[13] Rasa Rindu
Eleanor
Pada dasarnya, inilah hidup; kau bertemu dengan orang-orang baru yang memberikanmu sebuah pelajaran hidup kemudian orang itu pergi seenaknya dari hidupmu, sebagian kembali tanpa permisi dan kemudian kembali pergi.
Dan, ya, aku yakin kau mengalaminya karena aku juga seperti itu. Aku mengalaminya. Harry datang dalam hidupku secara tiba-tiba dan tanpa kuduga sebelumnya, ia memberikanku sebuah pengalaman baru sekaligus pelajaran berharga dalam hidup, kemudian pergi begitu saja seolah aku baik-baik saja tanpanya dan kembali lagi tanpa permisi membuatku sangat shock. Dan sekarang, look at him, dia kembali pergi.
Kronologinya, aku bangun pagi-pagi sekali karena kehausan sekaligus ingin mengeluarkan sesuatu yang merupakan hasil dari ekskresi ginjal. Setelah menyelesaikan hasratku, bel flat-ku berbunyi nyaring, aku ingat saat itu aku mengumpat sekaligus tak habis pikir siapa orang bodoh yang bertamu di pagi buta seperti ini bahkan matahari baru mengintip keluar.
Kepalaku memikirkan siapa sekiranya orang yang berdiri di balik pintu itu selagi aku memutar knop pintu kemudian menyeruaknya hingga menimbulkan suara derit yang cukup memekakkan telinga. Aku sangat terkejut mendapati profil pria yang menjadi alasanku sempat frustasi empat tahun ini.
Pemuda berambut ikal dengan mata hijau yang akan membuat orang tenggelam saat menatapnya dalam-dalam itu melemparkan senyum minta maaf padaku. Sempat kulirik tangannya yang menjuntai di samping badan, ia menggengam sebuah paper bag berwarna putih, paper bag itu tak transparan seolah tak mengijinkan siapapun untuk mengintipnya sedikit saja.
"Maaf sudah mengganggu." Kata Harry dan aku menggeleng.
"Nevermind, so, ada perlu apa? Aku yakin kau punya alasan kuat untuk memencet bel flat seseorang di pagi buta."
"Once again, i'm sorry but, yes, you are right. Aku ke sini ingin mengatakan sesuatu lebih tepatnya mengatakan selamat tinggal."
Aku mengerutkan keningku, tidak yakin dengan telingaku sendiri sebab mungkin saja ada sedikit kesalahan karena seingatku kemarin aku menyumpal telingaku dengan earphone selama berjam-jam. Dari yang kutahu, mengenakan earphone dalam jangka waktu lama tidaklah baik. Oke, kurasa cukup untuk soal earphone.
"What?"
"Ya, aku akan pergi dari London bersama Alli."
Oh, ternyata telingaku tidak salah. Aku sedikit menyesal sudah sempat menyalahkan telingaku.
"Ke mana?"
"Ke Los Angeles."
"Wow." Aku bingung harus merespon apa karena yang aku tahu saat ini, aku sangat terkejut dengan berita yang baru kudengar ini.
Harry dan Allison akan pergi ke LA?
"Yeah."
"Di mana Allison sekarang?"
"Di mobil."
Oh. Tidak terkejut. Aku juga tidak begitu ingin bertemu dengan Allison meski ya ... ada sedikit bagian dari diriku yang kecewa mengetahui Allison tetap tidak ingin terlibat kontak denganku padahal sebentar lagi dia akan pergi dari kota ini. Dari negara ini. Tapi, kusingkirkan perasaan itu sebab aku sadar seberapapun kami mencoba, kami tidak akan sama seperti dulu. Masalah yang menimpa kami adalah penyebabnya tapi, bukan berarti aku menyalahkan Harry atas semua ini.
"Ya ... aku hanya mengatakan itu. Sampai berjumpa nanti, Eleanor. Mungkin aku akan kembali ke sini atau Manchaster jika natal atau tahun baru. Jika sempat, mungkin kita bisa bertemu lagi nanti," kata Harry, dia mengulas senyum manis kemudian menyerahkan paper bag di genggamannya yang kemudian ku ambil, "untukmu."
"Thank you. Kuharap perjalananmu ke LA lancar. Jaga Allison, jangan mengecewakannya."
"Pasti," kata Harry, detik kemudian ia memelukku dan kubalas pelukannya hanya sebentar karena suara pintu yang terbuka membuat kami berdua terkesiap.
Louis berdiri di ambang pintunya yang terbuka, ia menatap kami dengan tatapan terkejut dan tangan yang masih ada di atas kepalanya. Ia kemudian berdehem dan berjalan melewati kami begitu saja.
"Kalau begitu, aku pergi dulu."
"Ya, hati-hati."
Harry kemudian pergi dari hadapanku, ia sempat berteriak pada Louis untuk membiarkan lift tetap terbuka. Keduanya kemudian menghilang di balik lift dibawa turun oleh benda kotak berlapis besi itu.
Jadi, seperti itu. Ini sudah tiga jam semenjak kejadian itu. Dan baru sekarang aku menyadari bahwa Harry mungkin memang tidak ditakdirkan untuk Allison. Bukan untukku. Tidak seharusnya aku marah saat Allison pergi bersama Harry karena memang mereka tidak salah yang salah adalah keadaannya.
#
Malam ini kota London sedang hujan, lebat. Kurasa Zeus tengah murka pasalnya bisa kulihat petir menyambar berulang kali menimbulkan suara memekakkan telinga.
Aku dan London berdiam diri di flat. Aku menonton acara berita sedangkan London sibuk menggambar di buku gambar A4 yang baru kubeli tadi atas permintaannya. Berbeda dari biasanya, London tidak nampak ceria sama sekali, seharian ini wajahnya ditekuk, ia tidak menghabiskan makanannya dan lebih banyak diam. Aku khawatir ia sakit tapi kuperiksa temperatur tubuhnya, normal, saat kutanya ia juga menggeleng, tidak ada yang sakit pada fisiknya.
Aku benar-benar clueless ditambah lagi dengan fakta jika sedari tadi London menyembunyikan gambarnya, ia sama sekali tak membiarkanku melirik gambar apa yang tengah ia buat, yang kutahu ia sangat serius mencoreti buku gambar A4-nya dengan pensil diikuti dengan krayon berbagai warna.
"London, kau membuat apa?" tanyaku, mencoba melirik gambarannya yang membuat London dengan cepat menyembunyikannya di balik punggung.
Aku menghela napas kemudian kembali menghempaskan punggungku pada sandaran sofa, mencoba fokus pada acara berita padahal saat ini pikiranku tengah menerka-nerka apa sekiranya yang tengah ia gambar.
Beberapa menit kemudian kurasakan ujung kaos yang kukenakan ditarik-tarik. Aku menunduk, menatap London yang matanya sayu, kurasa bocah ini sudah mengantuk.
"Kau mengantuk?" tanyaku, mengelus pelan rambutnya yang menjuntai panjang. London tidak menjawab, ia hanya mengangguk. "Baik, ayo tidur," kataku, menggiring London masuk ke kamarnya.
Seperti biasa, aku mengelus rambutnya sambil menyanyikan lagu-lagu lembut sampai ia tertidur. Setelahnya, aku mengecup keningnya, mematikan lampu dan keluar dari kamarnya.
Mataku kemudian terpaku pada buku gambar ukuran A4 yang tergeletak begitu saja diatas meja berdampingan dengan krayon yang beberapa sudah keluar dari kotak. Aku menghampiri benda-benda itu kemudian membuka buku gambarnya.
Satu gambaran menyambutku, tidak ada yang aneh dari gambar itu, hanya gambaran khas anak berumur 4 tahun yang masih acak-acakan namun berhasil membuat jantungku berhenti berdetak sesaat dan membuatku membeku di tempat selama beberapa menit lamanya.
London menggambar seorang wanita yang menggandeng seorang gadis yang lebih kecil darinya, gadis itu membawa lolipop dan dibawahnya terdapat tulisan yang ditulis dengan krayon warna cokelat; London love mum, London miss mum.
#
"Kau sayang bibi?" tanyaku pada London pagi itu setelah kami menyelesaikan sarapan pagi kami; semangkok sereal dan Max sudah pergi ke tempat kerjanya.
London masih seperti kemarin, ia masih tidak terlihat ceria dan aku jelas sangat tahu apa alasan di baliknya.
"Tentu. Tapi aku lebih sayang mum," kata London, sedikit melukai hatiku namun aku tahu aku tidak memiliki alasan rasional untuk mengatakan bahwa London baru saja melukai hatiku. Ia bahkan tidak tahu kenyataan bahwa wanita di hadapannya kini adalah ibunya bukan bibinya.
"Kau rindu mum?" tanyaku dan butuh beberapa detik lamanya untuk melihat London menganggukan kepalanya dengan wajah yang semakin di tekuk.
Aku tersenyum kecil. "Mau menelpon mum?"
London tersenyum menampakkan deretan gigi susunya yang putih.
Aku kemudian meraih ponselku, menghubungi seseorang dengan nama kontak 'Tasha'. Pada panggilan pertama, tidak diterima. Aku kembali mencoba, tidak diterima kembali. Aku mencoba berulang kali sampai sekitar lima kali namun hasilnya tetap nihil.
Aku menatap kearah London, bocah itu seolah tahu apa yang terjadi tanpa perlu kujelaskan karena sekarang ia mencebik kesal, wajahnya semakin ditekuk dan aku merasa ... merasa sedih karena hal itu.
"Bibi minta maaf."
Louis
Pagi yang cukup cerah dengan sinar mentari yang membagi cahayanya dengan ceria dan langit cerah diatas sana di tambah awan putih bagai kapas digantung yang berarak diatas sana. Namun, kecerahan luar sana seolah terganggu dengan telpon yang masuk pada ponselku. Telpon itu berasal dari orang yang tidak dikenal tapi aku sangat tahu siapa orang di sebrang sana.
Ya, siapa lagi kalau bukan Lottie.
Aku menghela napas mendengar ponselku kembali berbunyi nyaring saat aku membuat kopi menggunakan coffee maker sedangkan di ruang tamu, Niall yang baru saja datang juga terdengar menghela napas. Aneh, kenapa juga dia menghela napas seperti itu? Jelas-jelas masalahnya terletak padaku.
Setelah selesai membuat kopi aku membawanya ke ruang tamu, satu kuberikan untuk Niall yang sibuk menarikan jemarinya secara lincah di atas ponsel touchscreen-nya dan satu untuk diriku sendiri. Aku duduk dis amping Niall, menyalakan televisi dan sudah disambut oleh berita.
Ponselku kembali berdering setelah beberapa detik lamanya senyap. Niall disampingku menghela napas kembali.
"Louis, jangan seperti anak kecil! Kau sudah dua puluh enam tahun seharusnya kau bisa berpikir dewasa, terima telpon itu!" ujar Niall penuh dengan nada memerintah yang tak terlekan.
Namun aku tidak menjawab apapun dan tidak juga beranjak dari sofa untuk mengambil ponsel yang seingatku kuletakkan di atas nakas samping tempat tidur.
"Louis!" bentak Niall membuatku terlonjak kaget dan emosiku secara mendadak naik sampai ubun-ubun.
"Sudahlah Niall! Ini urusanku, jangan ikut campur! Jangan menyuruhku untuk melakukan apa yang tidak kuinginkan!"
"Hey! Ini demi kebaikanmu!"
"Kebaikanku?" Aku tertawa sarkastik. "Ini bukan kebaikanku!"
"Terserah! Berbicara dengan orang bodoh yang masih belum dewasa sama sekali tidak berguna!" ujar Niall dan ia kemudian bangkit, pergi meninggalkanku begitu saja dan ia sempat membanting pintu flat-ku.
⚫⚫⚫⚫⚫
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top