[10] Rumah Pohon
"You don't know, Eleanor"
Eleanor
Hari ini, semuanya sedikit di luar ekspektasi dimulai dari Harry yang datang ke flat-ku bersama Allison untuk mengajak London jalan-jalan. Yang kedua Louis megajakku pergi jalan-jalan entah karena apa, dia hanya berkata bahwa dia bosan dan Niall yang sering menjadi teman hangout-nya sibuk dengan kekasihnya.
Destinasi pertama kami adalah London Eye, aku sedikit terkejut ketika Louis mengajak ke sini karena kupikir akan lebih baik jika kami pergi ke London Eye saat malam. Tapi dia bersikeras, mengatakan bahwa dia menginginkan sesuatu yang berbeda. Ya, terserahlah.
Aku menatap pemandangan kota London dari tempat ini bersama beberapa turis asing. Ini bukan kali pertama aku mengunjungi tempat ini, namun aku tidak pernah merasa bosan melihat pemandangan kota London.
Gedung-gedung terlihat sangat kecil dari atas sini bagai sebuah lego yang sekali tendang akan langsung hancur. Aku hanya tersenyum membayangkan jika aku adalah sesosok raksasa yang dengan mudah mencabuti gedung-gedung kokoh itu bagai tengah mencabuti rumput. Oke, stop, aku tahu pemikiranku sangat sadis.
"Setelah ini kita akan ke mana?" tanyaku ketika kurasakan gedung yang tadinya sangat kecil kini membesar.
Louis menaikkan satu alisnya. "Entah, ada rekomendasi?"
"Kau yang mengajakku dan kau sendiri yang tidak tahu akan kemana?" ucapku sambil meliriknya. Louis terkekeh kemudian kami keluar bersama dengan turis yang lain.
"Aku mengajakmu pergi karena bosan."
Aku memutar bola mataku dan Louis kembali terkekeh. "Baiklah-baiklah, bagaimana jika kita pergi ke--"
"Tidak jadi, aku punya tempat bagus. Ayo!" ujar Louis dan sebelum aku mampu mencerna ucapannya, dia sudah menarikku. Aku melotot, merasakan tarikannya cukup keras dan kesal. Kenapa dia butuh rekomendasiku jika dia tahu tempat bagus?
"Louis!" Sebelum aku protes terhadap tarikannya, Louis sudah membuka mobilnya dan mendorongku masuk ke dalam, tidak kasar namun berhasil membuatku sangat kesal.
Louis menutup pintu, dia berlari kecil dan membuka pintu lainnya kemudian merangkak masuk. Aku hanya menatapnya dengan tatapan tajam, masih kesal karena tarikannya dan dorongannya untuk masuk ke dalam mobil ini. Dia pikir aku ini apa?
"Kenapa melihatku seperti itu? Ayo, pasang safety-belt-mu, mau kupasangi?" Louis terkekeh di akhir ucapannya namun hal itu tidak membuatku ikut terkekeh, alih-alih melotot dan membuat kekehan Louis perlahan memelan dan menghilang sepenuhnya.
"Baiklah-baiklah maaf," Louis berucap sambil mengulum senyum manisnya dan entah kenapa pertahananku untuk terlihat galak di depannya sedikit goyah. Pun, aku mengalihkan tatapanku ke jendala sambil memasang safety-belt. Louis tidak mengatakan apapun, dia hanya melajukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata di tengah jalanan London yang cukup padat.
Kami sama-sama diam menciptakan keheningan panjang, hanya ada suara mesin mobil, musik yang keluar dari radio dan terkadang suara klakson dari pengendara lain yang membuatku mendengus. Jujur saja, aku sangat benci ketika seseorang mengklakson, sangat menganggu dan menimbulkan polusi suara.
Huh, sudahlah.
"Hey, kau masih marah?" tanya Louis ketika ia menekan pedal rem dan perlahan mobilnya berhenti. Aku melirik sekilas ke arah traffic light yang menampakkan warna merah kemudian menatap pemuda di balik kemudi ini.
"Tidak, aku hanya kesal."
Louis mendesah, "maafkan aku oke?"
Mana ada orang yang meminta maaf dengan nada penuh pemaksaan di dalamnya? Ya, tidak ada kecuali Louis Idiot Tomlinson
"Iya," kataku dan itu berhasil membuat Louis tersenyum sangat lebar. Louis nampak ingin mengatakan sesuatu namun terinterupsi dengan suara klakson mobil di belakang kami. Louis dengan tergopoh-gopoh kembali melajukan mobilnya. Tanpa pemuda itu sadari, traffic light sudah berubah menjadi hijau.
Mobil yang Louis kendarai berhenti di sebuah tanah kosong dengan satu pohon di tengah-tengahnya. Aku mengkerutkan keningku, memikirkan kemungkinan-kemungkinan mengapa Louis mengajakku kesini.
"Ayo, keluar!" ajak Louis ketika ia sudah mematikan mesin mobilnya. Ia keluar lebih dulu dan butuh beberapa detik lamanya bagiku untuk ikut melangkah keluar.
"Kau tidak ingin membunuhku atau melakukan kejahatan apapun padaku di sini 'kan?" tanyaku sambil memandang horor Louis yang kini justru tertawa keras sekarang seolah aku tengah mencoba melucu padahal sama sekali tidak.
Hey! Apa yang kau pikirkan? Louis adalah seorang laki-laki dan aku hanyalah seorang perempuan, dia bisa melakukan apapun yang dia mau disini terlebih, tempat ini sangat sepi dan kupikir hanya ada kami disini.
Kuacuhkan tawa Louis yang menggelegar itu, kepalaku mendongak menatap langit yang dipenuhi dengan awan yang terlihat bagai gumpalan kapas di atas sana, berarak bagai sebuah parade ketika hari jadi kota. Kepalaku sedikit tertoleh dan berhenti pada sebuah bangunan yang berdiri di atas pohon. Yup, apalagi kalau bukan rumah pohon?
"Louis, apa tujuanmu membawaku ke sini?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku pada rumah pohon itu.
Louis menghentikan tawanya, ia membawa tangannya untuk merangkulku dan ketika kulirik, dia juga menatap rumah pohon itu.
"Berbincang sambil menghabiskan makanan dan minuman yang kubeli di mini market tadi pagi di atas rumah pohon itu." Louis melepaskan rangkulannya, aku menoleh menatap pemuda dengan surai yang cukup panjang dibagian depannya itu, ia membuka bagasi mobil dan mengambil dua kantung besar yang ketika kulihat sekilas berisi camilan dan minuman.
Wow.
"Ayo, tolong bawa ini dulu." Aku mengangguk, mengambil dua kantung itu dari tangan Louis, dia kemudian memanjat ke rumah pohon itu. Kuserahkan kantung itu dengan sedikit susah payah kepada Louis kemudian ikut memanjat ke rumah pohon.
Rumah pohon itu hanya rumah pohon biasa, tidak ada apapun di dalamnya kecuali gambaran-gambaran khas anak yang duduk dibangku nursery tertempel memenuhi dinding rumah ini yag terbuat dari kayu.
"Wow, gambaran siapa ini?" kataku sembari menyentuh salah satu kertas bergambar London Eye namun sedikit acak-acakan. "LT?" gumamku ketika menemukan semacam tanda tangan dengan huruf L dan T di bawahnya, "apa ini gambaranmu, Louis?"
"Nope." Aku melirik ke arah Louis yang kini juga memfokuskan tatapannya pada gambaran itu. "Not mine but Lottie's." Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi bisa kulihat sinar di mata biru milik Louis secara perlahan meredup.
Aku mencoba untuk mengacuhkan itu dan melemparkan tatapanku pada gambar lain. Ada gambar Big Ben yang dibuat secara acak-acakan juga. Kali ini bukan milik LT melainkan FT.
"FT?" secara reflek aku menggumamkan inisial itu.
"Félicité," jawab Louis, aku meliriknya dan tatapannya semakin sendu.
Aku kembali mencoba mengacuhkannya dan kembali mengalihkan tatapanku kearah gambar lain. Ada sebuah gambar London Bridge yang dibuat lebih acak-acakan lagi. Kali ini bukan LT apalagi FT melainkan PT dan DT.
"Itu milik Phoebe dan Daisy," terang Louis, dia seolah tahu gambaran mana yang tengah kutatap. Aku hanya tersenyum dan menatapnya yang terlihat sangat lesu sangat berbeda dengan beberapa menit yang lalu dimana dia terlihat sangat bersemangat.
"Mana milikmu?"
"Aku tidak bisa menggambar. Gambaranku lebih parah dari semua gambar di sini. Semua gambaranku berakhir di tempat sampah," Louis meringis di akhir kalimatnya dan aku tertawa keras mendengar itu. "Sudah puas tertawa? Ayo kita makan ini." Louis membuka salah satu snack dan memakannya.
Louis
"Rumah ini dibuat oleh ayahku, dia memang sengaja membuatnya untuk memasang semua gambaran milik Lottie, Félicité, Phoebe dan Daisy. Seharusnya aku juga, tapi karena dia tahu aku tidak suka menggambar sehingga dia tidak memasang gambaranku di sini." Aku bercerita dengan lancar mengenai asal muasal rumah pohon ini. Aku tidak tahu apa yang membuatku bisa bercerita semudah ini padanya namun yang kutahu, aku sudah merasa dekat dan nyaman dengannya.
"Setiap musim panas, kami sekeluarga mendirikan tenda di sini karena tanah ini sudah dibeli oleh ayahku. Aku dan adik-adikku akan memainkan jenga dan siapa yang kalah harus tidur di rumah ini."
Eleanor mengerutkan keningnya. "Yang kalah?"
"Ya, ayah membuat cerita bahwa di malam hari rumah pohon itu dihuni hantu. Dan kau tahu? Aku selalu kalah dalam permainan itu namun aku biasa saja, lagipula aku memang sengaja kalah, aku tahu bahwa itu bohongan sedangkan Félicité dan Lottie sangat mempercayai cerita itu. Saat itu, Phoebe dan Daisy masih belum lahir."
"Wow, keluargamu sangat mengesankan." Eleanor tersenyum lebar dan aku hanya tersenyum tipis.
Kau hanya tidak tahu, Eleanor.
"Sudah hampir malam, ayo kita pulang!" kataku ketika melirik ke luar dan melihat langit mulai gelap.
Eleanor di sebrangku menyentuh perutnya. "Tapi aku lapar, bagaimana jika kita ke restoran dulu?"
Aku terkekeh. "Baiklah-baiklah."
#
Sebelum kembali ke flat, kami menyepatkan diri mengunjungi restoran. Tempat ini tidak terlalu ramai dan karena itulah aku memilih tempat ini sebagai tempat makan kami berdua.
Seorang pelayan perempuan mendatangi kami, dia memberikan kami buku menu dan setelah aku dan Eleanor memesan, pelayan itu pergi dengan pesan bahwa makanannya akan segera ia hidangkan.
Sambil menunggu makanan datang, aku sibuk memandang sekitar begitupula dengan Eleanor. Gadis itu tiba-tiba berdiri, dia menyerahkan tas kecil miliknya padaku. "Aku ke toilet dulu ya?" Eleanor dengan tergopoh-gopoh menuju ke arah toilet sedangkan aku membutuhkan waktu beberapa detik lamanya untuk mencerna apa yang terjadi karena aku cukup terkejut tiba-tiba gadis bersurai brunette itu menyerahkan tasnya padaku.
Mataku kembali mengedar dan dibuat melebar ketika melihat seorang perempuan kecil berlari-lari ke arahku dan memeluk kakiku. Dengan cepat, kubawa anak itu ke gendonganku dan memangkunya, sedangkan tas Eleanor yang tadi kuletakkan di pangkuanku kutaruh begitu saja di atas meja.
Anak itu memelukku erat, kurasakan punggungnya bergetar seolah menjelaskan bahwa dia ketakutan sedangkan kepalanya ia surukkan pada leherku. Meski pelan, bisa kudengar suara isak tangisnya. Mencoba menenangkan anak ini, aku mengelus punggung dan rambut brunette-nya yang menjuntai secara lembut.
"Hey, hey, ada apa denganmu huh? Kau baik-baik saja?" tanyaku, mencoba mencari tahu hal apa yang membuatnya seperti ini. Bukannya menjawab ia justru menangis semakin kencang, suaranya sedikit terendam di leherku. "Tenanglah, kau tahu, kau aman bersamaku." Aku memeluknya sedikit erat dan kembali mengelusnya.
"Pa-pa-paman Louis?"
"Ya, London?"
"Astaga London!"
Aku terlonjak kaget dan secara reflek mendongak. Mataku melebar saat mendapati seorang lelaki berambut ikal yang kukenal sebagai Harry berjalan ke arahku dan London.
What the fuck is going on?
⚫⚫⚫⚫⚫
Note: aku gk pernah jelasin soal ini pdhl sering muncul di narasi dan cerita aku yg judulnya Trouble tp aku yakin kalo ada beberapa di antara kalian yg bingung apa itu secondary school, primary school, sixth form dan nursery. Itu adalah grading system di UK (kecuali Scotland), nursery itu playgroup buat anak 4 thn kebawah (ini harusnya wajib sih, tp aku bikin London di sini gk sklh playgroup), primary school itu semacam sd tp 7 thn dan dimulai dr umur 4 thn, secondary school itu buat anak umur 11-16, sixth form itu buat yg mau kuliah, ini opsional sih maksudnya boleh jg gk sekolah sixth form (aku denger Harry gk ambil sixth form)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top