[12] Kenangan Masa Kecil

#NP: Ed Sheeran - Photograph

"Masa kecil adalah masa yang paling membahagiakan."

Eleanor

Kalau disuruh memilih, aku lebih memilih kembali menjadi anak kecil dimana aku tidak perlu memikirkan banyak hal, tidak ada hal lain dalam pikiranku selain bermain dengan ceria. Aku tidak memiliki musuh, sekalipun memiliki itu juga pasti hanya karena masalah mainan bukan masalah sebuah perasaan.

Aku rindu masa kecilku. Dulu, sambil menunggu makan, aku, Tasha dan dad akan bermain bersama. Jika dad sibuk dengan pekerjaannya, maka mum yang akan bermain denganku dan Tasha. Saat masuk musim panas, dad akan mengajak kami sekeluarga pergi ke pantai.

Aku rindu saat dimana aku dan Tasha berkejar-kejaran memperebutkan boneka barbie atau teddy bear. Aku juga rindu saat kami bermain masak-masakan atau bermain salon-salonan yang berakhir dengan rambutku yang dikepang secara aneh oleh Tasha membuatku menangis dengan kencang dan mum akan segera lari ke arahku, ia kemudian menenangkanku dengan segelas cokelat dan secara perlahan memperbaiki rambutku.

Aku rindu. Dan yang paling aku rindukan saat ini adalah dua orang yang berperan penting dalam hidupku, mum dan dad.

Mum dan dad meninggal saat aku duduk di bangku sixth form sedangkan Tasha sedang sibuk dengan pendidikan S1-nya, mereka meninggal ketika sedang dalam perjalanan dari Manchaster menuju London. Memang, aku dan satu keluarga masih tinggal di Manchaster saat itu dan hanya akan pergi ke London jika sedang berlibur atau ada beberapa acara penting.

Pada saat itu, mum dan dad hendak menghadiri sebuah meeting penting. Sebenarnya, hanya dad yang memiliki kepentingan tapi mum memutuskan untuk ikut entah kenapa. Di perjalanan, badai salju menerjang, dan pada saat itulah mobil dad terjebak badai dan mereka berakhir meninggal karena hipotermia. Jasad keduanya ditemukan oleh pihak polisi.

Sebelum keduanya pergi ke London, aku memang sudah memiliki firasat buruk. Kubuang firasat itu dengan meminum secangkir cokelat panas sambil mendengarkan musik folk jazz. Tak kusangka jika pada akhirnya firasat buruk itu benar-benar terealisasikan dengan fakta bahwa mum dan dad meninggal. Tasha yang pada saat itu tengah melakukan penelitian entah-apa di Bradford segera bergegas kembali ke Manchaster, ia menangis meraung-raung.

Keadaan kami tidak baik saat itu hingga seminggu kemudian kami sama-sama sadar bahwa dengan terpuruk, mum dan dad tak akan kembali hidup. Aku menjalankan pendidikanku seperti biasa, begitupula dengan Tasha, ia kembali ke Bradford untuk melanjutkan penelitiannya yang tertunda. Tasha yang sebelumnya terlalu sering sibuk dengan tugas-tugasnya semenjak itu menjadi mulai lebih memperhatikanku. Ia bekata bahwa sekarang ialah yang memerankan mum, dad dan kakak secara bersamaan. Aku tidak bisa membayangkan beban seperti apa yang saat itu Tasha rasakan.

Semenjak kematian mum dan dad, aku dan Tasha hidup dengan bergantung pada harta warisan mum dan dad dan beberapa uang sumbangan dari relasi dad yang jumlahnya sangat besar. Semua itu berlangsung sampai Tasha dinyatakan lulus kuliah dan menyandang gelar sarjana. Ia kemudian bekerja di perusahaan besar yang membuatnya harus pindah ke London--bersamaku tentu saja--sampai sekarang. Hal yang tidak kusangka adalah kenyataan bahwa Max, Harry dan Alli juga ikut pergi ke London untuk melanjutkan pendidikan S1 mereka. Dan bahkan kami diterima di kampus yang sama. What a coincidence?

Lamunanku pecah begitu aku merasakan seseorang menarik-narik ujung sweater hitam yang kukenakan. Aku menunduk untuk bisa melihat jelas sosok London.

"Ada apa London?" tanyaku sambil mengangkatnya untuk duduk disampingku.

"Aku ingin ice cream," kata London, ia menunjuk sebuah kedai ice cream yang terletak tak jauh dari taman kecil yang ada di dekat gedung flat-ku. Taman ini sangat ramai oleh anak kecil, sudah sama seperti playground dan mungkin itulah alasan mengapa ada banyak toko yang diperuntukan untuk anak kecil di sini. Awalnya aku tidak sadar dan baru sekarang aku menyadari eksistensi kedai es krim, toko boneka, toko mainan yang menjual banyak action figure superhero ternama dan beberapa toko lainnya yang hampir sejenis.

Aku kemudian mengangguk dan bangkit. Kami kemudian bersama menuju kearah kedai es krim itu dan memesan satu scoops ice cream brown sugar vanilla bean untukku dan satu scoops ice cream strawberry butter milk untuk London. Setelah mendapatkan es krim, kami kemudian memakannya di tempat. Kali ini London banyak berceloteh tentang Louis. Ia memang banyak bermain bersama Louis kemarin malam, mulai dari memainkan lego sampai memainkan boneka barbie yang membuatku tertawa keras karena lucu saja melihat Louis bermain boneka barbie. Aku yakin kau juga akan tertawa sangat keras ketika melihat adegan itu. Tapi, well, jika boleh jujur, aku merasa bahwa adegan itu sangat manis.

"Bibi tidak kencan dengan paman Louis?"

Aku hampir tersedak mendengar ucapan polos dari bocah empat tahun dihadapanku ini. Shit! Aku tidak salah dengar 'kan?

"What? Kau memangnya tahu apa itu kencan?"

London terlihat berpikir sejenak sebelum menjilat es krim-nya. "Iya, apa itu kencan, bi?"

Bagus, kupikir anakku ini baru saja terkotori pikirannya oleh hal-hal yang bukan urusan anak kecil.

"Kau akan tahu jika sudah besar nanti."

London mencebikkan bibirnya. "Jadi, menurut bibi aku belum besar?"

"Iya, kau masih empat tahun, jika sudah tujuh belas tahun itu namanya besar. Oke?"

"Ahh ... bibi!" London merajuk dia menendang-nendang udara dan bibirnya mengerucut membuatku tertawa.

"Kau lucu sekali London."

"Aku nangis nih?"

"Bibi tidak takut."

"Baik, aku akan nangis," kata London dan detik selanjutnya dia sudah menangis dengan sangat kencang. Aku sangat tahu itu hanya tangisan palsu.

"London sudah diamlah. Jangn menangis sayang, maafkan bibi ya," kataku dan tak lama London diam.

"Bibi takut ya?"

"Iya, bibi takut."

London terkekeh membutku secara reflek mencubit pipinya yang tembam.

"Bibi! Sakit!"

#

Udara malam ini terasa sangat dingin, beruntung supir taxi telah menaikkan suhunya membuatku merasa hangat. Taxi kemudian berhenti tepat divdepan gedung flat-ku. Kuberikan beberapa lembar uang untuk biaya taxi kepada sang supir kemudian keluar sedikit susah payah dengan London di gendonganku. Bocah ini sedang tidur, kurasa ia mulai letih karena seharian ini kami bermain di taman kemudian berlanjut ke kebun binatang untuk melihat bayi panda yang baru saja dipertontonkan pada khalayak ramai. Sejak tadi London sangat bersemangat, dan sekarang ia sudah kelelahan.

"Eleanor." Aku tersenyum ke arah Louis yang berjalan dari parkiran. Ia kemudian berjalan mendekat ke arahku yang masih berdiri di dekat pintu gedung flat.

"London ketiduran?"

"Iya, dia pasti lelah, tadi dia sangat semangat melihat bayi panda yang baru dikeluarkan."

"Oh, sini biarkan ku gendong London," kata Louis, dan dengan hati-hati dia mulai membawa London ke gendongannya.

Kami kemudian bersama-sama memasuki gedung flat. Beberapa pegawai menatap kami, ada yang menatap secara terang-terangan dan ada pula yang melihatnya secara diam-diam. Ada apa sebenarnya?

"Eleanor."

Aku menoleh dan tersenyum lebar begitu melihat sosok nenek Mabel baru masuk ke dalam gedung flat dengan beberapa kantung belanjaan yang langsung kuambil. Kurasa nenek tua renta ini baru saja dari supermarket. Aku sering merasa kasihan pada nenek Mabel, dia sudah tua namun anak-anaknya tidak ada yang menghiraukannya, nenek Mabel hidup bergantung dengan uang yang ditinggalkan suaminya. Sempat kutanya kenapa nenek Mabel tidak masuk k edalam panti jumpo, ia bilang bahwa ia tidak mau, ia takut suatu saat anaknya datang dan tidak mendapati nenek Mabel di sini.

Kami kemudian masuk ke dalam lift secara bersamaan begitu kotak berlapis besi itu terbuka, mengeluarkan beberapa orang yang nampak terburu-buru.

"Siapa dia Eleanor? Apa dia kekasihmu?" tanya bibi Mabel, ia tersenyum ke arah Louis yang juga melemparkan senyuman padanya.

"Tidak, nenek. Dia ini tetangga kita. Apa kau tidak pernah melihatnya?"

"Kau tahu sendiri aku jarang bertegur sapa dengan orang di sini. Hanya segelintir orang yang kutahu, termasuk kau," kata nenek Mabel yang kubalas dengan senyum simpul. "Siapa namamu, son? Kau terlihat sangat akrab dengan Eleanor tadi, jadi kupikir kau adalah kekasih gadis ini." Nenek Mabel kemudian berbicara dengan Louis yang tangannya sedari tadi mengelus-elus punggung London. Aku menonton adegan itu dalam diam.

"Louis, nenek."

"Oh, jadi kau Louis? Aku hanya tahu namamu. Maaf."

"Tidak masalah, nenek. Ini juga salahku, aku tidak pernah mengunjungi nenek."

Nenek Mabel hanya tersenyum. Percakapan kami kemudian selesai bertepatan dengan lift yang terbuka. Kuserahkan kembali kantong belanjaan milik nenek Mabel kemudian aku dan Louis yang masih menggendong London masuk kedalam flat-ku. Louis dengan perlahan menaruh London ke atas ranjangnya. Bocah itu sempat menggeliat sebelum kembali tenang. Louis mengecup kening London cukup lama sebelum bangkit dan keluar dari kamar London.

"Kau sudah cocok berperan sebagai ayah," kataku sambil menutup pintu kamar London.

Louis terkekeh. "Kau bercanda?"

"Kurasa tidak."

Louis

Aku sungguh rindu dengan masa kecilku, melihat acara kartun di televisi tiba-tiba membuatku kembali bernostalgia bagaimana dulu diriku. Aku sering bermain dengan Lottie dan Félicité dulu, mereka sering kujahili hingga menangis membuat mum dan dad akan marah padaku dan kedua adikku itu akan meledekku karena mereka mendapatkan perlindungan.

Huh, masa kecil itu sangat indah. Masa di mana aku bisa bermain tanpa memikirkan hal-hal lain selain mainan. Tidak ada masalah keluarga, masalah perasaan dan tentunya, tidak ada masalah pekerjaan.

"Ada apa denganmu? Kau menonton Mickey Mouse?" tanya Eleanor diakhiri dengan kekehan. Gadis itu datang dari arah dapur dengan nampan berisi dua piring pasta yang sangat menggoda.

Tadi aku bertemu dengan Eleanor didepan gedung flat, ia bersama London yang katanya kelelahan karena terlalu bersemangat menonton bayi pandi. Setelah menaruh London yang sebelumnya di gendonganku ke ranjangnya, Eleanor tidak membiarkanku pulang, ia menawarkan makan malam gratis di flat-nya yang langsung kuterima. Lagipula, itu jauh lebih baik daripada membeli pizza secara delivery. Lama-lama aku bosan dengan pizza, hampir setiap hari aku memesan makanan dengan kardus kotak namun ternyata berbentuk bundar dan dimakan dalam bentuk segitiga itu.

"Aku hanya sedang rindu masa kecil," kataku, berdiri untuk ke dapur, mengambil dua kaleng soda yang kutemukan di kulkasnya dan kemudian kembali lagi ke ruang tamu. Eleanor sudah mulai memakan pastanya.

"Wah, kebetulan sekali, siang tadi aku juga memikirkan hal itu," kata Eleanor, kuserahkan salah satu kaleng soda yang langsung ia terima. Selagi aku membuka kaleng soda itu, Eleanor melanjutkan, "aku rindu menonton film kartun dan dengan bodohnya mengikutinya serta percaya bahwa kartun itu benar-benar."

"Yeah, kau benar. Aku rindu dibelikan mobil-mobilan oleh dad dan menjahili adik-adikku, seperti menyembunyikan boneka barbie mereka."

Aku ingat, saat kecil dulu aku ingin cepat-cepat besar agar bisa bekerja sendiri, mendapatkan uang sendiri dan dapat membeli mainan apapun yang kumau. Namun justru sekarang aku ingin kembali ke masa kecil dan ya, aku tahu itu sangat tidak mungkin. Maksudku, yang namanya pertumbuhan sudah tidak akan bisa kembali lagi 'kan? Lagipula aku juga tidak memiliki mesin waktu yang bisa membuatku kembali ke masa yang menurutku--dan sepertinya juga menurut Eleanor--menyenangkan.

Eleanor terdiam sejenak dan detik selanjutnya wanita yang ternyata sudah memiliki satu anak itu menepuk keningnya. Ia seolah teringat sesuatu yang tidak kuketahui apa itu. Seolah tak peduli dengan apa yang Eleanor lakukan, aku memakan pasta sambil tetap menonton kartun Mickey Mouse yang entah kenapa tayang dimalam hari seperti ini.

"Kau tidak rindu pada adikmu?" tanya Eleanor tiba-tiba. Beruntung aku sudah menelan pastaku sehingga tidak perlu ada adegan tersedak di sini.

"Kenapa kau bertanya seperti itu?"

Eleanor memasukan pasta ke dalam mulutnya. "Beberapa hari yang lalu, aku lupa pastinya kapan yang pasti sudah cukup lama, aku bertemu dengan Lottie di kafe milikku, ia bertanya bagaimana keadaanmu dan kujawab bahwa kau baik-baik saja. Sebelum pulang, dia berkata, 'kami merindukannya' dan kusimpulkan bahwa kami adalah keluargamu dan nya dalam kata merindukannya adalah kau," ujar Eleanor membuatku diam sejenak sebelum kembali memakan pastaku.

Shit, kenapa harus topik ini yang diangkat. Ini berhasil membuat mood makanku menurun secara drastis. Padahal ini gratis dan lumayan enak untuk ukuran gadis yang aku tahu tidak begitu pandai memasak.

"Louis?"

"Ya, Eleanor, aku dengar."

Kudengar Eleanor menghela napas namun aku mencoba untuk terlihat biasa-biasa saja dan tetap memakan pastaku dengan tenang meski seperti yang sudah kukatakan, mood makanku sudah menurun drastis.

"Aku tidak bermaksud untuk ikut campur urusanmu atau ... ingin tahu urusanmu, tapi, ada apa sebenarnya antara kau dan Lottie serta adik-adikmu yang lain?" kata Eleanor, aku melirik gadis itu yang tengah memakan pastanya sebentar sebelum kembali menatap ke arah televisi layar datar yang sekarang sedang menampakkan komersial break.

"Hanya ... aku sudah lama tidak bertemu mereka semenjak aku pindah ke London empat tahun lalu tepat beberapa hari setelah aku lulus kuliah" kataku, tidak berbohong karena begitu adanya. Hanya ada satu hal besar yang kututupi. Aku masih belum siap membagi cerita ini pada siapapun, kupikir biar sekarang ini hanya Niall yang tau masalahnya.

"Kau yakin?"

"Ya."

Tidak terdengar lagi suara Eleanor. Kami sama-sama diam, hanya ada suara dentingan garpu yang bertemu dengan piring dan suara televisi yang sudah tak lagi menarik perhatianku. Dan mood-ku semakin turun saja.

#

Louis menghela napas berat. Pemuda bermata biru itu berdiri di balkon kamarnya, memandang ke arah bintang yang tersebar di angkasa raya, menemani dewi malam yang terlihat cantik. Ia menghirup batangan kanker yang ia selipkan di antara jemari lentiknya sebelum menghembuskannya. Asap keluar dari mulut serta hidungnya dan kemudian secara perlahan menghilang bersama udara yang berhembus.

"Jadi, kau menyalahkanku atas segala hal yang terjadi?" Suara seorang wanita terdengar jelas di antara heningnya malam setelah beberapa menit terakhir hanya gelombang keheningan yang menyerang.

Louis kembali menghela napas, ia sama sekali tidak tahu kapan semua ini berakhir. Ia ingin kembali fokus mengerjakan tugas akhirnya tapi dua orang tuanya nyatanya sama sekali tak memberikannya kenenangan justru memberinya tekanan batin yang hampir membuatnya gila akhir-akhir ini.

Sambil memikirkan bagaimana roda kehidupannya berputar hingga sekarang sudah ada di bagian terbawah, Louis kembali menghisap tembakau di tangannya yang sudah bercampur dengan tar, nikotin dan bahan-bahan lainnya yang sudah Louis ketahui bahwa itu sangat berbahaya namun ia masih menghisapnya. Untuk saat ini, mungkin hanya rokoklah yang bisa menghilangkan sedikit beban di pundaknya seolah beban itu menghilang bersamaan dengan asap yang keluar dari batang rokok yang menghilang diantara udara.

Knock knock knock

Louis terlonjak kaget, buru-buru ia mematikan batang rokoknya kemudian membuang ke dalam tong sampah yang sengaja ia taruh di balkon. Dibukanya pintu kamarnya dan pemuda itu tak begitu kaget ketika melihat dua anak perempuan yang memiliki wajah nyaris sama tengah berdiri di ambang pintu kamarnya, masing-masing dari mereka membawa boneka teddy berwarna cokelat.

"Hai Phoebe, Daisy. Ada apa?"

"Louis, kami ketakutan," kata Daisy, terlihat bocah itu semakin memeluk bonekanya dengan erat.

Louis tersenyum getir, ia kemudian mempersilahkan dua adiknya untuk masuk ke dalam kamarnya yang cukup berantakan akibat dua hal yang menekannya secara bersamaan. Tugas akhir dan dua orang tuanya yang sekiranya tidak memikirkan sama sekali kondisi psikis 5 anaknya.

"Kalian boleh tidur bersamaku. Ayo!"

Daisy dan Phoebe kemudian segera merangkak keatas kasurnya. Dua bocah itu kemudian tidur di sana masih dengan memeluk boneka teddy mereka. Tak lama, Louis bergabung, pemuda itu kemudian mencium kening dua adiknya dengan penuh kasih sayang.

"Mau kunyanyikan?"

"Ya, Louis." Daisy berujar dengan semangat membuat Louis tersenyum menyadari bahwa meski bagaimanapun dua adiknya ini tak kehilangan semangat mereka.

Louis kemudian menyanyikan lagu Little Star untuk keduanya membuat dua bocah itu secara perlahan menilukan telinganya dari suara-suara tak mengenakan yang datang dari bawah, dan secara perlahan-lahan pula keduanya berlabuh ke pulau kapuk.

Louis menatap kedua adiknya yang benar-benar sudah tertidur kemudian kembali mencium kening kedua adiknya. Melihat kedua bocah itu entah kenapa berhasil membuat semangat pemuda itu kembali menyulut, ia kemudian bangkit dari posisi tidurnya secara perlahan agar tak mengusik dua adiknya kemudian ke meja belajar, mengerjakan tugas akhirnya yang masih perlu direvisi.

⚫⚫⚫⚫⚫

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top