[2] Kesialan

Status: Edited

Eleanor

Siang ini terasa sangat panas untuk kota London yang terlalu sering berhawa dingin. Namun, sepanas apapun, aku tetap membulatkan tekatku untuk mengecek keadaan kafe milikku.

Aku memang memiliki kafe sendiri semenjak aku memutuskan untuk tidak lagi bekerja di restoran masakan Jepang yang dibuat oleh Max. Dan tentu, kafe itu tak akan ada jika Max tidak membantu. Ia banyak berperan dalam pembuatan kafe, mulai dari membantuku membuat menu, mendekor kafe dan bahkan mencari tempat yang disewa dengan harga murah.

Max memang sudah sering membantuku, ia bagian penting dalam hidupku dan rasanya tidak cukup jika aku hanya berterima kasih. Sejak kali pertama aku bertemu dengannya, Max sudah membantuku menenangkan diriku dan memberikan saran yang cukup membantu.

Aku terlempar ke kejadian saat aku masih berusia tujuh belas tahun, tepat pada tanggal 2 Juni di sebuah taman yang sepi karena siapa pula orang yang mau menghabiskan waktu di taman saat matahari sedang terik-teriknya? Aku duduk di salah satu bangku, menatap pohon maple yang tumbuh subur tepat di hadapanku dengan pikiran yang melalang buana.

Saat itu memang menjadi hari burukku. Sahabatku marah dan sepanjang hari dia enggan berbicara padaku dan ketika aku berpapasan dengannya, ia akan melengos seolah-olah tidak ada aku di sana. Mirisnya, semua ini terjadi karena seorang pemuda.

"Tidak baik melamun, apalagi ketika sendirian," tegur seseorang, aku mendongak untuk menemukan seorang pemuda seumuranku. Peluh mengucur dari pelipisnya, jersey yang ia kenakan terlihat lusuh, dan ia juga membawa bola sepak dan aku menyimpulkan bahwa dia baru saja bermain bola. Tanpa repot-repot meminta ijinku, dia duduk di sampingku.

"Aku hanya memikirkan sesuatu," jawabku sambil memainkan jemariku.

"Apa?"

Aku jarang berbicara dengan orang asing, mum selalu mengatakan bahwa ada banyak orang jahat di luar sana dan kadang orang-orang yang kita sangka baik bisa saja sangat jahat. Namun, entah kenapa aku berpikir bahwa pemuda yang bahkan namanya tidak kuketahui ini baik, matanya sangat teduh dan entah kenapa aku merasakan ketenangan dari sana. Aku tahu, kedengarannya sangat gila.

"Sahabatku marah karena aku berkecan dengan orang yang disukainya padahal aku bahkan tidak tahu bahwa dia menyukai orang itu."

"Kau tidak salah, kau tidak perlu merasa bersalah dengan yang terjadi karena kau bahkan tidak tahu bahwa sahabatmu itu menyukai orang itu. Sekarang, yang harus kau lakukan, biarkan semua mengalir begitu saja seperti air, aku yakin sahabatmu nanti akan sadar bahwa ini bukan salahmu dan dia akan berteman denganmu lagi," kata pemuda itu, ia meraih tanganku dan menggenggamnya. Matanya terlihat sangat teduh dan aku merasa hanyut oleh tatapannya.

"Oh ya, aku Max."

"Hmm, hai Max, aku Eleanor."

Ucapan Max meresap pada kepalaku dan dengan magis semua kata itu berhasil membuatku menjadi tenang dan percaya. Meski, sampai detik ini, apa yang Max katakan tidak kunjung terjadi.

Dan sejak saat itu, aku sering bertemu dengan Max secara kebetulan. Kami kemudian mejadi sangat dekat sebagai teman. Max sering memberiku nasihat, mendukungku dan akan menjadi orang pertama yang memarahiku ketika aku melakukan kesalahan.

"Nona, sudah sampai," kata sopir taxi, dia sedikit menggoncangkan tubuhku membuat lamunanku pecah dan kembali ke alam nyata.

Mataku mengerjap kemudian mengeluarkan dompetku dan memberikan beberapa lembar uang pada sopir taxi tersebut kemudian keluar dari taxi bersama London yang sedari tadi berdiam diri dan hanya memainkan ujung kaos yang kupakaikan padanya.

Kami memasuki kafe milikku dan kami kemudian disambut oleh suara musik jazz yang diperdengarkan melalui sound. Aku suka musik jazz, menurutku musik itu sangat menenangkan karena itulah aku selalu memainkan musik jazz di kafe ini, berharap semua pelangganku bisa tenang.

"Eleanor?!"

Aku menoleh, menemukan sekumpulan gadis--berjumlah empat orang--melambaikan tangannya dengan heboh sambil meneriakan namaku, membuat banyak pelanggan menatap ke arah mereka. Aku tersenyum kemudian berjalan menghampiri mereka bersama London yang kugandeng.

"Hei, long time no see, ke mana saja kau selama ini heh? Keluar dari universitas tanpa memberi kabar bahkan sampai sekarang, kami sempat berpikir kau mati, tahu!" kata Elle, dia adalah temanku kuliah dulu, dari dulu dia memang paling heboh dan tergolong drama queen tapi bukan jenis gadis yang akan selalu mencari perhatian, itulah yang membuatku senang berteman dengan Elle.

Aku meringis kemudian mengambil dua kursi yang baru saja ditinggalkan untuk ditarik ke meja mereka dan duduk di sana bersama London juga tentunya dan kini bocah itu menatap ke sekitar dengan mata berbinar. Kupikir, dia suka.

"Uh, sebelumnya, kenalkan ini keponakanku, namanya London," kataku sambil menunjuk London, mereka kemudian berkomentar bahwa London lucu dan aku mengangguk dalam hati, membenarkan ucapan mereka. London memang sangat lucu.

"Kupikir tadi dia anakmu. Kau tahu, London sangat mirip denganmu."

Aku terkekeh menanggapi celetukan temanku yang lain bernama Dani. "Tentu saja dia mirip denganku, kalian sendiri tahu 'kan bahwa Tasha sendiri sangat mirip denganku?"

Elle, Dani, Lucy dan Ashelly adalah temanku saat di universitas dulu. Mereka sangat asyik itulah alasan mengapa aku betah bersama mereka. Namun, aku dengan empat gadis ini tidak sedekat itu dan itulah alasan mengapa mereka tidak tahu bahwa aku keluar dari universitas dan tidak tahu apa alasan di baliknya. Bukannya aku tidak ingin terbuka dengan mereka, aku hanya tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi mereka ketika tahu semua alasanku.

Kami berlima kemudian berbincang banyak mengenal hal-hal lucu yang terjadi di kampus saat aku sudah keluar dengan mereka berempat yang menikmati kue dan minuman buatan orang-orang yang kupercaya bisa menghidangkan yang terbaik untuk pelanggan. Di sela-sela perbincanganku, bisa kurasakan ujung kaosku ditarik-tarik, aku menoleh dan menemukan London yang kini menampakkan wajah bosannya.

"Hey, kau mau red velvet?" tanyaku dan raut wajah London berubah. Bocah itu kemudian mengangguk, terlihat tidak sabar menanti red velvet yang kutawarkan.

Aku mengangkat tanganku, memanggil salah satu pelayan yang segera menghampiriku.

"Ya, ada apa nona Eleanor?"

"Tolong bawakan satu red velvet porsi kecil, susu cokelat juga porsi kecil dan jus strawberry untukku," kataku dan pelayan itu mengangguk kemudian berlalu pergi.

Keempat temanku menatapku seolah-olah aku baru saja memiliki dua kepala.

"Ada apa?"

"Eleanor, kau pemilik kafe ini?" tanya Lucy sambil menunjuk sekitar dengan random.

Aku terkekeh sambil mengangguk membuat mereka semakin terkejut.

"Hell, kau keluar dari universitas dan tahu-tahu sudah memiliki kafe!" Ashelly menimpali dan aku hanya bisa tertawa, tidak menyangka mereka akan seterkejut ini.

"Oh, iya, apa nanti malam kau ada acara?" tanya Lucy tiba-tiba dan aku hanya menjawabnya dengan gelengan kepala karena aku memang merasa bahwa tak memiliki acara nanti malam, "datanglah ke pesta-ku! Aku mengadakan pesta untuk aku yang sudah diterima di sebuah perusahaan. Acaranya di pub yang dulu sering kita kunjungi, kau tidak lupa 'kan?

Tentu saja aku tidak lupa dengan pub itu. Saat kuliah dulu aku sering ke sana sampai mabuk membuat Max dan dia akan marah-marah tidak jelas. Sudah sangat lama sejak aku terakhir kali datang ke tempat itu dan entahlah, aku ingin datang mengingat aku juga butuh hiburan setelah empat tahun ini aku merasa sangat tertekan. Namun, yang menjadi permasalahan saat ini adalah bocah di sampingku yang tengah sibuk dengan red velvet-nya.

"Tapi, London--"

"C'mon Eleanor, ajak saja London! Lagipula kau tahu sendiri 'kan pub itu dikunjungi tidak cukup banyak orang dan orang-orangnya juga tidak seliar itu. Bagaimana?"

Aku menatap Lucy lama, memikirkan ucapan Lucy. Memang benar pub itu tidak ramai dan pengunjungnya juga sudah kami kenal tapi tetap saja pub bukanlah tempat yang bagus bagi London. Jika kutitipkan pada Max, aku yakin dia akan menolaknya dan menyuruhku diam di rumah mengingat dia ada acara kencan dengan kekasihnya yang bernama Candice.

#

Aku menggerak-gerakan kepalaku mengikuti alunan musik remix yang dimainkan oleh disk jockey yang saat ini juga ikut menggerak-gerakan kepalanya sambil sesekali meloncat-loncat. Suasana tempat ini sangat meriah, aku tidak tahu jika Lucy membuat pesta seperti ini hanya karena bisa diterima di sebuah perusahaan.

Mataku mengedar ke seluruh penjuru tempat. Lucy mengundang banyak teman kami saat di universitas dulu dan reaksi mereka bertemu kembali denganku sangat beragam, ada yang terlihat benar-benar rindu padaku, ada juga yang hanya berpura-pura.

Kepalaku menoleh ke samping, melihat London yang kini kupasangkan earphone. London memang pada akhirnya kuajak namun telinganya kusumpal dengan earphone yang memperdengarkan musik jazz dari ponsel milikku.

Aku menoleh ke belakang, Ted yang merupakan bartender di pub ini nampak sibuk membuatkan pesanan seseorang sambil ikut menggerak-gerakan kepalanya.

"Hei, Ted. Satu gelas lagi ya!" kataku sedikit berteriak karena suasana yang ramai, Ted mengangguk sambil tersenyum kepadaku, membuatku kembali melihat ke arah disk jockey yang masih sibuk menarikan jemarinya di atas pionner. Namun, aku tidak benar-benar melihat disk jockey itu, atensiku justru tertumbuk pada dua insan yang nampak bercumbu tidak jauh dari tempat disk jockey.

Untuk sesaat aku mematung sampai aku merasakan seseorang mencolek bahuku, aku menoleh dan Ted sudah memberikan pesanananku.

"Sepertinya, malam ini aku akan mabuk," kataku kemudian menegak cairan yang Ted berikan.

"Bagaiaman dengan keponakanmu?"

"Entahlah, tapi aku ingin mabuk, aku ingin melupakan segala hal yang menggangguku," racauku dan Ted nampak masa bodoh dengan semua racauanku.

Louis

Hari sudah sangat malam. Kota London terasa semakin dingin dan yang bisa kulakukan hanyalah mengeratkan jaket yang kukenakan sambil melangkahkan kakiku lebih cepat agar lebih cepat pula aku sampai ke flat-ku.

Sialan Niall! Dia mengadakan taruhan bodoh saat kami memakan makanan di restoran cepat saji 24 jam dan bodohnya aku, aku menaruhkan mobilku dan memang sepertinya dewi fortuna sangat membenciku sampai-sampai mobilku kini benar-benar ada di tangan Niall, sahabat bodohku berambut pirang itu berhasil pulang memakai mobilku dan aku dibiarkan pulang dengan berjalan kaki.

Sialan kau Niall! Tolong, siapapun, ingatkan padaku bagaimana bisa aku mau bersahabat dengannya?!

Masih dengan kekesalanku yang meluap-luap aku menendang krikil yang ada di dekat sepatuku. Aku menendangnya hingga mengenai kepala seorang bocah yang sekarang mengadu kesakitan. Dengan terburu-buru, aku mendekati bocah yang ternyata berjenis kelamin perempuan itu.

Tuhan, kesialan apa lagi ini?

"Hey, kau baik-baik saja?" tanyaku pada bocah itu sembari mengelus kepalanya.

Yang aku pertanyakan sekarang adalah, bagaimana bocah ini ada di sini? Jalanan ini sangat sepi dan kupikir hanya ada aku dan bocah ini di sini. Bagaimana bisa orang tuanya atau siapapun itu meninggalkan bocah menggemaskan ini sendirian di tempat yang sepi seperti ini? Siapa yang tahu 'kan jika ada orang jahat yang datang padanya?

"Aku baik-baik saja, tapi bibi Eleanor tidak," kata bocah itu dengan suaranya yang menggemaskan, tangannya teracung untuk menunjuk sesuatu dan ketika aku menoleh, betapa terkejutnya aku ketika melihat seorang gadis terbujur di atas jalanan.

Sebentar, aku seperti tidak asing dengan wajah ini.

Kusingkirkan beberapa helai rambut brunette-nya yang menutupi wajahnya dan keterkejutanku semakin menambah ketika sadar siapa gadis ini. Ini Eleanor! Tetangga sebelahku yang menurut Niall sangat cantik, tetanggaku yang tadi pagi Niall gunakan sebagai bahan gosip.

Aku bisa mencium bau alkohol menguar dari tubuhnya yang terbalut sweater berwarna hitam dan celana skinny jeans berwarna hitam pula. Oke, aku bisa menyimpulkan bahwa Eleanor pingsan dengan bodoh di jalan karena terlalu mabuk. Pertanyaannya adalah, kenapa dia bodoh, mabuk saat bersama seorang bocah yang tidak seharusnya melihat semua ini? Oh, bocah ini sangat malang.

"Kau dari mana? Bagaimana bibimu bisa seperti ini?" tanyaku kepada bocah itu lagi dan dia terlihat berpikir sejenak sebelum mengeluarkan suaranya untuk menjawabku.

"Aku tidak tahu. Bibi Eleanor mengajakku ke tempat yang sangaaattt ramai, di sana ada banyak orang yang menari-nari. Aku melihat bibi Eleanor meminum banyak minuman, ketika aku minta dia bilang aku tidak boleh minum lalu, tiba-tiba bibi Eleanor mengajakku pulang dan tiba-tiba dia jatuh," kata bocah itu dan dari penjelasan khas bocah darinya aku bisa menyimpulkan bahwa Eleanor baru saja dari pub.

Bodoh! Dia mengajak bocah sekecil ini ke kelab malam? Otaknya pasti sudah bergeser.

"Baiklah, ayo kita pulang?"

"Paman tahu rumah bibi Eleanor?"

"Tahu," kataku sambil berusaha membangkitkan tubuh Eleanor dan menggendongnya di punggungku.

Jadi, malam itu, kesialanku bertambah satu yakni menggendong tetanggaku yang pingsan karena terlalu mabuk sampai ke flat-ku yang jaraknya cukup jauh dari tempatku menemukan Eleanor dan bocah perempuan yang baru kusadari bahwa aku tidak tau namanya.

"Hei, siapa namamu?" tanyaku pada bocah itu yang nampaknya sangat kelelahan dan mengantuk.

Aku tidak tega, rasanya aku ingin membawa bocah itu pada gendonganku namun, bagaimana dengan gadis ceroboh berotak dangkal ini? Aku tidak mungkin membiarkannya pingsan di tengah jalan, bisa-bisa ia disangka seorang homeless menyedihkan.

"Namaku London," jawab bocah itu suaranya pelan namun karena malam ini jalanan sangat sepi, aku mendengarnya dengan sangat jelas.

"Ibumu menamaimu dengan nama yang unik," kataku, entah mendapatkan keyakinan dari mana bahwa nama itu London dapatkan dari wanita yang mengandungnya.

Setelah perjalanan yang cukup lama dan berhasil membuatku sangat lelah, kami sampai di flat-ku. Aku langsung menidurkan Eleanor di kasurku sedangkan London juga langsung ikut tidur di atas kasurku tanpa mempedulikan peringatanku untuk cuci kaki terlebih dahulu. Kurasa bocah itu benar-benar kelalahan.

Aku menatap Eleanor dan London yang tertidur berdua di kasurku. Entah kenapa, mereka terlihat sangat manis, aku tidak ingin berhenti melihat mereka jika saja tidak ingat bahwa badan lelahku ini harus segera istirahat. Lagipula, mataku juga terasa sangat berat.

Maka, sekali lagi, di malam itu aku mendapatkan kesialan yakni aku harus tidur di atas sofaku sedangkan kasurku diinvasi oleh dua perempuan yang merupakan tetanggaku sendiri.

⚫⚫⚫⚫⚫

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top