《34》
Warn! 3838 words (Yang kuat bacanya ntar dikasih epilog:p).
Enjoy the story!💓
•
Mencintai dengan segenap jiwa tidak akan membawamu pada akhir cinta itu.
Dan mereka yang menggunakan jiwanya dalam mencinta tidak akan pernah takut pada akhir apapun.
(Gimana? Quotenya udah ending vibe banget kan?)
•
"Apakah bayi kita akan kecewa saat tahu apa yang pernah dilakukan ayahnya?"
Suatu malam Jeno bertanya soal kemungkinan yang mungkin terjadi di masa depan kepada Renjun, malam terakhir dari masa cuti berkabung mereka berdua. Ia berbaring di paha hangat Renjun saat si empu masih sibuk dengan buku bacaan di tangan. Netranya memandang kosong pada tonjolan besar berisi kehidupan di depannya dengan tangannya yang bermain-main kecil di sana, membayangkan bahwa tangannya kini menggenggam jari-jari mungil dari janin yang hidup di dalamnya.
Senyumnya terkembang kecil kala ia membayangkan dan menduga-duga bagaimana rupa bayinya nanti.
"Kenapa harus kecewa hm? Satu-satunya hal yang mungkin membuatnya kecewa adalah ketika kamu merebut mainan atau makanannya nanti sambil memberi juluran lidah jahil."
Renjun menatap suaminya dengan pandangan jenaka sebelum tangannya mengelus surai hitam itu dengan lembut, membuyarkan lamunan singkat suaminya soal rupa bayi mereka. Dapat ia rasakan pergerakan Jeno yang semakin rapat menenggelamkan wajah ke perutnya.
"Kamu membuatku semakin berandai-andai, membayangkan wajah merajuknya."
"Kamu tidak sendiri, aku juga suka sekali mengandaikan itu sambil memantau pergerakannya di dalam sana."
Jeno mengalihkan tatap pada wajah cantik di atasnya dan mendapati wajah sumringah Renjun dengan tangan sang istri yang kini sudah bertengger di perutnya, mengelusnya dengan lembut. Dengan hati-hati, ia ikut menempatkan tangannya di sana, tepat di atas miliknya Renjun yang terselipkan cincin pernikahan di jari manisnya. Senyumnya kembali terkembang tulus saat merasakan tendangan bayinya dari dalam sana, tepat pada tangan mereka yang bergenggaman.
"Anak kita tahu kalau ia sedang dibicarakan oleh Papa dan Mamanya...."
"Apakah--kamu akan menyembunyikan darinya?"
Tatapan Renjun beralih menatap Jeno yang mulai bangkit dari posisinya. Suaminya itu
Kini sudah duduk di depannya dengan netra sendu yang menurut Renjun terlalu tiba-tiba, tapi juga ada banyak cinta yang tersirat dalam sendunya di sana.
Perasaan Renjun menghangat, hatinya berbisik pada si nyawa yang bersarang nyaman di perutnya,
"Ia menyanyangimu, Nak."
"Kamu akan menyembunyikan ketidaksempurnaanku kepada anak kita? Termasuk soal percobaan bu--"
"Apakah harus kita menyembunyikannya?"
Jeno tak tahu, ia hanya merasa bersalah dan tidak siap menerima kekecewaan dari anaknya kelak. Bagaimana pun, ada dosa yang mungkin tak akan pernah bisa anaknya itu terima.
Ayahnya mencoba meninggalkannya bahkan sebelum ia lahir ke dunia.
"Anak kita perlu tahu sisi ketidaksempurnaan orang tuanya, Jeno.
Tidak hanya dirimu, tapi juga aku. Membahagiakannya bukan berarti menyuguhinya semua hal yang ingin diterimanya, itu hanya akan membuatnya menjadi anak yang buta dan tertutup akan realita."
"Aku pikir, ia harus belajar dan memahami banyak hal nantinya. Ia harus tahu bahwa semua orang berbeda, ia harus tahu bahwa ada banyak hal di dunia ini yang tak begitu lazim namun tetap nyata dan ada. Ia harus belajar bahwa hidup itu bukan hanya soal baik dan buruk, bukan juga soal senang dan sedih, duka dan bahagia."
"Kehidupan itu begitu luas, dalam, dengan begitu banyak warna, sisi, juga sudut pandang. Aku ingin dia bisa mengetahui dan memahami semuanya. Dengan begitu, ia mungkin bisa menjadi seseorang yang bijaksana, yang mau memahami beragam jenis manusia dengan berbagai kerumitan dan kondisi hidupnya."
"Apakah kamu akan membuatnya berpikir bahwa memiliki gangguan mental itu bukan suatu hal yang buruk?"
Pandangan menerawang Renjun buyar, tatapannya kembali kepada wajah getir Jeno di hadapannya. Wajahnya yang tadi berbinar-binar itu meredup meski masih menyisakan senyuman teduh, "Tentu saja. Ia harus dapat memandang bahwa semua hal yang terjadi pada seseorang itu wajar.
Bahkan, orang jahat sekalipun tetap memiliki sisi baik dalam dirinya, kan? Mereka yang menghakimi mungkin hanya menggunakan satu sudut pandang saja untuk menilai seseorang."
Jeno membisu meski senyuman kecil terpatri di wajahnya setelah itu, "Impianmu terlalu hebat dan seolah-olah tidak nyata."
Renjun membalasnya dengan kekehan ringan.
"Tidak, justru itu pelajaran kehidupan yang seharusnya bisa diajarkan dan ditanam dalam benak setiap anak agar mereka semua tumbuh menjadi pribadi yang lebih terbuka, kritis, dan bijaksana."
Setelah menyelesaikan kalimatnya itu, Renjun lantas memandang wajah tampan suaminya dengan teduh. Ia elus rahang tajam itu sebelum mendaratkan kecupan manis di sana, "Aku tidak suka kalau kamu selalu menjadi pihak yang seolah-olah tidak sempurna dan penuh keraguan di sini."
"Hm, memang benar kan?"
Jeno tersenyum kecil saat Renjun menyentil dahinya, "Tidak, aku juga penuh kekurangan, tahu! Aku juga punya ketakutan dan kekhawatiran dalam membesarkan anak-anak kita nantinya."
"Tapi aku yakin kamu bisa mengatasinya dengan baik, Renjun."
Renjun mengangguk semangat sembari mendaratkan kepalanya ke pelukan nyaman Jeno, "Tentu saja. Aku yakin bisa mengatasinya karena aku tahu bahwa ada kamu yang akan menemani dan bersama-sama membesarkannya bersamaku."
Perasaan Jeno bereaksi hebat. Lagu cinta paling menggugah yang pernah didengarnya mengalun begitu saja dalam dunianya yang tak kasat mata, dan menciptakan dua tokoh esensial di malam yang menyatukan keduanya. Dirinya dan Renjun.
"Ada aku yang akan selalu bersamamu."
•
Memasuki usia kandungan tujuh bulan, Renjun bersama Jeno mulai mempersiapkan kehadiran bayi mereka di tengah kesibukan keduanya. Renjun baru akan cuti bulan depan, meski akhir-akhir ini juga pekerjaannya mulai sedikit dan longgar.
"Akhir minggu ini mau temani aku ke Jeju tidak?"
Mendengar kata Jeju membuat otak Jeno langsung terkoneksi dan memberikannya gambaran perkebunan berhektar-hektar yang ada di dataran tingginya. Renjun belakangan ini memang sedang gencar-gencarnya mempertimbangkan untuk membeli lahan perkembunan seluas dua hektar di sana. Katanya, ia ingin mewujudkan salah satu impiannya bersama sang ibu dengan memiliki lahan perkebunan.
"Kamu jadi mau membelinya?"
Renjun mengangguk semangat sembari meletakkan gelas susunya yang masih menyisakan setengah cairan putih itu, "Gajiku bulan depan cukup untuk melunasi semuanya, jadi mungkin aku akan mengambil dan mengurus surat kepemilikannya sekarang dengan dana sembilan puluh persen yang kumiliki."
"Kalau mau aku bisa melunaskan semuanya untukmu."
Ucapan enteng Jeno membuat Renjun memelototkan matanya, "Kamu pikir membeli tanah perkebunan seluas dua hektar itu cukup pakai daun, huh?"
"Dan kamu pikir aku tidak punya uang hanya untuk membelikanmu tanah perkebunan itu hm?"
"Hei sombong sekali!"
Jeno terkekeh kecil saat mendengar dengusan sebal Renjun. Ia kemudian meraih gelas bekas susu istrinya dan mencucinya di wastafel. Mereka baru saja selesai makan malam dan Jeno kini tengah menjalankan tugas hariannya, mencuci piring.
"Minggu depan aku punya waktu, mungkin sabtu atau minggu. Kita berangkat dari hari Jumat saja, sekalian menginap di sana semalam."
Mendengar itu Renjun mengangguk semangat sembari memberikan tatapan berbinarnya. Ia kemudian beranjak menuju kalender yang ditaruh di atas kulkas, membalik halamannya yang masih menampilkan angka-angka bulan lalu.
"Minggu depan itu pas sekali tujuh bulan, ah, lebih satu hari."
"Jadi?"
"Ayo rayakan tujuh bulan janin kita di Jeju!"
•
Tanah yang hendak dibeli Renjun berada di antara ribuan hektar lahan perkebunan yang dikelola oleh warga setempat sebagai mata pencaharian utama. Di dataran tertingginya, terhampar kebun teh sebagai tempat produksi utama teh khas Jeju yang nantinya akan didistribusikan ke seluruh kota hingga mancanegara. Sebagai penikmat dan pecinta teh, Renjun cukup familiar dan akrab dengan rasa teh di sini.
"Apa rencanamu dengan lahan perkebunan ini?"
Mereka berdua tengah menikmati sore di salah satu penginapan tradisional yang keduanya sewa melalui situs wisata online. Duduk di balkon kecil yang tepat berada di atas kolam ikan koi dengan airnya yang bergericik kecil, mereka menikmati udara dingin dan pemandangan alam sembari menyesap secangkir teh panas dari satu set teko gerabah yang tersedia di penginapan.
"Mengolahnya bersama Mama. Aku juga mau menjadikannya sebagai lahan untuk anak-anak belajar nanti. Jadi nanti sebagai refreshing dari kegiatannya yang padat di sekolah, sesekali aku akan mengajak mereka ke sini dan membiarkan mereka mencoba serta bereksplorasi dengan perkebunan."
"Mereka?"
Renjun menoleh menatap Jeno yang kini memandngnya bingung, "Ya mereka, anak-anak kita. Oh, atau kamu hanya mau punya satu anak?"
Jeno menggeleng cepat dan buru-buru menyesap tehnya untuk menyembunyikan wajah gugupnya, "Tentu saja tidak. Aku mau punya banyak."
Mendengar itu membuat Renjun tersenyum gemas kemudian menggenggam jari jemari Jeno yang terkulai kedinginan di meja, "Berarti kita harus siap memandu kurcaci-kurcaci kecil di lahan perkebunan ini nantinya."
Kurcaci-kurcaci kecil? Perasaan Jeno tergelitik, merasa tersentuh saat membayangkan saat mereka benar-benar ada di sini dan melengkapi kehidupan mereka. Sesuatu yang bahkan tak pernah berani untuk ia imajinasikan sebelumnya.
Keduanya tertawa renyah dan benar-benar membayangkan langkah-langkah kecil putra mereka yang akan berlari aktif di sekitar lahan perkebunan nantinya. Mereka, dalam imajinasi keduanya, mungkin akan berebut memetik buah berry sementara yang lainnya tarobsesi untuk menaiki pohon apel. Jeno tiba-tiba merasa sangat bersemangat saat mengimajinasikan dirinya yang akan menggendong seorang bocah aktif di pundaknya untuk menggapai pohon-pohon tinggi yang akan ditanam mereka nantinya.
"Kalau waktunya sudah memungkinkan, aku juga mau menggunakan lahan perkebunan ini sebagai sumber penyerapan tenaga kerja. Aku sedang memikirkan bagaimana caranya mengatur itu untuk para tetanggaku di Jilin yang masih membutuhkan."
Jeno baru mendengar ide seperti itu, apalagi di bagian 'tetangga' yang Renjun maksud. Selama ini, ia tinggal di perumahan mewah yang kehidupan sehari-harinya cenderung sangat individual dan tertutup, jadi agak sulit untuk mengenal tetangganya satu sama lain.
"Aku mendukung itu, dan kalau boleh jujur--"
"Agak kaget ya?"
Seolah mengetahui keterkejutan suaminya, Renjun menebaknya dengan tepat, "Di Jilin kan kamu tahu sendiri, aku tinggal di pemukiman biasa yang taraf hidup masyarakatnya beragam. Kadang aku merasa sedih dan sangat berempati terhadap mereka yang kekurangan baik dari segi finansial maupun pendidikan."
"Jadi, aku merasa memiliki tanggung jawab untuk berbagi dan mengubah kehidupan mereka, yah meski mungkin hanya dalam skala kecil."
Bohong kalau Jeno tidak terkesima dengan ide itu. Ide mulia yang tanpa sadar menciptakan binar ambisi di manik istrinya yang kini memandang jauh pada hamparan pemandangan alam di depannya. Dalam hati Jeno bertepuk tangan bangga sembari mengeja harapan agar apa yang dicita-citakan istrinya itu tercapai. Ia juga jadi tergugah untuk melakukan gerakan kepedulian seperti yang dilakukan Renjun, jauh lebih nyata dari hanya sekedar mencetuskan program kerja di yayasan milik keluarganya.
Ya, meski selama ini ia menjalankan yayasan kemanusiaan, tapi rasanya Jeno lebih sering duduk di kursi kekuasaan tertinggi tanpa sering terjun langsung kepada kegiatan kemanusiaan yang dilakukan yayasannya itu.
"Aku jadi ingin anak-anak kita kelak memiliki sifat yang dimiliki ibunya."
Jeno bergumam sembari mengamini apa yang ia ucapkan, "Dan tidak menjadi pecundang seperti aku."
"Tidak. Dia tidak harus menjadi seperti aku atau kamu."
Renjun tersenyum penuh pengertian sembari menatap Jeno teduh, "Dia memiliki kehidupan dan kebebasannya sendiri, untuk bersikap, bertindak, dan melakukan apa yang ia mau. Asal tidak merugikan orang lain dan berguna untuk sesama, tidak masalah buatku jika anak-anak kelak menentukan pilihan sikap maupun hidupnya secara mandiri."
"Ya.... tapi mereka juga perlu dibimbing untuk memiliki rasa kepedulian yang tinggi sepertimu."
"Dan juga, sepertimu mungkin?"
Jeno memandang Renjun dengan tatapan bingung miliknya namun hanya dibalas oleh istrinya itu dengan kekehan ringan, "Memangnya aku tidak tahu kalau kamu sudah membelikan lahan ini diam-diam huh? Apa itu bukan bentuk kepedulian? Ah, donasi dari rekening pribadimu ke yayasan bulan lalu juga berhasil kuketahui lho, Tuan."
"Yah, itu harusnya menjadi rahasia!"
Renjun terkekeh kecil sembari memainkan jari-jari suaminya yang mulai menghangat karena genggaman mereka. Ia tersenyum manis saat membayangkan betapa anaknya nanti akan sangat beruntung karena memiliki ayah seperti seseorang yang ada di depannya ini. Jeno itu memiliki sisi mengagumkannya tersendiri yang kadang membuat Renjun tak habis pikir mengapa ua terus bersembunyi dalam keinferiorannya.
"Terima kasih ya...."
Mulutnya mencicit kecil, menyuarakan menisfetasi terkecilnya terhadap kekagumannya terhadap sang suami.
"Soal lahan ini?"
Renjun mengangguk kecil yang membuat bibir tipis suaminya itu tertarik lebar dan manis.
"Sudah kubilang bahwa ini hakmu juga. Kamu akan melahirkan anak-anakku dan membesarkannya dengan baik. Apa yang kuberikan sekarang tak akan sebanding dengan perjuanganmu nanti."
"Tapi apa yang akan kamu berikan di masa depan juga mungkin akan lebih besar dari apa yang kulakukan, Jeno."
"Tidak, itu akan seimbang.
Kita akan berjuang bersama-sama, aku dan kamu. Jadi apa yang kita usahakan untuk itu, nilainya akan seimbang."
Keduanya saling berpandangan dan menikmati letupan hangat di dalam dada, merasa amat bahagia untuk pemastian bahwa selamanya, akan selalu ada dia dan dirinya. Jeno dan Renjun, selamanya.
Tautan tangan keduanya semakin mengerat dan kehangatan yang kontras dengan suhu rendah alam semakin merasuki debaran jantung keduanya.
"Ya, kita akan berjuang bersama-sama."
•
Mendekati kelahiran si kecil, keduanya mulai sama-sama sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut anggota keluarga baru itu. Dengan perutnya yang sudah membulat penuh, Renjun masih aktif memikirkan desain kamar untuk bayinya sembari mengumpulkan barang-barang apa saja yang sekiranya dibutuhkan. Satu kamar kosong di apartemen suaminya itu rencananya akan ia gunakan sebagai kamar untuk anaknya kelak.
"Renjun?"
"Ya?"
Jeno sedikit meringis kecil saat mendapati pemandangan istrinya yang tengah berusaha berjongkok untuk membuka kardus paket yang tadi siang baru saja diantarkan oleh kurir ke tempat mereka. Ia dengan sigap membantu Renjun duduk dengan nyaman di lantai beralaskan karpet bulu itu saat istrinya menertawakan wajah khawatirnya tadi.
"Jangan khawatir. Aku bahkan masih bisa turun tiga lantai tanpa menggunakan lift."
"Dan itu--agak tidak wajar buatku."
"Hei!" Renjun terkekeh renyah sembari mengelus perutnya yang sudah sangat besar, "Coba katakan itu pada bayimu! Dia yang membuat ibunya masih bisa aktif karena sikap pengertiannya di dalam sana."
Jeno menurutinya. Tangannya dengan hati-hati mengelus perut tiga puluh minggu Renjun yang sudah sangat besar itu. Pergerakannya benar-benar terasa dan Jeno mengerti mengapa Renjun sesekali meringis kesakitan.
"Dia benar-benar aktif."
"Dan hobi makan."
Si tunggal Lee yang tengah menikmati pergerakan bayinya itu tertawa nyaring saat tahu bahwa istrinya itu tengah menyesali kebiasaan makannya yang meningkat akhir-akhir ini hingga berat badannya naik cukup banyak, "Tidak apa-apa, makanlah yang banyak. Papa siap mencuci sebanyak apapun piringnya."
Renjun mendengus kecil kemudian meluruskan kakinya yang sedikit agak pegal, "Yah, kurasa pola makanku yang meningkat akhir-akhir ini bisa kumanfaatkan untuk mendekor kamarnya akhir pekan nanti."
"Hm, kamu sudah mulai cuti?"
"Mulai minggu depan."
Jeno mengangguk paham sembari membantu istrinya membuka selotip yang menutupi kardus, "Berarti kita bisa pindah akhir bulan nanti."
"Pindah? Ke mana?"
Pertanyaan kaget istrinya itu membuat Jeno menghentikan sejenak kegiatannya dan memandang sang istri dengan wajah tampannya, "Aku lupa untuk mendiskusikan ini denganmu."
"Huh?"
"Aku berencana untuk menempati rumah Papa."
Keheningan melanda mereka selama beberapa saat. Meski bibirnya sedikit terbuka yang menunjukkan bagaimana kagetnya ia sekarang, namun Renjun masih mempertimbangkan respon apa yang harus ia berikan kepada ucapan suaminya.
Selama beberapa bulan terakhir ini, Renjun selalu mencoba menjaga diri untuk tidak menyinggung soal mertuanya kepada Jeno, termasuk soal kediaman utamanya yang kini hanya ditempati oleh para asistennya yang mengurusinya itu.
"Jeno--"
"Aku berpikir bahwa anak kita butuh ruang luas untuk tumbuh kembangnya. Juga--"
Jeno menggantungkan ucapannya. Tatapannya teralih pada jendela besar di belakang sang istri yang menampilkan langit jingga senja, "--aku ingin hidup bersama kenangan kami dan mengenang sosoknya sebaik yang kubisa."
Renjun tak dapat berkata-kata. Perasaan haru tiba-tiba memenuhi dadanya. Tanpa sadar ia ikut melakukan apa yang Jeno lakukan, memandang langit sore yang bercahaya cantik di luar sana.
Satu bintang muncul seiring dengan cahaya jingga yang makin tenggelam ke peraduan.
"Kamu akan selalu bersama kami, Papa...."
Mungkin memang seharusnya begitu, berdamai dengan rasa kehilangan akan jauh lebih menenangkan daripada berpura-pura lupa dan akhirnya terluka sendirian.
Jeno belajar banyak soal menerima dan memaknai kehilangan, kepergian, juga kebahagiaan. Ia mulai belajar menerima dirinya sendiri, masa lalunya, juga kemungkinan yang akan terjadi masa depan. Termasuk kemungkinan soal pergi dan ditinggalkan.
Semuanya masih terasa menakutkan, mencemaskan, dan terkadang membuatnya ingin pergi dari dimensi pikirannya yang begitu gelap dan suram. Tapi sekali lagi, ia harus belajar untuk berlapang dada menerima itu semua. Ketakutan, kecemasan, dan pikirannya yang memuakkan itu adalah bagian dari dirinya. Itu adalah hal-hal tak kasat mata yang membentuk dirinya, sehingga hal paling bijaksana yang dapat ia lakukan adalah menerima dan berdamai dengan semuanya.
Sekali lagi, Jeno belajar soal menerima dan berdamai. Juga soal memaknai cinta dan pergi dengan segenap jiwa dan kelapangannya.
•
"Aku membeli bonsai baru. Mungkin akan cocok untuk menjadi koleksi di taman belakang."
Sudah hampir dua bulan keduanya pindah ke kediaman sang papa dan selama itu ada banyak perubahan yang keduanya lakukan. Kamar Jeno disepakati akan menjadi kamar bayi mereka nanti, sementara kamar utama papa dan mamanya menjadi kamar tidurnya bersama Renjun.
Dua bulan terlewati dan itu artinya hanya tinggal menghitung hari keduanya bertemu dengan sang buah hati. Ada sensasi dan buncahan perasaan yang setiap malamnya Jeno nikmati tiap ia berinteraksi dengan bayi yang masih bersarang di perut istrinya itu.
"Berkebun lagi? Kamu tidak lelah huh?"
Renjun menggeleng kecil, "Kalau aku tidak melakukan sesuatu, justru nanti aku hanya akan fokus pada sakit pinggangku."
"Tapi tidak dengan berkebun dan mengangkati pot-pot yang berat itu, Renjun."
Jeno khawatir setengah mati, dan Renjun selalu memiliki cara untuk mengalihkan kekhawatirannya itu dengan kata-kata persuasifnya yang kadang membuat Jeno tak bisa berkutik.
Namun kali ini beda cerita. Renjun diperkirakan akan melahirkan tepat empat hari lagi saat ia masih menyibukkan diri dengan pot-pot bunga dan apron berkebunnya yang sudah sangat sempit. Tapi yang jadi masalah adalah, ia sudah mengeluhkan mulas sejak semalam dan paginya Jeno justru mendapati istrinya itu sibuk di kebun belakang setelah menyiapkan sarapan.
"Aku sudah menyiapkan tas untuk ke rumah sakit."
Jeno mendatangi Renjun yang sedang duduk di kursi kecil di depan jejeran pot-potnya yang tertata rapi. Istrinya itu mengelap peluh sembari sesekali meringis kecil, membuat Jeno dengan sigap menggosok punggungnya dengan lembut dan hati-hati.
"Mau ke rumah sakit kapan hm?"
Sekalipun rasa khawatirnya sudah nyaris di puncak, namun ia tak dapat memaksa Renjun begitu saja. Ia menghargai istrinya yang menjadi tokoh utama dalam kelahiran putra mereka, dan ia mengerti bahwa apa yang ia pahami lewat buku tak lebih berarti dari apa yang Renjun rasakan selama sembilan bulan lebih mengandung. Jadi saat Renjun tetap keras kepala dan berkata bahwa ia baik-baik saja, Jeno hanya akan menerimanya sembari memantau kegiatan istrinya itu.
"Aku benar-benar bisa merasakan pergerakannya di dalam sana."
Renjun berkata sembari mengelus perutnya yang besar di balik apron berkebunnya, "Dan itu seolah-olah seperti ucapan yang memberitahuku kapan ia akan siap keluar."
Mendengar itu, senyum Jeno terbit dengan penuh arti. Tangannya ikut mengelus gundukan besar itu, "Jadi, kapan ia akan benar-benar siap untuk keluar hm?"
"Mungkin.... besok malam?"
Senyum Jeno yang penuh arti itu perlahan sirna menjadi bulatan mata kaget saat orang yang ia khawatirkan itu justru tertawa.
"Relax, Jeno! Aku tidak apa-apa...."
"Kita akan ke rumah sakit siang ini."
"Ya, tapi--"
"Huh?"
Renjun tersenyum jahil,
"Ayo mandi dulu.... mandi bersama. Bantu aku memijat punggungku ya?"
•
Persalinan Renjun tidak secepat dan sesederhana yang Jeno bayangkan. Ini bahkan sudah hari ketiga saat keduanya berada di rumah sakit, dan bayinya masih belum mau keluar seperti yang ia harapkan.
Renjun yang kesakitan, Renjun yang merintih sepanjang malam, dan Renjun yang menyambutnya di pagi hari dengan mata bengkak dan wajah pucat, adalah rentetan hal paling menegangkan yang rasanya ingin segera ia akhiri. Istrinya sedang meregang nyawa dan Jeno tak tahu apa yang bisa ia lakukan sekarang.
"Pembukaannya sudah lengkap, tekanan darahnya juga masih normal. Sejauh ini tidak ada komplikasi serius dan mungkin bisa langsung dilakukan persalinan."
Suara dokter yang memberitahu informasi detail terkait kondisi Renjun yang tadi merintih hebat karena air ketubannya yang pecah itu bak setitik penenang yang perlahan menghancurkan kekhawatirannya. Jeno segera menggenggam tangan Renjun yang empunya sudah nyaris kehilangan kesadaran, merintih kesakitan sembari menahan linangan air mata.
"Masih kuat kan? Aku akan selalu di sini, percayalah...."
Renjun mengangguk haru sembari menyeka air matanya, "Aku senang sekali karena akhirnya diperbolehkan untuk mengejan."
Keduanya terkekeh kecil meski dengan mata yang berkaca-kaca dan ketegangan yang semakin tiada tara saat dokter mulai mengatur posisi kakinya dan mengintruksikannya untuk mengejan. Jeno yang masih setia di sampingnya mengecup dalam dahi istrinya yang basah dan lengket, mencoba menyalurkan rasa cintanya yang besar tanpa kata-kata. Ia dengan sabar menerima semua hal yang tak ingin dilihatnya; lenguhan kesakitan Renjun, isakannya, hingga ejanannya yang luar biasa melelahkan seolah tak ada akhirnya.
Namun semua itu dibayar oleh tangisan keras bayi yang mendobrak ketegangan dan rasa sakit mereka. Dua jam yang Renjun habiskan untuk mengejan kesakitan seolah tak ada apa-apanya dibandingkan suara tangisan bayi yang akan menemani hidup mereka sampai jelang kematian.
Renjun menangis haru saat bayinya diserahkan ke dalam dekapan. Sakitnya yang masih tersisa seolah lenyap begitu saja saat netranya memandangi sosok malaikat mungil yang selama berbulan-bulan ini dinantinya dengan suka cita.
Sementara Jeno hanya bisa mematung kaku memandangi penyatuan ibu dan anak itu. Ada letupan perasaan dalam batinnya yang membuat ia luar biasa terguncang, dan bahkan tak tahu harus berbuat apa sekarang.
Malaikat mungilnya telah lahir, melalui proses panjang yang menyakitkan juga melelahkan. Jeno merekam semuanya dengan jelas dan menyimpan tiap esensi perasaan yang ia lalui dengan rinci, hingga membuat tubuhnya bergetar luar biasa sekarang.
Manifestasi cinta paling besar antara ia dan Renjun telah lahir, itu berarti, akan ada yang berubah setelah ini.
Perubahan warna hidup yang membuatnya kini menangis tersedu-sedu di bangku kapel yang sunyi dan sepi, hanya ia dan figur sang maha kuasa yang agung dalam salibnya.
•
Jeno merasa malu untuk kembali, setelah sekian lama tersesat dalam kegelapan yang tak pasti. Ia melalui hidupnya dalam tanda tanya besar, bertanya-tanya soal eksistensi Tuhan yang bias dan tak teraba oleh kesusahannya yang melelahkan. Hingga kemudian ia menyerah dan menganggap bahwa si Maha Kasih itu tak ada, dan hanya omong kosong belaka.
Tapi Jeno rupanya keliru. Ia ada dan nyata dalam kehidupannya, hanya saja tersamarkan oleh keputus-asaan hatinya.
Nyatanya, cinta-Nya yang besar selalu termanifestasikan dalam segala hal yang tak pernah ia sadari selama ini.
•
Setelah menenangkan diri di kapel yang tadi tak sengaja ia temui, Jeno kembali ke ruangan sang istri dan mendapati pujaan hatinya itu sudah jauh lebih rapi sekarang. Ia telah dibersihkan, begitu pun dengan bayi mereka yang kini menguap lucu di dalam gulungan kain hangatnya.
"Hai...."
Renjun menyapa dengan manis, tersenyum cantik saat ia dengan ragu-ragu melangkahkan kaki dan mengambil tempat di pinggiran ranjang.
Tangannya yang kembali bergetar perlahan ia ulurkan untuk mengelus pipi penuh bayinya yang terlelap damai, dan seketika pertahanannya kembali runtuh hingga matanya kembali buram oleh air mata.
"Pipinya.... halus sekali."
"Ya, dan juga gemuk..."
Jeno tersenyum haru dengan penahanan air mata yang semakin membludak. Ia kemudian menyerah untuk tak menangis saat sebelah tangan Renjun terulur untuk mengusap pipinya yang dingin.
"Menangislah Sayang, kamu berhak untuk itu...."
Renjun ikut merasakan haru itu, hingga matanya ikut memanas dan air matanya berjatuhan tanpa aba-aba.
Keduanya menikmati momen sentimental itu dalam ledakan perasaan yang mengharukan. Juga memilih untuk menghabiskan tangis dalam pelukan hangat yang menyatukan mereka dalam ledakan penuh cinta.
"Terima kasih...."
Cinta yang akan selalu mengiringi lembaran hari biru mereka.
Hari ini Jeno terlahir kembali, dengan segala hal yang tak pernah ia nikmati sebelum ini. Ia tak akan lagi menangis sendirian, tak akan lagi memendam semua kesedihannya dalam malam-malam menyedihkan, tak akan lagi tertatih dalam dimensi suramnya yang sepi.
Kini ia memiliki dua malaikat yang akan menemani lembaran hari birunya. Malaikat yang dengan indah dihadirkan oleh si Maha Kasih yang saat ini dapat kembali ia rasakan eksistensi dan kasihnya yang besar.
Si Maha Kasih yang baru ia sadari bahwa ternyata selama ini ia tak pergi ke mana-mana, melainkan hidup dan tumbuh di dalam sudut hatinya yang terdalam.
"Karena Tuhan memang tidak ada di mana-mana, melainkan di dalam sudut hatimu yang terdalam."
The End
• Book ini sudah resmi selesai. Saya selaku penulis sangat berterima kasih kepada para pembaca yang sudah mau berpartisipasi serta mengapresiasi karya ini dengan vote atau bahkan komentar kalian:)💓
• Sebagai bentuk kenang-kenangan, maukah kalian memberi kesan dan pesan untuk ending chapter ini, atau mungkin kesan dan pesan (juga kritik, jika ada) selama membaca cerita ini? Saya akan sangat senang untuk membaca respon-respon berbeda kalian;)
• Book ini tidak lepas dari banyak kekurangan, oleh karenanya Saya minta maaf yang sebesar-besarnya untuk kekurangan-kekurangan yang luput dari pengawasan dan perbaikan🙏
• Sekian kata penutup yang dapat Saya sampaikan. Semoga Anda semua memiliki hari 'biru' yang menyenangkan dan membahagiakan💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top