《28》
"Renjun-ah.... Bagaimana menurutmu kalau kita bercerai saja?"
Makan malam mereka kali itu akan menjadi makan malam terburuk yang Renjun ingat. Meski awalnya ia senang bukan main saat Jeno mau duduk di meja dan sepertinya akan menyantap makanan yang ia buat, namun tetap saja ia menyadari bahwa memang ada yang tak biasa di antara mereka. Suaminya itu lebih banyak diam dan menghindarinya belakangan ini, dan Renjun tak memiliki prasangka apapun selain mengkhawatirkannya.
Dengan jantung berdebar kaget dan napas yang rasanya tercekat, ia tatap Jeno yang berekspresi tak terbaca di depannya dengan tatapan lembut, "Kenapa? Apa kesalahan yang kulakukan?"
Ia tahu ada banyak hal yang dipendam suaminya sejak hari duka itu. Ia mengerti bahwa suaminya itu harus mendamaikan diri. Tapi, apakah salah satu bentuk dari pengasingannya itu juga sekaligus memikirkan soal perceraian mereka?
Hati Renjun berdenyut sakit jika mengingat bagaimana ia begitu yakin bahwa Jenonya akan kembali seperti dulu setelah mendiaminya selama berhari-hari kemarin.
"Jeno-ya...."
"Renjun-ah, kamu pantas bahagia....
dan itu jika kamu tidak bersamaku."
Napas Renjun tercekat, air matanya menganak dalam matanya yang semakin membuat pandangannya mengabur. Hatinya meringis sedih saat pria yang duduk di hadapannya itu tak melakukan apa-apa, tak berniat untuk menarik kata-katanya.
Usia kandungannya sudah menginjak bulan kelima, mereka sudah bisa melihat rupa bayinya. Dan itu yang ingin Renjun katakan di tengah suasana makan malam mereka jika saja Jeno tak mengucapkan kata-kata sakralnya tadi.
"Aku--aku tak pernah berniat meninggalkanmu...."
"Tapi suatu hari kamu pasti meninggalkanku, dan aku takut sekali dengan itu...."
"Lalu kenapa kamu melakukannya?"
Renjun berusaha tenang di tengah linangan air matanya. Ia berusaha mempersiapkan dirinya untuk mendengarkan penjelasan dari bibir pria yang mungkin sebentar lagi akan menjadi orang lain baginya itu. Namun nihil, Jeno tak mengatakan apa-apa. Pria itu hanya berdiri kemudian mendekat ke arahnya, memeluknya dengan lembut dan perlahan.
"Karena aku mencintaimu...."
Isakannya semakin kuat, hatinya kembali meringis sakit. Selama ini, tak pernah ada pengungkapan cinta eksplisit yang diungkapkan keduanya, dan Renjun tak pernah keberatan dengan itu. Ia hanya butuh Jeno. Ia hanya menginginkan terus bersama pria itu bagaimana pun keadaannya.
Lalu sekarang, saat ungkapan itu diutarakan olehnya dengan lirih, apakah harus Renjun simpan sebagai sebuah lambang perpisahan dan pengkhianatan janji sehidup semati mereka?
-
-
Malam itu Jeno mengungsikan diri ke apartemen pribadinya, meninggalkan Renjun sendiri di kediaman mendiang sang papa. Seperti ada kesepakatan tak tertulis dan tak terucap dari belah bibir keduanya bahwa masing-masing dari mereka akan menenangkan diri setelah makan malam tadi. Renjun mencoba mengerti, tanpa banyak bicara, ia membiarkan sang suami meninggalkannya di kediaman besar itu.
Di masing-masing tempat yang berbeda keduanya memikirkan substansi persoalan yang tak sama. Renjun masih diselimuti kebingungannya, masih berdebat soal apa dan mengapa. Ia berusaha berpikir jernih dan menemukan benang persoalannya. Meski bias, namun ia tetap menerka-nerka, apa yang sebenarnya terjadi? Apa kekeliruan yang dilakukannya hingga Jeno memilih jalan yang tak pernah ia pikirkan bahkan tak berani untuk ia bayangkan ini?
Sementara di kamarnya yang sepi, Jeno menghabiskan sisa malam yang dimilikinya dengan menangis sendirian. Bayangan soal Renjun yang tadi menangis di hadapannya kembali tercipta dan membuat hatinya berdenyut sakit. Sekali lagi ia menghakimi dirinya sendiri. Sekali lagi ia melabeli dirinya yang tak pernah mampu memantaskan diri untuk orang-orang yang ia cintai sepenuh hati. Selalu ada alasan mengapa orang-orang itu pantas pergi meninggalkannya dan alasan itu adalah dirinya sendiri.
Ia menyedihkan, rusak, dan sakit.
Jeno hidup di bawah bayang-bayang perpisahan dan akan mengakhirinya sekarang.
Ia akan mengakhiri semuanya.
-
-
Renjun tak menghabiskan waktu tidurnya dengan baik tadi malam. Ia bangun dengan kepala yang sedikit pening dan perasaan sedih saat menyadari bahwa tak ada Jeno di sampingnya. Seperi biasa, ia bangun pagi untuk membuat sarapan, tapi kali ini ada desahan kecewa saat tahu bahwa tak ada subjek yang membuatnya semangat untuk turun dari kasur dan bergegas membuat masakan di dapur.
"Selamat pagi. Jangan lupa sarapan. Kamu tidak makan apapun semalam."
Ia tersenyum sedih menatap pesan yang baru dikirimkannya kepada Jeno. Renjun tak mengharapkan balasan apapun. Ia hanya menginginkan perasaannya membaik dari semua hal yang memenuhi kepalanya sejak tadi malam. Bukan hanya perihal perceraian yang pria itu ajukan, tapi bahkan hingga hal-hal kecil yang kini menumpuk membentuk benang rumit di kepalanya. Apakah pria itu makan tadi malam? Apakah ia akan pergi ke luar hanya untuk sekedar membeli makanan? Apakah ia melakukan hal-hal menyenangkan untuk sekedar menenangkan dirinya sendiri? Apakah Jeno kembali memikirkan soal ajuan perceraian mereka yang ia sampaikan tadi malam?
Renjun menghela napas lelah. Ia menyerah soal substansi pikirannya yang terakhir. Semalaman tadi ia berusaha untuk berpikir jernih, menilik semuanya dari perspektif dan sudut pandang yang berbeda. Jika pada awalnya ia terus bertanya 'apa salahnya?', maka Renjun kali ini memberanikan diri untuk bertanya dengan redaksi dan substansi kalimat yang berbeda.
Apa yang terjadi dengan suaminya?
Untuk meyakinkannya, Renjun butuh teman bicara. Ia butuh sudut pandang lain untuk memunculkan perspektif serta kemungkinan lain yang bisa membantunya. Karenanya, dengan yakin, ia merencanakan pertemuan dengan seseorang yang mungkin bisa membantunya.
"Hallo Nana? Bisa kita bertemu pagi ini?"
-
-
Jaemin datang ke kediaman utama itu saat jarum jam mencumbu angka sembilan lewat sepuluh. Ia yang bersikeras untuk datang ke sana saat Renjun mengajak bertemu di tempat yang tak jauh dari kediaman sahabat suaminya itu terlihat sangat segar dan bersemangat. Tanpa diantar suaminya, Jaemin menguarkan aura positif yang membuat Renjun merasa jauh lebih santai saat keduanya berbincang di taman belakang.
"Mau kubuatkan kopi? Aku sebenarnya tidak terlalu mengerti tapi mungkin kopi yang biasa diminum Jeno juga bisa kau minum?"
Jaemin menggeleng dengan senyum lebar, "Tidak tidak. Aku sedang mengurangi konsumsi kopiku sekarang."
Alis Renjun tertaut bingung, "Hm, kenapa?"
Si manis di depannya itu terkekeh kecil sembari menaruh satu tangannya di perut ratanya, "Aku hamil. Dan yah.... aku tahu bahwa mengonsumsi kopi berlebih tidak baik untuk janinku yang masih sangat baru."
Mata Renjun membulat kaget. Tangannya terangkat untuk memeluk tubuh langsing yang dibalut sweatshirt pink itu, "Kenapa baru memberitahuku sekarang? Sudah berapa minggu umurnya?"
Jaemin masih betah mempertahankan tawa lebarnya yang Renjun sadari sebagai luapan dari kebahagiaannya saat ini. Ia tahu bahwa teman barunya ini sudah menantikan kehadiran buah hati sejak lama. Renjun tak menampik bahwa ia juga turut merasakan kebahagiaan yang besar meski kesedihan tengah melandanya sekarang.
"Coba tebak, kamu tidak akan percaya! Hitungnya sudah bukan minggu lagi, tapi bulan, dua bulan!"
"Apa? Jadi saat kemarin kamu sibuk di sini itu, kamu sudah hamil?"
Jaemin mengangguk senang, "Ya, tapi kemarin itu aku belum tahu. Entahlah, anakku sepertinya terlalu malas untuk menyambut orang tuanya di dalam sana. Makannya dia tenang-tenang saja dan membuatku seperti orang bodoh yang tidak menyadari kehadirannya."
Tangannya yang panjang terulur untuk menyentuh perut besar Renjun, "Berarti anak kita akan beda tiga bulan ya? Hm, sepertinya anakmu akan gemuk nanti."
Renjun terkekeh kecil, "Ya...."
Ia ikut menyentuh perutnya sendiri, merasakan bayinya yang mulai bergerak aktif di sana. Rasa sedih kembali menghinggapi hatinya saat membayangkan tangan besar Jeno yang seharusnya juga merasakan pergerakan ini.
"Oh ya, ada apa kamu mau bertemu denganku? Apa kamu tidak berangkat bekerja?"
Renjun tersadar dari lamunannya dan mendapati wajah manis Jaemin yang menatapnya dengan ceria. Ia menghela napas kecil saat menyadari bahwa kebahagiaan sesaat mereka harus dihancurkan oleh masalah utamanya.
"Jeno.... meminta bercerai."
Rahang si manis di depannya jatuh dan itu semakin membuat Renjun meringis kecil, "Aku tidak tahu apa yang terjadi, karenanya aku butuh pandanganmu sebagai sahabatnya Jeno."
Wajah cerah Jaemin berubah menjadi murung. Pandangannya berubah menjadi canggung, "Kamu tidak berpikir dia main di belakang kan?"
Renjun menggeleng lemah, "Tidak. Aku tidak pernah berpikir ada orang ketiga di antara kita. Atau ada permasalahan umum penyebab perceraian lainnya...."
"Lalu?"
Renjun menghela napas dalam, "Kamu tahu soal depresinya Jeno?"
Jaemin tidak kaget mendengar itu, tapi tetap saja ia masih merasa asing saat telinganya mendengar sesuatu yang tabu baginya itu. Ia menyadari bahwa memang ada sesuatu pada diri Jeno, sesuatu yang membuatnya berbeda. Sahabat kecilnya itu adalah alasan mengapa Jaemin selalu bersikap ceria saat bersamanya karena ia tahu bahwa itulah yang Jeno butuhkan, tertawa, kesal, atau marah-marah kepadanya. Semuanya asal bukan bersedih atau murung.
Dan nampaknya Jaemin keliru dengan caranya itu.
"Aku tidak begitu yakin. Tapi aku tahu bahwa Jeno sempat menjadi orang yang sangat anti dengan cinta dan pernikahan."
Jaemin tersenyum kecil dan meraih tangan Renjun untuk ia genggam, "Karenanya, aku agak kaget saat kalian melangsungkan pernikahan kemarin. Tapi saat tahu bagaimana dirimu, aku tidak heran lagi."
"Kamu memang ditakdirkan untuk Jeno, Renjun-ah...."
Renjun terharu mendengar itu. Matanya berkaca-kaca saat Jaemin kemudian membawanya ke dalam pelukan hangat. Tangisnya pecah dalam diam saat tangan dari sahabat suaminya itu mengelus punggungnya lembut.
"Tapi--tapi sekarang Jeno ingin berpisah dariku, Jaemin-ah...." ujarnya lirih sembari menahan isak. Jaemin tak mengatakan apa-apa selain menenangkan tubuh mungil yang bergetar itu. Ia mengerti bahwa Renjun harus memuaskan tangisnya saat ini.
"Renjun-ah...."
Jaemin berbisik hati-hati, sebisa mungkin berusaha untuk membuat teman barunya itu tetap merasa nyaman dalam pelukannya, "...aku tidak tahu apa yang terjadi, tidak yakin apa masalah pastinya. Tapi satu yang hal aku yakini...."
Si manis Na itu tersenyum kecil saat merasakan tubuh Renjun yang mulai tenang.
"...bahwa cinta Jeno masih lebih kuat dari keinginannya untuk pergi."
Pergi
Renjun tersentak mendengar itu. Ia segera melepas pelukan mereka dan mendapati tatapan menerawang Jaemin.
"Kita tidak pernah tahu perpisahan macam apa yang Jeno maksud, kan?
Bisa jadi itu bukan hanya sekedar perpisahan biasa, Renjun-ah...."
-
-
Dua puluh lima jam dan sebelas goresan tangan.
Jeno menatapi putaran jam yang menciptakan satu-satunya suara di ruangannya itu dengan pandangan lelah. Lampu kamarnya yang gelap membuatnya tak begitu yakin jam berapa dan berapa lama waktu yang ia habiskan untuk menangis sendirian. Udara yang dibawa langit gelap seolah menusuki tulang dan tubuhnya yang lelah. Dalam bias sadarnya ia membutuhkan kehangatan sekarang.
Tubuhnya yang lemas ia bawa menuju nakas. Sebuah surat yang terlipat dan tas belanja berbahan kertas teronggok bisu di sana. Tangannya membuka tas kertas itu kemudian menemukan sesuatu yang pasti dapat menghangatkannya malam ini. Menghangatkan sekaligus membawa kegelapannya pada sebuah kedamaian.
Briket batu bara itu ia bakar dan ia biarkan menguarkan asap. Sementara tubuhnya ia lelapkan pada ranjangnya yang berantakan. Kesadarannya yang semakin menipis seiring dengan kepulan asap itu kemudian memunculkan wajah-wajah untuk ia kenang. Wajah-wajah yang membawa tidurnya dalam kedamaian.
Kedamaian yang kekal.
-
-
Selepas mencerna baik-baik ucapan Jaemin pagi tadi, Renjun tak bisa berhenti untuk berpikir. Dan kini, pergulatan otaknya itu malah membawanya pada serangan panik yang tak berdasar. Objeknya masihlah sama, Jeno masih merajai pikirannya. Hanya kali ini, esensi dari pemikirannya itu benar-benar berbeda. Sesuatu yang bahkan tak kuasa ia jadikan sebagai sebuah kemungkinan sekarang.
Jeno-nya, mengapa ia begitu tak peka bahwa bisa saja suaminya itu melakukan hal-hal buruk selama ia biarkan sendirian di sana? Mengapa ia bisa begitu lengah untuk tak menyadari bahwa Jeno menghadapi kembali kondisi krisisnya selama belakangan ini?
Renjun menangis frustasi. Dadanya sesak juga sakit. Ia bahkan baru menyadari bahwa suaminya itu menyakiti dirinya sendiri selama ini. Goresan pisau di tangannya, menolak untuk makan, bahkan hingga pengonsumsian obat yang melebihi dosisnya.
"Lucas Ge!"
Ia harus mengakhiri semuanya sekarang. Tak peduli hari sudah semakin larut, Renjun harus mendatangi kediaman Jeno secepat yang ia bisa.
Sambungan telepon dijawab Lucas dengan cepat. Sepupunya itu terdengar panik saat mendengar isakannya.
"Renjun-ah, ada apa?!"
"Bisakah kau datang ke apartemen kami sekarang? Aku akan menyusul secepat yang kubisa."
Tanpa mengindahkan pertanyaan rinci Lucas, Renjun segera menggunakan jaketnya dan meminta supir pribadi mertuanya untuk mengantarnya ke apartemen Jeno. Renjun sadar bahwa ia tak mungkin memintanya untuk menyetir dengan cepat, apalagi jarak dari rumah mertuanya dan apartemen sang suami cukup jauh. Karenanya, ia meminta bantuan Lucas yang mungkin bisa sampai lebih dulu ke sana.
Sepanjang perjalanan Renjun tak henti-hentinya menghubungi nomor Jeno, dan sama seperti sebelumnya, hanya suara operator wanita yang memberitahukannya bahwa nomor itu tak bisa dihubungi sekarang.
Dalam kepanikannya yang luar biasa, ia tak dapat lagi menahan tangis frustasinya. Tangis frustasi yang memuncak saat netranya dengan jelas melihat kerumunan petugas medis di depan pintu apartemen sang suami, dengan Lucas yang menyambutnya dengan wajah sedih.
"Renjun-ah...."
Pria tinggi itu memeluknya dengan lembut, membiarkan bahunya dijadikan sandaran oleh tangis Renjun yang semakin menjadi, "Jeno keracunan gas karbonmonoksida."
"....dalam upaya bunuh diri yang dilakukannya."
Haii, endingnya sudah mulai kecium ya uhuk *cough*
Btw, aku ketawa dong baca komentar kalian di chap kemarin. Mayoritas ngutuk uri samoyed yang malang ini ya uhuhu tapi tetep aja aku ketawa:'D (karena itu lucu banget asli wkwkwk)
Oh ya, kemarin ada yang nanya juga ya di komentar soal self esteem. Jadi (kujelaskan secara singkat ya) self esteem itu adalah harga diri yang mendasari persepsi kita terhadap diri kita sendiri. Self esteem yang rendah bisa ditandai dengan kita merasa bahwa diri kita ngga berharga, diri kita ga berguna, diri kita tidak diinginkan, tidak dibutuhkan dan lain-lain. Perasaan inferioritas yang berlebihan biasanya mengindikasi bahwa kita punya self esteem yang rendah.
Kalau di sini bisa juga sih Jeno dikatakan memiliki self esteem rendah, karena emang yang mendasari dia ingin bercerai itu ya bukan apa-apa selain perasaan bahwa 'dia tidak layak untuk Renjun'. Agak susah dicerna dan terkesan paradoksial ya? Tapi dalam dunia seseorang yang depresi itu mungkin kok! Termasuk Jeno yang udah terlanjut larut dalam asumsinya bahwa ia tidak akan 'pernah sembuh' dan akan selalu menjadi beban untuk orang-orang di sekitarnya, termasuk Renjun.
Satu lagi, substansi paling utama yang jadi esensi dari pemikiran Jeno di sini adalah, "Lebih baik pergi dan meninggalkan sebelum ditinggal pergi untuk kesekian kali."
Hehe, gimana? Udah ngerti belom?:D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top