Plejas & Tujuh Bintang Jatuh
Setiap organisme di muka bumi, hidup beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Seperti halnya adaptasi morfologi, bebek memiliki selaput renang, sehingga dapat menyesuaikan diri berjalan di lumpur. Lumba-lumba beradaptasi secara fisiologi dengan memfungsikan lubang di atas kepalanya, yang menghasilkan gelombang ultrasonik untuk berkomunikasi. Sementara adaptasi tingkah laku, putri malu mengatupkan daun saat disentuh.
Akan tetapi, jauh di luar galaksi, ada satu ras pada sistem tata surya yang terbuang. Mereka tidak bisa beradaptasi, dan hidup dalam ketiadaan. Tinggal di tempat tandus tanpa tahu asal-usulnya. Tidak memiliki bahasa untuk berinteraksi satu sama lain, keluarga, nama, bahkan hampir tak mempunyai emosi.
Yang mereka tahu, ada makhluk hidup lain pada semesta nan luas ini. Namun, mereka tidak tahu kenapa harus menjadi salah satu di antaranya? Hidup sebatas nyawa dengan sebuah kekosongan jiwa. Bahkan jika berkaca dari segi simbiosis, mereka bukan mutualisme, komensalisme ataupun parasitisme.
Di antara batas kehidupan dan kematian yang hanya berjarak tipis itu, tampak sebuah benda langit melesat dengan penuh gemerlap. Para penghuni planet tersebut menganggap meteor sebagai entitas baru yang datang memberi anugerah kepadanya. Melalui isyarat, mereka pun berharap untuk mendapatkan kehidupan sejati dalam sebuah tubuh fana.
Do'a mereka terkabul saat turun meteor dengan tujuh bintang jatuh dari Gugus Pleiadian. Jiwa bintang itu manifestasi menjadi zat nan agung. "Wahai, para jiwa fana. Kami bertujuh adalah wujud dari permohonan kalian, keberadaan yang datang dari ketiadaan. Kami, para ras Pleiadian telah lahir dari bintang."
Seolah ada benang merah yang menjadi penghubung antar kedua ras, para jiwa fana langsung mengerti perkataan pleiadian. "Terima kasih. Kami bersyukur atas kelahiran kalian, Sang Leluhur," tunduk mereka dengan takzim.
Sebagai pleiadian pertama yang lahir, sudah sepantasnya mereka dituakan. Ketujuhnya merupakan bintang putri bernama; Taygeta, Maia, Coela, Atlas, Merope, Electra dan Alcoyne. Mereka membangun peradaban baru, serta memberi kesuburan. Palanet itu pun diberi nama Erra yang berarti Dewi Pengobat.
Ras Pleiadian yang sudah berkembang pesat dipelopori Electra untuk mendirikan anjungan, berbentuk sebuah tempat sakral dari batu-batuan kristal yang dapat memproyeksikan berbagai cahaya. Tempat itu bagai sebuah jantung bagi para pleiadian, karena unsur pembentuk tubuh mereka tersusun dari beberapa jenis cahaya. Bukanlah aliran darah.
Pada suatu hari di anjungan, salah satu jiwa fana menjumpai Sang Leluhur. "Lihatlah, Maia. Aku bisa mengikuti wujudmu!" ujarnya dengan antusias. Untuk pertama kali setelah penciptaan, para jiwa-jiwa fana mulai mengetahui cara menjalani hidup.
Mereka beradaptasi dengan tingkah laku. Mengikuti pola hidup, dan mengambil identitas dari ras lain. Dibuatlah sebuah nama untuknya, infinitas atau makhluk tanpa batas. Itulah sebabnya mereka ditakuti, dan menjadi ras yang terbuang di semesta ini.
"Kau belum sepenuhnya bisa mengikuti wujudku." Maia tertawa kecil saat menyaksikan purwarupa dirinya. "Tubuhmu masih terlihat transparan. Padahal kau tahu, tubuh ras Pleiadian memiliki pendar yang takredup seperti bintang."
"Yah, karena aku memang payah dalam meniru ...," ia menggantungkan ucapannya sejenak, kemudian beralih menatap Sang Leluhur satu per satu. "Tolong beritahu aku, bagaimana cara mendapatkan fisik yang utuh tanpa perlu meniru kalian?"
Dalam beberapa saat, mereka hanya bungkam. Bahkan, suasana seketika menjadi canggung. Infinitas itu pun menyadari, tampaknya ia sudah salah melontarkan pertanyaan.
Akan tetapi, secara mengejutkan Alcoyne---putri ketujuh tiba-tiba menyahut, "Kau harus menjadi Putra Semesta terlebih dahulu."
"Itu mustahil!" sangkal saudari-saudarinyai yang lain dengan serempak.
Alih-alih menyerah, hal itu justru membuat sang infinitas penasaran dan semakin menjadi tertantang. "Putra Semesta? Bagaimana caranya?"
"Jadilah ayah dari anak-anak Sang Leluhur." Alcoyne balas menatap infinitas yang belum memiliki nama serta wujud sempurna itu dengan pandangan dalam. "Tapi untuk sampai ke jenjang perkawinan, kau harus memiliki 'cinta yang murni'."
Cinta ... konon dikatakan adalah sebuah perasaan untuk saling memiliki yang timbul tanpa alasan. Cinta mendatangkan kebahagiaan dan kesedihan. Infinitas tidak begitu mengerti dengan analogi jika siap jatuh cinta, maka siap tersakiti.
Pada kehidupan di luar Erra, Sang Leluhur mengisahkan ada planet penuh cinta. Ras Manusia menyalurkanya dalam bentuk pernikahan dan membangun keluarga baru. Buaya dikenal sebagai makhluk setia hingga pasangannya menjumpai kematian, dan pinguin akan mencari batu paling indah di dasar laut untuk diberikan kepada tambatan hati.
Sementara di planet Erra? ras Infinitas tidak mengenal cinta, dan _pleiadian_ tidak merasakan cinta. Bagi mereka, cinta adalah suatu perasaan keji dengan mengambil separuh kehidupanmu untuk orang lain. Oleh karena itulah, Erra di kudeta dan pemimpin dari infinitas melarang segala kegiatan yang berhubungan dengan cinta.
Anjungan yang dulunya indah dengan penuh kelakar, kini menjadi tempat perkumpulan sekte para infinitas. Sekte itu menyatakan ada cara keji untuk mendapatkan raga sempurna tanpa meniru pleiadian, yaitu dengan 'memakan jiwa'.
Ia pun ingin memiliki fisik utuh, tetapi tidak dengan hal kotor seperti itu. Oleh karenanya ia berkata kepada Sang Leluhur, "Aku bersedia untuk mencintai, dan memberikan kalian keturunan."
Sebagai putri pertama, Taygeta mencoba berpikir realistis, kemudian memberikan pendapat sepihak, "Cinta bukan sebuah pernyataan, tapi sebuah ungkapan perasaan."
Sang infinitas mengernyit keheranan. "Lho, bukankah cinta takbutuh alasan?"
"Takbutuh alasan untuk mencintai, tapi butuh alasan dalam membangun cinta yang murni," sahut Coela, seolah ikut terpancing dengan kata-kata sang kakak. Dibandingkan yang lain, ia memang sangat mudah terpengaruh. Sementara Atlas dan Merope hanya terus menyimak.
Mulanya, sang infinitas sempat tertegun saat mendengar pernyataan tersebut. Bagaimanapun juga, teori itu terkesan ambigu. Di saat tersuduti dengan cara demikian, ia terpikirkan sesuatu. "Aku pernah meniru Maia, apa itu berarti aku sudah menjadi bagian dari mencintainya?"
Perasaan untuk memiliki adalah salah satu bentuk cinta. Mau tak mau mereka pun mengangguk. Namun, bukan berarti karena sudah mendapat timbal balik dari Sang Leluhur, ia bisa memiliki fisik seutuhnya sebagai sosok Putra Semesta. Sebab hanya Maia yang mengakuinya sebagai kekasih
Alhasil, infinitas itu pun menggunakan berkahnya yang hidup tanpa batas, dengan berkelana ke penjuru semesta bersama Maia. Bertujuan agar versi tak terbatas atau dikenal sebagai dirinya yang lain, mengawini masing-masing leluhur dari lima belahan dunia; Semesta Infinitas, Semesta Gelembung, Semesta Putri, Semesta Matematika dan Semesta Paralel.
Kini, meski ia bukan Putra Semesta, dunia memberi nama baru untuknya sebagai pengelana---plejas. Melalui versi lain dirinya, plejas menjadi ayah dari lima anak di berbagai belahan dunia; Eka, Dwi, Tri, Catur dan Panca. Pada akhirnya ia memang tetap tidak bisa mencapai kesempurnaan, tetapi ia sudah menjadi sosok ayah yang sempurna bagi anak-anaknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top