Balas Dendam Tanah
Badai adalah tempat peristirahatan terbaik bagi alam. Sedikit basah, memang. Namun, setidaknya mereka dapat sejenak terbebas dari Para Pemimpin yang ditugaskan oleh Tuhan. Nyatanya, makhluk yang konon Pemimpin itu, adalah sebenar-benarnya pembunuh bagi mereka semua.
"Istirahat, sih, istirahat. Tapi, sampai kapan?" Tanah mengeluh.
Bukan tanpa alasan ia mengeluh. Tubuhnya sudah mulai digerayangi oleh Air yang terbawa dari pundak-pundak bumi: pegunungan dan perbukitan. Air pasrah dirutuki oleh Tanah yang mulai risih pada alirannya. Ia mau menyalahkan Tanah yang tidak bisa menyerapnya dengan baik, tetapi pastilah bukan hanya Tanah yang akan marah pada ucapannya, pohon gundul di atas sana akan ikut-ikutan tersinggung juga.
"Maafkan aku, Tan. Selain harus menanggung saudaraku dari langit, kau juga harus menanggungku," jawab Air dengan lembut. Terselip rasa bersalah yang kentara setiap kali ia memuntahkan kata-kata.
"Tidak perlu minta maaf. Lagipula Para Perusak itu juga diciptakan dari Tanah. Kalau mau saling menyalahkan, sudah jelas Tanah yang paling salah!" jawab si Angin yang baru saja tiba, berembus dari barat. Seperti pahlawan kesiangan yang datang untuk membela teman yang diseret-seretnya menuju Tanah.
Tidak ada yang menjawab pembelaan Angin atas Air, semuanya setuju. Namun terlalu segan untuk mengkonfrontasi Tanah, tempat di mana mereka semua menumpang hidup. Hanya Angin yang bisa datang dan pergi tanpa bersentuhan dengan Tanah. Sedangkan semua makhluk yang tersisa, tidak bisa meluputkan diri dari Tanah.
Semua beban ditumpukan pada si Tanah malang yang juga sebenarnya ingin menyerah. Tubuhnya menampung semua kebaikan yang dapat ia berikan kepada Para Pemimpin bumi, tetapi yang didapatinya hanyalah cacat dan luka di mana-mana. Perutnya dikeruk hingga ke dasar, di satu waktu ia merasa seluruh isi perutnya hampir meletus. Satu kisah yang paling diingatnya adalah satu sisi perutnya yang bolong akibat dicekoki alat asing. Bencana itu disebut manusia sebagai bencana lumpur lapindo. Tidak lupa kulitnya yang compang-camping oleh bekas-bekas luka bakar dari pembakaran hutan, atau yang kering kerontang akibat pohon-pohon telah ditebang paksa dari lengannya.
Setelah semua bencana itu, makhluk-makhluk di sekelilingnya tetap menyalahkannya? Siapa yang membuatnya tidak mampu lagi menyerap Air? Siapa pula yang membuatnya berubah menjadi bencana? Ah, sialnya, Para Pemimpin itu asalnya memang dari saudaranya yang dibawa Tuhan ke surga.
Tanah tidak mengerti mengapa saudara-saudaranya yang baik itu malah merusaknya begitu mereka kembali ke bumi dalam bentuk lain. Bentuk balas dendam padanya, kah? Sebab bukan ia yang diculik ke Surga, sebab ia menolak sewaktu Jibril dan Mikail memintanya? Dia memang tengah bersembunyi sewaktu Izrail tiba untuk mengambil segenggam bagiannya, tetapi ia malah mengorbankan saudaranya yang tidak berdaya.
"Karena itukah kau kembali dan berusaha menghancurkanku?" bisik Tanah pada entah apa. Sudah pasti saudaranya tidak akan mendengar.
Dialah yang sejak awal mengeluh karena tubuhnya dijamah oleh gerombolan Air yang datang dari hulu, tetapi alih-alih menyalahkan dirinya seperti yang lain, Air justru meminta maaf. Air membuatnya tampak menjadi makhluk jahat.
"Air, maukah kau membunuhku saja?" ujar sang Tanah tiba-tiba.
"Membunuhmu?" ulang Air. Dia takut telinganya salah menangkap suara tanah yang terdistorsi oleh ocehan Badai, kombinasi saudaranya dari langit dan juga angin yang riuh itu masih mendominasi semua suara.
Ia ngeri pohon gundul di atas sana tiba-tiba menyerah dan ingin pergi saja bersama aliran dirinya. Tetapi, kali ini, tanah juga ingin ikut?
"Jika kau tidak keberatan, aku ingin ikut kau saja. Sungguh, kehidupan ini amat melelahkan." Tanah masih mencengkeram erat akar-akar pohon yang tersisa. Seandainya Air mengiyakan, ia akan melepas jari-jemarinya dari akar-akar pohon itu.
"Ikut aku? Aku akan disambut dengan riuh di atas langit. Belerang, aku akan bergabung dengan benda higroskopis lainnya sebelum kembali padamu. Pada akhirnya, aku akan tetap kembali padamu. Namun, jika kau pergi bersamaku, tidak ada yang akan tahu ke mana kau akan berakhir."
Di antara deru riuh badai hari itu, suara Air lah yang pada akhirnya terdengar jernih di telinga Tanah. Lantas dengan serius ia berkata, "Ketidakpastian lebih baik bagiku, ketimbang hidup dengan cacat di belantara tubuhku ini, beserta dengan setiap cacian makhluk lain terhadap eksistensiku."
"Tanah, menurutmu, apa bedanya makhluk-makhluk itu dengan manusia?"
Tanah menggeleng. "Bukankah sudah jelas akal sebagai pembeda?"
"Bagiku mereka sama saja. Mereka memakimu, padahal bergantung padamu. Mereka merasa lebih baik daripada manusia, padahal mereka juga sama seperti manusia: tidak pandai bersyukur."
Tanah tidak tahu apakah Air hanya sedang menghibur hatinya, atau memang itu kenyataannya? Tampaknya Tanah terlalu sibuk terluka untuk bisa memikirkan tentang itu semua.
"Bagaimana bisa kau memikirkan itu?" tanya Tanah pada Air.
"Aku lekat dengan keduanya, sama sepertimu. Aku tidak perlu menyeret-nyeretmu untuk menghabisi mereka semua. Kau pun bisa membelah diri tanpa bantuanku, bukan? Hanya kita berdua yang tidak perlu bergantung pada siapa-siapa."
Lekas setelah itu, air menyurut, berlalu ke mata kaki bumi, sebelum kembali ke peraduannya, Sang Lautan. Badai mereda, tetapi kata-kata Air tertinggal di benak Tanah.
Satu hal yang ia sadari, ia berdiri sendiri. Cacian dan makian yang diterimanya dari berbagai makhluk sudah menumpuk di dadanya. Ia hanya perlu menumpang gunung untuk menumpahkan api di perutnya. Ia hanya perlu membelah diri untuk menelan semua makhluk fana yang tidak tahu diri itu, juga Angin. Ia bisa mencederai angin dengan kulit-kulitnya yang mengering dan mengelupas.
Ia sudah muak. Kata-kata dari Air telah membuka matanya lebar-lebar. Bahwa dari atas kepala hingga ceruk bumi, segalanya diselimuti oleh dirinya dan Air.
Sejak awal, Tanah tahu ada niat tersembunyi dari permintaan maaf si Air. Tanah tahu bahwa air menyimpan dendam sama besar seperti diriya terhadap semua makhluk hidup yang tersisa. Dia meminta maaf pada Tanah, sebab memang dialah yang mendatangi tanah lebih dulu.
Akhirnya Tanah ingat bahwa Air juga beberapa kali hilang kesabaran, ia mengamuk membabi buta. Melalui peraduannya, diamuknya pesisir, ditelannya segala bentuk keserakahan dan kesombongan makhluk-makhluk parasit itu. Air bisa membalaskan dendamnya, setelah kejernihannya dinodai oleh sampah-sampah busuk yang membunuh isi perutnya.
Tanah tahu ia bisa bergerak pula sesuka hatinya seperti air. Memikirkan itu, perutnya terasa mual. Dampak akibat terlalu bersemangat memikirkan segala kemungkinan dari pembalasan dendamnya. Bukan hanya memusnahkan makhluk-makhluk pongah itu, kali ini ia memutuskan untuk melepaskan diri dari beban yang dilimpahkan Tuhan kepadanya.
"Kali ini saja, Tuhan. Ijinkan aku bergerak bebas sesuai kemauanku."
Bersama dengan keputusan tanah untuk bergerak di hari itu, ribuan nyawa ikut melayang. Bukan hanya Air yang dapat menyeret-nyeret material yang dilaluinya, Tanah yang sudah kelelahan itu juga.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top