[11] Permintaan Maaf 'Palsu' Allison
"Jangan harap kami kembali seperti dulu."
Louis
"Aku benar-benar minta maaf Eleanor, Alli hanya sedang kesal saat itu. Dia sulit mengedalikan dirinya. Roknya basah karena jus, itu rok mahal yang dia beli saat kami liburan ke Paris. Aku yakin dia tidak bermaksud untuk membentak dan memukul London." Harry terus memberi Eleanor penjelasan panjang lebar dan berusaha keras menghalangi Eleanor yang sedang murka untuk masuk ke dalam rumah yang ia tempati bersama kekasihnya sekaligus mantan sahabat Eleanor, Allison.
Sementara Harry terus berbicara, gadis brunette itu hanya diam, kilatan kemarahan terpancar di kedua matanya. Aku bisa melihat kini dia bagai gunung berapi aktif yang siap untuk meletus kapanpun dia mau.
Tentu saja, Eleanor seperti ini. Di restoran tadi, Harry baru memberi tahunya bahwa London baru saja ditampar oleh Allison dan dimarahi oleh gadis itu hanya karena London baru saja menumpahkan jus pesanan Allison di rok yang ia kenakan. Eleanor yang marah langsung meninggalkan restoran dan menyuruhku untuk mengendarai mobil ke rumah yang ditempati Harry dan Allison. Baru kutahu bahwa rumah ini adalah rumah yang dulu sempat akan Eleanor tempati bersama Harry.
London di gendonganku nampak takut dengan Eleanor, dia menyurukkan wajahnya ke leherku dan yang bisa kulakukan sekarang hanyalah mengelus punggungnya, membuatnya merasa tenang.
"Tidak bermaksud untuk membentak dan memukul London?" Eleanor bertanya lengkap dengan nada sarkastik dan diakhiri dengan tawa sinis. "Harry apa kau sudah gila? Di mana otakmu? Apa otakmu ikut pergi bersamaan dengan kau yang pergi dariku untuk bersama Allison? Dan kenapa kau yang minta maaf? Satu-satunya orang yang salah adalah Allison, lalu dia marah karena rok itu mahal? Jadi kau pikir, rok itu lebih mahal dari biaya persalinan London, dari sembilan bulan dia di kandungan, dan lebih mahal dari biaya hidupnya empat tahun ini? Katakan padaku berapa harga rok itu! Aku bahkan bisa membelikannya selusin rok serupa di toko yang sama."
Eleanor meledak-ledak, matanya memerah dan menatap tajam ke arah Harry yang bungkam. Barang kali pemuda berambut ikal itu sadar bahwa dia salah. Allison sangat salah.
"Baiklah jika kau tak membiarkanku bertemu dengan jalang tak tahu diri satu itu, tapi kuharap kau mengatakan padanya," Eleanor menghela napasnya terlebih dahulu sebelum melanjutkan ucapannya, "Aku membencinya, dan aku tidak akan pernah mau berdamai, kembali menjadi temannya atau sesuatu semacamnya. Berteman dengannya waktu itu adalah suatu kekeliruan terbesar dalam hidupku," Eleanor berteriak tepat di depan wajah Harry membuat ia memundurkan wajahnya dan memejamkan mata.
Eleanor berbalik, kilatan kemarahan masih terpancar di matanya. Ia mengambil London di gendonganku dan memasuki mobil membuatku dengan segera ikut masuk kedalamnya dan mengendarai mobil ini pergi menjauh dari rumah Harry dan Allison. Dari kaca spion, masih kulihat Harry berdiri menegang di depan rumahnya.
Eleanor di sampingku nampak mengatur napasnya. Ia memeluk London dengan erat sedangkan kilatan kemarahannya itu sudah menghilang berganti dengan kilatan sedih.
"Bibi," cicit London.
"Iya, sayang?"
"Aku sangat takut tadi. Kau tidak marah lagi 'kan?"
"Tentu tidak, bibi mana bisa marah padamu lagipula tadi bibi marahnya pada bibi Allison. Kau sebaiknya tidur, sekarang sudah malam."
Aku mendengar gumaman malas London, sempat kulirik sekilas dan rupanya bocah itu sudah menyadarkan kepalanya pada kursi dan tidur di kursi belakang.
Eleanor
Louis membuka pintu di depan kami dan menyeruaknya menimbulkan bunyi decitan yang keluar akibat pergesekan antara bagian bawah pintu dan lantai. Aku segera masuk ke dalam dengan London yang tertidur dalam gendonganku dan menaruh anak ini di atas kasur empuknya.
Aku memandang London yang tertidur dengan nyenyaknya. Dia terlihat sangat tenang ketika tidur, sangat menggemaskan membuatku ingin terus melihatnya seperti ini. Tasha pasti beruntung bisa melihat London dalam keadaan seperti ini setiap harinya. Seandainya saja--
Oh, sudahlah Eleanor, semuanya sudah terjadi. Ini tidak seperti kau memiliki time machine yang bisa membawamu kembali ke masa lampau dan memperbaiki segala 'kekacauan' yang kaubuat sewaktu itu.
Tanganku terangkat, mengelus surai brunette milik London dengan lembut masih sambil tersenyum memandangi setiap lekuk wajahnya yang kata orang-orang nampak mirip denganku. Tubuhku kucondongkan, kutempelkan selama beberapa detik lamanya bibirku dengan keningnya, mencoba mengutarakan rasa sayangku.
Setelah aku merasa cukup puas, aku bangkit berdiri dan berbalik. Tubuhku sedikit terlonjak kaget begitu mendapati Louis masih berdiri di ambang pintu, tubuhnya menyender di kusen pintu, kedua tangannya terlipat di depan dada dan wajahnya yang terbilang tampan melukiskan senyuman.
"Kau terlihat sangat mengagumkan tadi," kata Louis ketika dia sudah menutup pintu kamar London secara pelan agar tak berisik dan mengusik tidur nyenyak London.
"Mengagumkan dari sisi manannya?" tanyaku dengan satu alis mengangkat.
"Kau terlihat seperti...."
"Benar-benar seorang ibu?" Selaku dan Louis mengangguk semangat sambil tersenyum lebar.
"Ya, semacam itu."
"Aku merasa masih belum menjadi orang tua yang baik untuknya. Hanya itu yang bisa kulakukan, kuharap Tasha bisa melakukan segala sesuatu yang tak bisa kulakukan."
"Kau sudah menjadi orang tua yang baik, Eleanor. Kurasa itu sudah cukup."
Tubuhku bergetar mengingat bagaimana London harus hidup di tengah-tengah kebohongan kami. Dia menyebut kakakku sebagai ibunya dan ia menyebut ibu kandungnya dengan sebutan bibi. Dan bagaimana aku benar-benar tidak bisa berperan sebagai orang tua semestinya, jika suatu saat ketika London tahu semuanya, dia marah besar padaku dan tak sudi memanggilku maupun Tasha dengan sebutan ibu, aku bisa memakluminya.
Tanpa kusadari air mataku jatuh, aku langsung mengusapnya dengan kasar. London memang menjadi titik sensitifku, ketika mengingat bagaimana dulu aku sangat frustasi ketika hamil, bagaimana aku benar-benar sempat dalam keadaan bingung akan memilih bertahan atau membunuhnya, bagaimana pada akhirnya aku bisa mengeluarkannya dari rahimku namun beberapa hari setelahnya Tasha membawanya, semua itu benar-benar membuatku sedih.
"Aku bukan orang tua yang baik, orang tua mana yang akan menyerahkan anaknya sendiri pada kakaknya? Tidak ada, selain aku." kataku dan tanpa bisa kutahan, air mataku lolos begitu saja membasahi pipiku.
"Jangan bilang seperti itu, Eleanor. Kau bukanlah ibu yang tidak baik, justru sebaliknya, kau sangat luar biasa. London pasti juga berpikir seperti itu, meski saat ini dia tidak melihatmu sebagai ibu," kata Louis membuat aku semakin terisak.
Sempat kudengar Louis menghela napas sebelum dia membawaku ke dalam dekapannya. Ia melingkarkan tangannya di sekitaran tubuhku dan aku segera membalasnya dengan melingkarkan tanganku di pinggangnya. Aku menangis di dada bidangnya sedangkan dia berulang kali mengatakan padaku bahwa aku memang orang tua yang baik.
Rasa sedih itu mendadak hilang berganti dengan rasa nyaman merasakan detak jantung Louis, dan tangannya yang ada di sekitaran tubuhku. Aku juga bisa merasakan jantungku berdetak dengan cepat, secepat pacuan kuda yang membuatku merasa bahwa organ tubuhku yang satu itu hendak melompat dari tempatnya.
Sudah lama aku tidak merasakan perasaan ini. Terakhir kali ketika aku bersama Harry jauh sebelum semua ini terjadi. Saat itu aku juga merasakan detak jantung yang sama cepatnya ketika Harry menatap mataku dalam dengan mata hijaunya yang terasa menyesatkan, aku juga merasakan sebuah perasaan nyaman di dalam rengkuhannya. Itu dulu, dan aku rasa perasaan itu mati bersamaan dengan dia yang tiba-tiba memutuskan bersama Allison.
Ayolah, Eleanor, kenapa kau kembali tenggelam dalam kalimat sendu memuakkan dengan alasan yang sama; Harry Bajingan Styles yang sudah seharusnya kau buang-buang jauh.
#
Aku sedang membuat kue saat tiba-tiba kudengar bel flat-ku berbunyi nyaring. Tadinya kupikir itu Max yang hendak menumpang sarapan namun justru seseorang di luar ekspektasikulah yang tengah berdiri di balik pintu.
"Hai Eleanor!" Harry menyapaku lengkap dengan senyuman yang dulu sangat kupuja dan memberi efek tersendiri bagi hatiku namun sekarang aku justru tak merasakan apa-apa.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Hanya mewakili Alli untuk meminta maaf padamu. Percayalah, Alli hendak meminta maaf namun pagi ini dia memiliki jadwal pemotretan."
Aku menghela napas berat, tahu betul bahwa Harry berbohong. Aku bisa jamin saat ini Allison tengah duduk di sofa rumahnya dengan perasaan kesal luar biasa karena Harry datang ke sini, meminta maaf atas namanya padahal dia sendiri tak merasa bersalah dan enggan meminta maaf sedikitpun.
Pada akhirnya aku membiarkan Harry masuk, dia duduk di salah satu sofa berdampingan denganku.
"Dengar, Harry. Aku sangat senang kau bisa menerima London, berbaikan denganku tapi aku tidak suka kau terkesan memaksa agar aku dan Allison berbaikan. Kami tidak akan bisa berbaikan, Harry, mungkin aku bisa saja berbaikan dengannya tapi Allison? Dia membenciku. Sangat membenciku.
"Aku mengenal Allison jauh sebelum kau mengenal aku maupun kau mengenal Allison. Aku tahu betul bagaimana sifatnya, dia keras kepala, sekali tidak suka dengan seseorang dia tidak akan pernah suka dengan orang itu untuk selamanya. Allison membenciku. Dia tidak akan bisa tidak membenciku setelah ini. Mungkin, kita bisa baikan tapi jangan harap kami bisa menjadi seperti dulu lagi. Jadi, intinya Harry, aku menghargai usahamu membuatku dan Allison kembali saling memaafkan, tapi jangan harap kami akan berbaikan. Kami tidak pernah bisa berbaikan, Harry.
"Dia bahkan tidak suka dengan London. Jangan memaksa kami untuk berbaikan, terlebih jangan memaksa Allison menerima London atau menerima kenyataan bahwa kau dan aku sudah berbaikan." Aku mengakhiri pidato panjangku di hadapan Harry dengan helaan napas.
Harry ikut menghela napas, dia melarikan tangannya di surai ikalnya yang jadi lebih panjang dari empat tahun lalu.
"Aku hanya--aku pikir ini baik untuk kalian."
"Ini lebih tidak baik untuk kami. Kumohon kau mengerti, oke? Aku tidak mau hubunganmu dan Allison menjadi hancur hanya karena ini, aku yakin akhir-akhir ini kalian sering bertengkar karena ini. Bisa-bisa Allison berpikir bahwa aku perusak hubungan kalian."
"Baiklah, aku tidak akan melakukan ini lagi."
"Sounds good."
Harry tersenyum, aku bisa melihat gelagat aneh dalam dirinya dan kurasa aku tahu apa maksudnya. Kuangkat satu alisku sebagai pertanda padanya.
"Tidak apa?"
"Ya, lagipula di sini tidak ada Allison."
"Baiklah."
Harry langsung memelukku, dan aku membalas pelukannya. Ini hanya pelukan pertemanan, aku tidak merasakan gelenyar aneh seperti dulu dan kurasa itu juga yang Harry lakukan. Kami melepaskannya secara cepat.
"Kalau begitu aku pulang, ya. Allison pasti sedang menunggu."
"Oke, hati-hati."
Harry mengangguk, dia langsung pergi secepat kilat keluar dari flat-ku membuatku terkekeh.
Meskipun aku tidak suka terhadap hubungan antara Harry dan Allison, aku tidak mau hubungan mereka hancur. Bukan karena apa, aku hanya tidak suka disebut sebagai gadis tak tahu diri yang merusak hubungan orang lain. Dan aku juga tidak suka jika London diikut sertakan di dalamnya.
#
Asap mengepul keluar dari secangkir cokelat panas di hadapanku menari-nari ke udara sebelum sosoknya menghilang entah ke mana. Punggungku kusenderkan pada sandaran kursi, meraih cangkir tersebut dan menghisapnya secara perlahan, merasakan sensasi cokelat panas di tenggorakanku dan bagaimana minuman ini berhasil membuat tubuhku merasa semakin hangat.
Kuletakkan kembali cangkir putih itu di atas meja menimbulkan bunyi tuk pelan yang terdengar samar akibat riuh sekitar yang seolah menyatu dengan irama musik jazz yang keluar dari sound kafeku dan suara rintik air hujan di luar sana.
Saat ini memang hujan tengah mengguyur kota London. Dari kaca bisa kulihat pejalan kaki mulai berlari cepat mencari perlindungan dari sebuah kanopi dan bahkan sekarang halte nampak dua kali lipat lebih ramai, orang-orang berdesakkan berharap pakaian yang tengah mereka kenakan tak ditetesi air sedikitpun. Sebagian lagi lebih memilih mencari kehangatan sekaligus perlindungan dari kafe-kafe terdekat dan alasan itulah yang membuat kafeku menjadi lebih ramai. Pegawaiku tampak sedikit kebingungan menghadapi secara tiba-tiba jumlah pengunjung meningkat, banyak yang tidak mendapatkan tempat duduk hingga mengumpat.
Aku masih diam di tempat duduk seorang diri dengan secangkir cokelat panas dan majalah fashion yang kini tengah kupegang dan kulihat-lihat, sama sekali aku tak berniat untuk membantu pegawaiku. Bukannya aku jahat atau apa, ada tidak adanya aku membantu mereka, tak berpengaruh banyak.
Ah, di mana London? Bocah itu tengah tidur di ruangan karyawan tempat pegawaiku makan siang, ganti baju dan lain-lainnya. Di sana ada sofa besar pas untuk tidur.
"Maaf?"
Aku mengangkat kepalaku mendengar suara seseorang. Gadis yang tak lagi asing di mataku dan kukenal bernama Lottie tengah berdiri di samping meja tempat dudukku dengan satu piring kecil cheese cake dan satu cangkir latte, "boleh aku duduk di sini? Di sini sangat ramai," katanya dan aku tidak punya opsi lain selain mengangguk.
Lottie tersenyum ia kemudian menaruh nampan berisi piring dan cangkir itu di atas meja kemudian duduk di hadapanku. Ia memakan cheese cake-nya dalam diam membuat tak ada lagi konversasi di antara kami dan satu-satunya suara yang tercipta hanyalah dari dentingan sendok kecil di tangannya yang bertemu dengan piring. Aku sendiri kembali sibuk menekuri majalah fashion di tanganku.
"Bagaimana kabar Louis?" tanya Lottie tiba-tiba membuatku menurunkan majalah untuk dapat melihat wajahnya dengan jelas. Rupanya gadis itu sudah selesai dengan cheese cake-nya.
"Kupikir kau sering menemuinya?"
"Semenjak kejadian ketika kau menegur kami, aku sudah membulatkan tekat untuk tidak menemuinya, kecuali jika dia sendiri memang mau."
Aku jadi penasaran tentang apa yang terjadi pada Lottie dan Louis. Mendengar cerita Louis soal rumah pohonnya membuatku merasa bahwa keluarganya adalah cerminan keluarga harmonis namun apa ini? Louis tidak mau bertemu dengan Lottie bahkan dari cerita Max dia pernah membanting ponsel milik gadis itu dan sering bertengkar.
Aku ingin bertanya, namun sekali lagi aku ditampar dengan kesadaranku bahwa tidak seharusnya aku ingin tahu terhadap hal yang terjadi pada orang lain. Terlebih ini masalah keluarga, jelas ini adalah masalah yang sangat privasi.
"Jadi bagaimana Louis?"
"Dia baik. Sangat baik. Kami kemarin ke rumah pohon keluargamu."
Lottie membulatkan matanya, "sungguh? Louis mengajakmu ke sana?"
"Ya, aku melihat gambaranmu, gambaran Félicité, gambaran Phoebe dan Daisy. Dia juga bercerita banyak soal rumah pohon itu."
"Jadi kau kekasih kakakku?"
Aku membulatkan mataku kemudian tertawa keras. "Apa yang kau bicarakan? Tentu saja tidak!"
Lottie memincingkan matanya ke arahku. "Are you sure? Kalau memang tidak, untuk apa Louis mengajakmu ke rumah pohon?"
"Dia hanya sedang bosan. Niall pergi dengan kekasihnya, dia ingin keluar dan mengajakku, kami tidak tahu kami mau ke mana jadi pada akhirnya dia mengajakku ke sana."
"I see." Lottie mengangguk-angguk tapi bisa kulihat dia mengembangkan senyum jahil. Aku benar-benar tidak tahu apa yang ada di otaknya saat ini, namun kuharap itu bukan hal aneh.
Lottie mengangkat tangannya, ia melirik sekilas ke arah jam digital yang melingkar manis di pergelangan tangan kanannya kemudian berdiri. "Aku harus pergi. Tolong katakan pada Louis, kami merindukannya. Sampai jumpa."
Aku hanya diam memandang adik Louis itu sampai punggungnya menjauh dan perlahan menghilang tertelan lautan manusia di trotoar. Dan baru kusadari, hujan di luar sana sudah reda menyisahkan genangan air di beberapa sudut.
⚫⚫⚫⚫⚫
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top