[22] Ucapan Niall
Louis
"Aku minta maaf Lottie, aku tidak langsung membantumu saat kau tertabrak," kata Eleanor, ia menatap Lottie penuh penyesalan.
Lottie baru saja diserang dengan berbagai pertanyaan saat ia terbangun dari tidurnya. Pertanyaan paling banyak datang dari Phoebe dan Daisy sedangkan yang lain hanya bertanya bagaimana perasaan Lottie sekarang. Setelah semua orang tidak menerjang Lottie, Eleanor maju untuk mencecar gadis itu dengan segala permintaan maaf. Terkadang, Eleanor menjadi sangat keras kepala, berulang kali aku bilang itu bukan kesalahannya, berulang kali Eleanor meyakinkan bahwa itu kesalahannya.
"Tidak perlu, Eleanor, ini bukan salahmu," timpal Lottie seraya meraih tangan Eleanor.
"Aku benar-benar mi--"
"Minta maaf sekali lagi, aku akan membencimu!"
Eleanor langsung mengatupkan bibirnya, urung mengucapkan permintaan maaf lagi. Pada akhirnya, Eleanor tidak lagi meminta maaf, aku rasa ucapan Lottie tadi cukup ampuh.
"Louis, aku, Daisy dan Phoebe akan pulang, jaga Félicité dan Lottie untuk aku. Setelah memastikan Daisy dan Phoebe bisa tinggal di sana tanpa pengawasanku, aku akan kembali ke sini," kata mum seraya merangkul dua adik kembarku.
Mum memang memutuskan untuk segera memulangkan Daisy dan Phoebe ke Doncaster mengingat ada banyak kelas yang harus mereka ikuti, sedangkan Félicité mungkin akan tetap di sini sampai Lottie dinyatakan pulih betul. Selama di sini, Félicité berencana untuk tidur di flat Eleanor atas dasar permintaan Eleanor.
Aku mengangguk, kuberikan ciuman pada kedua pipi mum serta dua adikku. Setelah berpamitan dengan yang lain, tiga perempuan itu kemudian pergi dari bangsal. Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka, menampilkan dad yang berdiri dengan canggung di ambang pintu.
"Louis, ayo ikut aku, ajak Eleanor juga," kata dad.
"Eh, Félicité dan Lottie?"
"Tidak perlu, mereka sering makan bersamaku, Jenny dan Zach, sekarang giliranmu dan kekasihmu."
Aku memutar bola mata. "Eleanor bukan kekasihku dad."
"Whatever, ayo!"
Aku akhirnya mengangguk. Eleanor nampaknya ragu untuk ikut namun pada akhirnya dia tetap pergi bersamaku.
Dad mengajak kami makan malam di sebuah restoran, letaknya tak jauh dari rumah sakit. Jenny terus mengajak Eleanor mengobrol mengenai hal yang kurasa hanya perempuan yang tahu, dad sendiri juga terus mengajakku mengobrol mengenai sepak bola, sedangkan Zach nampak tenang di tempat duduknya bersama playstation portable yang sesekali berhasil membuat bocah itu memekik.
"Jadi bagaimana kau bertemu pertama kali dengan Louis?" Aku bisa mendengar Jenny bertanya setelah menyebutkan pesanan kami semua pada seorang pelayan.
"Kami bertemu di flat, 4 tahun lalu, kebetulan sekali kami sama-sama baru pindah namun selama itu kami sama sekali tidak saling tegur sapa sampai...." aku bisa merasakan Eleanor tidak melanjutkan ucapannya, barang kali ia malu mengingat bagaimana dia pingsan di tengah jalan karena entah berapa banyak alkohol yang ia minum di kelab malam.
"Sampai apa?" tanya Jenny dan dari sudut mataku, kulihat wanita itu menaik-turunkan alisnya seolah menggoda.
Aku berdecih, memutuskan untuk menulikan telingaku dari obrolan para wanita dan fokus pada cerita dad mengenai pertemuannya dengan salah satu pemain sepak bola. Tapi memang pada dasarnya telingaku tidak tuli, aku bisa mendengarnya meski aku tidak ingin dengar.
"Sampai dia bertemu dengan anakku dan mendapati aku pingsan di tengah jalan seperti gelandangan karena minum alkohol terlalu banyak."
"Anak?"
"Ini sedikit memalukan, tapi aku memang memiliki anak dan sempat frustasi hingga akhirnya aku berhenti kuliah. Anak itu sekarang bersama kakakku."
Aku menegang di tempat, tidak menyangka bahwa Eleanor mengatakan hal itu pada Jenny, wanita yang terhitung asing. Kulirik Eleanor, dia nampak tersenyum seolah semuanya baik-baik saja, kurasa dia memang sudah tidak terlalu memikirkan hal itu lagi.
"Ayah anak itu?"
"Pergi ke benua lain bersama wanita lain," kata Eleanor sambil meringis.
"Ohh, aku benar-benar minta maaf. Lalu, kau sudah berapa lama bersama Louis?"
Eleanor terkekeh, "dia bukan kekasihku, Jenny."
"Ahh sayang sekali, kalian terlihat cocok."
Aku bisa merasakan pipiku memanas, dan dengan itu aku mengalihkan tatapanku ke arah jendela yang membuatku dengan leluasa melihat jalanan luar. Sialan Jenny!
Pelayan yang tadi menyatat pesanan kami kembali datang, kali ini sambil membawa nampan berisi minuman yang kami pesan. Di belakangnya, pelayan lain datang sambil membawa menu makan malam kami.
Eleanor
"Kau yakin kalian bukan sepasang kekasih?" tanya Jenny dengan suara pelan di dekat telingaku.
Kami tengah berada di perjalanan pulang dari restoran. Suasana begitu hening, hanya ada suara deru mesin mobil dan radio sampai akhirnya Jenny berbisik padaku. Aku merasa bahwa di dalam raga wanita itu ada jiwa yang umurnya masih remaja. Dan sepertinya wanita ini sangat ingin agar aku dan Louis menjadi sepasang kekasih.
Kau senang 'kan disetujui untuk menjadi kekasih Louis oleh ibu tirinya? Batinku berkata mencemooh.
Apa-apaan?
"Yup, aku yakin."
"Louis melirikmu sedari tadi."
Aku menghela napas sambil menahan diriku untuk tidak memutar bola mata. "Melirik bukan berarti memiliki hubungan, Jenny."
"Masuk akal."
Jenny tidak lagi bersuara, mengijinkanku untuk mendengar saksama suara Adam Levine yang keluar dari radio.
"Jadi, Eleanor, jika kau ingin berhasil dengan Louis kuharap kau bisa membuat Louis percaya padamu, aku yakin lambat laun dia akan jujur pada perasaannya sendiri dan kalian bisa bersama. Aku sangat mendukungmu dan Louis asal kau tau saja, jika tidak aku tidak akan merelakan waktuku membicarakan soal ini denganmu."
Di saat-saat seperti ini aku teringat ucapan Niall. Kalau dipikir-pikir, apa yang bisa kulakukan untuk membuat Louis percaya padaku? Aku bahkan masih tidak yakin bahwa Louis juga menyukaiku seperti apa yang Niall katakan saat itu. Geez, aku terdengar seperti remaja yang sedang bingung apakah laki-laki yang disukainya juga menyukainya.
Mobil berhenti di depan flat. Aku dan Louis memutuskan untuk pulang dan lagipula aku juga ingin mengistirahatkan tubuhku. Sedangkan Félicité dijemput oleh ayah Louis untuk kembali ke flat ini, sesuai perjanjian, Félicité tidur di flat-ku.
Setelah berbasa-basi dan berpamitan, kami langsung memasuki gedung flat dengan penuh keheningan.
"Kau mengatakannya pada Jenny?" kata Louis, sukses merobohkan dinding keheningan di antara kami.
Kami memasuki lift bersama, kututup pintu lift kemudian memperhatikan sosok Louis. "Apa?"
"Kau mengatakan pada Jenny kalau kau punya anak?"
"Oh, kau mendengarnya?"
Louis mengedikkan bahunya. "Secara tidak sengaja. Jadi, sekarang kau sudah berani mengatakan pada orang-orang bahwa London anakmu?"
Aku tidak langsung menjawab karena lift berdenting dan terbuka tak lama kemudian. Seorang wanita setengah baya memasuki lift, setelah memastikan tidak ada lagi yang akan masuk, aku menutup pintu lift dan benda ini kembali bergerak.
"Begitulah," kataku, merujuk pada pertanyaan Louis, seraya mengedikkan kedua bahu.
Aku memang tidak terlalu menjadikan masalah London menjadi masalah besar lagi. Dan kurasa, bukan hal buruk jika memberitau orang-orang mengenai siapa London sebenarnya, walau aku terkadang merasa takut dengan reaksi London suatu saat jika dia tahu bahwa Tasha bukanlah ibu kandungnya. Tapi aku meyakinkan diriku sendiri dengan berpikir positif dan memaksa diriku untuk tidak terlalu memikirkannya toh, hal itu masih akan terjadi dalam waktu lama.
Lift berdenting kembali, kali ini sampai di lantai dimana flat-ku dan Louis berada. Kami langsung keluar dari kotak berlapis besi itu, meninggalkan wanita setengah baya tadi sendirian.
Aku langsung masuk ke dalam flat setelah tersenyum sebagai salam perpisahan pada Louis. Di kepalaku masih terngiang ucapan-ucapan Niall sambil memikirkan bagaimana caranya aku merealisasikan ucapan si pirang itu.
Sebenarnya, aku tidak begitu tahu bagaimana caranya mendekati laki-laki lebih dulu, lagipula aku merasa sedikit murahan ketika mencoba mendekati laki-laki. Memang benar, mendekati laki-laki bukan berarti murahan namun perasaan menjadi murahan itu datang begitu saja dalam diriku. Lagipula, aku masih tidak yakin jika dia juga menyukaiku.
Aku masih memikirkan semua itu bahkan ketika aku sedang berada di bawah guyuran shower. Kata-kata Niall masih terulang bagai kaset yang terus berbunyi tanpa bisa di-pause atau diberhentikan. Sialan! Tahu begini aku tidak akan memasukan Niall ke dalam flat-ku saat itu. Memang benar, penyesalan selalu berada di akhir.
Setelah mandi dan berganti pakaian, aku berniat membuat teh hangat ketika bel flat-ku berbunyi. Buru-buru aku mendekati pintu dan membukanya, sosok Félicité berdiri di depanku dengan cengiran, di pundaknya sudah terselempang sebuah tas. Ah, aku hampir lupa dengan adik Louis.
"Masuklah," kataku, membuat Félicité buru-buru masuk dan aku langsung menutup pintu.
"Aku boleh mandi di sini 'kan?"
"Tentu, kau juga boleh pakai pakaianku jika cukup."
"Huh, kebetulan sekali, aku tidak membawa banyak baju. Kau memang pas menjadi kakak iparku," kata Félicité cepat, secepat ia menghilang dari pandanganku setelah mencubit pipiku.
Sialan! Kenapa semua orang menganggap aku sebagai kekasih Louis.
Kau suka 'kan?
Sialan!
⚫⚫⚫⚫
duh, garing as fuck.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top