[16] Berubah

Louis

Bagi beberapa orang dengan memori yang berkaitan hujan, hujan selalu berhasil membangkikan kenangan. Bagi para pluviophile* hujan selalu berhasil menenangkan.

Aku bukanlah si melankolis yang mengatakan hujan membangkitkan kenangan yang sebelumnya bersembunyi di balik bagian tergelap sebuah memori. Aku juga bukan seorang pluviophile yang merasa tenang saat langit menusuk jalanan dengan anak panah mereka. Aku hanya seorang Louis Tomlinson yang tidak begitu menikmati hujan sambil meminum secangkir teh untuk penenang pikiran.

Aku menatap kearah air hujan yang menempel pada kaca jendela flat dengan pikiran melalang buana dan tangan yang menyentuh pinggiran cangkir yang tadinya berisi teh namun sekarang isinya sudah tandas.

Entah kenapa akhir-akhir ini terlalu banyak hal yang kupikirkan seolah otakku tiada lelah. Mulai dari pertengkaranku dan Niall yang hanya karena telpon dari Lottie sampai ke Lottie dan anggota keluargaku lainnya yang sudah lama tak kuhampiri. Dan bahkan aku masih memikirkan ciumanku dan Eleanor di taman Hyde.

Benar-benar. Otak, tak bisakah kau diam dan berhenti berpikir?

Suara bel flat terdengar nyaring. Aku memutuskan untuk menghentikan perdebatan yang terjadi antara pikiranku sendiri kemudian bangkit dari posisi dudukku menuju pintu yang merupakan satu-satunya akses keluar masuk flatku.

Saat pintu terbuka, sosok Niall sudah berdiri disana dengan t-shirt putih dan celana skinny berwarna abu-abu yang terlihat pas dengan sepatu sneakers-nya yang berwarna abu-abu pula. Sebuah kacamata bertengger di hidungnya dengan pas.

Sejak kapan ia memakai kacamata?

Oh, sudah berapa lama aku perang dingin dengannya sampai aku bahkan tak tau kapan ia pertama kali kembali memakai kacamata yang sudah lama ia tinggalkan sejak pertama kali menjadi mahasiswa.

"Jadi, kau membiarkanku berdiri disini terus?" kata Niall sarkastik dan baru kusadari aku menutup aksesnya untuk masuk kedalam flat-ku. Sontak aku minggir dan segera saja Niall masuk kemudian langsung duduk di atas sofa.

"Ada apa kau ke mari?" tanyaku aneh.

Mungkin, jika keadaannya kami tidak sedang perang dingin hanya karena telpon dari Lottie aku mungkin tidak akan bertanya pertanyaan terbodoh dalam sejarah kehidupanku.

Niall di sofa mengerutkan keningnya. "Tidak boleh?" Nadanya terdengar sinis dan aku menyadari bahwa tak seharusnya bibir ini berucap demikian.

Sialan!

"Well, aku tidak bermaksud seperti itu," kataku sambil menggaruk tengkukku yang sejujurnya tidak gatal.

"Jalanan London licin, hujannya sangat lebat jadi kuputuskan untuk ke flat-mu, lagipula aku tadi berada di dekat flat-mu," ucap Niall sambil mengacak rambutnya yang basah membuat airnya sedikit mengenai sofa namun aku hanya mengedikkan bahu tak peduli dan pergi ke dapur, berniat untuk membuat secangkir teh untuk Niall dan sekaligus pergi dari kecanggungan super ini. Jujur saja, kami tidak pernah sampai seperti ini.

"Kau membuat apa?" ujar Niall dan tanpa kusadari dia sudah di hadapanku.

"Teh untukmu."

"Wow, tumben. Tapi, yahh terimakasih," katanya, menampakkan deretan gigi putihnya.

Aku hanya terkekeh menyadari satu hal; aku tidak pernah menjamu Niall dengan apapun. Dia akan pergi ke dapur sesuka hati dan membuat apapun sesukannya.

"Kau tau, aku beberapa hari lalu pergi ke Doncaster," kata Niall tiba-tiba, ia menatapku intens seolah ingin membaca dengan baik reaksi yang kuberikan namun aku hanya menampakkan wajah datar seolah tak ada apapun.

Oh ... pantas dia tidak masuk kerja.

Niall adalah orang Irlandia tapi sejak kecil ia tinggal di Doncaster bersama satu keluarga. Rumah tempat mereka tinggal ada tepat di samping rumahku dan itulah alasan mengapa kami bersahabat dekat bahkan beberapa orang mengatakan bahwa kami seperti surat dan perangko. Di mana ada Niall, disitu ada aku. Namun bukan berarti kami gay, aku dan Niall masih normal bahkan dulu Niall suka bergonta-ganti pacar sedangkan aku tidak begitu tertarik. Aku terlalu mencintai bola dan permainan football hingga tak begitu mengindahkan masalah-masalah percintaan.

"Untuk apa?"

"Mum tiba-tiba menelponku, dia bilang dia sakit dan dad pergi ke Irlandia sedangkan Greg bersama keluarga bahagianya tidak bisa diganggu, jadi ia memintaku menemaninya."

Aku tidak tahu harus bereaksi apa jadi aku hanya menjawab," semoga ibumu cepat sembuh."

"Memang sudah sembuh," jawab Niall dan aku hanya ber-'oh' ria.

Kami teridam. Niall meminum tehnya dan aku dengan bodohnya menatap Niall. Seolah dia sadar kutatap, ia menaikkan satu alisnya dan terkikik.

"What? Kau melihatku seperti seorang gay."

"Shit! Aku normal!"

"Benarkah? Kau terlihat tidak meyakinkan. God, apa aku berteman dengan seorang gay?"

"Holly crap, aku normal."

"Apa buktinya? Saat sekolah dulu saja kau tidak punya pacar, hanya satu itupun hanya hitungan hari."

"Aku memiliki bukti! Kalau aku tidak normal aku tidak akan mencium Eleanor kemarin di walkway yang ada di tower bridge. Kalau kau--shit!" Aku langsung mengumpat begitu sadar aku telah membuka ace card-ku sendiri di hadapan Niall dan lihatlah, laki-laki itu terdiam namun bahunya naik-turun cukup membuktikan bahwa dia sedang menahan tawa. Seolah tidak tahan lagi, Niall tertawa kencang di hadapanku yang menatapnya datar.

"Lihatlah, dude, apa kubilang? Kau akan jatuh pada Eleanor!"

"Aku tidak jatuh pada Eleanor."

"Lalu apa arti ciuman itu?" Niall mengangkat satu alisnya dan tersenyum dengan jenis senyum menjengkelkan yang membuatku ingin meninjunya sekarang juga.

"Hanya ... hanya ciuman biasa."

"Huh ... sudahlah lupakan. Lelah berbicara dengan seseorang yang mengelak pada hal yang tidak seharusnya di elak." Niall melambaikan tangannya di depan wajah kemudian kami kembali terdiam.

Huh, apa iya? Tidak mungkin tidak mungkin.

"Aku tahu arti tatapanmu tadi," kata Niall kembali tiba-tiba membuat lamunanku tentang Eleanor dan ciuman kemarin pecah. Fokusku sepenuhnya tertuju pada Niall yang sekarang bertopang dagu. "Aku yakin kau sedang penasaran bagaimana dengan keluargamu."

Aku diam namun mengangguk dalam hati. Ini empat tahun sejak aku pergi meninggalkan Doncaster. Empat tahun yang panjang. Dan sepanjang itu aku tidak tau apa-apa tentang keluargaku selain fakta bahwa Lottie bernapas di satu kota yang sama denganku.

"Mereka baik-baik saja. Félicité baik-baik saja bahkan dia sudah memiliki kekasih. Phoebe dan Daisy baik-baik saja. Johannah baik-baik saja. Semua baik-baik saja tapi sebenarnya tidak begitu baik karena mereka merindukanmu." Niall diam sejenak, ia menghela napas. "Harus berapa kali kubilang padamu, Louis, masalah bukan sesuatu yang harus kau hindari melainkan dihadapi. Saat ada masalah, kau tidak seharusnya pergi tapi hadapi!"

Aku hanya diam, menatap kosong cangkir teh dalam diam.

"Félicité sudah memiliki kekasih?"

"Ya, bahkan dia bilang dia akan segera bertunangan."

"Wow."

Ya, wow. Bahkan terakhir kali aku melihat mereka. Félicité adalah gadis dengan hati yang hancur karena orang yang ia sukai justru menjadi kekasih gadis lain. Sekarang dia bahkan akan bertunangan.

"Kau tidak ingin seperti Félicité? Memiliki kekasih dan akan bertunangan. Mendengar ceritamu, kau bisa bersama Eleanor."

Aku menunduk. "Tidak, Niall. Eleanor masih mencintai Harry lagipula mana mungkin dia mau bersamaku. Saat dia tau tentang keluargaku, dia akan langsung meninggalkanku dan berpura-pura kami tidak saling kenal, kami tidak pernah berciuman di walkway yang ada di Tower Bridge. Aku yakin itu."

Niall menghela napas berat namun dia tidak berkomentar apapun.

"Aku menyerah memberi taumu, Louis," kata Niall setelah keheningan yang cukup lama.

Eleanor

Aku menyadari satu hal; sejak ciuman itu Louis seolah menjauh dariku. Tidak, tidak, tidak, bukan sejak ciuman itu namun sejak kemarin. Kami masih baik-baik saja awalnya namun lama kelamaan aku merasa bahwa Louis mulai menjaga jarak dariku.

Seperti sekarang.

Aku berdiri didepan lift, menunggu besi itu terbuka dan mengijinkanku masuk kedalamnya. Di tengah kegiatan menungguku, Louis muncul bersama Niall. Kusapa mereka dengan senyum terbaik namun Louis hanya tersenyum simpul dan itupun hanya beberapa detik sebelum senyumannya menghilang, raib, hingga aku tidak yakin apa Louis tadi benar-benar tersenyum atau tidak. Berbeda dengan Louis, Niall justru tersenyum lebar, cerah secerah matahari di bulan Juli.

Ada apa dengan si Tomlinson itu? Aku jadi berpikir apa aku pernah membuat sebuah kesalahan padanya?

Seharian ini aku jadi berpikiran itu. Rasanya sangat menyakitkan ketika kau sadar kau menyukai seseorang namun disaat bersamaan orang itu menjauhimu seolah kau melakukan kesalahan terbesar. Dan, ya, itulah yang kurasakan.

"Hei, Eleanor!" panggil seseorang ketika aku kembali dari kafe sorenya. Aku akan masuk kedalam gedung flat namun karena panggilan itu aku sontak berhenti dan berbalik. Niall berdiri beberapa meter dariku dengan senyum diwajahnya.

"Oh, hei, Niall. Ada apa?" tanyaku seiring dengan Niall yang berjalan semakin mendekat.

"Bisa bicara denganmu sebentar?"

Aku mengerutkan keningku sekilas sebelum menghilangkannya karena kupikir itu tidak sopan." Hmm... tentu, kita bisa bicara di flat-ku."

"Bagus. Aku benar-benar ingin membicarakan sesuatu serius denganmu. Tapi, jangan sampai Louis tau soal ini."

"Oh, mengapa?"

"Kau akan tahu ketika aku mengatakannya. Sekarang, ayo kita masuk!"

⚫⚫⚫⚫⚫

Footnote:

*pluviophile: (n) a lover of rain; someone who finds joy and peace of mind during rainy days

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top