《21》
Renjun kembali saat hari sudah petang. Ia menginjakkan kakinya ke apartemen sang suami dengan tubuh lelah dan kepala penuh. Selembar map yang masih dipegangnya bahkan sudah ia taruh asal di meja ruang tengah, terlupakan begitu saja saat beberapa jam yang lalu kertas itu seolah-olah menjadi pusat dunianya.
Kakinya segera melangkah hendak memasuki kamarnya, tapi sosok Jeno yang muncul dari dapur menghentikan pergerakannya dan membuat sudut bibirnya tertarik. Lelahnya hilang dan energinya kembali sekarang.
Suatu hari nanti bayinya harus tahu bahwa saat mengandungnya, Renjun jadi begitu tergila-gila dengan sosok sang papa.
"Tumben pulang sore? Pekerjaanmu sedang banyak?"
Tubuhnya seolah terpaku selama beberapa saat untuk memandangi sosok tampan di hadapannya. Jeno dan sisi lain dari dirinya yang selalu Renjun suka. Jeno dengan kaus kebesarannya. Jeno dengan celana pendeknya. Jeno dengan senyum lebarnya yang manis dan polos.
Jeno dengan sosoknya apa adanya yang selalu berhasil menumbuhkan perasaan mendalam di hati Renjun.
"Tidak juga. Pekerjaanku mungkin baru akan banyak sekarang."
Renjun tersenyum geli menatap panci yang ada di genggaman tangan suaminya, membuat si tampan Lee itu langsung mengalihkan netranya pada apa yang menjadi fokus atensi sang istri. Senyum kikuknya terkembang seketika saat Renjun merebut panci itu kemudian mengecup pipinya sekilas.
"Biar aku saja. Maaf pulang terlambat. Kamu pasti sudah kelaparan."
Jeno mengangguk patuh, mengikuti langkah Renjun ke dapur dan membiarkan sosok yang masih berpakaian formal itu bergelut dengan perabotan dan bahan masakan yang sebelumnya sudah ia siapkan tapi belum sempat diolahnya itu. Sebenarnya ia hanya mau makan ramen, tapi karena tahu Renjun sudah datang, mau tidak mau ia menurut saja untuk menyerahkan pekerjaan sederhana yang bisa dilakukannya itu kepada sang istri.
Keputusan Jeno tak keliru saat kini Renjun menyodorinya semangkuk ramen instan yang lebih 'ramai' dari seharusnya. Sang istri menyulap makanan instan itu menjadi masakan menggiurkan dengan banyak tambahan daging dan sayur juga rempah-rempah yang menguarkan aroma kuat. Jeno bahkan yakin bahwa ia akan baik-baik saja jika memakan ramen instan seperti ini setiap hari jika sang istri yang mengolahnya.
Pria itu tak paham mengapa acara makan ramen yang sudah direncanakannya sejak dari perjalanan pulang tadi semakin menggembirakan dengan kontribusi Renjun di dalamnya.
"Habis ini mau makan yang lain? Biar sekalian kumasakkan."
Jeno yang tengah menyupitkan mie itu mendongak menatap istrinya yang asyik menontoni kerakusannya, "Ummm terserah. Apapun yang kamu buat aku pasti memakannya."
Renjun tersenyum geli, menyamarkan perasaan tersanjungnya mendengar penuturan sang suami. Jeno selalu punya cara untuk membuatnya merasa dihargai, merasa dibutuhkan, dan merasa berharga. Pria itu, dengan segala keapa adaannya, mengajarkan Renjun bahwa pernikahan bukan hanya soal kata-kata cinta romantis yang tak ada isinya, tak ada pembuktiannya. Jeno adalah sosok apa adanya yang membuktikan cintanya lewat cara-cara sederhana yang selalu Renjun suka.
Pria itu memang bukan pangeran romantis dari negeri dongeng, tapi kehadirannya di hidup Renjun sejauh ini selalu berhasil menciptakan kejutan-kejutan manis sederhana yang bermakna.
Salah satunya adalah sosok yang kini dikandungnya, manifestasi nyata dari cinta tersirat mereka.
"Aaaaaa, buka mulutmu...."
Renjun tersadar dari euforianya oleh sodoran sumpit berisi gulungan mie yang Jeno sodorkan ke arahnya. Suaminya dengan wajah datar dan tanpa pandangan menuntut menunggunya dengan sabar saat ia masih belum juga menerima gulungan mie itu ke dalam mulutnya, mempertimbangkan perutnya yang masih agak mual. Tapi kemudian ia tetap memakannya, menunggu reaksi Jeno setelah ini.
Ia tak kecewa saat Jeno tersenyum manis dan dengan antusias menanyakan pendapatnya.
"Bagaimana? Enakkan? Renjun-ah, kenapa kamu bisa memasak seenak ini huh?"
Jeno kembali sibuk dengan ramennya setelah berkata heboh seperti tadi. Sepertinya ia tak kembali berminat untuk menyuapi sang istri saat akhirnya satu suapan terakhir ia habiskan dengan lahap. Renjun yang melihat itu kembali tersenyum geli, apalagi saat suami menyeruput kuahnya langsung dari mangkuknya.
"Itu masih biasa saja menurutku. Mungkin kamu yang tidak terbiasa makan makanan rumah?"
Jeno menatapnya sesaat setelah Renjun berkata seperti itu, terlihat tengah mempertimbangkan ucapan sang istri sebelum mengangguk dan tersenyum kecil, "Mungkin.
Tapi, berarti, sekarang aku akan selalu makan masakan rumah berkatmu?"
Renjun tersenyum manis dan memangku dagunya, memberikan pandangan teduh pada sang suami yang sudah menatapnya dalam, "Tentu. Selagi kamu mau, aku akan selalu berusaha membuat hidangan terbaik untukmu."
Keduanya sama-sama tersenyum malu setelah itu, seiring dengan rona manis yang menghiasi pipi mereka.
"Aku mau minum kopi di balkon malam ini, temani aku ya?"
Sang istri mengangguk setuju kemudian bangkit dari duduknya untuk membereskan peralatan bekas memasaknya, "Aku mau mandi dulu. Nanti aku menyusul."
-
-
Renjun disambut oleh aroma kopi yang menguar kuat saat membuka pintu balkon dan mendapati sang suami sudah terduduk manis di sana dengan ponsel di tangannya. Jeno yang mendapati kedatangan istrinya itu tersenyum manis kemudian segera menyodori Renjun secangkir kopi hitam buatannya.
"Kamu harus coba kopi buatanku! Dua bulan yang lalu aku baru saja membeli vietnam dripper tapi baru sempat kucoba sekarang."
Cairan coklat tua dalam cangkir mungil itu terlihat kental dan pekat, Renjun dapat menduganya hanya dari mencium aromanya. Ia yang bukan penikmat kopi agak ragu saat akan mencicipi itu, apalagi jika mengingat usia kandungannya yang masih muda. Tapi demi membalas raut sumringah suaminya, ia memberanikan diri untuk mencicipi kopi buatan Jeno.
"Hm.... enak. Lebih kental dari kopi yang biasa kuminum."
Pria tampan bermarga Lee itu menampilkan senyum bulannya untuk komentar sederhana sang istri, "Enak, kan? Aku merasa seperti barista profesional saat mencicipi hasil kopiku yang ini."
Keduanya tertawa kecil untuk penuturan penuh percaya diri itu, menguapkan tawa mereka sebelum keheningan tiba-tiba menghinggapi keduanya.
Bintang bersinar jauh lebih banyak hari ini. Langit mendung yang baru saja meneteskan rintikan hujan beberapa jam yang lalu seolah mempersilakan eksistensinya untuk bersinar mengiringi cahaya sang dewi malam yang menampakkan kecantikannya dengan sempurna. Malam yang lengkap untuk sebuah ledakan perasaan yang kini memeluk keduanya.
"Jeno-ya...."
Renjun memanggil sosok di sampingnya dengan suara bergetar yang tak ia sadari. Matanya menatap teduh Jeno yang terlihat sangat bahagia hari ini. Hati Renjun terenyuh haru untuk senyum yang kesekian kali terkembang di bibir tipis suaminya.
Kaca-kaca bening sudah mengaburkan pandannya saat Jeno berbalik dan menyuguhinya wajah damai yang membahagiakan. Sebuah paradoks menghantam dirinya. Ia merasa sedih bersamaan dengan banyak kebahagiaan yang meliputi keduanya saat ini.
Renjun tidak tahu mengapa perasaannya menjadi sangat sensitif sekarang.
"Ini kaus kaki yang dibuat Soo Yeon saat tahu mengandung dulu. Ia mengira anaknya akan perempuan, makannya kaus kaki yang ia buat seperti ini."
Jeno menatap heran kaus kaki wol yang ditunjukkan istrinya, merasa familiar dengan benda mungil yang menarik matanya itu. Renjun yang menyadari kebingungan suaminya itu tersenyum manis sembari menghapus setitik air matanya yang jatuh.
"Ini kaus kaki milikmu dulu."
Netra Renjun yang sedikit basah bertemu dengan pandangan tak percaya Jeno, "Benarkah? Aku tidak ingat pernah memiliki ini."
Tangan pucat itu sudah mengambil alih kaus kakinya kemudian memandanginya dengan seksama, meremasnya dengan halus dan membayangkan betapa hangatnya jika memakai kaus kaki itu. Bibirnya kemudian tertarik geli saat akhirnya menyadari sesuatu.
"Ini sepertinya akan lebih cocok untuk bayi perempuan, atau setidaknya bayi laki-laki yang manis."
Renjun mengangguk sembari mengulum senyumnya, "Kalau begitu.... bolehkah jika kaus kaki itu menjadi miliknya bayi manis kita?"
Tangan mungil itu sudah menggapai tangan dingin Jeno, meremasnya pelan menunggu penyatuan iris mereka.
Senyum lebar Jeno perlahan terhapus dan tergantikan menjadi tatapan tak percaya. Ia pandang wajah damai sang istri dengan jantung berdebar yang tiba-tiba menghantam kesadarannya.
"Mak--maksudmu?"
Sebuah map dengan cap rumah sakit tersodor ke arahnya, membuat tubuhnya makin bergetar dan napasnya memburu cepat. Jeno memilih untuk tak membuka map itu saat otaknya langsung menyimpulkan dugaan awalnya, mengasumsikan kebenaran soal makna tersirat dari kalimat istrinya tadi. Jeno merasa seperti diberi kejutan tak terduga yang membuat perasaannya meledak-ledak sekarang.
"Renjun-ah...."
Dengan suara yang serak ia memberanikan diri untuk membuka suara, "Kau--ada bayi di perutmu?
Bayi.... kita?"
Renjun tersenyum manis dan kembali meremas tangan dingin Jeno, "Selamat, Papa...."
Suara Renjun tak kalah serak, ia tersenyum lebar saat matanya justru basah oleh air mata. Jeno di hadapannya masih tak bersuara dengan gelagat aneh yang membuat Renjun terkekeh kecil.
"Jeno-ya...."
"Aku bahagia sekali sampai rasanya tidak tahu harus apa..."
Jeno menatap kaus kaki mungil itu dengan tatapan penuh artinya. Jantungnya yang masih berdebar hebat mengantarkan nanak air di pelupuk matanya. Tubuhnya masih bergetar hebat dan napasnya agak tersenggal sekarang.
Perlahan ia mulai memberanikan diri untuk menatap wajah manis istrinya sembari dengan tarikan bibir tipis. Setetes air mata jatuh dari iris kanannya yang sedari tadi sudah berkaca-kaca, membuat pandangannya terhadap sosok istimewa di hadapannya itu semakin jelas. Begitu lembut, bersinar, dan keibuan.
Jeno kembali tersenyum tulus. Ketulusan terbaik yang ia punya khusus untuk sosok di hadapannya.
"Aku senang sekali sampai rasanya ingin menangis."
"Menangislah, aku akan tetap di sini. Aku sudah berjanji untuk selalu berada di sampingmu meski dengan linangan air mata."
Pria tampan itu terkekeh kecil sembari mengusap air mata yang membasahi pipinya. Merasa tersanjung dan terharu dengan kata-kata familiar istriny. Ia bangkit dari duduknya kemudian dengan lembut merengkuh tubuh mungil Renjun.
"Aku mau berpelukan denganmu sepanjang malam ini." Bisiknya parau tepat di telinga sang istri. Anggukan Renjun setelahnya membawa mereka pada kasur hangat yang nyaman. Pencahayaan yang hanya berasal dari lampu kamar di sudut nakas membuat eksistensi kerlap-kerlip di langit sana masih bertahan, termangu manis menyaksikan dua insan dalam penyatuan manis mereka.
Penyatuan manis dengan ledakan perasaan yang memabukkan keduanya.
--
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top