《26》

Jeno merasa sedih, sesak, dan takut luar biasa.

Dalam ketertundukannya, diam-diam ia mengamati orang-orang di sekitarnya. Mereka semua berwajah muram, bahkan di antaranya ada yang menangis menahan isak. Kepalanya terasa berat saat memori serupa mengingatkannya pada situasi yang sama. Bertahun-tahun silam, di misa pemakaman ibunya.

Situasi serupa kini kembali menghimpit dirinya dalam dunia yang gelap. Dulu, dulu sekali saat Jeno menangis terisak-isak di depan peti mati ibunya, sang ayah ada di sampingnya dan menepuki bahunya pelan, mengisyaratkannya yang dulu masih sangat kecil itu untuk tegar. Jeno sempat marah untuk itu, marah untuk tuntutan yang mengharuskannya menahan tangis. Marah untuk tuntutan yang mengharuskannya terlihat baik-baik saja selepas momen perpisahan paling menyakitkan yang ia alami di usianya yang masih sangat dini. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemarahan yang sama. Kemarahan untuk kebingungannya, untuk rasa penasarannya, untuk kesepiannya, untuk kekosongan di hidupnya setelah sang ibu meninggalkannya secara tiba-tiba.

Jeno pernah semarah itu, sebelum semuanya terenggut dalam rasa yang jauh lebih sesak.

Sekarang, tidak ada lagi tangan sang papa yang menepuki bahunya. Tak ada lagi rangkulan sayang yang diam-diam pria itu berikan selepas prosesi pemakaman. Tak ada pelukan hangat yang pria itu berikan saat Jeno menumpahkan tangisnya di rumah. Tak ada kata-kata sederhana yang diucapkannya sebagai penenang untuk isak tangisnya.

Semuanya kini hanya kenangan yang terlambat untuk ia sadari keberhargaannya.

Jeno berdiri sendiri dengan rasa takut paling dalam yang ia miliki. Ia menatap orang-orang di sekitarnya dengan nanar, merasa bahwa keberadaan mereka semua begitu samar dan menakutkan. Mereka semua, mereka yang kini turut menangisi kepergian sang ayah, adalah orang lain baginya. Tak ada satupun dari mereka yang mampu membuat Jeno merasa masih memiliki tempat bersandar selayaknya sang ayah yang dulu memberikannya perasaan itu. Jeno tak bisa berharap akan ada yang menepuk pundaknya, akan ada yang menenangkannya, akan ada yang membiarkannya menangis terisak-isak, akan ada yang mengatakan bahwa semuanya pasti baik-baik saja setelah ini.

Jeno sendirian. Semua sosok di sekitarnya terasa bias. Semuanya adalah orang lain yang suatu saat akan meninggalkannya tanpa sungkan.

Termasuk istrinya.

-

-

Duduk di kamarnya yang sepi, Jeno memandang kosong pada jendela yang godennya tersibak, menyisakan tirai putih tipis yang menghalau cahaya dari luar. Mentari yang sesaat lagi akan kembali ke peraduannya itu membiaskan cahaya hangat yang seolah memeluk kesendiriannya. Kehangatan familiar yang biasanya mengiringi langkah kaki sang papa yang datang sebelum duduk di sampingnya, ikut serta menontoni fenomena alam yang memerantarai pergantian siang dan malam itu.

Orang-orang yang sejak pengkremasian jenazah masih terus silih berdatangan itu tak ia hiraukan. Jeno tak siap dengan keadaan ini. Semua orang yang datang menyuguhinya tatapan iba, memberikannya kata-kata penyemangat yang tak berguna. Mereka semua tak tahu bahwa tubuh yang mereka ajak bicara itu adalah tubuh yang jiwanya telah mati. Tubuh yang jiwanya ikut terbakar dan hilang dalam kehampaan yang suram. Kehampaan yang tak bereksistensi.

Lagi, dadanya kembali sesak menahan sakit. Dulu, ia akan bersembunyi di balik sosok papanya dan melewati narasi menyakitkan ini hanya sebagai bayangan. Tapi kini, ialah pemeran utamanya. Semua orang melihatnya sebagai si pemeran utama yang menyedihkan.

Dalam rasa frustasi dan sesak yang semakin menjadi, pria itu membayangkan seluruh alur kehidupannya setelah ini. Dalam rasa sakit yang semakin menikam dadanya, pria itu menangis dalam lirih, membayangkan berapa narasi perpisahan lagi yang harus ia lakoni.

"Papa ada di sini.... dan akan melakukan yang terbaik agar hidupmu tetap baik-baik saja setelah ini."

Mata Jeno semakin memanas saat otaknya memunculkan sosok itu yang kini seolah-olah berada tepat di sampingnya, duduk berdua dengannya sembari menikmati sore yang mereka miliki untuk terakhir kali.

"Papa...." panggilnya serak, matanya yang memanas mengalirkan banyak tetesan air mata dibarengi isakannya yang semakin menjadi. Jeno tak bisa berkata apa-apa lagi saat bahunya yang menunduk menahan getar seolah merasakan kembali elusan hangat dari tangan yang tak mampu lagi ia genggam. Bayangan sang papa di sampingnya begitu nyata hingga rangkulan penuh kasihnya yang membuat Jeno terisak hebat.

Rangkulan paling tulus yang terlambat ia sadari esensinya.

"Semuanya akan baik-baik saja.

Jeno anak baik..... jadi semuanya pasti akan baik-baik saja."

"Ada Papa di sini...."

-

-

Renjun mengelus perutnya yang kembali terasa keram dan kepalanya yang berdenyut pening. Sejak pagi mengurusi upacara pemakaman hingga kremasi membuatnya tak sempat melahap banyak makanan, bahkan hingga melupakan susu kehamilannya. Ia benar-benar dibuat lupa jika ada janin mungil yang membuat perutnya membuncit sekarang.

"Duduklah dulu, Jun. Wajahmu pucat sekali." Ujar Sicheng sembari memapahnya duduk. Renjun hanya menurut saat kakak sepupunya itu memberikannya segelas air hangat. Sejak tadi ia memang mengeluhkan mual, jadi yang bisa masuk ke perutnya untuk sementara hanyalah air hangat. Efek dari stres yang mendadak ini membuatnya harus kembali bergelut dengan morning sick yang sebelumnya sudah tak ia rasakan lagi sejak usia kandungannya memasuki bulan keempat.

"Sambil menunggu Paman dan Bibi datang, sementara aku akan menginap di sini sambil membantumu mengurusi ini semua. Hera dan rumah akan kutitip pada Jaehyun dan Lucas. Mereka juga mungkin akan sering datang untuk menghibur Jeno saat keadaan sudah mulai kondusif."

Renjun tersenyum tipis sembari mengangguk kecil, merasa sangat terbantu dengan Sicheng yang sangat berperan besar sejak mereka di rumah duka hingga sekarang harus kembali sibuk menjamu tamu-tamu penting di kediaman utama mertuanya. Kakak sepupunya ini seolah mewakili orang tua Renjun yang baru bisa datang lusa nanti karena pekerjaan mereka sebagai Aparatur Sipil Negara yang membuat keduanya tidak mudah meninggalkan pekerjaan begitu saja. Dengan keberadaan kerabat Jeno yang sangat terbatas dan nyaris tidak begitu dekat, maka Renjun merasa bahwa pihaknya memiliki tanggung jawab besar untuk mengurusi peristiwa duka ini.

"Aku dan Haechan juga akan datang lagi besok pagi, Jun. Kami yakin mendiang Paman memiliki banyak tamu yang akan memberikannya penghormatan terakhir, rumah akan begitu sibuk sampai beberapa hari ke depan."

"Terima kasih, Jaemin."

Sahabat suaminya itu mengangguk sembari tersenyum tulus. Mengambil duduk di sampingnya, tangan milik istri Mark itu menyodorkannya sepiring kecil puding coklat yang tadi dibuat Haechan.

"Coba makan ini. Perutmu setidaknya harus terisi."

Renjun mengangguk kecil dan mulai menyendokkan potongan puding itu ke mulutnya. Setelahnya ia merasa bersyukur karena perutnya dapat menerima itu. Keramnya juga mulai membaik meski kepalanya masih agak pening.

"Oh ya--apakah kau dan Mark Hyung sudah makan? Aku minta maaf karena tidak menjamu kalian dengan baik."

Kepala bersurai coklat gelap itu menggeleng cepat, "Jangan sungkan, aku merasa memiliki tanggung jawab juga mengingat Jeno adalah sahabatku sedari kecil. Lagipula rencananya nanti malam kita akan mengadakan makan malam bersama di sini. Aku, Sicheng Hyung, dan Haechan yang akan mengaturnya."

"Aku juga akan membantu, Jaemin."

"Tidak."

Jaemin menggeleng lagi, kali ini dengan wajah yang lebih serius, "Kamu tenangkan Jeno dulu. Aku yakin kalian butuh waktu berdua untuk menenangkan diri."

Sicheng mengamini itu sembari mendudukkan dirinya di samping Jaemin, "Ya, kami sudah berkoordinasi. Biar Jaehyun dan Papa Yunho yang nanti menjamu tamu. Aku, Jaemin, dan Haechan yang akan mengurus dapur selama beberapa hari ke depan selama masa duka. Lagipula meskipun nanti orang tuamu datang, aku tidak yakin kalian tidak akan kewalahan."

Mata Renjun seketika memanas mendengar itu. Hatinya merasa terenyuh untuk perhatian dari orang-orang di sekitarnya yang tak ia sangka akan sebesar ini. Meski tak ditunjukkan secara eksplisit, namun Renjun tahu bahwa mereka semua tulus membantunya.

"Terima kasih...."

Wajahnya yang masih sembab dan pucat kembali dialiri air mata. Renjun tak dapat menahan tangisnya saat tubuhnya yang lemas dipeluk dengan hangat oleh tangan Sicheng.

"Yang kuat, Renjun. Jeno sangat membutuhkanmu...."

Renjun mengangguk samar dalam isakannya yang tak mampu lagi ia tahan. Jenonya, ia kembali mengingat sosok sang suami yang tanpa sadar menyita seluruh rasa cemasnya yang setelah acara kremasi kemarin terus mengurung diri di kamar. Mereka bahkan tak banyak bertukar kata, seolah sibuk dalam kubangan kesedihan di masing-masing benak. Tapi jauh di dalam hatinya, justru orientasi dari kesedihannya saat ini adalah sosok suaminya itu. Renjun terlalu mencemaskan keadaan Jeno hingga tak mampu untuk sekedar menguatkan sosoknya lewat kata-kata.

Renjun terlalu takut dirinya tak cukup kuat untuk menguatkan Jeno yang tengah tenggelam dalam kesedihan terdalamnya.

-

-

Acara makan malam dalam suasana duka itu berlangsung sangat sepi dan sedikit mencekam. Semua yang duduk dan menikmati hidangan masih setia dengan wajah muram mereka, seolah menghormati suasana duka yang menyelimuti mereka semua. Jaehyun dan Mark adalah orang yang mengambil alih kepemimpinan sekaligus mengatur jadwal mereka besok pagi dan kemungkinan keterlibatan mereka selama hari-hari berkabung. Keduanya sangat menyadari bahwa sang tuan rumah masih berada dalam batas sadarnya, karenanya mereka juga menghormati saat Jeno izin meninggalkan meja makan terlebih dahulu untuk beranjak ke kamarnya di lantai dua.

"Tenangkan dirimu dulu...." bisik Haechan sembari mengelus tangan Renjun sembari menahannya yang akan segera menyusul Jeno. Dengan wajah sedih, Renjun mengangguk lesu kemudian memaksakan senyumnya saat suara Jaehyun bergema beberapa saat setelahnya.

"Karena hari sudah semakin larut, kita bisa pulang sekarang, kecuali Sicheng dan Haechan-ssi yang akan menemani dan membantu Renjun di sini. Kebetulan aku sudah mengosongkan jadwalku hingga seminggu ke depan, begitu pun dengan Mark-ssi. Kami berdua sudah berkoordinasi untuk membantu selama hari-hari berkabung mengingat orang tua Renjun baru bisa datang lusa nanti dan beberapa kerabat Jeno-ssi harus meng-handle yayasan sementara ini."

Semua yang ada di sana mengangguk mengerti. Dalam ketertundukannya, Lucas diam-diam melirik Haechan yang sedari tadi banyak terdiam. Tugasnya yang turut membantu sang kakak ipar dan sahabatnya dalam menjamu tamu membuatnya sulit menyempatkan waktu untuk berbincang dengan teman dekatnya itu.

"Jaehyun Hyung...."

Pergerakan meninggalkan meja makan terhenti saat suara Lucas bergema.

"Bi--bisakah aku juga menginap di sini? Aku akan bertanggung jawab menjaga keamanan."

Ujaran gugup Lucas dibalas senyum kecil Jaehyun, "Kalau kamu tidak keberatan, tidak masalah. Oh ya, Renjun mengizinkan, kan?"

Yang dimintai persetujuan hanya mengangguk kecil sembari tersenyum tipis, "Terima kasih, Lucas Ge...."

Acara makan malam dan koordinasi singkat itu berakhir saat jarum jam merangkak hendak mencium angka sembilan. Semuanya meninggalkan kediaman besar itu dan meninggalkan empat orang lainnya yang membantu sang asisten rumah tangga memberesi meja makan.

"Haechan dan SichengGe bisa tidur bersama di kamar tamu di lantai satu. Lucas Ge akan tidur di kamar sebelahnya. Kamarnya sudah kucek dan kupastikan layak untuk digunakan."

Mereka bertiga mengangguk kemudian membiarkan Renjun meninggalkan dapur terlebih dahulu. Ketiganya menyadari bahwa sejak tadi fokus dari si calon ibu itu tak benar-benar ada bersama mereka semua. Jelas sekali jika atensinya mulai kabur sejak sang suami meninggalkan meja makan beberapa saat yang lalu.

"Sicheng Ge, istirahatlah duluan. Gege pasti lelah karena mengurusi ini dan itu seharian."

Yang baru saja akan mengurusi piring kotor di wastafel itu mengangguk setuju sembari tersenyum kecil. Setelah berterima kasih kepada Haechan yang mau mengambil alih pekerjaannya, tubuh tinggi itu langsung meninggalkan kesibukan, memberikan ruang lebih kepada Haechan dan Lucas yang ia sadari semakin dekat akhir-akhir ini.

"Kamu juga seharusnya beristirahat. Biar asisten rumah yang membereskan itu."

Lucas membuka suara selepas kepergian kakaknya. Ia memandang Haechan yang mulai berjibaku dengan tumpukan piring di hadapannya dengan raut wajah serius.

"Aku harus mengalihkan pikiran yang menggangguku."

"Apa yang kau pikirkan?"

Tangan yang sudah terlapisi sarung tangan cuci piring itu berhenti sejenak sebelum kembali tergerak untuk meraih satu piring di tumpukan teratas. Senyumnya terkembang kecil saat tatapannya kini menerawang jauh. Helaan napasnya terdengar berat setelah itu.

"Orang tuaku."

Ia mengucapkannya dengan nada suara yang tenang, namun juga lirih dan dalam. Lucas yang masih setia memandangi sosok di depannya dari tempatnya duduk sekarang menyadari bahwa ada raut tak biasa yang tergurat di wajah manis teman dekatnya ini.

"Haechan-ah...."

Saat atensi itu teralih ke arahnya, Lucas beranjak dari duduknya dan memberanikan diri untuk menyentuh pundak yang lebih pendek dengan tatapan teduh miliknya.

"...ayo bercerita. Aku akan mendengarkanmu semalaman ini."

-

-

Suasana kamar yang dibukanya dengan pelan dan hati-hati itu terasa begitu dingin dan hening. Sang pemilik utamanya sudah bergelung di balik selimut tebalnya, tak bergeming meski langkah kaki terdengar jelas menghancurkan keheningan di sana.

"Jeno-ya...."

Dengan suaranya yang masih serak, Renjun mengelus surai lepek suaminya itu dengan lembut. Tatapannya berubah teduh saat mendapati Jeno yang nampaknya sudah terlelap damai. Bibirnya terhantar untuk mengecup kening putih suaminya sebelum ia menyusul tidur.

Namun niatnya itu terintrupsi oleh rasa paniknya yang tiba-tiba datang saat menyadari permukaan kulit suaminya yang hangat.

"Jeno...."

Bersamaan dengan itu, mata sipit yang tajam itu terbuka dan menampilkan kesembabannya yang masih sangat kentara.

"Kamu demam hm?"

Renjun membawa kepala Jeno ke dalam pelukannya saat suaminya itu bangkit dengan raut paniknya. Ia mengelusi kepala hangat itu dengan penuh sayang sembari mengecupinya lembut.

"Kamu demam, Jeno? Merasa tidak enak badan? Aku lap tubuhmu dengan air hangat ya?"

"Ti--tidak. Jangan kemana-mana." Jeno berkata dengan suara yang bergetar. Tubuhnya kemudian sedikit menggigil kedinginan yang membuat kekhawatiran Renjun semakin menjadi-jadi.

Sebelum acara makan malam tadi, suaminya ini belum mengisi perutnya sama sekali dan lebih banyak mengurung diri di kamar. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi kepada suaminya yang malang ini.

"Kamu demam Sayang. Kubuatkan sup hangat ya, habis itu minum o--"

"Aku--aku kedinginan, Renjun...."

Suara Jeno semakin serak. Tubuhnya yang menggigil berubah menjadi getaran isak. Lingkaran tangannya di tubuh sang istri semakin mengerat saat tubuhnya memberikan serangan fisiologis yang membuatnya tak nyaman.

"Jangan tinggalkan aku--aku...."

Suaranya beradu dengan isakannya yang semakin kuat. Ia sudah tak bisa menahan semuanya. Perasaan dan ketakutan yang menghinggapi jiwanya terus menikamnya secara bertubi-tubi, tak membiarkannya tenang barang hanya sesaat. Elusan tangan sang istri di kepalanya bahkan terasa begitu bias pun dengan kehadirannya yang kini semakin melebarkan kecemasan dan ketakutannya.

Dengan tubuh bergetar hebat, wajahnya yang sudah dikacaukan oleh tangis memberanikan diri untuk terdongak, menatap sang istri yang sudah ikut terisak kecil sembari masih mengelusi surainya. Batin Jeno semakin sesak saat membayangkan bahwa sosok yang tengah memeluknya saat ini suatu saat juga akan memudar dan menghilang. Istrinya ini juga suatu saat akan dengan tega meninggalkannya.

Batinnya menertawai dirinya dengan jahat, menamparnya pada kenyataan dan kemungkinan terburuk yang pasti akan kembali menghantuinya dalam mimpi mengerikan tak berujung. Jika ibu dan ayahnya saja bisa meninggalkannya dengan begitu tega, apalagi Renjun yang hanya ia ikat sebagai istrinya?

"Renjun-ah...."

Menyerah dalam rasa lelahnya yang luar biasa, Jeno memilih untuk menutup matanya di tengah kesedihan dan ketakutan yang masih terus menikamnya secara tak kasat mata.

"Aku lelah sekali...."

Saat matanya terpejam, ada sedikit harapan akan sebuah kedamaian bersamaan dengan kecupan penuh air mata Renjun di keningnya.

Jeno tersenyum samar, berharap kecupan itu adalah hal manis terakhir yang mengantarnya pada tidur damai yang kekal.




"...rasanya, aku ingin terlelap dalam tidur damai selamanya."














Hallo! Jangan bosen dulu ya, konflik esensialnya baru mau dimulai nih hehe.




















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top