《The Tale》
Coba bayangkan, bagaimana seandainya jika dulu kita menyerah dan dongeng ini tak pernah ada?
• An Epilogue •
"Itu kan Papa, bukan Pangelan!"
Chenle mencebik lesu di kursi makan yang membuat kakinya menggantung tinggi. Matanya yang sudah mengantuk ia paksakan untuk tetap terbuka hanya demi menyalurkan protesannya kepada sang mama. Namun meski begitu, perhatiannya sesekali tetap terbagi ke kue coklat yang baru saja mamanya angkat dari pemanggang.
"Papa kan Pangerannya Mama, sama-sama Pangeran namanya."
Renjun menjawab santai sembari memakaikan Chenle serbet makan. Anak itu sudah gosok gigi dan cuci kaki sebenarnya, tapi menolak untuk tidur dan pasti akan tetap merecoki makan malam Papa Mamanya.
"Tapi bukan Pangelan aku huuu!"
Bocah lima tahun itu tetap keukeuh pada rasa kesalnya, tapi juga tak menolak saat sang mama menyodorinya sepiring kecil kue coklat yang adonannya mereka buat sama-sama tadi siang.
Jeno bergabung di meja makan dengan kaus tidur dan celana pendeknya. Langsung memeluk putra mungilnya itu dan dengan jahil merebut sepotong kue yang sudah Chenle potong dari bagiannya dengan susah payah.
"Tuh kan Papa bukan Pangelan! Papa anak nakal!"
Renjun terkekeh geli setelah sebelumnya tersentak kaget pada pertarungan ayah dan anak itu. Dengan gemas, ia ciup pipi penuh putranya yang sangat putih itu, "Terus Lele maunya Pangeran yang kaya gimana hm?"
"Uhm...."
Bocah itu tampak menimbang-nimbang sembari memainkan garpunya. Bibirnya yang tipis tertekuk lucu.
"Jisungie!!"
Ia berteriak girang sembari mengacungkan garpunya, membuat sang papa di sampingnya kaget karena teriakan dan acungan garpunya.
"Jisungie ngga cocok jadi Pangeran, cocoknya jadi bayi. Dia kan kadang-kadang masih pakai pampers."
Jeno berujar santai sembari kembali memotong kue milik Chenle, dan tanpa dosa melahapnya begitu saja seolah mengabaikan wajah melas putranya yang sudah akan kembali merengek kepada mamanya yang masih sibuk menyajikan sajian makan malam mereka itu.
"Mamaaaaa Papanyaa nakal lagi huhuhuuuu...."
Chenle sudah berlinang air mata, hampir menangis dan berakhir merengek di gendongan mamanya kalau saja sang papa tidak segera mengambil tindakan 'bersandiwara'. Kalau sudah mengantuk tapi masih dibiarkan bangun begini Chenle memang rentan sekali rewel, padahal biasanya ia kuat menghadapi kejahilan papanya dan bahkan kadang sibuk main berdua, entah main apa.
"Lele benci sama Papa?"
Jeno menunjukkan wajah sedihnya yang selalu mengingatkan Chenle pada anjing kecil milik Paman Jae. Ia yang wajahnya sudah basah dan masih sesenggukan itu refleks menggeleng-geleng kecil sembari meraih wajah papanya, mengelusnya dengan tangannya yang mungil, hal yang dilakukannya tanpa sadar. Kalau sudah begini ia jadi tidak tega dan merasa telah menjahati papanya. Padahalkan dia hanya kesal karena tidak ada pangeran yang asli, dan menjadi semakin kesal saat kue coklatnya dihabiskan begitu saja oleh papanya.
"Aku--hiks--ngga benci!"
Jeno tersenyum, menahan kekehan gelinya, dan menyatukan kedua tangannya di depan Chenle, "Maafin Papa...."
Bocah itu mengangguk-angguk lucu sembari menghapus air matanya, namun bibirnya masih tertekuk karena merasa sedih melihat ekspresi sang papa.
Renjun yang mendapati pemandangan menggemaskan itu langsung bergabung dengan keduanya sembari kembali menyajikan potongan kue coklat di piring si kecil.
"Nah, coba sekarang Lele peluk Papanya biar ngga sedih."
Lagi-lagi Chenle langsung menurut setelah menatap mamanya masih dengan sesenggukan kecilnya. Bocah lima tahun itu melingkari tangan mungilnya di kepala sang Papa yang membuatnya tak dapat menahan tawa, antara terharu sekaligus lucu karena disodori ketiak beraroma bedak bayi putranya.
"Hey, kok peluknya gitu?"
Renjun dan Jeno sama-sama tertawa renyah dan membiarkan putra sulung mereka tetap pada posisinya.
"Yaudah sini Mama aja yang peluk Lele sama Papa...."
Hingga akhirnya Renjun memilih untuk bergabung dan memeluk keduanya, membiarkan putra mungilnya itu terhimpit tubuh mama dan papanya hingga akhirnya ia terkekeh-kekeh sendiri saat mendapatkan banyak kecupan manis di pipinya.
•
"Kenapa sih Papa jadi Pangelan? Papa kan Papa! Bukan Pangelan!"
Makan malam sudah hampir siap saat Chenle masih penasaran soal korelasi antara pangeran dan papanya, meski setidaknya bocah lima tahun itu sudah mulai anteng dengan hidangan porsi kecilnya. Sekesal apapun Chenle, bocah sulung itu akan kembali ceria jika sudah dihadapkan pada makanan.
"Habis ini gosok gigi lagi ya, odolnya pake sedikitttt aja, oke?"
Renjun berujar sembari mengusap sudut bibir Chenle yang sedikit kotor oleh remahan kue miliknya, membuat bocah lima tahun berpipi tembam itu mengangguk semangat. Chenle buru-buru menelan makannya saat menyadari bahwa sang mama belum menjawab pertanyaannya.
"Ma!"
"Apa?"
"Kenapa Papa jadi Pangelan?!"
"Karena Papa tampan."
Kali ini Jeno yang buka suara. Dia terlalu menikmati hidangan Renjun sampai tak terlalu memerhatikan ocehan Chenle yang selalu dirindukannya sepanjang hari itu.
Putra sulungnya tumbuh dengan luar biasa. Jeno sampai bertanya-tanya bagaimana bisa makhluk mungil dengan tiap detail fisiknya yang sangat menggemaskan ini bisa menjadi anaknya. Chenle hampir mewarisi semua fitur sang papa. Ia memiliki mata sipit, konstruk wajah, dan kulit--super putih--Jeno. Hanya kesan wajahnya yang manis yang mungkin diwarisi dari Renjun.
Tapi yang lebih membingungkan adalah, bagaimana bisa anaknya ini menjadi bocah aktif yang sangat berisik ketika ia dulu dikenal sebagai anak yang pendiam, sangat berbeda dengan Chenle.
"Tampan itu apa?"
Chenle bertanya lagi, dan mungkin akan terus seperti itu sampai rasa penasarannya terpuaskan. Satu hal lainnya yang membuat Jeno merasa tak percaya dengan pertumbuhan putranya adalah sikap kritis Chenle yang terkadang membuatnya kewalahan, namun juga bangga.
"Tampan itu--"
Ah, lamunannya soal sang putra buyar oleh suara sang istri yang kini sudah bergelagat tak biasa. Renjun sedikit mengerutkan kedua alisnya sembari bergantian memandang Chenle dan Jeno, dan Jeno yang menyadarinya tak bisa untuk menahan tawa.
"Menurut Mama tampan itu yang seperti Papa."
Jeno menjawab setelah menyelesaikan kunyahannya sembari menunjuk wajahnya sendiri, "Tapi kalau menurut Lele, tampan itu Jisungie."
"Jadi tampan itu apa?!"
Oh, Chenle nampaknya semakin bersemangat karena belum mendapatkan jawaban yang diinginkannya.
"Lele.... tampan itu bukan apa, tapi bagaimana."
Ah, Jeno mulai lega karena kini Ibu Peri Renjun mau turun tangan untuk menghadapi tingkah berisik putranya, dengan kesabaran yang penuh seperti biasa.
"Menurut Mama, Papa tampan karena...."
Si Ibu Peri menggantungkan ucapannya, dan mengalihkan pandang kepada sang pangeran. Mereka berdua saling berpandangan selama beberapa saat seolah tak ada eksistensi dari si kurcaci kecil yang kini terbengong-bengong kebingungan mendapati interaksi mereka.
Andai Chenle tahu bahwa ketika mama dan papanya saling berpandangan seperti itu, ada gambaran tak kasat mata tentang perjalanan dongeng mereka yang tersampaikan lewat tatapan penuh cinta keduanya.
"...karena dia adalah Papa."
Keduanya mengakhiri tatapan itu dengan kekehan kecil yang membungkus wajah merona mereka, hingga tak menyadari wajah frustasi si sulung yang tetap merasa belum mendapatkan jawaban memuaskan.
"Ah aku ngga ngelti!"
Dan sekali lagi, mereka berdua hanya dapat terkekeh renyah untuk wajah frustasi si kurcaci yang menggemaskan sembari diam-diam menyembunyikan debar hati. Debar hati untuk penyatuan tatap yang seolah kembali menghidupkan euforia cinta mereka yang tak lekang oleh masa.
Ya, biarlah ia tak mengerti untuk sementara ini. Hingga nanti saatnya telah tiba, Chenle akan belajar bagaimana mamanya mempersepsikan sang papa sebagai seorang pangeran.
Untuk saat ini, biarlah hanya Renjun dan Jeno yang mengerti bagaimana keduanya memaknai dongeng sepanjang masa mereka.
•
Lihat, coba lihat ini! Ini bukan akhir dari ceritanya! Duka dan bahagia itu bukan akhir dari cerita kita.
Karena sepanjang kita bersama, selama jiwamu terus bersamaku, maka tidak akan pernah ada akhir untuk penyatuan namaku dan namamu.
With Love, J💙R.
• End •
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top