《19》

Renjun rasanya ingin melewati hari senin di pekan ketiganya bekerja ini secepat mungkin.

Menyusun langkah intervensi yang tertunda selama beberapa hari karena fokus mengurusi sang mertua yang masuk rumah sakit dua minggu yang lalu menjadi petaka bagi Renjun saat kini ia sudah kembali menerima dua klien baru. Bukan masalah besar sebenarnya mengingat ia juga sudah bergelut dengan kesibukan yang sama sejak dua tahun yang lalu dan seringkali menemui hal-hal mencekik seperti ini. Semuanya bukan masalah andai saja kondisi tubuhnya mendukung sekarang.

Sayangnya, Renjun harus berjuang dengan semua kepadatan pekerjaan di tengah tubuhnya yang tidak bisa dikompromi.

Sejak kemarin suhu tubuhnya menjadi lebih hangat dan ia merasa agak demam. Diagnosis sederhananya mengira bahwa mungkin ia tengah terserang flu karena pergantian musim, tapi batuk dan pilek yang akan mengakuratkan diagnosa ala kadarnya itu justru tak kunjung datang. Gejala lain yang tak sinkron dengan flu yang malah menyerangnya sejak kemarin. Renjun merasa pusing, mual, dan bahkan muntah saat akan menyantap hidangan makan malamnya.

Hal yang terakhir itu berlaku pula saat ia hendak sarapan tadi pagi. Ia bahkan nyaris tak menyiapkan sarapan saat mual kembali menyerangnya sejak ia bangun tidur pagi tadi.

Hingga sekarang saat kondisinya tetap tak membaik meski ia telah mencoba berbagai macam cara sederhana untuk meredakan mual dan pusingnya, Renjun tetap percaya bahwa kondisinya saat ini murni disebabkan oleh kelelahan biasa. Pertama, karena mengurusi sang mertua yang dirawat di rumah sakit selama seminggu. Kedua, karena di tengah kesibukannya itu ia juga dibuat pusing oleh tugas pekerjaannya yang menumpuk dan berakhir dengan gejala fisiologis akibat stres. Ketiga, karena di antara dua kesibukannya itu, Renjun juga harus melayani kebutuhan 'seksual' Jeno yang mulai berjalan 'normal' selayaknya suami dan istri pada umumnya.

Untuk poin yang ketiga Renjun merasa agak berlebihan jika memasukkannya ke dalam daftar kesibukan.

"Renjun...."

Di tengah kesibukan dirinya dalam menahan mual, lelah, pusing, dan lemas, pintu ruangannya terbuka dan menampilkan rekannya yang pagi ini memang berencana datang untuk membicarakan sesuatu terkait konseling terhadap kliennya. Renjun memaksakan sebuah senyuman dan menyalami teman seperjuangan saat kuliah dulu sebelum mempersilakannya duduk.

"Jadi bagaimana? Apa yang kau butuhkan untuk menangani klien terbarumu?"

Seo Herin, teman lama sekaligus orang yang masih cukup sering berinteraksi dengannya ini tanpa membuang waktu langsung memberinya sebuah map bening berisi lembaran kertas. Renjun yang baru saja akan membuka map itu langsung terintrupsi oleh suara wanita yang nampaknya juga buru-buru itu.

"Bacanya nanti saja. Biar aku ceritakan dulu bagaimana klienku yang satu ini."

Renjun mengangguk dan mulai memberikan atensi penuh pada apa yang akan dikatakan sahabatnya.

"Aku mendapatkan seorang klien yang datang sendiri minggu lalu. Seorang perempuan awal dua puluhan, terlihat sangat baik-baik saja dan pintar. Ia sepertinya seorang mahasiswa yang cukup intelek, aku dapat merasakan itu ketika ia dengan tenang mengobrol denganku. Aku sempat merasa heran memikirkan alasan apa yang membuatnya datang."

"Lalu?"

Ada jeda sesaat setelah pertanyaan singkat itu keluar dari mulut Renjun. Herin tak langsung menjawab dan terlihat berusaha keras untuk memikirkan respon yang tepat terhadap pertanyaan temannya.

"Itu masalahnya! Aku tidak yakin apakah ini bisa dikatakan sebagai sesuatu yang membutuhkan penanganan kita sebagai psikolog atau tidak karena ini menyangkut pemikirannya yang ia rasa agak aneh dan cukup menganggunya akhir-akhir ini."

"Apa ini semacam halusinasi? Gangguan waham?"

Herin menggeleng, "Bukan. Ini lebih tak populer. Bukan--tapi sangat tidak populer!"

Wanita manis dengan rambut yang diikat kuda itu memajukkan kursinya dan terlihat makin serius, "Ia bilang, ia percaya pada konsep-konsep jiwa yang membuatnya merasa aneh dengan dirinya sendiri.

Salah satunya adalah konsep soal twinflame."

Twinflame. Renjun tanpa sadar mengulang kata itu dalam ingatan otaknya. Kesadarannya seolah membawa ia pada sebuah respon familiar yang bahkan tak dapat ia pastikan apa tepatnya.

"Pokoknya itu hampir mirip dengan konsep soulmate, tapi punya definisi yang lebih spesifik lagi. Kalau tidak salah, dia juga mengaitkannya pada konsep reinkarnasi. Karenanya, aku pikir mungkin akan cocok kalau kita merekomendasikannya untuk datang ke ahli transpersonal."

Ah, transpersonal. Renjun jadi ingat dosen favoritnya di universitas yang mengenyam pendidikan psikologi transpersonal selama satu tahun di Inggris.

"Oke, aku mengerti benang merah kasusnya. Jadi kamu memintaku untuk mencari rekan yang ahli di bidang itu?"

Herin mengangguk semangat sembari tersenyum senang, "Tapi mungkin kita bisa memecahkan ini dengan bertukar pikiran dulu. Aku akan memberimu waktu, Renjun. Sekarang aku harus pergi karena ada jadwal mengajar."

Renjun mengangguk dan membiarkan temannya itu memberesi barang bawaannya yang tadi sempat dikeluarkan olehnya.

"Kapan deadline waktunya? Mungkin aku bisa mempersiapkan."

"Santai saja, mungkin selama dua minggu dari sekarang. Nanti aku akan menghubungi lagi. Lagipula, kamu terlihat tidak sehat."

"Ahaha bagaimana kamu tahu? Kebetulan aku sedang menahan mual dan pusing."

Wanita berlesung pipi manis itu mengalihkan tatapannya pada wajah pucat Renjun, "Istirahat yang banyak. Jangan terlalu lelah. Fase kehamilan awal memang selalu berat."

Ia bangkit dari duduknya kemudian menyalami Renjun sembari tersenyum manis, "Aku pergi dulu. Jaga kesehatanmu dan bayimu."

Herin pergi meninggalkan Renjun yang termangu di tempatnya. Wanita itu seolah tak sadar bahwa kata-katanya tadi menimbulkan respon fisiologis yang hebat. Renjun dapat merasakan jantungnya berdebat dan tubuhnya yang tegang. Perutnya hangat seolah diterbangi banyak kupu-kupu. Respon familiar yang biasa ia rasakan untuk sebuah kebahagiaan.

Kebahagiaan. Renjun tersenyum haru. Tangannya tanpa sadar menyentuh perutnya yang terlapisi blouse berwarna biru pastel lembut. Pemilihan warna yang pas untuk euforianya yang sehangat langit musim semi.

Tapi perasaan melayangnya itu segera terhempas saat ia sadar bahwa ia butuh pemastian. Dengan cepat diraih olehnya ponsel hitam yang tergeletak di meja. Renjun tak tahu siapa yang harus ia hubungi, tapi kemudian ingat satu orang yang mungkin bisa membantunya.

"Xiaojun Ge...."

-

-

Jeno menatap tamu yang baru saja memasuki ruangannya ini dengan senyum bersahabat. Ia tak merasa terganggu meski saat ini pekerjaannya sedang cukup banyak. Obrolan pertama mereka di waktu intens keduanya dulu cukup membuat Jeno yakin bahwa orang ini bisa menjadi teman yang cocok untuknya.

"Aku minta maaf karena datang di jam kerja begini."

Jaehyun duduk di sofa sembari memangku putrinya yang terlihat malu-malu. Kakak ipar dari istrinya itu terlihat jauh lebih santai daripada biasanya. Sweater putih berbulu halus yang melapisi kemeja biru langitnya membuat kesannya dirinya terlihat kasual sekarang. Sangat berbeda dengan Jeno yang terlihat monoton dengan jas hitamnya.

"Tidak apa-apa Hyung. Aku justru senang dikunjungi teman begini."

Tatapannya ia alihkan pada si cantik Hera yang masih sibuk memeluki lengan papanya, "Senang juga kembali melihat Hera."

Jeno tidak terlalu handal dalam berinteraksi dengan anak kecil. Tapi komunikasi kecil yang ia lakukan terhadap keponakannya ini untungnya bisa membuat si kecil tersenyum malu-malu.

"Syukurlah! Aku takut mengganggu karena memang kedatanganku ke sini hanya untuk merencanakan jadwal pertemuan dengan Tuan Lee. Katanya beliau sakit kan? Maaf karena aku dan Sicheng belum menjenguknya."

"Ah, harusnya tidak perlu seformal ini Hyung! Hyung dan Kak Sicheng bisa datang kapan saja. Oh ya, Kak Sicheng tidak ikut?"

Jaehyun menggeleng, "Sedang mengurus Lucas yang sakit. Tapi nanti dia akan ikut bersamaku saat menjenguk Tuan Lee."

Jeno mengangguk sembari membayangkan sepupu Renjun yang berisik itu kini tengah terbaring lemah dan merengek manja pada kakaknya. Tiba-tiba saja Jeno juga membayangkan raut wajah sahabat istrinya, Haechan.

"Ya sudah aku pulang dulu, takut mengganggumu. Kabari aku kalau Tuan Lee ada waktu."

"Terima kasih Hyung! Kapan-kapan ayo kita pergi minum kopi."

Jeno tak langsung membiarkan kakak iparnya pergi begitu saja. Ia mengambil segenggam permen yang selalu tersedia di meja kantornya, menyerahkannya kepada Hera yang dengan malu-malu menerimanya.

"Terima kasih...." ujar anak itu dengan lirih. Jeno tersenyum manis kemudian mengelus surai halus itu.

"Sama-sama Hera. Nanti kalau kita bertemu lagi Paman belikan es krim, oke?"

Hera mengangguk senang. Ia kemudian meraih sesuatu dari tas selempang mungilnya yang cantik. Sebuah lolipop berbentuk lumba-lumba dengan warna biru langit diserahkannya kepada Jeno dengan polos.

"Buat Paman...."

Papa dan pamannya sama-sama terkekeh kecil. Jeno mengambilnya dengan dua tangan dan senyum lebar. Perasaannya menghangat saat ia lihat ketulusan dari bocah kecil yang membalas pemberian permennya itu. Tanpa pikir panjang, Jeno mengecup manis pipi bulat sang keponakan.

"Terima kasih Hera! Permennya cantik seperti Hera."

Hera semakin tersenyum lebar. Ia bahkan melambaikan tangannya dengan semangat saat berpisah dengan sang paman di parkiran. Keduanya menghilang dari pandangan Jeno saat mobil mewah Jaehyun meninggalkan area kantornya.

Jeno masih betah berdiri di sana sembari memegangi lolipop lucu di tangannya. Senyum lebar pria itu berganti menjadi senyum hangat yang mewakili perasaannya sekarang. Entah perasaan hangat macam apa yang mendiami jiwanya sekarang saat ia dengan betah menatapi segagang lolipop mungil di tangannya.

-

-

"Renjun-ah...."

Jantung Renjun semakin berdebar tak karuan saat suara Xiaojun mengalun setelah keheningan cukup lama di antara mereka. Dokter anak yang baru saja memeriksa keadaannya ini terlihat serius dengan alat-alat pemeriksaan yang sedang ia bereskan setelah digunakan memeriksa Renjun. Sosoknya sekarang bahkan sudah sibuk dengan ponselnya, seolah mencari-cari sesuatu di sana.

"Jun Ge...."

Renjun memanggilnya dengan suara serak, "Apa yang terjadi denganku?"

Xiaojun menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jas dokternya, "Agak konyol kalau aku mendiagnosamu yang jelas-jelas tak cocok menjadi pasienku."

Dokter anak itu melepas kacamatanya sebelum memandang Renjun dengan senyum kecil, "Aku tadi baru saja menghubungi pihak poli kandungan, memastikan ada dokter yang sedang berjaga atau tidak."

Tubuhnya kemudian sudah duduk di sisi ranjang, tersenyum makin lebar saat menyadari wajah tegang sahabatnya, "Dokternya akan datang jam sebelas. Selama menunggu kamu bisa menunggu di ruanganku."

Renjun mengangguk kecil. Perasaannya semakin tidak terkendali. Ia rasanya ingin berteriak senang, tapi sadar bahwa belum ada hasil pasti yang membuatnya harus melalukan hal itu.

Di tengah keheningan mereka, pintu ruangan Xiaojun diketuk dan dibuka dengan sopan oleh seorang lelaki yang Renjun rasa adalah salah satu perawat di sini. Xiaojun langsung menghampiri perawat lelaki itu kemudian menerima barang yang dibawanya dengan sopan. Ada percakapan kecil di antara mereka sebelum si pria pergi dan kembali meninggalkan mereka berdua dalam keheningan.

"Ini, coba saja dulu tes pakai ini. Tadi aku meminta pria tadi untuk membelikanku testpack."

Renjun menerimanya dengan tangan bergetar. Ia rasanya sudah akan menangis juga tertawa. Menertawakan dirinya juga Xiaojun yang begitu yakin pada keadaan yang dengan mudahnya mereka tebak.

Perasaannya saat di kamar mandi seraya menunggu hasil dari alat yang digunakannya ini semakin membuat detak jantungnya makin tak terkendali. Ia rasanya ingin meremat apa saja yang bisa dirematnya saat garis yang menjadi penentu itu tak kunjung menunjukkan hasil.

Namun ketengangannya itu berakhir saat garis berwarna biru mendominasi alat tes kehamilan itu. Euforianya kini diwakili oleh tubuhnya yang lemas. Perasaannya yang menggebu-gebu kini pecah menjadi serpihan bahagia yang membuatnya tak bisa berkata-kata.

Meski tak mau, namun air matanya akhirnya jatuh juga. Tangannya sudah tak bisa menahan lagi untuk tidak mengelus perut ratanya.

Perut rata yang kini sudah menaungi kehidupan makhluk kecil yang menjadi hadiah terbaik dari Tuhan untuknya.

Makhluk mungil nan menggemaskan buah cintanya dengan Jeno.














Alurnya lambat gitu ga sih wkwkw:(

Oh iya, arti dari transpersonal yang aku singgung di sini merupakan salah satu aliran besar dari psikologi. Aliran ini berorientasi sama 'aktualisasi tertinggi manusia', yakni 'menyatu dengan alam' dan 'bertransedensi diri'. Kalau kalian ga paham gapapa karena ini bukan kuliah psikologi hehe:')

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top