[1] Prasangka Buruk
Eleanor
Empat tahun ini orang bilang hidupku sangat kacau. Aku tidak tahu siapa yang patut disalahkan, Tuhan sang pencipta skenario hidup atau justru aku sendiri, atau dia yang masih hilang tanpa jejak, tanpa kabar bahkan aku ragu apa dia masih bisa menghirup udara yang mengandung oksigen dan berbagai gas lainnya ini.
Tapi aku selalu mencoba membuat segalanya lebih baik. Lebih normal. Dan aku selalu mencoba melupakan segala hal yang telah lalu, karena aku ingin terus berjalan sembari melihat ke depan bukan diam di tempat sambil menoleh ke belakang tanpa tahu apa saja yang ada di depanku.
Pagi ini, seperti biasa, aku terbangun dari tidurku yang sama sekali tak nyenyak. Aku menjalankan rutinitas pagiku, menghirup napas dalam-dalam dan berterima kasih kepada Tuhan karena Ia masih mau memberikanku waktu hidup meski sebagaian dalam diriku yang lain sedih karena dewa kematian tak kunjung datang menghampiriku. Selain itu, aku juga meminum satu gelas air.
Pagi ini, seperti biasa, kota London terasa sangat dingin. Aku ingin kembali bergelung di balik selimut, menciptakan angan-angan sampai aku bosan dan kembali tertidur namun aku sadar, ada seseorang yang harus kutangani.
Pun, aku keluar dari kamarku, mengecek London yang tertidur di kamar lain. Ia rupanya masih sibuk dengan dunia mimpinya masih belum ada tanda-tanda bahwa dia akan bangun dan melihat betapa damai wajahnya membuatku enggan untuk membangunkannya.
London adalah keponakanku, anak dari kakakku yang bernama Tasha. Bocah yang sebentar lagi menginjak umur yang ke empat itu terpaksa dititipkan padaku karena Tasha ada urusan pekerjaan di Skotlandia selama satu bulan ini. Tasha tidak pernah percaya dengan baby sitter sehingga saat dia akan bekerja dia menitipkan London pada tempat penitipan anak, di sana juga London bersosialisasi tiap harinya.
Aku kemudian bergegas ke dapur, membuat satu gelas teh untuk diriku dan dua pancake dengan siraman madu. Aku tidak begitu pandai memasak, namun banyak yang bilang bahwa pancake buatanku tidaklah buruk. Satu-satunya orang yang bilang bahwa pancake buatanku sangat buruk adalah Max, seorang pemuda yang bilang bahwa dia adalah sahabatku namun pekerjaannya hanya menistakanku. Ya, begitulah Max.
Bel flat-ku berbunyi nyaring. Aku segera membukanya tanpa mengintip terlebih dahulu karena semua orang pun tahu siapa orang yang biasa datang pagi-pagi sekali ke flat-ku untuk menumpang makan. Ya, benar, dia adalah seseorang yang baru saja kubicarakan, Max.
"Kau sedang membuat apa?" tanya Max seraya menggantungkan jaket yang tadi ia kenakan di gantungan.
Aku berlalu dari hadapan Max seraya berkata, "pancake. Kau tidak suka 'kan? Jadi, ya, hari ini kau tidak dapat jatah makan."
Max mendengus sebal. Tahu-tahu dia sudah ada di depanku, memperhatikanku yang sedang menyiramkan madu pada dua piring pancake.
"Sayang sekali. Tapi aku akan membuat roti isi sendiri," katanya, dan langsung sibuk membuat roti isi.
"Kau mau minum apa? Akan kubuatkan."
"Kopi," jawab Max singkat dan dengan itu aku langsung mengambil biji kopi yang kusimpan dalam kabinet.
Tepat saat Max sudah berhasil dengan roti isinya dan aku sudah selesai membuatkan Max kopi, pintu kamar London terbuka, menampakkan bocah perempuan berdiri di ambang pintu sembari mengusap matanya. Lucu, London sangat lucu.
"Hei, London, kau sudah bangun," sapa Max, ia menghampiri London dan membawa bocah itu dalam gendongannya. Kuperhatikan Max yang menatap London sambil mengusap pipi tambun bocah itu. Kau tahu, Max sekarang terlihat seperti seorang ayah yang menyayangi anaknya dan kuakui itu adalah hal termanis yang pernah kulihat. Aku mulai membayangkan bagaimana jika Max sudah mempunyai istri dan anak, aku pasti akan iri pada istrinya karena bisa sering menonton adegan manis ini.
"Paman Max? Uh, aku terlambat bangun lagi, padahal aku ingin bangun saat paman belum datang."
Max terkekeh, ia kemudian berjalan ke arah meja makan dan menempatkan London di salah satu kursi sedangkan dia kemudian duduk di kursi lain di samping kursi London.
"Bibi, bukankah sudah kukatakan untuk membangunkanku sebelum paman Max datang," kata London, mulai melayangkan protes ke arahku. Bibirnya mencebik dan aku kembali dibuat gemas olehnya.
"Oh, maaf sayang, bibi hanya tidak tega untuk membangunkanmu."
"Lagipula, paman 'kan sudah buat peraturan, kau harus bangun sendiri."
Ucapan Max membuat London terlihat semakin sedih. Aku tidak pernah tahu bahwa permainan konyol buatan Max akan membuat London sesedih ini.
"Sudahlah London, kau besok pasti akan menang, sekarang makan sarapanmu. Bibi sudah buat panekuk kesukaanmu," kataku sembari mendorong sepiring panekuk dengan siraman madu buatanku tadi ke hadapan London.
Mata London terlihat berbinar, bocah itu lantas segera memakan pancake dengan porsi jauh lebih sedikit daripada porsiku.
"Tetangga sebelahmu," tiba-tiba Max berucap di sela-sela kegiatan makan roti isinya, "--dia terlihat aneh."
"Siapa? Louis Tomlinson maksudmu?"
"Iya."
"Aneh bagaimana?"
Max mengedikkan bahunya. "Aku tidak bisa menjelaskannya hanya saja dia terlihat aneh. Kemarin saat aku dan Candice berjalan-jalan aku melihat dia marah pada seorang gadis dan dia bahkan membanting ponsel gadis itu. Aku hanya takut dia berbuat macam-macam padamu."
"Aku tahu kekhawatiranmu Max, aku dan dia sudah bertetangga selama empat tahun dan lihat apa, aku baik-baik saja, tidak perlu menaruh curiga pada Louis."
Aku kembali teringat saat hari pertama aku menepati flat ini. Kebetulan, saat itu Louis juga baru saja pindah. Wajah pemuda itu sangat menakutkan, di sisi lain tidak bisa kuelakkan bahwa dia cukup tampan. Di balik wajah menakutkannya, aku bisa melihat binar kesedihan di antara kedua matanya. Aku selalu ingin bisa menjadi tetangga yang akrab bersama Louis karena umurku dan dia hanya terpaut satu tahun, namun di sisi lain aku juga takut, bukan takut pada wajah menyeramkannya namun karena hal lain sehingga aki memutuskan untuk membiarkannya, lagipula Louis tidak terlihat ingin membentuk hubungan yang akrab bersama tetangga-tetangganya--termasuk aku.
"Tapi--"
"Max!"
"Oh, baiklah. Aku hanya mencoba untuk memperingatkanmu."
Louis
Aku tidak pernah suka dengan ide Niall yang datang setiap pagi ke flat-ku namun pemuda itu rupanya tidak menangkap sinyal ketidaksukaanku dan tetap datang setiap pagi, menumpang makan dan kemudian berangkat ke kantor bersama-sama menggunakan mobilku. Kalau tidak ingat dia adalah temanku dan satu-satunya orang yang mau bersamaku sampai sekarang meski aku begitu menyebalkan dan bagaimana latar belakang keluargaku, aku pasti sudah membuangnya ke kutub utara atau bahkan parahnya lagi ke segetiga bermuda agar dia hilang dan tidak mengganggu ketenangan hidupku.
"Kau hanya memiliki ini di lemari pendingin?" Niall melayangkan protes ketika ia membuka lemari pendingibku dan hanya menemukan satu botol besar susu vanilla.
Well, aku memang belum sempat pergi belanja. Semenjak aku pindah ke tempat ini, sejak itu pula aku menandatangani kontrak tak terlihat untuk hidup mandiri karena itu aku harus berbelanja sendiri, membersihkan tempat ini sendiri dan lain sebagainya. Tidak lagi ada orang yang bisa membantuku dalam urusan ini selain diriku sendiri.
"Tidak perlu banyak bicara! Aku sudah menyiapkan sarapan," kataku, menunjuk ke arah dua cangkir kopi yang kubuat beberapa saat sebelum kedatangan Niall beserta roti lengkap dengan selai cokelatnya.
"Kita hanya makan ini?!" Niall kembali melayangkan protes seolah selama ini dia selalu membayarku untuk menyiapkan makanan. Padahal tidak, dia tidak membayar sepeserpun untuk pancake, muffin, roti isi tuna dan makanan lain yang ia ambil paksa dariku setiap paginya
Aku menjawab protes Niall dengan tatapan tajamku dan akhirnya dia mengalah. Ia duduk dan mulai menikmati kopi serta roti tawar selai cokelatnya.
"Hei, tetangga cantikmu--"
"Eleanor Calder maksudmu?"
"Ya, ya, ya, dia."
"Ada apa dengan dia?" tanyaku, setengah penasaran dan setengah tidak karena terkadang informasi yang Niall berikan tidaklah penting dan terdengar seperti gosip murahan yang dibuat para remaja perempuan.
"Aku curiga dengan dia. Ada seorang bocah di rumahnya dan seorang pemuda sering keluar masuk flat-nya."
Nah, apa yang kubilang, Niall hanya ingin mengajakku bergosip. Kemarin dia menggosipkan rekan kerja kami bernama Britney yang berasal dari Irlandia--seperti dirinya--dan sekarang dia mengajakku bergosip mengenai tetanggaku yang bernama Eleanor. Aku curiga dia kerasukan hantu seorang ibu yang selama hidupnya hobi bergosip, kalau memang iya, aku akan membawanya ke seseorang seperti Elise--karakter dalam film Insidious, kalau-kalau kau tidak tahu.
"Niall, berhenti berprasangka buruk karena bahkan tidak ada di antara kita yang dekat dengannya!"
"Maka dari itu, cobalah mendekati Eleanor, tanyakan siapa bocah itu dan siapa pemuda itu."
Aku mendengus, tidak ingin mendengarkan lebih banyak omong kosong Niall, aku bangkit berdiri sambil membawa cangkir kopiku dan mencucinya.
⚫⚫⚫⚫
Elounor's fanfiction for you guys who love Eleanor-Louis aka Elounor shipper. Hope u guys love it. Lemme know what u guys think?
By the way, ini versi barunya, nggak banyak yang berubah kok, untuk garis besar ceritanya masih sama seperti yang sebelum di-unpub, paling-paling yang beda cuma beberapa diksi, pembenaran typo, pembenaran letak 'di', juga membenarkan beberapa hal lainnya agar sesuai EBI :) kalo masih ada kesalahan maafkan, aku emang nggak berbakat untuk menjadi editor kok ya 😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top