Louis. Louis meletakkan iPhone-nya ketika London memanggil, meminta bantuan Louis untuk meraih gelas minuman yang letaknya bahkan tidak terlalu jauh. Akhirnya Louis memberikan gelas tersebut pada London, membantu bocah itu minum dan membersihkan sisa-sisa susu di sekitaran mulut London.
Ini perasaanku saja atau memang kenyataan Louis terlihat seperti seorang ayah yang dengan sabar mengasuh anaknya? Aku tertawa dalam hati akibat pikiranku sendiri.
"Bagaimana aku bisa berada di sini?" tanyaku setelah yakin otakku bisa menangkap apapun yang akan dikatakan Louis nanti.
"Aku menemukan London di tengah jalan, dia bilang bibinya meminta bantuan dan aku sadar bahwa itu kau, tetanggaku. Kau pingsan di tengah jalan, kuputuskan untuk menggendongmu dan membawamu ke flat-ku."
Mataku membulat mendengarkan penjelasan dari Louis yang terlihat tidak sedang mengada-ada.
"Menggendongku?!" teriakku, kurasa cukup keras bahkan sekarang London menutup kedua telinga mungilnya dengan tangannya.
"Ya, aku tidak mungkin menyeretmu 'kan?"
"Sial," aku mengumpat pelan namun tidak cukup pelan karena kelihatannya Louis mendengarkan hal itu dan kini, dia menatapku dengan sangat tajam seolah aku baru saja melakukan dosa besar, "ah, aku benci punya hutang budi pada orang lain," kataku dengan bibir mengerucut dan tanpa sadar menendang kaki Louis dari bawah meja makan.
Louis nampak ingin protes dengan kelakuanku saat bel flat-nya berbunyi dengan nyaring. Pemuda itu dengan cepat berdiri. Ia menghilang untuk beberapa sekon lamanya sebelum kembali bersama seorang pemuda bersurai pirang yang sering kulihat keluar masuk flat-nya.
Pemuda entah-siapa-itu menatapku dengan mata membulat seolah aku adalah spesies langkah yang secara tidak sengaja ia temukan.
"Hei, aku tidak salah lihat 'kan? Kau Eleanor?" pemuda itu berkata dengan suara kerasnya, kulihat dari sudut mataku Louis terlihat sedang meruntuki kelakukan entah-siapa-itu.
"Yeah."
"Bagaimana bisa kau ada di sini?!"
"Sudahlah, Niall, akan kuceritakan nanti," kata Louis, dia menarik tubuh pemuda yang kurasa bernama Niall itu dan menundukannya di tempat Louis semula duduk.
"Hei, teman priamu menunggumu. Dia ada di depan."
Mataku membulat, seketika sadar akan eksistensi Max. Sial, aku lupa bahwa Max akan datang ke flat-ku setiap pagi dan dia pasti akan bertanya dari a hingga z tentang aku yang tidak ada di flat. Ia tidak akan puas bertanya padaku jika tidak kunjung mendapatkan jawaban rasional.
Matilah aku!
"Bibi, apa paman Max sudah datang?" tanya London tiba-tiba. Dia sudah selesai dengan roti tawar selai cokelat dan susunya.
Aku mengangguk, membawa London kegendonganku dan berterima kasih pada Louis atas bantuannya kemudian keluar. Kutemukan Max berdiri di depan pintu flat-ku sambil menggerutu. Melihat Max, tubuh London di gendonganku menggeliat dan akhirnya kubiarkan bocah itu berlari menghampiri Max yang seketika membulatkan matanya.
"Dari mana saja kau?!" ucap Max--atau harus kusebut berteriak?--dan berhasil membuat London yang akan menghamprinya menjadi berbalik ke arahku dan memeluk kakiku yang terbalut celana jins hitam.
"Max, kau menakuti London!" kataku, mencoba mengalihkan pembicaraan seraya membawa London yang ketakutan karena suara Max ke dalam pelukanku.
"Jawab saja! Dari mana kau?" kata Max, berhasil membaca keinginanku untuk mengalihkan pembicaraan, suaranya sudah tak sekeras tadi namun tatapannya semakin menajam membuatku merasa kecil di hadapannya.
"O-oke, akan kuceritakan t-tapi kupikir kita masuk saja dulu," kataku, merogoh saku celana dan mengeluarkan kunci flat. Kubuka pintunya dan membiarkan kami semua masuk. Aku duduk di sofa merah maroonku bersama London sedangkan Max masih berdiri sambil menatapku tajam.
"Cepat ceritakan!" perintah Max membuatku segera menceritakan semua kejadian kemarin di mulai dari pertemuanku dengan empat teman semasa kuliahku hingga pagi ini aku terbangun di kamar asing yang ternyata adalah kamar Louis. Dan sesuai dugaanku, Max marah besar. Ia kembali menceramahiku soal tidak seharusnya aku mabuk, tidak seharusnya aku membawa London ke kelab malam dan lain sebagainya. Hsshh, seandainya dia tahu apa alasanku mabuk, apa dia masih marah seperti ini?
"Iya Max, aku sudah tau," kataku sebagai akhir dari ceramahan Max pagi ini karena kemudian pemuda itu pergi, katanya ingin mengurusi sesuatu entah apa di restoran miliknya.
Aku menghela napas berat, menarik rambutku kebelakang sambil menatap London yang juga menatapku dengan tatapan polosnya. Aku hendak bangkit menuju dapur untuk mendapatkan segelas air dingin ketika ponselku berdering minta diperhatikan. Nama Tasha tertera di layar ponselku, pun dengan cepat aku menjawabnya karena jika tidak maka kita semua tahu bagaimana Tasha akan marah besar padaku seolah-olah aku baru saja melakukan kesalahan yang sangat besar.
"Ada apa Tasha?"
"Bagaimana keadaanmu dan London?"
"Kami baik-baik saja."
"Kau ingat 'kan bahwa lusa adalah ulang tahun London?"
Lusa, ya? Wah, aku benar-benar tidak menyangka bahwa lusa London benar-benar berumur empat tahun. Aku merasa bahwa waktu bergulir dengan cepat seperti baru kemarin aku melihat London masih berbentuk bayi yang tidak bisa apa-apa dan sekarang tahu-tahu sudah akan berumur empat tahun, sudah bisa berbicara dan menyanyi meski kadang nyanyiannya keluar dari nada.
"Tentu saja."
"Seperti yang kita tahu, baik aku maupun Dennis tidak bisa ke sana. Aku harap kau bisa menggantikan peran kami, ajak London jalan-jalan dan beli apapun sebagai hadiah dengan uang dari kartu kredit yang waktu itu kuberi padamu."
"Ya, Tasha."
"Kalau begitu sudah dulu ya, aku ada meeting sebentar lagi. Bye!" kata Tasha dari sebrang sana dan detik selanjutnya sambungan dimatikan secara sepihak.
Aku menoleh ke arah London, keponakanku itu menatapku dengan tatapan sendunya. Aku bisa merasakan kesedihannya, kesedihan karena tidak bisa merayakan ulang tahun bersama ibu. Melihat itu, aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan tak kalah sendu.
"London?"
"Ya?"
"Hari ini, kita belanja! Kita habiskan uang Tasha!" kataku sambil mengepalkan tangan ke atas membuat London terkekeh dan mengepalkan tangan kecilnya ke atas juga. Tatapan sendu dari bocah itu sontak menghilang berganti tatapan excited, tidak sabar dengan kegiatan belanja kami.
#
Sialan! Aku mengumpat begitu melihat rintik air hujan dari balik jendela kafe milikku ditambah langit yang gelap padahal sekarang masih siang. Itu tandanya, kegiatan belanja terpaksa harus ditunda.
Aku dan London memang tidak langsung pergi ke mall, aku memutuskan untuk mengecek keadaan kafe sebentar dan ternyata ada masalah dengan salah satu pelangganku yang merasa tidak puas akibat kesalahan salah satu karyawan. Akibatnya, aku harus mengurus pelanggan dan karyawan tersebut cukup lama. Dan sekarang, setelah masalahnya selesai, aku justru dihadapkan dengan masalah cuaca.
Sebenarnya, bukan cuaca yang menjadi masalahnya namun kendaraan yang kunaiki. Jika aku pergi dengan taxi maka aku dan London akan membutuhkan waktu lama hanya untuk menunggu taxi dan aku tidak bisa menjamin bahwa selama menunggu taxi lewat, aku dan London tidak akan merasa sangat kedinginan. Dan jika aku menggunakan bus, aku harus pergi ke halte yang jaraknya cukup jauh dan masalahnya aku tidak membawa payung.
Sungguh sial! Harusnya aku menuruti perkataan Max untuk membeli mobil.
"Bibi Eleanor, apa kita tidak jadi belanja?" tanya London, dia sudah selesai memakan red velvet yang kuberikan tadi untuk menemaninya selagi aku menyelesaikan masalah. Ia menatap ke arah luar jendela, memperhatikan rintikan air yang mengenai kaca.
"Tidak jadi," kataku kemudian menghela napas.
"Sialan! Sudah berapa kali kubilang, jangan ikuti aku lagi!"
Aku menoleh ketika mendengar suara teriakan. Datangnya dari salah satu pelangganku yang duduk di kursi pojok. Kuamati wajahnya begitu aku merasa mengenalnya dan benar saja, itu Louis Tomlinson. Di hadapan Louis sudah ada seorang gadis, aku bisa melihat gadis itu ketakutan meski matanya menatap Louis tajam seolah tidak takut sama sekali dengan teriakan pemuda itu yang mengundang perhatian dari pelangganku lainnya.
"Nona, dia yang kukatakan selalu membuat ribut di kafe ini. Setiap jam makan siang, dia akan datang ke sini dan akan marah-marah saat melihat gadis itu. Dia memang tidak merusak apapun dan akan langsung pergi, namun beberapa langganan kita tidak lagi ke sini karena merasa terganggu," bisik Samantha, dia adalah gadis yang kuberi tanggung jawab lebih untuk mengawasi kafe ini ketika aku tidak ada.
Sam--begitu aku memanggil Samantha--sering mengeluh soal salah satu pelanggan yang membuat onar setiap jam makan siang. Aku tidak menyangka bahwa Louis adalah orang yang dia bicarakan.
Tiba-tiba aku ingat cerita Max tentang dia yang melihat Louis bertengkar sampai membanting ponsel seorang gadis (chapter 1). Apa Louis sering seperti ini? Dan apa gadis yang dimaksud Max sama dengan gadis ini?
Aku kemudian bangkit dari posisi dudukku, menyuruh Sam untuk menjaga London sebentar selagi aku membuat langkah mendekati Louis yang masih adu mulut dengan gadis entah-siapa. Aku hanya ingin memberikan pengertian pada Louis bahwa ini adalah tempat umum, banyak yang melihatnya di sini dan banyak yang merasa terusik dengan teriakannya.
"Louis!" aku memanggil Louis, pemuda yang sebelumnya terlihat akan membalas ocehan gadis itu langsung diam, ia menoleh ke arahku dan matanya membulat seketika.
"Eleanor?"
"Hi, Louis! Sebelumnya aku tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi ini kafe milikku, kulihat banyak pelangganku yang terganggu dengan teriakanmu. Sebenarnya, apa masalah kalian? Aku tidak bermaksud ikut campur namun, bukankah kalian bisa membicarakannya dengan baik-baik bukannya beradu mulut seperti ini?" ucapku, pelan-pelan, tidak ingin membuat Louis tersinggung dan dia semakin marah.
Louis menghela napas berat. Jemari pemuda itu berlari di rambutnya. Bisa kulihat bahwa dia cukup frustasi dan aku benar-benar tidak bisa mengira-ngira apa hubungan Louis dengan gadis ini.
"Maafkan aku, Eleanor, aku benar-benar tidak bermaksud membuat pelangganmu tidak nyaman. Lottie, bisakah kita membicarakan ini nanti saja? Aku sungguh tidak ingin membicarakan hal ini dulu, " Louis memohon pada gadis di hadapannya yang ia sebut Lottie.
Lottie menghela napas, dia menarik rambutnya ke belakang sebelum mengambil tasnya yang teronggok di atas meja kemudian melenggang pergi dari kafe ini. Aku memperhatikan punggung gadis itu yang terbalut kaos ketat berwarna putih sampai menghilang dari pandanganku.
"Sekali lagi, maafkan aku."
Aku menoleh, kutemukan Louis dan raut menyesal yang bercampur dengan raut frustasi. Aku sungguh tidak tahu apa masalah Louis dan Lottie namun bisa kuperkirakan bahwa masalah ini sangat besar.
"Tidak apa-apa. Hanya saja, kuharap kau bisa lebih menekan emosimu," kataku dan Louis hanya tersenyum.
"Paman!"
Baik aku maupun Louis menoleh dan menemukan London yang kini sudah memeluk kaki Louis yang terbalut skinny jeans berwarna hitam. Louis tertawa kemudian dia membawa London ke gendongannya. Dari sudut mataku, bisa kulihat Sam ketakutan. Mungkin, di pikirannya saat ini, Louis adalah orang yang jahat dan sebuah kesalahan jika London ada di sekitarnya.
"Tidak apa, Sam. Kau tidak perlu cemaskan London. Pergi bantu yang lain!" kataku yang langsung dituruti Sam, gadis itu kemudian pergi namun bisa kulihat bahwa dia masih tidak yakin.
Kalau boleh jujur, aku juga takut London tidak aman di dekat Louis namun entah kenapa separuh dari diriku yang lain percaya bahwa Louis bukan tipikal orang yang seperti itu. Jangan tanya, sejujurnya aku juga tidak tahu dari mana semua keyakinan itu berasal.
"Aku dengar dari London, katanya kalian mau belanja namun tidak jadi. Kenapa?"
"Hujan. Aku tidak tahu kendaraan apa yang harus kita naiki," kataku sambil memperhatikan hujan yang tidak kunjung reda.
"Kalian bisa ikut mobilku, aku juga akan ikut lagipula hari ini aku hanya berkerja setengah hari."
"Apa itu tidak akan merepotkanmu?"
Louis menggeleng sambil tersenyum, "tidak."
"Oke.. Baiklah."
"Yeay!" London berteriak nyaring membuatku dan Louis sontak tertawa. London memang akan menjadi hyper saat dia excited terhadap sesuatu.
Louis
"Menurutmu mana yang bagus untuk London?" tanya Eleanor, dia menunjukkan padaku dua pasang sepatu.
"London sendiri suka yang mana?"
"Dia suka dua-duanya, dan tidak mungkin dua-duanya kubeli."
"Baiklah, aku suka yang putih."
Eleanor memberikanku senyuman sebelum gadis itu berbalik dan kembali berbincang dengan salah satu pegawai, di sana juga ada London.
Yeah, aku memang sedang berbelanja dengan Eleanor dan London di sebuah mall--lebih tepatnya, dua perempuan itu yang pergi berbelanja dan di sini aku hanya bertugas menemaninya dan memberikan tumpangan. Aku rasa, ikut belanja dengan mereka tidak buruk dan itu lebih baik ketimbang hanya berdiam diri di flat lagipula semua pekerjaanku sudah selsai, tinggal menunggu pekerjaan yang lain datang.
Hal yang kusukai dari kegiatan belanja Eleanor dan London sejauh ini adalah ekspresi London. mata bocah itu berbinar-binar ketika melihat sesuatu yang disukai dan Eleanor akan berbicara lembut pada London tentang apa dia akan membelikannya atau tidak.
Kabar baiknya, Eleanor tidak begitu boros. Dia tidak akan membeli apapun yang disukai London. Dia akan berpikir lama lebih dulu, menimbang apa sekiranya London benar-benar butuh dan lain sebagainya. Sampai detik ini, Eleanor baru membeli dua potong baju dan satu pasang sepatu, semua itu untuk London tentunya.
"Aku lapar,"ata Eleanor ketika aku mengambil paper bag berisi sepatu yang baru ia beli untuk kubawa. Bibirnya mengerecut dan untuk beberapa alasan yang tidak kumengerti, aku menyukainya.
"Aku juga. Aku bahkan belum sempat makan muffin yang kubeli di kafemu."
"Ayo kita makan saja! Aku mau pizza, kau juga 'kan London? Tenang saja, aku yang traktir," kata Eleanor, dia mengakhir ucapannya dengan senyuman yang ia lempar padaku.
Kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju pizza hut dengan London yang memilih untuk berada di gendonganku. Aku banyak bercanda dengan London sedangkan Eleanor hanya menatap sekitar selama kami berjalan hingga tiba-tiba gadis itu menghentikan langkahnya, membuatku juga ikut menghentikan langkah.
"Eleanor, ada apa?"
Eleanor hanya diam. Dia mematung di tempatnya dengan mata yang menatap ke satu arah dan saat aku mengikuti pandangannya rupanya ia sedang melihat seorang pemuda dan seorang gadis asing--setidaknya bagiku--yang berjalan ke arah kami.
"Hey, Eleanor! Kebetulan sekali kita bertemu di sini," kata pemuda itu, dia melihat intens ke arah Eleanor selama beberapa detik lamanya sebelum menoleh ke arahku.
Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi di antara ketiga orang itu namun aku bisa merasakan kecanggungan yang luar biasa. Tiba-tiba kurasakan tangan Eleanor menggenggam tanganku, bukan genggaman halus melainkan genggaman yang sangat erat membuatku harus menahan erangan kesakitan.
"Kebetulan sekali. Tapi, maaf, kami sedang terburu-buru," kata Eleanor, dia menarikku berlalu dari hadapan pemuda keriting dan gadis tinggi semampai itu. Ketika aku menengok ke belakang sebentar, bisa kulihat pemuda keriting itu masih menatap Eleanor dan pandangan kami bertemu sebelum akhirnya gadis di sampingnya menarik paksa pemuda itu.
"Eleanor, kau baik-baik saja?" tanyaku ketika melihat Eleanor seperti akan menangis. Genggamannya juga semakin mengerat dan aku sangat yakin bahwa itu akan meninggalkan bekas kemerahan.
"Aku baik-baik saja. Maafkan aku, itu pasti sakit," katanya sambil melepaskan genggaman tangannya ketika ia melihat kernyitan di dahiku.
Aku ingin bertanya lebih jauh namun seketika tersadarkan bahwa bagaimanapun juga aku masih orang asing dan masalahnya dengan dua orang asing tadi adalah privasinya. Maka, aku hanya mengalungkan tanganku pada pundakya.
"Kau lapar 'kan? Ayo kita ke pizza hut sebelum cacing di dalam perutmu bertindak anarkis," kataku kemudian kembali melanjutkan langkah menuju pizza hut yang mulai terlihat, masih dengan tanganku yang terkalung di pundaknya dan tanganku lain menumpu beban tubuh London.
⚫⚫⚫⚫⚫
It's hard to made this chapie. I don't know why. So, sorry if this chapie so....... weird. Gimme your comment. Love ya xx
Btw, I made a new instagram account. Ig itu aku buat khusus buat update segala hal ttg wattpad. Krn aku menemukan sedikit kesulitan upload trailer ke YouTube aku upload ke sana. Cek di sana, ada trailer cerita Elounor-ku yang 'The Fault in Our Scars'
(at)vyomantara_
Btw, aku followback semua yg follow ke akun itu, kecuali olshop. Kalau follow akun pribadiku, komen for follback.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top