UANG BERCERITA

Cukup mengagetkan saat tempat di mana aku terhimpit sekarang didominasi warna putih. Teman-teman di bawahku bertanya-tanya, "Biasanya kita di tempat gelap. Tumben di tempat terang."

Salah satu dari mereka tampak menerka. "Sepertinya ... kita di dalam amplop."

Kami langsung terdiam.

Ini situasi yang tidak diketahui arahnya bakal ke mana. Terkadang, jika kami di dalam amplop, kami akan dimasukkan ke dalam kotak, kadang diberi saat acara lamaran, diberikan pada karyawan sebagai gaji, diserahkan pada orang-orang untuk mencari dukungan—kalau yang menyerahkan adalah calon legislatif.

Sepertinya Bapak hari ini mau menyerahkan uangnya pada salah satu kondisi yang tadi kusebutkan.

"Pak, ini uang 200 ribu. Jangan lupa pilih saya ya saat pemilihan nanti." Suara Bapak di luar amplop terdengar. Ada sedikit goncangan dalam amplop saat Bapak menyerahkan kami pada entah siapa.

Tidak ada sahutan. Yang ada malah sobekan amplop dan kami ditarik tanpa izin. Aku yang berada di lembaran paling atas mengaduh karena dua buah jari menjepitku dan teman-temanku.

"Iya, iya. Asal ada duit, tenang, bakal saya pilih kok." Kami pun bisa melihat dunia luar, bisa melihat Bapak dan temannya yang tak kalah tua. Mereka berdua menyeringai, saling pandang. Apapun arti dari pandangan mereka, aku mendengkus. Yah, kami berakhir pada kondisi terakhir yang kusebutkan tadi—Bapak menyerahkan amplop berisi uang pada orang lain untuk mencari dukungan.

***

Bapak bercita-cita jadi pemimpin. Pemimpin apapun. Kepala desa, anggota legislatif, ketua koperasi, semuanya. Dia suka pada gaji dan kehidupan mereka. Ia tidak tahu kalau tanggungjawab mereka sangat berat.

Terhitung sudah empat kali mencalonkan jadi ketua koperasi, tidak menang. Sudah empat kali juga mencalonkan diri jadi kepala desa, tidak didukung. Tahun ini, dia mencoba jadi anggota legislatif.

Lihat, Bapak tua yang hanya memikirkan harta ini setengah mati mengurus bagaimana caranya masuk partai, berkontribusi, mencari muka di masyarakat. Namun, dia menyadari bahwa ia tidak dominan dari senior-seniornya, yang lebih muda, kompeten, bertanggungjawab, dan berpenghasilan. Semua anggota partai berlomba-lomba menyogok rakyat untuk memilih mereka.

Aku berdecak kalau menceritakan bagian ini. Mereka memang menyerahkan uangnya, tapi bukan berarti yang mendapat uangnya akan memilih mereka. Aku ingat cerita dari kawanku yang kutemui berakhir di laci sebuah warung. "Ah, mereka 'nyogoknya 'nggak pintar, serius! Coba kalau mau cari muka sama rakyat, tinggal buat inovasi, tinggal tingkatkan tarif hidup mereka. Ini kalau cuma beri uang, masyarakat tinggal ambil, ingat muka pemberinya tidak—yang penting dapat duit. Mainnya kurang jauh, Bos!"

Aku tertawa saat itu, sebelum kami berpisah karena aku kembali masuk ke dalam dompet dan laci tempat kawanku berdiam ditutup dan dikunci.

Terkadang orang yang memang berpotensi menjadi pemimpin, yang tidak terpilih. Entah karena sogokannya berhasil atau pemimpin yang benar-benar pemimpin ini yang tidak memadai di mata masyarakat.

Aku pernah mendengar cerita dari uang 20 ribuan yang ada di kantong calon kepala desa tahun lalu yang tidak terpilih. "Tahu tidak? Aku dan teman-temanku hanya dipakai untuk biaya operasional langgar. Jarang rasanya kami digunakan untuk hal selain itu. Dia peduli sekali sama langgar, selalu memastikan tempat itu bisa dipakai untuk ibadah."

Itu membuatku terdiam. Pemilik uang 20 ribuan itu merupakan orang yang sangat dermawan. Aku heran kenapa dia tidak terpilih menjadi kepala desa setahun yang lalu. Yang terpilih malah mereka yang sering menyogok. Ah, tidak adil! Kenapa orang-orang suka memenangkan orang jahat.

***

Aku adalah uang merah, kalian tahu nominalku. Jarang aku terhimpit dalam amplop putih, aku biasanya diletakkan dalam koper atau mesin ATM. Di koper untuk menyuap hakim, oleh pelaku korupsi. Di mesin bank untuk diambil memakai kartu debit, oleh maling yang entah bagaimana bisa mendapatkan kartu debit orang dan mencari kata sandinya.

Aku sudah berpindah tangan ke mana-mana. Dari menjadi uang rakyat yang dipangkas sedikit, alat bayar minuman keras, alat bayar menyewa perempuan malam, alat membeli obat penggugur kandungan—entahlah, aborsi? Terakhir aku bersama orang yang kupanggil Bapak, calon legislatif yang memberi uang pada orang lain untuk mencari dukungan.

Sekarang aku bersama pria tua yang tadi diberi uang. Dia terkekeh geli. "Mana ada orang mau jadi anggota legislatif memberi 200-an. Kurang, lah! Tuh, calon nomor satu, 750 ribu. Masih kalah, haha!"

Dalam hati aku berceletuk, "Cih, pilih orang berdasarkan jumlah uangnya, bukan kerja kerasnya."

Aku kemudian diserahkan pada Ibu Warung saat pria itu membeli beras. Pria itu berkata, "Uang calon legislatif sekarang banyak-banyak, Bu. Bisa untuk memenuhi kebutuhan kita," ucapnya, riang.

"Betul, Pak." Ibu Warung yang tambun itu langsung setuju. "Ada sudah saya beli mukena baru buat Ramadhan nanti, buat salat tarawih di langgar."

Si pria mengiakan.

Lihat! Bahkan uang haram pun mau dipakai untuk membeli alat ibadah.

Singkat cerita, musim pemilihan pun tiba. Aku diam-diam mengeluarkan sebagian diri dari tas kecil yang dibawa Ibu Warung. Wanita tambun itu tengah menonton perolehan suara dari calon-calon legislatif daerah mereka.

Aku bisa melihat bahwa Bapak memperoleh beberapa suara. Namun, tidak sebanyak calon yang lain. Aku tebak calon-calon itu pasti memberi rakyat uang yang lebih besar dari Bapak.

Yah, pupus harapan Bapak untuk jadi anggota legislatif. Lagipula, dia memang tidak cocok. Ia hanya memaksakan diri untuk meraih cita-cita bodohnya dengan cara yang tak kalah bodoh.

Tak berselang lama, Ibu Warung pulang. Dia tampak tahu siapa yang akan memenangkan pemilihan calon legislatif daerah mereka. Setelah itu, aku tidak tahu apa-apa mengenai pemilihan itu.

Besok paginya, Ibu Warung membuka usahanya. Silih-berganti pelanggan datang dengan macam-macam kebutuhan. Aku menguping sedikit pembicaraan mereka dari saku Ibu Warung.

"Orangnya hitung suara sampai sekarang belum selesai, ih! Lama sekali. Padahal sudah ketahuan lho siapa yang memang, tidak perlu dihitung lagi," kata salah satu pelanggan dengan make-up menor.

"Iya. Jelas-jelas nomor 1 yang menang. Dia yang paling banyak memberi uang. Semua orang pasti memilih dia," sahut pelanggan yang lain, dengan tampilan biasa saja, tapi tatapan tajam dan sinis.

"Percuma Bapak memberi kita 200-an kalau kemudian kalah. Sekarang, siapa yang rugi? Dia sendiri, haha." Ibu Warung tergelak. "Menabung banyak-banyak buat 'nyogok orang, ternyata 'nggak menang."

Mereka tertawa.

Tibalah hari esok di mana hasil pemilihan anggota legislatif diumumkan. Bapak tidak berhasil meraih cita-citanya. Dia dinyatakan gugur sebagai anggota legislatif berikutnya.

Pria itu tentu tidak terima. Dia berteriak marah. "MANA UANGKU? KEMBALIKAN SEKARANG JUGA!"

Bapak-bapak yang lain segera menimpali. "Ye, kalau sudah memberi, jangan diambil, Bos! Apa-apaan, Aneh!" Bapak disoraki di tempat pengumuman hasil pemilihan itu.

Tidak terima disahut begitu, Bapak emosi dan adu jotos terjadi. Warga ramai-ramai melerai dan korban diobati dari luka akibat pukulan Bapak. Yah, imej Bapak semakin hancur karena membuat orang lain terluka.

Bapak langsung berlari pulang. Warga mengejarnya, meminta pertanggungjawabannya. Namun, Bapak menolak, dia berteriak-teriak dalam rumah, membuat anak-istrinya berlari ke luar karena ketakutan.

Terakhir, aku mendapatkan kabar kalau Bapak jadi gila karena kekalahannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top