Ekstraterestrial
Dari tahun ke tahun, semesta terus mengalami perubahan. Agar tidak stagnan, ada jiwa yang diutus untuk tatanan kehidupan. Ia menjadi poros semesta, lalu di setiap kematiannya akan berevolusi menciptakan jiwa baru.
Maka, pada malam keruntuhan ini, ia hanya merenungkan memori sebanyak 12 kali inkarnasi sambil menengadah ke cakrawala. Tampak satu bintang benderang menemani sepinya. Albireo bersinar sejauh 433,8 tahun cahaya. Kini, sinar dari jarak masa lalu itu telah sampai ke bumi di antara bintang lain yang tampak meredup.
Ibarat dirinya, telah hidup memikul beban sejauh ini. Seolah menyertai duka, naungannya seketika runtuh tatkala gas dan debu besar memadat di awan hingga menimbulkan tekanan gravitasi. Ia sadar, inilah siklus akhir kehidupan, dan ia akan kembali dihidupkan oleh-Nya.
***
Sejatinya, setiap galaksi bertumbuh dengan memakan galaksi lain. Interaksi gravitasi pasang surut dari benda-benda langit itu menimbulkan tabrakan. Yang kecil akan runtuh, kemudian dilahap oleh galaksi besar hingga menimbulkan massa jauh lebih besar lagi. Kanibalisme galaksi tidak bisa terelakkan, hingga kehidupan bintang-bintang di dalamnya mulai mengalami kepunahan.
Sejarah yang tersisa di langit hanyalah Asterisme Pleiadian, yaitu gugus paling terang dari Konstelasi Taurus. Meliputi; Taygeta, Maia, Coela, Atlas, Merope, Electra dan Alcoyne. Konon, tujuh bintang berwujud putri itu adalah pendiri semesta. Mereka tentu marah melihat kehancuran galaksi ini akibat ulah keturunannya.
Dulu sekali, pohon bintang tumbuh subur hingga langit ketujuh. Namun, kini sudah dilahap oleh galaksi lain, dan tanpanya energi mereka akan habis. "Jika kita berhasil menemukan cangkang bersinar, pohon bintang mungkin akan kembali tumbuh," papar Epsilon kepada kawan-kawan. Cangkang itu merupakan bagian tubuh para bintang yang hilang.
Mereka yang berhasil melewati kiamat mengumpulkan sisa peradaban masa lampau sebelum benar-benar diserap oleh lubang hitam. Namun, tak semua bintang mau melakukan hal yang dianggap sia-sia itu, terkecuali dirinya. 10 miliar tahun telah dilalui sejak pencarian. Para bintang berhasil melahirkan legenda baru, sekaligus makhluk ekstraterestrial satu-satunya dalam semesta nun luas ini.
Sementara itu, sisa dari peradaban adalah Bima Sakti, sebuah galaksi spiral dengan matahari di dalamnya sebagai pusat tata surya. Tampak para bintang lainnya tengah berenang bermandikan plasma panas. Omega, bintang berbentuk naga itu pun terbang mengelilingi matahari.
"Kalau ditanya siapa legenda favorit di antara Asterisme Pleiadian, kalian akan pilih siapa?" tanya Omega sambil berjaga. Jika ada benda-benda langit nakal yang mencuri hidrogen dan helium berlebihan untuk kepentingan pribadi, ia tak segan menyembur api.
"Tentu saja My Lord Electra," sahut Spica, pandangan gadis itu taklepas dari Asterisme Pleiadian. Ia sangat menjunjung tinggi feminitas, dan merasa bangga sebab Electra adalah sosok pertama yang menjadi pelopor pembaruan.
Omega takterima. Ada sosok yang lebih mumpuni dari itu, dan sejarah baru hadir karena kekuatannya yang hebat melampaui sejarah lama. "Padahal, Maia lebih luar biasa. Ia menjadi ibu bagi para bintang. Tanpa sosoknya, kita tidak akan lahir dan menjadi 'yang bertahan'."
Hal itu mengundang perdebatan. Spica cukup kuat dengan idealisme untuk memilih jiwa pemimpin, begitu pula Omega. Karena terus mendebat, keduanya pun bertanya pada Albireo, sebuah bintang terang yang bersembunyi dalam kegelapan. "Bagaimana pendapatmu, Al?"
Bagi Albireo, menjadi juara bertahan di atas kematian justru menyakitkan. Dalam renungan panjang, ia kemudian menjawab, "Aku justru penasaran tentang ... bagaimana akhir kehidupan bintang jika mati dalam kewajaran?" Sebab tidak seperti makhluk di bumi hanya hidup puluhan tahun, usia bintang sangatlah panjang.
"Jangan tanya apa pun tentang siklus kematian bintang!" sahut kawan-kawannya serempak. Sudah aturan mutlak untuk tidak memikirkan hal yang tak penting. Semata-mata untuk meminimalisir kapasitas memori otak, karena mereka hidup sangat lama.
Sepanjang itu pula mereka menghabiskan sisa usia dengan bermain-main di bawah sinar matahari. Tanpa peduli energi bintang perlahan mulai redup. Jenuh karena selama jutaan tahun hidup dalam kepura-puraan dan surgawi buatan, Albireo pergi menyusuli Epsilon untuk mengumpulkan sisa-sisa peradaban.
Terlahir dari Konstelasi Cygnus membuat Albireo dapat terbang menggunakan sayap angsanya, tetapi tidak memungkinkan untuk perjalanan jauh. Alhasil, jika ada meteoroid yang melesat, barulah ia menumpang menuju lubang hitam. "Hei, bolehkah aku ikut bersamamu?" tanyanya saat berdiri di pusat magnitude sambil melambaikan tangan pada salah satu meteoroid yang berhasil dijangkau.
Akan tetapi, meteoroid yang melintas bebas hanya mengabaikan. "Cari saja tumpangan lain. Tidak ada hidrogen dan helium yang bisa kuambil dari galaksi kalian, para bintang pelit dan melarat," ucapnya dengan apatis seraya bergerak cepat melayang-layang di udara.
Pernah suatu waktu Albireo terbakar pijar panas saat batuan itu bergesekan dengan atmosfer. Sampai penantian tahunannya pun terwujud, ada sisa meteorit baik hati yang mau mengantarkan Albireo ke lubang hitam. Hitung-hitung sebelum turun ke bumi dan hancur, setidaknya ia sudah melakukan sesuatu yang berarti.
Ketika sampai di sana, banyak sisa peradaban lama terserap ke lubang itu. Mulai dari puing-puing bangunan dari batu mulia tempat semula para bintang tinggal, gelombang cahaya, serta debu-debu yang dipadatkan di awan. Namun, untuk menemukan cangkang bersinar sangatlah minim.
"Albireo, kemarilah!" seru Epsilon ketika manik matanya menangkap pendaratan Albireo. Sementara dirinya berdiri takjauh dari lubang hitam, ia tidak takut sama sekali akan terserap ke dalam. "Aku menemukan ini," katanya seraya menunjukkan sesuatu runcing berwarna putih.
Ketika disentuh, permukaannya terasa keras, tetapi pada beberapa bagian agak melapuk. Albireo belum pernah menemukan sesuatu seperti ini di langit, tetapi benda tersebut tampak takasing dalam catatan ensiklopedia mengenai bumi. Bahwa tidak ada satupun yang tersisa dari tubuh makhluk fana saat mati, terkecuali ... tulang.
"K-keparat. Lepaskan tanganku!" Atensi Albireo kembali teralihkan pada Epsilon. Ia kini memaksa membuka lubang hitam yang sempat tertutup hanya untuk mengambil sebuah cangkang bersinar. Akibatnya, cangkang di permukaan tangan dirinya sendiri mulai retak dan menguarkan sinar berkilauan. Sinar itu pun tidak luput terserap pula.
Albireo segera menarik tubuh Epsilon menjauh, tetapi tarikan magnesium dari lubang tersebut terlalu kuat. Alhasil, semakin banyak sinar dari tubuh keduanya diserap. "Lepaskan cangkang bersinar itu, sebelum tubuhmu juga ikut terserap," pinta Albireo dengan kalut.
"Tidak!" Ia menggeleng keras. "Sudah 3.589 tahun kita menunggu kemunculan cangkang bersinar. Jika kita membawa pulang ini, mungkin bisa diolah menjadi pupuk untuk menghidupkan kembali pohon bintang," kata Epsilon unutk kesekian kali. Ia menahan sakit sambil berusaha meraihnya menggunakan kedua tangan.
Usaha itu membuahkan hasil. Sayang, satu tangan Epsilon terputus karena diserap lubang hitam, mengakibatkan semakin banyak pula sinarnya meredup ... entah lubang itu akan membawa separuh bagian tubuhnya ke mana. Yang pasti, butuh ratusan, bahkan ribuan tahun lagi agar tubuhnya kembali.
Akan tetapi, sebagai bayaran ia mendapatkan cangkang terakhir dari lubang hitam sebelum menutup selamanya. Albireo mengembuskan napas kasar, ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Epsilon. "Kau aneh." Ia menatap dengan raut tak tergambarkan. "Hanya demi pupuk pohon bintang, kau mengorbankan tubuhmu?!"
"Kau bilang 'hanya'?" Ada tekanan pada tiap suku kata yang dilontarkan Epsilon, membuat Albireo seketika terbungkam. Ia paham betul bagaimana situasi mereka sekarang, hingga pada akhirnya Albireo memutuskan menyudahi perdebatan singkat dan mengajaknya pulang ke Bima Sakti.
Esok hari ketika mereka sudah sampai, Epsilon segera diobati oleh Spica menggunakan batu mulia hasil penemuan. Syukurlah karena hal itu Epsilon kembali bersinar, meski tidak seperti semula. Dari situlah Albireo sadar ... tubuh bintang yang semakin meredup akan mati perlahan. Begitulah proses alami kematian mereka.
Albireo mendadak khawatir. Ia tidak mau ada bintang yang harus mati lagi setelah mereka terancam punah. Ia pun memutuskan segera menghidupkan kembali pohon bintang. Segala biomaterial yang sudah terkumpul selama miliaran tahun dilepaskan ke awan.
Turbulensi di dalam awan menimbulkan tarikan gravitasi tersendiri. Omega pun menyulutkan cetusan api dari mulutnya untuk melepas segel hidrogen dan helium dalam Bima Sakti, agar biomaterial itu ikut dipadatkan bersamanya. Namun, bukan rambatan pohon bintanglah yang menembus lapisan langit demi langit, melainkan eksistensi jiwa baru.
Pada akhirnya, Panca kembali dibangkitkan. Albireo menatap tubuh polos itu lamat-lamat. Meski secara mendasar unsur pembentuk tubuh mereka nyaris mirip, tetapi ia sadar ada beberapa perbedaan kentara. Unsur pembentuk tubuhnya tersusun dari tulang dan cangkang bersinar. Panca pun tidaklah bersinar, tetapi cahaya datang mendekati.
Ketika Panca membuka mata, mereka dibuat tersadar secara paksa bahwa itulah sosok kematian yang datang merenggut kehidupan ekstraterestrial. "Selamat datang kembali, Putra Semesta. Manusia terakhir yang lahir dari bintang. Anak Pleiadian, ibu pendiri galaksi kami," puja para bintang seraya bersujud di kakinya.
Tarikan energi kuat dari tubuh Panca mengakibatkan bintang-bintang mulai terdistorsi. Mereka membengkak, membakar habis elemen-elemen dalam tubuhnya hingga meledak. Fenomena supernova itu pun kembali membuka lubang hitam, dan menciptakan relativitas tak berujung. Dengan demikian, tiada lagi yang tersisa dari semesta. Namun, kehidupan di dalamnya kembali pada titik permulaan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top