《24》

Noted : Yang berkenan mohon baca catatanku di bawah ya, terima kasih:)

(Anyway, yang baca ini malam ini aku ucapkan selamat bermalam minggu. Yang bacanya besok, maka 'happy sunda' for you all <3 )

-

-

Semenjak Renjun hamil, banyak hal yang berubah dalam kehidupan pernikahannya dengan Jeno. Suaminya yang tak terduga itu menjadi jauh lebih terbuka, cerah, juga ekspresif dan apa adanya. Ia jadi tak segan untuk menunjukkan sifat manjanya, tingkah kekanakannya, juga sisi romantisnya yang dulu selalu ditunjukkannya secara malu-malu.

"Kenapa kehamilanmu santai-santai saja huh?"

Suatu pagi Jeno pernah bertanya seperti itu. Masih dengan kaus tidur dan wajah mengantuknya meski baru saja mencuci muka, ia menempeli istrinya yang tengah bergelut dengan rutinitas paginya. Tangannya diam-diam merengkuh pinggang berisi Renjun, masih agak malu-malu meski kepalanya sudah tak tahan ingin bertengger di bahu hangat itu.

Mendapati sosok Jeno yang kini sudah melekatinya seperti anak kecil membuat Renjun tersenyum geli kemudian berbalik untuk mengecup pipi kurus sang suami.

"Santai bagaimana? Apa menurut kamu kehamilan itu membuat seseorang tidak santai huh?"

Jeno terdiam sebentar, tidak langsung menjawab. Dengan hati-hati, satu tangannya yang lain kembali melingkari pinggang sang istri, memeluknya lembut dari belakang, "Tidak ada ngidam atau semacamnya? Ini sudah bulan ke empat kan?"

Daripada fokus pada pertanyaan Jeno, ia sebenarnya lebih terfokuskan pada lingkaran tangan itu di pinggangnya. Renjun yang tengah memasak jadi agak sedikit terganggu sekarang, tapi juga merasa lucu saat Jeno sesekali menduselkan wajahnya di leher Renjun.

"Jeno, duduklah dengan manis di meja makan. Aku sedang membuat sarapan...." ujarnya dengan sedikit kekehan. Jeno yang mendengar itu tak mengindahkan ucapannya dan malah semakin mempererat pelukannya sekarang. Saat berbalik, Renjun sudah mendapati wajah merajuk sang suami yang kini menumpukan wajahnya di bahu mungilnya.

"Tapi aku mau seperti ini dulu. Bangun pagi-pagi itu tidak enak, Injun-ah. Aku butuh pelukan darimu."

"Memang apa yang membuatmu bangun pagi? Ini hari sabtu, biasanya kamu bangun paling pagi itu pukul delapan."

Jeno tak lantas menjawabnya. Pelukannya ia lepas saat Renjun tampaknya harus bergerak untuk mengambil sesuatu dari kulkas. Istrinya itu kembali dengan sebuah mangkuk kecil berisi bumbu-bumbu dapur yang siap ia olah. Sementara Jeno masih berdiri seperti orang kebingungan menontoni kesibukan istrinya.

"Aku terbangun karena suara kompor...."

"Hm? Kamu terganggu dengan itu?"

Renjun memandang suaminya dengan alis yang sedikit tertaut, menggoda Jeno yang langsung salah tingkah, "Bu--bukan. Aku mendengar suara kompor dinyalakan, lalu aku sadar kamu tidak ada di sampingku. Lalu...."

Jeno menahan senyumnya saat Renjun sudah terkekeh kecil, menertawakan dirinya yang kini memberikan ekspresi mengelak dan berpikir keras untuk memberikan penjelasan. Dalam hati Jeno mendengus sebal. Mengapa begitu sulit untuk menjelaskan jika ia hanya ingin dipeluk Renjun sepanjang pagi ini?

"Oke-oke aku mengerti...."

Renjun merentangkan kedua tangannya, menunggu Jeno dengan kekehan kecil saat suaminya itu mengerjap-ngerjap polos, meski pada akhirnya tubuhnya ia jatuhkan juga dalam pelukan sang istri yang--entah mengapa--benar-benar ia inginkan pagi ini.

"Uhh--apa bayi besarku rindunya mamanya hm?"

Jeno tak menanggapi ucapan bernada menggoda istrinya. Ia hanya ingin fokus menikmati pelukan nyaman mereka dan elusan tangan sang istri di rambutnya. Pekerjaan yang mencekiknya sepanjang minggu ini membuat fisik dan mentalnya lelah luar biasa. Semenjak Papanya turun dari jabatan sebagai ketua umum yayasan, waktu kerja Jeno semakin bertambah dengan susbtansi pekerjaan yang menguras otaknya.

"Aku lelah sekali, ingin dipeluk kamu seharian ini...." ujarnya tanpa sadar, seolah hanyut dalam rasa nyaman saat tangan sang istri bergerak halus mengelus surainya yang baru saja dipangkasnya minggu lalu. Waktu yang terasa berhenti seketika kembali menyadarkannya ke dunia nyata saat Renjun melepaskan pelukan mereka.

"Cha! Sekarang kita sarapan dulu, habis itu kita kencan berdua."

Dikecupnya lembut bibir tipis sang suami dan dielusnya dengan penuh kasih sayang pipi tirus itu, "Mau berkencan di mana hum? Hari ini aku akan mengabulkan apapun yang kamu mau!"

Jeno tersenyum manis hingga matanya melengkung indah mendengar penawaran istrinya, "Bagaimana kalau di atas kasur lipat di samping jendela? Oh ya, jangan lupakan cemilan buatanmu! Aku juga akan membuat kopi untuk menyempurnakan acara kencan kita."

Renjun mengangguk semangat, tak sempat mengatakan apa-apa saat tubuhnya sudah kembali dipeluk Jeno dengan erat, "Nanti kalau aku ketiduran jangan lupa peluk aku agar tidurku nyenyak, tidak seperti tadi pagi."

Kekehan ringan kembali keluar dari mulut si Nyonya Lee saat gendang telinganya mendengar nada merengek dari bibir sang suami. Hati dan perasaannya menghangat seketika. Rasa syukur memenuhi dadanya saat ia menyadari bahwa kondisi psikis suaminya sudah menunjukkan perubahan yang jauh lebih baik akhir-akhir ini.

"Apapun untukmu, Jeno-ya...."

Dalam hati Renjun berdoa, semoga kebahagiaan ini akan selalu melingkupi Jenonya, melingkupi dirinya, juga melingkupi bayi mereka.

-

-

Acara kencan yang keduanya rencanakan terlaksana saat jarum jam hampir mencumbu angka sebelas, saat di mana matahari berada dalam puncak kuasanya. Tapi awal musim semi ini membuat suasana siang tak begitu terik menyengat. Di balik naungan kaca jendelanya yang besar, mereka berdua menikmati matahari hangat musim semi yang diiringi arakan awan putih dalam langit yang biru.

Benar-benar hari yang indah untuk dinikmati bersama seseorang yang istimewa.

"Renjun, kamu sudah tidak bermasalah dengan bau-bau tertentu kan?"

Jeno datang dengan secangkir kopi yang harumnya begitu kuat dan menyengat. Renjun yang tengah menata cemilan-cemilan yang ia buat di meja lipat kayu itu tak perlu mendongak untuk menebak aroma apa yang dibawa suaminya. Jeno dan harum kopi bak dualisme yang tidak bisa dipisahkan.

"Mana mungkin aku bermasalah dengan aroma seharum ini?" Tanggapnya sembari kembali menata meja saat cangkir kopi itu Jeno taruh dengan asal di tengah cemilan lainnya yang sudah ia tata. Dengan setelan kausnya yang santai, pria tampan itu sudah duduk bersila di samping sang istri sembari mulai menyicipi makanan-makanan ringan yang tersaji.

"Baguslah, aku takut kau mual saat mencium aroma kopi."

Jeno ingat bahwa di awal masa kehamilan Renjun, istrinya itu jadi agak sensitif dengan bau-bau tertentu. Bahkan hingga menginjak bulan ketiga kehamilannya, mereka berdua hampir selalu menikmati sandwhich sebagai sarapan pagi karena Renjun tidak bisa berkompromi dengan aroma-aroma daging yang biasanya ia kelola dengan lezat. Meski begitu, keduanya tetap merasa bersyukur karena morning sick yang dialami oleh Renjun tak separah yang mereka berdua bayangkan sebagai suatu fase alami di awal masa kehamilan.

"Untungnya tidak kan. Aku tidak tega untuk membayangkan kamu tidak minum kopi hanya karena aku sensitif dengan aromnya."

"Hm.... tapi kalau itu terjadi aku pasti tidak akan minum kopi di rumah kok. Keselamatanmu dan bayi kita tidak akan aku pertaruhkan hanya karena kopi."

"Astaga Jeno...." Renjun tersenyum gemas pada pernyataan suaminya yang diucapkannya dengan penuh kesungguhan itu, "Kalaupun iya, itu tidak akan terlalu membahayakan. Lagipula mengandung seorang bayi tidak semerepotkan itu kok! Itu tergantung bagaimana setiap orang mempersepsikan kehamilannya. Kalau ada yang menganggap bahwa dengan mengandung maka kamu bisa memperlakukan suamimu seenaknya, bisa minta hal-hal aneh yang tidak masuk akal seenaknya, maka itu sebenarnya kamu sedang mempermainkan kehamilan dan mengkambing hitamkan anakmu."

"Benarkah? Tapi yang umum terjadi seperti itu kan? Maksudku, seperti ngidam--"

Renjun menggeleng cepat, "Ngidam itu tidak ada! Sebagai psikolog, aku belajar juga soal fase perkembangan manusia. Dimulai sejak manusia dalam kandungan hingga akhirnya meninggal. Dan, tidak ada yang namanya bayi di dalam kandungan request soal makanan yang ingin ia makan. Kalaupun di masa kehamilan awal para ibu cenderung ingin makan yang sesuatu asam atau rasa-rasa tertentu, itu hanya sebagai cara untuk mengatasi mualnya, bukan permintaan spesifik bayinya."

Tangan mungil itu tanpa sadar sudah mendarat di perutnya yang sedikit buncit, "Lagipula.... jahat sekali menjadikan sesosok bayi mungil yang bahkan belum berwujud sebagai alasan untuk menyiksa seseorang. Aku tidak bisa membayangkan kalau bayi lucu kita tahu bahwa papanya pernah tersiksa hanya karena mamanya yang katanya ingin menuruti keinginannya yang masih di dalam perut ini."

Penjelasan panjang lebar Renjun yang sempat membuat Jeno terperangah takjub itu kini justru membuatnya ikut untuk menatap gundukan kecil di perut sang istri yang tengah dielusnya dengan penuh kasih sayang itu. Tangan Jeno tidak tahan untuk tidak ikut serta bergerak di sana, merasakan kehidupan menakjubkan di dalam sana yang coba ia rasakan dengan segenap cinta dan ketulusan yang ia punya. Senyumnya terbit begitu manis saat diam-diam hatinya berbisik kepada sang janin, memberitahu buah hatinya bahwa ia akan memiliki seorang ibu yang begitu hebat dan bijaksana.

"Ingatkan aku untuk memberitahu bayi kita suatu saat nanti bahwa Mamanya adalah sosok yang menakjubkan...." lirihnya tanpa sadar. Tangannya masih bergerak dengan lembut di sana, tak menyadari pergerakan tangan Renjun yang sudah terhenti. Hingga akhirnya tatapan keduanya bertemu dan senyuman tulus Renjun tercipta setelahnya.

"Ingatkan aku juga bahwa selain menakjubkan, Mamanya ini juga punya senyum cantik yang begitu indah."

Jeno tersenyum tak kalah manis saat melihat rona merah di kedua pipi istrinya yang kini tengah tersipu malu mendengar penuturannya tadi. Tanpa aba-aba, bibirnya mendarat dengan lembut di kening sang istri yang sedikit tertutupi oleh surai coklatnya itu, "Terima kasih ya, Mama. Aku saja yang bukan anakmu merasa begitu bahagia jika membayangkan bagaimana rasanya memiliki ibu sepertimu."

Senyum Renjun perlahan terhapus, seiring dengan hatinya yang sedikit terenyuh haru. Meski yang ia pandangi adalah wajah teduh Jeno sekarang, namun irisnya tak dapat meluputi sudut mata sang suami yang memancarkan sebuah kesedihan samar di sana.

Ia membatin sedih. Jika orang lain memuji sikap keibuannya yang bijaksana bisa ia timpali dengan 'memamerkan' gaya asuh ibunya yang memang sangat Renjun sukai, maka beda cerita dengan suaminya ini. Kehidupan orang tua mereka begitu berbeda. Meski ia lahir dari keluarga sederhana, namun sosok esensial ibunya sangat berperan besar dalam mendidik dan membesarkannya. Renjun bisa berkata bahwa ia sangat memerhatikan anak-anak karena ibunya dulu juga melipahinya dengan kasih sayang yang besar Renjun bisa berkata bahwa peran orang tua sangat berpengaruh besar dalam perkembangan anak, karena memang ayah dan ibunya selalu berusaha menyeimbangkan peran mereka dengan baik. Renjun bisa selalu menyebutkan ayah dan ibunya dengan leluasa, karena memang peran mereka begitu nyata. Benar-benar nyata untuk cerminan kehidupannya yang baik sekarang.

"Jeno-ya...."

Tapi Jeno tidak seberuntung dirinya. Suaminya ini tumbuh sendirian, bersama tanda tanya masa kecilnya yang tak pernah terpecahkan. Bersama rasa sedihnya yang tak pernah ia selesaikan. Bersama kesepiannya yang ia biarkan mendekam dalam sudut jiwanya yang terdalam.

Tangannya tanpa sadar sudah mendekap tubuh atletis itu, mencoba mengalirkan kasih sayang paling tulus yang ia miliki saat ini, "--selain bayi kita, aku juga milikmu."

"Aku mau menjadi segalanya untukmu. Temanmu, istrimu, lawan berdebatmu, rekan kerjamu, juga ibumu...."

Ia mendongak untuk menatap iris teduh suaminya, "Mama hebat ini.... juga milikmu. Bukan hanya bayi kita."

Hatinya semakin terenyuh saat ia lihat senyuman tulus yang diciptakan suaminya. Saat matanya kini berkaca-kaca, Jeno justru dengan tegar tersenyum dan menutupi kesedihan samar dalam matanya dengan lengkungan seindah bulan sabit itu.

"Aku tahu...." ujarnya serak sembari balas memeluknya, "Sejak bersamamu, aku mencoba berdamai dengan semuanya dan menganggap bahwa kehadiranmu adalah jawaban dari mimpi-mimpi masa kecilku yang terpendam."

Mimpi tentang keluarga lengkap yang hangat. Mimpi tentang pelukan seorang ibu yang menenangkan. Mimpi tentang komunikasi dan interaksi yang menyenangkan antara ia dan ayahnya yang begitu sibuk, dingin, dan kaku.

Mimpi-mimpi sederhana yang perlahan ia pendam dan lupakan bersama dengan semua kesakitan masa kecilnya.

Di balik punggungnya, pria Lee itu tersenyum lebar, "Mungkin aku kehilangan ibuku untuk mendapatakan sosok keibuan yang lebih baik darinya."

Renjun meluruhkan satu tetes air matanya kemudian mengelus punggung tegap itu dengan penuh kasih sayang, "Ya.... Aku akan berusaha untuk itu."

"Terima kasih Renjun...."

Jeno tersenyum tipis. Matanya kemudian terdongak untuk menatap langit biru dari balik jendelanya. Langit biru yang dulu ia asosiasikan sebagai tempat di mana ibunya berada.

"Lihatlah Mama... aku sudah menemukan penggantimu.

Apakah Mama juga bahagia di sana bersama Tuhan yang menggantikanku dan Papa?"


































"Sebenernya kalian sadar ga kalau aku sering banget nyinggung soal 'parenting' di book ini? Ya, karakter Renjun di sini sebenernya aku buat untuk mengkampanyekan soal pentingnya memperlakukan anak di masa pertumbuhan mereka. Sadar ga sadar, apa yang tertanam dalam diri seorang anak itu akan terus membekas sampai mereka dewasa. Dan biasanya, kalau yang tertanam ini adalah 'rasa sakit', maka rasa sakit ini akan tumbuh dalam 'ketidak sadaran' seseorang sampai dia besar. Dan rasa sakit di 'ketidaksadaran' ini cenderung akan membentuk perilaku 'buruk' pada diri seseorang. Jadi jangan memandang sebelah mata orang-orang yang kita anggap aneh dan perilakunya tidak sesuai, misal seorang pembully, seorang pemalu akut, seorang penyendiri, bahkan mungkin *maaf* seorang pembunuh. Sedikit banyaknya, pertumbuhan dan perkembangan masa kecil serta memori yang tertanam dalam diri mereka itu juga memengaruhi tindakan dan perilaku di masa depan.

Buat pembaca remaja dan dewasa di book ini, aku mau ajak kalian untuk mulai merefleksikan diri. Barangkali ada kesakitan masa kecil yang tidak kita sadari, tapi berpengaruh pada perilaku kita saat ini. Kalau kalian ngga berani untuk mencari tahu itu, untuk menyadari itu, untuk memaafkan dan melepaskan itu, ngga apa-apa:) Tapi setidaknya kalian bisa mengantisipasi anak-anak lain (Dan mungkin anak-anak kalian nanti--kalau kalian berminat menikah--) agar tidak tumbuh dalam kesakitan membekas yang mengganggu dirinya.

Aku bukan sok bijak, tapi bener-bener merasa tertampar sama kenyataan yang kualami, juga orang-orang lain yang merasakan dampak dan efek yang sama dari 'kesakitan dan memori' masa lalu ini. Dan sedihnya lagi, aku juga menyadari bahwa beberapa dari kalian, mungkin sedang berjuang untuk memahami, menyembuhkan, dan berdamai sama diri kalian sendiri:)

Aku bicara ini bukan sebagai mahasiswa psikologi yang sok tahu, tapi sebagai 'orang sakit' yang melihat realita. Aku sangat terbuka kalau kalian ingin 'memuntahkan' rasa sakit kalian, tapi kalau kalian ngga begitu percaya untuk cerita, cukup ingat dan resapi kata-kataku ini,

"Kalian harus, pantas, dan berhak BAHAGIA. Bagaimana pun CARANYA. Tidak ada orang lain yang pantas kalian SAYANGI, pantas kalian PERJUANGKAN, pantas kalian CINTAI, selain DIRI KALIAN SENDIRI."

Inget Guys, kalian dilahirkan dalam kondisi 'bingung', ngga tahu harus melakukan apa, ngga tahu pasti siapa yang kalian panggil sebagai ayah dan ibu, ngga tahu apa yang akan kalian hadapi di kehidupan kalian nantinya, bahkan ngga tau kemana kalian akan pergi nantinya. Kecemasan itu wajar dan memang sifat dasarnya manusia, karenanya, kalian harus menciptakan kenyamanan dan kebahagiaan kalian sendiri di tengah dunia yang penuh kejutan, kebingungan, dan rasa sakit ini:)

Semangat! Dengan sangat tulus dan penuh harapan, aku sayang kalian semua dan berharap kalian semua dapat menciptakan dan menemukan kebahagiaan kalian masing-masing:) <3 "






























Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top