《18》

Jeno melangkah dalam kepanikan luar biasa di koridor rumah sakit yang masih sepi. Hari senin di pekan pertamanya bekerja ini langsung menyambutnya dalam kekacauan yang mencekik. Ia baru saja akan membaca berkas pertimbangan kerja sama dengan salah satu perusahaan mancanegara saat sekretarisnya membawa berita bahwa papanya masuk rumah sakit saat akan berangkat tadi. Tanpa mempertimbangkan apapun lagi, Jeno langsung tancap gas ke rumah sakit dan menemukan Paman Park yang baru saja mengurus administrasi.

"Kau bisa bicara langsung dengan dokternya." Ujar pria empat puluhan itu dengan suara pelan. Di telinganya sudah tertempel ponsel yang berdering samar, siap menghubungi seseorang di kantor. Jeno yang menyadari kesibukan asisten pribadi sang papa itu hanya mengangguk kecil lalu mengikuti sesosok paruh baya berjas putih yang membawanya ke ruangannya.

"Putra Tuan Lee Donghae?"

Jeno mengangguk sembari menyodorkan tangannya, "Lee Jeno."

"Lee Jinki."

Dokter itu tersenyum cerah dan berusaha menularkannya kepada Jeno yang muram, "Jangan terlalu tegang, Tuan Lee."

"Apa yang terjadi dengan ayah saya?"

Ada empat lembar kertas yang dokter itu baca dengan seksama saat pertanyaan Jeno mengudara. Satu persatu kertas itu ia baca dengan raut yang semakin membuat Jeno gelisah. Pria itu bahkan belum bertemu dengan sang papa, tapi sudah nyaris mati karena panik di ruangan dokter yang terasa begitu dingin ini.

"Sebelumnya saya mau bertanya sesuatu, apakah Ayah Anda menunjukkan gejala ini sebelumnya?"

"Gejala apa?"

"Jantung."

Bahu kokoh yang dibaluti jas hitam mengkilat itu seketika terjatuh lemas. Jeno merasa seperti seluruh energi dalam tubuhnya luruh dalam ketegangannya yang semakin meluap-luap. Tangannya tanpa sadar sudah meremas ujung jasnya yang keras.

"Beliau baik-baik saja selama ini."

Aku bahkan tidak yakin soal itu.

Dokter Jinki tersenyum tipis. Kacamata yang membingkai mata tuanya ia lepas perlahan, "Kalau begitu Anda tidak perlu khawatir. Ini hanya gejala awal yang ringan. Tuan Donghae mengalami kelelahan parah sehingga memicu gejala sakit jantungnya. Saya sudah menyiapkan resep obat yang harus ditebus dan akan menghubungi dokter khusus jantung yang bisa menanganinya."

Jeno memandang kosong tangan yang sudah lihai menuliskan berbagai nama jenis obat itu di secarik kertas. Pikirannya kosong bahkan sejak pria di hadapannya menyebutkan nama penyakit yang diderita sang papa. Meski tak mau, namun Jeno tak dapat menahan pikirannya untuk tidak bergelung dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

"Terima kasih Dokter."

Ia keluar dari ruangan itu dengan tubuh lemas dan pikiran bercabang. Didudukannya tubuhnya pada kursi di luar ruangan sang Papa, manyiapkan keberanian untuk masuk dan bertingkah seolah ia baik-baik saja. Ponsel yang dipegangnya kemudian bergetar dan menampilkan sebuah nama yang membuatnya mendesah berat.

Renjun is calling

"Hallo...."

Jeno tak siap dengan semuanya. Tak siap dengan keadaan yang membuatnya terjebak dalam kalut samar yang melelahkan. Termasuk tak siap dengan suara halus yang terdengar khawatir di seberang sana.

-

-

Tubuh tegap yang sudah menanggalkan jas rapinya di sampiran sofa di sudut ruangan itu hanya dapat menonton interaksi dua orang di depannya dalam bisu. Di dalam genggaman tangannya ada seonggok ponsel yang sedari tadi berkedip-kedip meminta atensi, menampilkan banyak pesan dan panggilan tak terjawab yang semakin membuat kalutnya makin menjadi-jadi. Jeno tahu apa yang dilakukannya sekarang adalah bentuk dari sikapnya yang tidak bertanggung jawab, duduk diam di sofa rumah sakit tanpa sedikitpun menyentuh kehidupan kantornya yang tertumpuk dalam kotak pesan.

Jeno tahu apa yang dilakukannya salah. Ia yang tidak melakukan apa-apa sekarang adalah sebuah kesalahan. Tapi Jeno tak punya pilihan. Ia bahkan tak dapat mendamaikan gejolak perasaannya sendiri sekarang.

"Papa, mau makan sekarang? Kalau memang masih tidak enak mulut nanti biar kubuatkan makanan di rumah."

Lamunanya buyar oleh suara halus sang istri yang sedari tadi sibuk mengurusi sesosok paruh baya yang terbaring lemah di ranjangnya. Renjun yang datang tak lama setelah menelfon Jeno dan memastikan keadaan sang mertua itu kini sedang memberesi koper besar yang baru saja dibawakan oleh Paman Park. Dokter memang memutuskan untuk mengambil rawat inap terhadap pasiennya yang satu ini setelah mempertimbangkan banyak hal, salah satunya adalah kondisinya yang lemah dan tekanan darahnya yang rendah.

"Aku mau makan manisan buah. Mulutku agak pahit, mungkin setelah itu aku bisa makan makanan berat."

Renjun tersenyum hangat, merasa senang karena permintaan mertuanya yang membuat rasa khawatirnya sedikit terminimalisir, "Aku akan coba cari dulu ke foodcourt rumah sakit. Kalau tidak ada baru akan kubuatkan di rumah."

Ia mengalihkan tatapannya pada Jeno yang masih melamun di tempatnya, "Mungkin Jeno bisa membantuku? Sekalian cari kopi di luar?"

Pria yang merasa namanya dipanggil itu langsung mengalihkan atensinya pada sumber suara. Ia dapati wajah damai Renjun yang kini tengah memandanginya dengan tatapan berarti, membuatnya langsung mengangguk tanpa banyak berpikir.

"Aku akan ambil dulu dompetku di mobil."

Jeno melangkahkan kakinya dengan agak berat. Atmosfir di sekitarnya seketika berubah saat pintu ruangan VVIP itu terbuka dan membawanya pada dunia luar yang nyata. Dunia luar yang tak menyertai kehampaan dan kesedihan di dalamnya.

"Renjun-ah...."

Renjun yang mengantar kepergian sang suami dengan tatapannya itu seketika mengalihkan atensi pada sosok paruh baya yang memanggilnya dengan lemah. Ditatap olehnya dengan lembut sang mertua yang kini sudah menggenggam tangannya, menyalurkan dingin tubuhnya yang sedikit membuat Renjun merasa khawatir akan keadaannya.

"Iya Papa?"

Donghae tersenyum lebar hingga matanya yang sayu semakin jelas menampakkan kerutannya, "Bisa tolong ambilkan sesuatu di dalam koper itu? Sebuah kotak kayu kecil...."

Renjun mengangguk dan langsung menuruti perintah sederhana itu. Dengan cepat ia sudah menemukan sesuatu yang mertuanya maksud, sebuah kotak kayu jati yang permukaannya begitu halus dan bersinar.

Renjun mendapat penolakan saat ia menyodorkan benda itu kepada sosok yang memintanya.

"Itu untukmu dan Jeno."

Mata rubah itu berbinar senang. Senyumnya tak dapat ia tahan untuk tidak terkembang, "Terima kasih, Papa! Aku penasaran, bolehkah aku membukanya sekarang?"

Anggukan samar itu semakin membuat Renjun penasaran. Ia angkat bagian kotak atas yang berfungsi sebagai penutup, membukanya dengan sedikit tak sabar. Matanya yang berbinar semakin terbuka lebar saat menemukan segulung kain berbahan wol yang tersimpan dengan cantik di dalamnya.

Tangannya bergetar saat menggenggam isi kotak yang kemudian ia ketahui sebagai kaos kaki mungil itu.

"Papa?"

Donghae tersenyum hangat. Tangannya terangkat hendak memeluk tubuh mungil sang menantu yang langsung disambut oleh Renjun.

"Untuk cucuku...." Bisiknya dengan suara bergetar. Ia kecup pucuk kepala menantunya dengan kasih sayang paling tulus yang ia miliki, berharap itu akan terus membekas meski raganya sudah tak ada lagi nanti.

Tubuh Renjun bergetar hebat. Tangannya meremas erat sepasang kaos kaki halus itu demi penahanan air matanya yang sebentar lagi jatuh. Napasnya memburu dan dadanya bergemuruh, menghantamnya dengan sensasi perasaan yang tak terdeskripsi.

Dengan hati-hati ia kecup lembut dahi yang sudah berkerut itu, menyalurkan cinta kasih terbaiknya kepada orang asing yang kini tiba-tiba terasa begitu berarti baginya.

"Terima kasih...."

Renjun berkata parau, mati-matian menahan isakannya, "Tetaplah bertahan untuk cucumu, Papa...."

-

Jeno menahan langkahnya saat mendapati pemandangan tak biasa yang tersaji di hadapannya kini. Pria itu baru saja akan menyebut nama sang istri saat irisnya justru menangkap sebuah isyarat yang membuatnya sadar bahwa diam adalah langkah terbaik yang harus dilakukannya sekarang. Di muka pintu kamar, ia mendapati pemandangan manis dua orang yang paling berharga di hidupnya.

Perasaannya kembali bergejolak, menamparnya dalam paradoks aneh yang meledak-ledak.

Dadanya merasa hangat, tapi juga sakit secara bersamaan.

"Aku juga mau memelukmu seperti itu, Papa...."

-

"Kamu mau makan apa hm?"

Keduanya kini sudah ada di kantin rumah sakit yang jaraknya cukup jauh dari kamar inap sang papa. Kantin ini berada di posisi terluar rumah sakit, berada di dekat gerbang utama. Mereka memutuskan datang ke sini setelah menyusuri kantin-kantin kecil di sudut rumah sakit lainnya yang sayangnya tak menyediakan apa yang diinginkan sang papa.

Menyadari bahwa orientasi pencarian makanan mereka saat ini adalah untuk papanya membuat Jeno bahkan tak merasa lapar sama sekali meski belum makan apapun sejak jam makan siang.

"Aku tidak lapar."

"Lalu?"

Renjun menatapnya dengan pandangan bingung, menangkap basah dirinya yang masih asyik melamun, "Makan dulu. Sudah hampir jam tiga sore, kamu belum makan siang. Tadi pagi saja baru sarapan sedikit kan?"

Mendapati siratan imperatif dalam nada bicara istrinya membuat Jeno tanpa sadar tersenyum tipis, sangat tipis sampai ia sendiri tak menyadari bahwa percikan hangat dalam hatinya tak termanifestasikan secara nyata.

Percikan hangat untuk perhatian manis istrinya yang selalu membuatnya merasa berharga.

"Jeno?"

"Aku mau tidur."

Ia berkata refleks sembari menatap Renjun dengan tatapan polosnya, "Aku ngantuk, lelah sekali rasanya. Mau tidur saja, boleh kan?"

Renjun sontak tersenyum manis untuk tingkah spontan suaminya yang kadang tak terduga itu. Ia remas pelan telapak tangan sang suami sebagai penyaluran dari rasa gemasnya yang saat ini tak bisa ia salurkan lewat elusan atau kecupan di pipi mengingat mereka sedang ada di tempat umum sekarang.

"Boleh, tapi setelah makan siang."

Jeno tampak mempertimbangkan itu dengan wajahnya polosnya yang datar yang semakin membuat Renjun gemas sendiri, "Setelah kita mencari manisan untuk Papa juga."

"Tapi nanti setelah itu aku boleh tidur ya."

Renjun mengangguk sembari terkekeh kecil, "Iya-iya. Tidur sepuasmu!"

Jeno mengangguk patuh kemudian balas menggenggam erat tangan sang istri, "Apakah ada bonus untukku karena sudah mau mencari manisan untuk Papa padahal aku sudah ngantuk?"

"Maksudmu?"

Mata keduanya bertemu untuk sebuah pandangan dalam yang sama-sama memancarkan sebuah kehangatan di sana.

"Mungkin sebuah pelukan hangat?"














Pernah ngga sebingung Jeno nunjukkin kasih sayangnya ke orang tua atau keluarga saking terlanjur jauhnya jarak antara kita dan mereka?








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top