Antara Dua Hati
Gemuruh petir menemani kami berdua sepanjang perjalanan. Racha melekat erat padaku. Aku sesekali menyenandungkan lagu rindu, Racha ikut berbisik-bisik kecil.
Sesampainya di kos, aku mendudukkan Racha di motor, memperbaiki rambutnya yang kusut dan basah, lalu meluruskan beberapa bagian bajunya. Rambut Racha hijau stabilo, wajahnya merah padam, basah. Aku menepuk ujung kepalanya sambil tersenyum. "Tunggu di sini ya!"
Tepat ketika aku memutar dua kali kunci pintu, aku melirik ke sudut kamarku, Ella menatapku dengan wajah muram menghitam. Dia melipat tanggannya dengan kesal.
"Pergi sama Racha lagi?" tanya Ella dengan nada tinggi. Aku tidak menanggapinya, menaruh tasku.
"Hugooo!" seru Ella. Aku menoleh ke Ella. Ella gadis yang lucu, dia sangat pendek sehingga ketika aku mendekat ke arahnya dia sepertinya hanya setengahku. Melihatnya marah justru membuatku gemas.
"Aku sudah bilang, 'kan? Aku bawa motor, aku nggak mau membahayakan kita berdua kalau aku pergi sama kamu," jelasku sambil mengelus rambut birunya.
"Kamu hanya cari-cari alasan, terus membiarkanku diajak jalan oleh teman-temanmu!" pekik Ella dengan pipi menggelembung.
"Kupikir mereka lebih membutuhkanmu," ujarku sabar, kemudian menyalakan pemanas air.
"Aku maunya kamu!" pekik Ella. Aku tertawa kecil, sembari melirik Racha yang masih di atas motor, di luar.
"Kita pernah jalan minggu lalu," ujarku sambil mengambil cangkir teh.
"Hanya ke warung lima langkah dari sini!" seru Ella tidak terima, "Sedangkan Racha? Kamu ajak keluar kota! Padahal aku yang lebih dahulu menemanimu selama ini!"
Aku mengangguk, aku bersama Ella memang semenjak aku masih memakai seragam putih abu, dia yang selalu menemaniku kuliah juga, sementara itu, aku bersama Racha ketika aku sudah mampu membeli motor dengan uangku sendiri. Setiap bepergian dengan motor aku selalu mengajak Racha, sedangkan aku berjalan bersama Ella hanya ke dekat-dekat sini.
Suara air mendidih memenuhi ruangan, membantuku membalas perkataan Ella tanpa bersuara. Ella memutar badannya, ngambek di pojokan. Aku segera mematikan pemanas air dan menuang airnya ke cangkir teh yang sudah ada tehnya, kemudian kuseduh.
"Kenapa kamu nggak kasih aku ke temen kamu aja?" tanya Ella dengan nada memekik. "Kata kamu mereka lebih butuh aku, 'kan?"
"Ya ampun, Ella," aku memijat keningku. "Aku juga butuh kamu!"
"Sama Racha aja kamu!" pekik Ella.
"Bagaimana kalau...." Aku berjalan mendekat ke arahnya. "Bagaimana kalau kamu berteman dengan Racha? Aku bisa mengajak kalian berdua berjalan bersamaan."
"Cuma ke warung, 'kan?" tanya Ella kesal. Aku mengangguk, wajah Ella makin masam. Kemudian aku kembali berjalan menjauhi Ella, berusaha memikirkan cara untuk membalas perkataannya. Ketika sibuk berpikir, ketukan perlahan terdengar dari arah pintu.
Aku segera membuka pintu dan mendapati Pria tersenyum padaku.
"Seperti biasa," kekeh Pria sambil menunjuk Ella. Wajah Ella menggelembung lagi. Aku tertawa kecil lalu mengangguk.
"Sebentar ya!" Aku berjalan menuju Ella kemudian menggamitnya, mengajaknya keluar menemui Pria. Pria menyambutnya dan langsung memegangnya erat. Aku tidak mengucapkan apa-apa lagi, Ella kemudian dibawa pergi oleh Pria. Aku menghela napas lalu menghembuskannya keras.
"Dia cemburu lagi?" tanya Racha sendu.
"Benar," kekehku.
"Tidak sepantasnya dia marah-marah padamu, Hugo," ujar Racha.
"Tidak apa, Racha, mungkin aku memang tidak adil padanya." Aku kemudian memasukkan mengelap motorku dengan kanebo.
"Berikan saja Ella kepada cowok tadi, dia sudah tidak pantas di sini," ujar Racha.
"Aku masih membutuhkannya," ujarku sambil menepuk ujung kepalanya.
"Aku bisa menggantikan perannya," ujar Racha cepat.
"Tidak bisa, Racha, tidak bisa." Aku tersenyum tipis.
"Dia menyebalkan!" adu Racha semakin bawel. Aku diam saja tidak menanggapinya. "Kamu tahu? Dia menyebutku plastik kemarin dulu!"
Aku mendengkus, kenapa mereka berdua tidak pernah akur?
"Lalu kubalas dia!" Racha melanjutkan. Aku memijat dahiku, pusing. "Kukatakan dia bau seperti karat!"
Aku menatap Racha lurus-lurus. "Bukankah itu keterlaluan?"
"Dia lebih dahulu menyebutku plastik!" seru Racha.
"Berhentilah berkelahi atau aku akan berikan kalian berdua pada Pria!" bentakku.
"Pria tidak membutuhkanku," ujar Racha sambil tersenyum puas. "Namun, ia jelas membutuhkan Ella."
"Kata siapa?" tanyaku dingin.
"Dia selalu pergi dengan Ella."
"Ah ya, tapi dia akan dengan senang hati menerimamu," ujarku kaku.
"Sesungguhnya walaupun telingamu panas mendengar celotehan Ella, kamu memang lebih suka padanya ya?" tanya Racha kesal.
Aku menggeleng. "Kalian berdua sesuai porsi masing-masing," ujarku. "Semua sudah jelas."
Aku menyentuh ujung lengan Racha yang berkaret. Racha diam, menatapku dengan tatapan sedih.
"Masih basah?" tanyaku lembut. Dia mengangguk.
"Tunggu sebentar ya," ujarku sambil mengalihkan pandanganku memerhatikan hujan. Aku memijat keningku, tidak pernah menyangka hari-hari hujanku akan diributkan oleh Ella dan Racha yang berantem, padahal aku selalu suka hujan.
Aku kemudian melangkahkan kaki berjalan masuk ke dalam kembali, meninggalkan Racha tanpa sepatah kata pun. Mungkin Racha benar, suatu saat aku harus memberikan Ella pada Pria, karena Pria lebih membutuhkannya dibandingkan aku. Namun, Ella selalu menemaniku sejak dulu, setia.
Aku melemparkan badanku ke kasur, memejamkan mata. Berusaha menyingkirkan perkelahian antara Ella dan Racha di kepalaku. Berusaha tidur tenang.
Ketika aku membuka mata, hujan sudah berhenti, suaranya sudah tidak terdengar. Aku segera keluar dan mendapati Ella dan Racha sedang saling melotot di depan.
"Kalian!" seruku berdiri di tengah.
"Kamu pilih dia atau aku?" pekik Ella.
"Buset, sinetron banget!" seruku.
"Tinggal jawab!" Racha menimpali.
"Sudah kubilang, 'kan? Berapa kali kuulangi? Kalian sesuai porsi kalian. Aku bersama Racha kalau naik motor, aku bersama Ella kalau berjalan kaki!" Aku mendengkus kesal, karena Ella masih basah terkena hujan, aku tidak bisa mengajaknya masuk.
"Berikan salah satu dari kami ke Pria!" pekik Racha. "Jelas dia, 'kan?"
Aku menggeleng keras, menggenggam erat tangan Ella.
"Aku tidak mau Ella jadi milik Pria!"
"Maka berikan Racha ke Pria!" seru Ella berang.
"Aku membutuhkannya!" seruku jengah.
"Egois," desis Ella. Aku menarik tangan Ella berjalan ke sekitar lingkungan. Berusaha menenangkannya sekaligus menjauhkannya dari Racha. Sepertinya aku bisa gila di sini. Aku memang mau tidak mau harus mengambil keputusan untuk memberikan salah satunya pada Pria. Ketika berjalan cepat dengan Ella, aku bertemu Pria.
"Ada apa Hugo?" tanya Pria bingung sambil menatap ke arah Ella. "Sudah kuantarkan ke tempat seperti biasaeratDengan penuh ketidak ikhlasan, aku agak mendorong Ella. "Pria, kamu mau?"
"Hugo!" pekik Ella terkejut.
"Tidak, aku sudah punya, kok," ujar Pria sambil mengangguk. "Tadi lagi bersama adikku, jadi, yah taulah sendiri."
Aku bisa mendengar Ella bernapas lega. Kemudian sedetik kemudian dia menangis. Aku pamit pada Pria dan segera mengajak Ella pergi. Aku kemudian memeluknya erat, walaupun dia sangat basah.
"Maafkan aku Ella, aku tidak akan pernah menyerahkanmu."
"Tapi kamu baru saja," desis Ella terisak keras.
"Aku menyayangimu, lebih dari rasa sayangku pada Racha."
Ella perlahan menghentikan tangisnya.
"Benar?"
"Ya," bisikku. Aku tersenyum melihat hati Ella melunak. Aku tinggal mengucapkan hal sebaliknya pada Racha, dan menjauhkan mereka berdua. Kalau aku bepergian dengan Racha aku akan membawa Ella ke belakang terlebih dahulu, kalau aku pergi bersama Ella aku akan membawa Racha ke belakang terlebih dahulu. Ah, begitu menyenangkan menjadi Hugo, untung aku belum menjadi pria sejati, aku masih aman menjadi playboy, sehingga aku masih bisa mengatasi drama antara Ella the Umbrella dan Racha the Raincoat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top