KAU YANG (TAK) SEMPURNA


"Kukagumi kelemahanmu, kucintai semua kekuranganmu. Itu bagiku indah, kau yang tak sempurna." Gitar menggenjreng perutnya sendiri, meledek Sepatu yang duduk sendirian di pojok dekat pintu masuk, persis di sebelahnya.

"Tapi dia sempurna banget, cok! Yang nggak sempurna itu elu, udah sember, masih maksa," timpal Sepatu masam.

Gitar berhenti menggenjreng dirinya sendiri. Dia tahu, sepatu tua yang sendirian itu lumpuh, sebab pasangannya yang kanan sudah lama tertinggal di kolong jembatan. Terhanyut lewat selokan akibat banjir yang menyerang rumah mereka tempo hari. Maka, dituduh sember oleh si Sepatu, tidak terlalu menyakitkan baginya.

"Makanya, Tu, kalo suka langsung deketin aja! Malah planga plongo di samping gue."

"Emangnye lu pikir gue demen sebelahan sama gitar sember? Kagak. Lu kan tau gue udah gak bisa jalan."

"Tu, lu cuma jadi duda, bukan ilang kaki." Gitar mulai kesal karena sepertinya julukan Gitar Sember itu menjadi agak serius.

"Tetep nggak bisa, Tar, kagak imbang. Sama kayak lu yang senarnya kendor. Bisa sih tetep bunyi, tapi sember,'kan?"

"Ah, terserah elu."

Gitar memalingkan wajah, mencari benda lain yang lebih ramah untuk diajak bicara. Kehidupan akan menjadi terlalu berat untuk dihabiskan bersama tukang menggerutu seperti Sepatu Kiri yang sial itu.

Namun, sebelum Gitar bergerak untuk menghibur Nona Baju yang tidak kering-kering di seberang ruangan, Sepatu berkata, "Sebenernya perasaan gue mustahil, Tar. Lu juga paham, 'kan?"

"Kagak paham gue," balas Gitar sekenanya. Niatnya yang semula ingin mencairkan suasana sendu si Sepatu mendadak hilang. Dia sedang mempertimbangkan untuk terus mendengar curhatan Sepatu, atau menghampiri Nona Baju saja?

"Neng Merah Muda itu pasti punya pasangannya sendiri. Mungkin di belakang lemari pajangan itu. Kayak, udah SOP hidup buat benda pasangan kayak gue. Tapi kayaknya lu nggak relate, ya, Tar?"

"Ya elah, Tu, belum tau apa-apa, tapi udah ambil kesimpulan sendiri. Kata gue mendingan elu tanyain langsung ke dia."

Gitar menimbang-nimbang sembari mengamati Nona Baju. Alih-alih sedih, sepertinya si Nona Baju memasang tampang masam. Jemuran yang tidak kering-kering pastilah bau apek. Lebih baik dia mendengarkan Sepatu Kiri yang insecure daripada bicara dengan Nona Baju yang mungkin saja baunya sangat apek.

"Gue takut dia ilfeel, Tar."

Gitar menghela napas. Dari sekian banyak benda di dalam petak rumah itu, mengapa Gitar harus memilih bicara dengan Sepatu yang penakut? "Mau gue tanyain ke Mbak Merah Muda?"

"Hah, emang lu berani?"

"Kan elu yang kagak berani," jawab Gitar. "Sember-sember begini gue idaman banyak perempuan, Tu!"

"Tanyain dah, tapi jangan bilang gue yang mau tau, yak?"

"Iya dah." Gitar mengibaskan tangannya, bergerak menuju etalase kaca yang berisi jejeran sepatu, sandal, dan juga tas-tas bermerk.

Tempat mereka terlampau mewah untuk petakan rumah itu, juga mereka semua. Di balik etalase, terdengar suara riuh para benda itu mengobrol satu sama lain. Tidak seperti Sepatu Kiri, semua sepatu dan sandal di sana terlihat berpasangan. Tak seorang pun duduk diam, kecuali Sepatu Merah Muda yang dilamunkan berhari-hari oleh Sepatu Kiri.

Gitar mengetuk etalase dengan ujung kepalanya. Sepatu Merah Muda, tidak seperti yang lain, dia tenang dan duduk dengan elegan. Tidak bergosip ataupun tertawa terpingkal-pingkal. Selera Sepatu Kiri memang tidak main-main.

Flatshoes berwarna krem membuka etalase, dari celah itu, suara ramai para penghuni etalase merembes keluar. Gitar takjub, jarang sekali mendengar keramaian segamblang itu. Semua benda di sekitarnya tampak tidak mau diusik satu sama lain, tetapi etalase kaca itu seperti dunia lain.

"Ada apa, ya, Mas?" sapa si flatshoes, pasangannya menoleh sebentar, lalu kembali bicara dengan sepatu kets di atasnya, tidak peduli.

"Mbak, saya boleh ngobrol sama Mbak Sepatu Merah Muda?"

"Sebenarnya, dia sudah setahun tidak pernah bicara, tapi, saya coba sampaikan dulu, ya." Flatshoes bergerak menghampiri Sepatu Merah Muda.

Melihatnya dari dekat, Gitar tahu bahwa sebenarnya si Merah Muda itu bukannya tenang, tetapi kosong. Tampilannya yang anggun benar-benar menipu. Tetapi selain Sepatu berwarna merah muda, benda yang terlihat glamor itu tidak ada isinya. Dia hidup, tetapi seperti sudah lama mati."

Flatshoes kembali, memberikan kabar yang kurang memuaskan. "Dia sudah tahu kalau setiap hari dipandangi oleh Sepatu Cabul di pojok sana. Dia menolak bicara denganmu."

"Sepatu Cabul?" ulang Gitar. Diam-diam merasa kasihan pada Sepatu Kiri malang itu, kini ia yakin, Gitar Sember jauh lebih baik ketimbang dipanggil Cabul oleh perempuan yang kau sukai.

"Waduh, Mbak, dia nggak cabul, lho. Dia murni kagum saja sama Mbak Merah Muda. Kalau Mbak Flatshoes nggak keberatan, boleh tolong sampaikan kalau teman saya masih menunggu sampai Mbak Merah Muda mau bicara?"

"Nanti saya sampaikan, ya. Tapi, sebenarnya dia agak kurang waras setelah suaminya patah hak setahun lalu."

"Teman saya juga kehilangan istrinya tahun lalu. Hanyut ke selokan, katanya."

Ternyata tidak semudah yang Gitar pikirkan. Ia kembali dengan tangan kosong, merasa kecewa karena tidak mampu membantu Sepatu Kiri, dan merasa kasihan pada Sepatu Kiri. Rasanya, laki-laki itu sudah mencintai perempuan yang salah.

Gitar kembali, menyampaikan sebagiannya pada Sepatu Kiri, dan menyembunyikan fakta bahwa Si Merah Muda telah menjulukinya sebagai Sepatu Cabul.

"Memang, aku sedari awal sudah tahu. Aku harus sadar diri. Mana mampu menyaingi mendiang suaminya yang sudah patah itu," gumam Sepatu Kiri.

Lantas ia lanjutkan lagi kegiatannya itu sepanjang hari, sepanjang malam, sepanjang waktu. Sayang sekali Gitar tak dapat memberitahunya bahwa perempuan yang sempurna fisiknya itu, juga sama tidak sempurnanya seperti Sepatu Kiri.

Tanpa tahu apa-apa, perempuan itu menilai Sepatu Kiri seenaknya. Seandainya Sepatu Kiri betul-betul cabul, pastilah ia akan mengendap-endap tengah malam ke dalam etalase untuk menciumi hak si Merah Muda. Namun, temannya hanya diam sepanjang waktu, seperti lumpuh, memandangi ketidaksempurnaan yang disebutnya Neng Merah Muda itu dari kejauhan.

Lambat laun tubuhnya mulai terkelupas. Gitar tak lagi dapat memberinya penghiburan. Bukan karena muak akibat dikatai sember, tetapi karena semua senarnya satu-persatu putus. Ia ditinggalkan oleh pemiliknya bersama dengan seluruh isi rumah itu. Gitar tak tahu tuannya pergi ke mana, yang jelas, mereka semua adalah benda yang erat dengan kesendirian.

Sepatu Kiri melapuk sembari memandangi si Merah Muda sepanjang waktu. Hingga etalase kaca itu hampir penuh tertutup debu, seluruh isinya masih tampak muda, rayap pun enggan menyelinap.

Namun, suara-suara mulai meredup. Sepatu Kiri merasa telinganya sudah lama tak lagi mendengar suara. Kedua matanya hampir tertutup ketika sayup-sayup ia mendengar derit etalase kaca terbuka.

Si Merah Muda yang ditunggunya sekian lama tiba-tiba turun, melenggang di antara tumpukan debu, meski tidak lagi muda, tubuhnya tetap padat. "Kalo udah mau mati, tuh, tobat! Malah ngeliatin gue mulu. Dasar cabul!"

Perempuan itu turun dari singgasananya setelah bertahun-tahun, untuk mengotori tangannya sendiri, menampar Sepatu Kiri yang sudah lapuk sembari memaki-makinya. Dengan senyum di akhir hidupnya, Sepatu Kiri menoleh pada Gitar yang sudah separuh nyawa, "Lu bener, bro. Dia kagak sempurna."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top