Waktu berjalan begitu cepat. Detik demi detik terus berlalu tiada henti. Tidak terasa sudah 2 tahun lamanya. Aku tidak bertemu dengan London apalagi kakakku, Tasha. Sesekali kami berhubungan melalui skype hanya sekadar membicarakan keadaan London dan lain sebagainya. Sejak Tasha memutuskan untuk pindah ke salah satu bagian dari United States, frekuensi pertemuanku dengan London maupun Tasha menjadi sedikit.
Terkadang aku merasa sedih dengan fakta bahwa aku tidak lagi berada di dekat London. Takut dia akan lupa denganku setidaknya sebagai bibinya.
"Lihat wajahmu, kenapa kau seperti itu? Ini pernikahan sahabatmu, Eleanor!" sebuah suara berhasil membuatku terlempar dari lamunan.
Aku menoleh untuk menemukan sosok Louis yang berdiri di belakangku dengan cengiran yang terukir di atas wajahnya. Aku mendengus melihat itu kemudian kembali berjalan entah ke mana.
Candice dan Max memang pada akhirnya menikah. Awalnya Max sempat ketakutan ia dan Candice tidak akan berhasil mengingat betapa keras kepalanya mereka berdua, Candice tidak ingin melepaskan karirnya sedangkan Max masih bersikukuh bahwa Candice harus melepaskan karirnya untuk menikah. Pada akhirnya Candice mengalah namun dengan syarat agar Max memperbolehkan gadis itu membuat usaha sendiri. Max tentu memperbolehkan dan Candice berakhir membentuk butik sendiri. Itu terdengar lebih baik daripada bekerja di bawah pimpinan seseorang.
Bagaimana denganku dan Louis? Kami tidak berakhir menjadi apapun namun kami tetap dekat. Terkadang kami terlalu dekat. Tapi ada satu waktu di mana kami sangat jauh, biasanya karena kami terlalu sibuk dengan dunia masing-masing. Dengan semua kedekatan kami, kami tidak memiliki kata yang pas untuk mendeskripsikan apa kami? Niall memaksaku untuk bertanya langsung pada Louis untuk menemukan kejelasan, namun aku berpikir itu akan membuat kami menjadi aneh. Lebih baik seperti ini, pikirku.
Namun akhir-akhir ini aku memiliki pemikiran yang lain. Mungkin apa yang Niall katakan benar, aku harus mencari sebuah kejelasan, masalahnya hanya satu, aku tidak tahu mengenai apa yang harus aku katakan pada Louis.
Haruskah aku bertanya, "hey, sebenarnya siapa kita?" ugh, itu aneh.
"Kau mencintaiku tidak?" ugh, ide buruk.
"Kau anggap aku apa?" ini jauh lebih aneh.
"Hey, kau memikirkan apa? Lihat keningmu berkerut, wajahmu murung, kau sangat jelek!" sebuah suara kembali menyentakku dalam realita. Louis tahu-tahu sudah berdiri di hadapanku, mengusap keningku perlahan seolah itu ampuh untuk menghilangkan kerutan yang aku ciptakan sendiri karena terlalu dalam berpikir.
Aku bisa merasakan dadaku yang berdebar dengan sangat cepat begitu menyadari betapa dekatnya kami sekarang. Aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya.
"Eleanor!" seseorang--ah, tidak, banyak orang, mungkin itu yang tepat--berteriak dengan sangat kencang, membuatku sedikit menjauh dari Louis dan mencari sumber suara.
Empat temanku, Elle, Dani, Lucy dan Ashelly, sudah berdiri tidak jauh dariku sembari melambaikan tangan mereka dengan heboh. Ah, tentu saja Max mengundang mereka. Aku buru-buru mendekat tanpa lagi mempedulikan hal mengenai Louis lagipula, kurasa saat ini aku butuh ruang darinya.
"Itu siapa? Kekasihmu? Kenapa kau tidak ajak ke sini?" Elle bertanya, menunjuk ke arah Louis yang masih berdiri di tempatnya tadi.
"He's not my boyfriend."
"He's hot. Tidak kalah dari Harry, by the way, aku tidak melihat dia maupun Allison di tempat ini. Apa Max tidak mengundang mereka?" kali ini Dani yang bertanya seraya mengedarkan pandangannya seolah sedang mempertegas bahwa ia sedang mencari sosok berambut ikal itu.
Aku menggeleng. "Coba jelaskan bagaimana cara mengundang seseorang yang sedang sibuk di Los Angeles?"
"Oh, jadi mereka sekarang di Los Angeles?" Elle menanggapi, wajahnya menampakkan kekagetan.
"Begitulah," jawabku seraya mengedikkan bahu.
Pesta pernikahan Max kemudian berjalan dengan sangat lancar. Aku menyadari bahwa hari ini wajah kedua makhluk itu sangat cerah dengan senyuman lebar yang tidak kunjung luntur. Mereka jelas sangat bahagia, ini pernikahan mereka di mana mereka menjadi sosok raja dan ratu yang saling melengkapi.
Pernikahan ini begitu ramai. Banyak sekali yang datang dan banyak pula yang kukenal membuatku menjadi lelah sendiri dengan basa-basi yang seolah tiada henti.
Aku memutuskan untuk menjauh, menuju pojokan ballroom tempat Max mengadakan pernikahan untuk menghindari basa-basi lainnya. Lagipula, aku merasakan pening di kepalaku dan mungkin jika kubiarkan terus aku bisa pingsan. Tidak akan lucu jika aku pingsan di tengah pernikahan sahabatku sendiri, bisa-bisa Max meninggalkan pestanya demi menyelematku mengingat Max sering sangat berlebihan.
Aku menatap ke sekeliling, semua orang sibuk dengan kegiatan masing-masing hingga tidak menyadari keberadaanku di pojok ruangan seperti orang bodoh, termasuk Max yang nampaknya tengah berbasa-basi dengan mantan kekasihnya saat sixth form dulu. Lucu sekali.
"Aku benar-benar tidak paham, tadi kau sedih dan sekarang tertawa sendiri di pojokan, kau membuatku takut." Lagi-lagi Louis menyentakku menuju realita saat tengah tenggelam dalam lamunan.
Aku memandang laki-laki itu malas kemudian menarik nafas dengan kasar. Aku lantas berlalu, berlagak tidak peduli dengan keberadaan Louis.
Ngomong-ngomong soal Louis, bagaimana nasib kami?
"Ada apa denganmu?" Louis tiba-tiba sudah ada di sampingku, ia mengalungkan tangannya pada pundakku dan aku benar-benar tidak tahu akan jadi apa aku setelah ini.
Suara musik klasik kemudian terdengar seiring dengan ballroom yang mendadak diramaikan oleh orang-orang yang berdansa, termasuk Max yang berdansa dengan senyuman lebar bersama Candice yang memasang jenis senyuman sama. Lampu ballroom diredupkan demi menambah kesan romantis.
"Aku tidak bisa dansa jadi aku tidak akan mengajakmu untuk berdansa," kata Louis. Aku meliriknya kemudian mendengus.
Kami sama-sama diam di barisan paling belakang dari orang-orang yang sedang menonton mereka yang berdansa. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan selain hanya berdiri sembari mendengarkan saksama musik yang melantun masuk dalam indera pendengaranku dan sesekali menyesap minuman di tanganku.
"Aku banyak bicara dengan Niall, dia berkata aku harus meluruskan sesuatu," kata Louis tiba-tiba saat musik berganti dan beberapa pasangan memilh menepi. Max masih di sana bersama Candice saling memandang namun kaki mereka tetap bergerak seirama.
"Sesuatu?"
"Tentang kau dan aku."
Aku bisa merasakan jantungku berdentam dengan cepat seperti saat aku sedang berada di konser band rock padahal musik yang tengah mengalun sekarang adalah musik klasik yang tenang. Aku menarik napas, mencoba untuk mengendalikan diriku sendiri.
"Dua tahun ini aku berpikir hubungan kita sangat dekat, Niall berkata aku harus meresmikan hubungan kita namun aku tidak berpikir sedemikian. Félicité dan Lottie bahkan Jane juga berkata demikian. Dua tahun ini aku membiarkan kita sebagaimana adanya namun aku mulai berpikir bahwa ini salah, terutama saat Max berkata ia akan menikah dengan Candice dan memberikanku undangannya. Aku mulai merasakan kecemburuan, aku ingin merasakan kebahagiaan yang sama dengan Max dan Candice," kata Louis.
Aku diam. Tidak tahu harus mengatakan apa sekaligus yakin bahwa Louis belum sepenuhnya menyelesaikan ucapannya.
Setelah menarik napas, Louis kembali melanjutkan ucapannya, "aku tidak pernah berpikir gadis lain selain kau. Aku tahu ini sama sekali tidak romantis, tapi kurasa keseriusan adalah hal utama, jadi, will you marry me?"
Aku tertawa menyadari betapa Louis sangat tidak romantis. Dia melamarku di tengah pesta pernikahan sahabatku. Tanpa cincin. Tanpa bunga. Dia bahkan tidak berlutut di hadapanku, hanya berdiri di sampingku dan mengatakannya apa yang ada di pikirannya. Bagaimana dia bisa bodoh seperti ini? Jika aku adalah gadis lain yang tidak bisa membedakan mana Louis yang bercanda dan mana Louis yang serius pasti yakin bahwa pemuda ini tengah mencoba bercanda dengan topik serius.
"Idiot!" jawabku membuat Louis langsung mencebikkan bibirnya.
"Aku serius Eleanor ... will marry me? Akan kuberikan kau cincin besok setelah menerimanya."
Aku kembali tertawa, kali ini lebih besar. Ya Tuhan, apa pemuda idiot ini adalah pemuda yang membuatku jatuh cinta? Kurasa aku sudah gila!
"Eleanor!" Louis memberengut, menyadari bahwa pernyataannya tidak dianggap serius. "Aku tanya sekali lagi, ini yang terakhir, jika tidak ada jawaban, aku anggap kau menolakku. Jadi, will you marry me?"
Aku kembali akan tertawa namun sebelumnya aku menjawab, "okay okay, I will. Happy?" dan kemudian benar-benar tertawa.
Louis tersenyum lebar kemudian membawaku ke pelukannya, pelukan hangat yang diiringi dengan tawa konyol kami.
Sepertinya malam ini bukan hanya Max dan Candice yang berbahagia.
- - T H E E N D - -
Jangan bunuh saya dulu!!!!
Akan kujelaskan teman-teman apa yang sebenarnya terjadi. Jadi, aku nggak ada planning untuk bikin ending-nya di chapter ini. Sama sekali enggak. Namun, aku tiba-tiba benar-benar nggak ada niat buat manjang-manjangin cerita ini jadi aku putuskan buat bikin endingnya sekarang. Hahah....
Maaf ya ini jadi aneh banget, maaf kalau jatuhnya aneh karena aku mempercepat ceritanya, maaf kalau kesannya maksa.
Jangan hapus cerita ini dulu ya, secepatnya aku akan bikin bonus chapter.
Bye. xx
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top