《33》

"Renjun-ah...."

"Ya? Aku di ruang tengah, kemarilah!"

Acara berbelanja dan menghabiskan waktu bersama berakhir saat langit sudah mulai gelap dan lampu-lampu lobby apartemen sudah dinyalakan. Setelah mengangkuti barang belanjaan mereka yang sangat banyak, Jeno langsung bergegas ke kamar mandi untuk mencuci kaki dan tangannya. Sementara Renjun memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya yang sangat pegal di sofa, menenangkan bayi di perutnya yang kembali aktif sekaligus mengeluarkan dan mengecek barang belanjaan mereka.

Teriakan Jeno tadi disusul oleh sosoknya yang muncul masih dengan setelan lengkapnya saat berangkat tadi; sweatshirt berbahan rajut dengan plaid pants yang ia gulung hingga sebatas betis. Kakinya sedikit basah dan wajah juga rambutnya tampak jauh lebih segar. Melihat tumpukan barang belanjaan mereka di sekitar Renjun membuat ia dengan sigap membereskan itu dan menyimpannya di dapur.

"Masih lelah ya?"

Renjun mengangguk kecil sembari memberi Jeno sedikit ruang untuk duduk di sampingnya. Saat akan menurunkan kakinya, tangan Jeno menahannya dan membuat Renjun tetap bertahan di posisi selonjorannya.

"Biar aku memijat kakimu."

"Tapi aku belum cuci kaki. Sebentar--"

Sekali lagi Jeno menahannya. Pria tampan itu tersenyum kecil saat Renjun memberikannya tatapan intimidasi, "Aku belum cuci kaki, Jeno."

"Lalu kenapa? Aku tidak keberatan dengan itu."

Renjun menyembunyikan wajah tersipunya dengan tersenyum masam. Submisif cantik itu kemudian memosisikan kembali kakinya dengan canggung dan menyerah untuk menolak Jeno saat telapak tangan suaminya itu sudah bergerak di sekitar betisnya. Mereka berdua menghabiskan momen singkat itu dalam diam.

"Renjun-ah...."

Jika Renjun terdiam karena atensinya teralih sepenuhnya pada lelah di tubuhnya, maka berbeda dengan Jeno. Sedari tadi ada substansi yang terus memenuhi otaknya dan rasanya ingin ia bagi dengan Renjun. Namun entah mengapa, tiba-tiba ia merasa ragu dan sedikit canggung untuk menyuarakannya. Apalagi saat menyadari bahwa kondisi istrinya sedang tidak terlalu baik sekarang.

"Hm? Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"

Jeno mengukir senyum tipis, tak kaget dengan respon halus dan hangat Renjun. Ia jadi agak menyesal karena membuang-buang waktunya dalam keraguan tadi. Sebagai seseorang yang sudah menghabiskan cukup banyak waktu bersama, harusnya ia tahu bahwa Renjun akan selalu berusaha 'ada' untuknya dalam berbagai situasi dan kondisi.

Perlahan gerakan tangannya di kaki sang istri terhenti. Ia menunduk untuk menyamarkan helaan napasnya yang berat, kemudian mendongak dengan matanya yang terlihat jauh lebih redup dan tak bersemangat.

"Mark Hyung.... tadi memarahiku."

Kekhawatiran di wajah Renjun sirna, terganti menjadi senyum geli saat mendengar redaksi kalimat suaminya, "Apa kenakalan yang dilakukan olehmu sampai Mark Hyung marah?"

Jeno ikut tersenyum kecil untuk penanggapan ringan itu. Ia beringsut mendekati istrinya sembari menggenggam tangan Renjun, "Karena aku berusaha membunuh diriku sendiri dan meninggalkannya dalam kebingungan."

Air muka Renjun berubah, begitu pun dengan Jeno. Keduanya diliputi atmosphere yang sangat kontras dengan keadaan sebelum ini, dan kebisuan menjadi jawaban sementara atas penanggapan dari ucapan Jeno tadi.

Renjun kembali merasakan perasaan tak nyaman dan dilema yang besar, yang kini membuat otaknya sibuk untuk memikirkan respon macam apa yang harus ia berikan. Tidak, ia bukannya mau bersikap naif dan menganggap bahwa semuanya baik-baik saja. Renjun tahu dan sadar betul bahwa ada masalah krusial di antara mereka yang ia tekan begitu saja. Sejak saat Jeno sadar dan menyambutnya kembali dalam perasaan haru yang dalam, Renjun sudah bersikap seolah-olah tak ada penghakiman yang berhak ia lakukan atas tindakan yang dilakukan suaminya.

Tindakan yang melukai hati sekaligus menenggelamkannya dalam kekecewaan, kesedihan, dan tanda tanya besar.

"Kamu--juga marah, kan?"

Marah? Apakah Renjun marah?

Apakah hanya sesederhana itu untuk menyimpulkan perasaan kacaunya saat Jeno--suami yang selama ini selalu membuat Renjun berusaha meyakinkannya bahwa ia akan selalu berada di sisinya--justru pergi begitu saja meninggalkannya yang telah mengucap janji setia? Apakah 'marah' bisa mewakili perasaan sedih, kecewa, bingung, takut, juga hampanya saat ia tahu bahwa hari itu Jeno pergi ke apartemennya bukan hanya untuk menyendiri, tapi juga membuat Renjun merana sendiri jika seandainya pria itu benar-benar pergi dari dunia ini?

Jika iya, maka Renjun akan mengakuinya.

Ya, ia juga marah. Sangat marah.

"Saat kita tidur bersama di hari pertama aku sadar, malam itu aku bertanya-tanya kenapa kamu menyambutku dengan begitu baik, dan tidak ada pertanyaan mendesak yang kau tanyakan?"

"Apa yang kamu mau aku lakukan sekarang?"


Benar, Renjun jadi bertanya-tanya, apa yang harus ia lakukan sekarang?

Sementara suaminya malah membisu, ia genggam balik tangan Jeno dengan erat, mencoba mencari kekuatan dan kehangatan di sana. Detik-detik berikutnya kemudian ia isi dengan ingatan-ingatannya tentang Jeno dan segala kenangan mereka. Dari awal mereka bertemu, berbagi kamar bersama untuk pertama kalinya, mengucap janji sehidup semati, sampai nyaris dipisahkan oleh kematian tak alami.

Renjun menghela napas berat, tapi kemudian tersenyum tipis dan menatap teduh mata tajam suaminya.

"Jeno-ya...."

"Kamu bisa melakukan apapun agar aku bisa menuntaskan perasaan bersalahku."

Suara Jeno terdengar lirih dan serak, pria itu agaknya tak yakin dengan apa yang ia ucapkan tadi. Namun tatapannya masih betah berada di pahatan wajah sang istri, menatapnya dengan detail mata yang sempurna.

Renjun tersenyum lelah, tangannya naik untuk mengelus pipi Jeno yang terasa dingin, "Apa yang aku dapat kalau aku menghukummu?"

"Perasaan puas?"

Kekehan ringan terdengar dari mulut Renjun. Dengan hati-hati ia menggerakan tubuhnya untuk memeluk sosok di hadapannya itu, menyatukan tubuh mereka seerat yang ia bisa dan menikmati detak jantung suaminya yang ikut mendebarkan jantungnya.

Seketika mata Renjun berkaca-kaca, dan tiba-tiba saja rasa takut yang ia alami saat hari itu kembali menghantamnya dan menyadarkannya betapa detak jantung itu lebih penting dan berarti dari ego serta rasa marahnya.


"Aku sudah puas hanya dengan mengetahui bahwa jantungmu masih berdetak, Jeno."


Suaranya menjadi serak, dan tanpa Jeno sadari ada penghapusan air mata yang diam-diam Renjun lakukan di balik pelukan hangat mereka.

"Aku terlalu egois dan begitu pecundang, Renjun.

Maafkan aku...."

Renjun menggeleng kecil. Ia melepas pelukan mereka dan mendapati wajah sendu Jeno yang terlihat lelah. Tangannya kembali tergerak untuk mengelus pipi tirus sang suami yang dingin.


"Aku tahu bagaimana perjuanganmu menghadapi hidup. Karenanya aku juga belajar memaknai bahwa apa yang kulalui kemarin, dan hari-hari berikutnya, juga sebagai suatu perjuangan."

"Aku mencintaimu, dan dari rasa cinta itu aku belajar bahwa cinta memang tidak selalu tentang janji, tawa, maupun suka.

Tapi lebih dari itu, cinta juga soal kembali menerima dan bertumbuh bersama dalam duka dan air mata."


Keduanya saling berpandangan dalam, dan tersenyum susah payah dalam sepasang mata yang buyar oleh air mata. Kini balik Jeno yang memeluk tubuh di hadapannya dengan hati-hati, menyelami kehangatan dan perasaan di antara mereka.


"Kalau kamu pecundang, maka aku akan menjadi rumah yang memenangkanmu."


Tidak masalah buatku untuk menjadi rumah si pecundang itu, Jeno."



-








Tadinya chapter ini mau jadi ending, tapi kayanya bakal kepanjangan dan takutnya ga dapet feelnya kalau disatuin sama ending scene.

Even it's feel boring but I hope you guys still enjoyed the story line until ending hehe xoxo all <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top