《15》
Jalan-jalan malam adalah salah satu bentuk refreshing yang paling Renjun sukai dibanding berlibur ke tempat yang jauh atau makan malam di restoran mewah. Biasanya, kalau waktu dan suasananya bagus, ia dan Haechan akan berkeliling pasar malam dan mencicipi berbagai macam kuliner jalanan yang menggugah rasa. Meski kapasitas perutnya tak bisa menampung banyak dan makanan yang ia beli harus berakhir tertelan di perut Haechan.
Malam ini, setelah jeda panjang dari malam tahun baru dua bulan yang lalu, akhirnya Renjun kembali dapat menghirup hiruk pikuk dan kerlap-kerlip pasar malam yang meriah dan menyenangkan. Bedanya, sekarang yang berjalan di sampingnya adalah Jeno, suaminya yang sedari tadi mengucapkan berbagai jenis makanan yang ingin ia makan namun juga ia pertimbangkan.
"Kalau perut babi bagaimana?" tanyanya lagi kepada Renjun yang sedang fokus pada hiasan rumah yang dijual oleh seorang wanita paruh baya di hamparan meja kayu sederhana. Mendengar suara Jeno membuat ia menoleh dan mendapati suaminya yang tengah menatap sebuah stan kecil yang ramai dikunjungi orang.
"Kamu mau makan itu?"
Jeno mengangguk, "Kamu mau makan apa?"
"Nanti saja. Aku temani kamu dulu makan di situ."
Mereka berjalan menuju stan kecil yang dipasangi banner cukup besar itu dan duduk di salah satu bangku panjang di sana. Setelah memesan semangkuk samgyeopsal, Jeno kembali dengan sebuah nampan berisi baekseju dan dua gelas bir, "Kamu benar-benar tidak mau pesan?"
Renjun menggelengkan kepala sembari menuangkan minuman herbal beralkohol itu ke kedua gelasnya, "Aku sedang mengurangi makan daging merah."
"Kenapa?" Jeno bertanya terkejut sampai matanya yang sipit melebar, "Kamu sakit atau apa?"
Istrinya itu kembali menggeleng sembari terkekeh kecil, "Tidak. Aku cuma ingin menjaga pola makanku saja. Ingatkan kalau aku sudah berusia tiga puluhan?"
"Aku juga, umur kita sama. Lalu apa masalahnya?"
Renjun tampak menimbang kata-kata yang akan ia katakan sembari menyodori Jeno gelas bir yang sudah ia isi dengan baekseju, "Uhm, tidak ada masalah sih. Hanya saja aku berpikir di umur-umur sekarang ini kita harus lebih menjaga pola makan dan mengurangi konsumsi daging berlemak."
Mulut Jeno sedikit terbuka, merasa tak percaya dengan perkataan istrinya. Setelahnya muncul perasaan khawatir yang terkesan konyol dalam benaknya. Ia takut Renjun tak akan memberinya makan berupa daging-daging kesukaannya nanti.
"Tapi.... kamu tidak akan memberiku sayuran setiap hari, kan?"
Jeno bertanya lirih dengan kerjapan mata polos saat sang istri malah menertawainya, "Serius, aku takut akan makan sayur tiap hari!"
"Aku bukan vegan Jeno! Aku juga bukan ibu galak yang akan menyuruh anaknya makan sayur tiap hari."
Ia tatap Jeno dengan pandangan jenaka setelah tawanya meledak tadi, "Setiap hari mungkin akan ada daging, tapi juga harus ada sayur. Aku bertanggung jawab untuk memberikan gizi terbaik untukmu."
"Itu terdengar seperti seorang ibu yang sedang memengaruhi anaknya untuk makan sayur."
Renjun tersenyum manis kemudian mencubit kecil pipi tirus suaminya, "Bukannya kamu memang anakku hm? Ayo, sekarang waktunya makan samgyeopsalmu!"
Tangan halus itu menyodorkan pemanggang kecil berisi lembaran daging babi yang baru saja diantar oleh sang pelayan. Mata Jeno langsung berbinar dan tangannya langsung bergerak meraih sumpit untuk membolak-balik daging mentah itu, "Wanginya enak sekali. Kamu juga harus coba, Renjun-ah."
Renjun mencondongkan tubuhnya untuk ikut mencium aroma menggiurkan yang menguar dari pemanggang, "Nanti aku cicip sedikit."
"Kalau begitu, ini.... coba buku mulutmu!"
Jeno secara tiba-tiba menyodorinya selembar daging yang sudah setengah matang, "Suapan pertama haruslah untuk Ibuku tersayang."
Renjun membuka mulutnya dan menerima suapan pertama dari tangan suaminya. Lidahnya mencoba mengecapi masakan karya suaminya itu sembari menimbang rasanya, "Uhm lumayan enak. Terima kasih, Anakku!."
Jeno tersenyum geli. Sumpit yang berada di genggamannya kemudian ia sodorkan kepada Renjun, "Sekarang giliran kamu yang menyuapiku!"
Netra bulat yang cantik itu terbelalak tak percaya mendengar permintaan penuh antusiasme suaminya. Sembari menerima sumpitnya dan mengolah daging yang ada di atas pemanggang, ia tatap Jeno dengan pandangan jenaka, "Aku tidak menyangka kamu se-cheesy ini...."
"Bukan cheesy, aku hanya menikmati permainan. Kapan lagi kamu bisa jadi ibu dari pria setampan aku?"
Tawa Jeno kembali pecah, agaknya ia senang melihat wajah pura-pura kesal sang istri setelah mendengar penuturan narsisnya tadi.
"Anakku akan jauh lebih tampan darimu nanti!"
Ia sodorkan selembar daging kepada suaminya yang langsung dilahap Jeno dengan semangat, "Garis bawahi itu! Lebih-tampan-darimu!"
Yang diajak bicara dengan penuh penekanan itu hanya tersenyum manis sembari menahan dagu. Sambil menyelesaikan kunyahannya, ia tatap wajah cantik sang istri yang sedang pura-pura merajuk itu, "Kalau begitu, ia akan jadi anakku juga."
Tangannya yang bebas menggenggam sebelah tangan Renjun yang terkulai di meja, "Aku garis bawahi bahwa anakku juga akan setampan anakmu."
Pandangan keduanya bertemu. Ekspresi dalam wajah manis itu perlahan hilang, terganti menjadi gurat wajah kaget yang samar.
Menyadari keterkejutan istrinya, Jeno kembali tersenyum manis dan sedikit mendekatkan wajahnya untuk kemudian berbisik lirih, "Karena itu adalah anak kita."
-
-
Haechan tidak tahu kalau teman jalannya saat ini adalah pria yang porsi makannya cukup besar. Dilihat dari perawakannya yang atletis, ia sudah menduga bahwa Lucas pasti tipe pria yang sangat menjaga pola makannya. Tapi dugaannya itu langsung tertepis begitu saja saat sepupu Renjun ini terus mengajaknya ke berbagai stan makanan yang menyajikan kuliner khas yang berbeda.
Sekarang keduanya sedang ada di kedai mie dingin setelah berkeliling mencicipi berbagai jajanan ringan tadi.
"Kamu kalau sama Renjun seperti ini juga?"
Ia bertanya dan membuka obrolan sembari menunggu pesanan mereka datang. Lucas yang baru saja membuka ponselnya itu mengalihkan atensi kepada si lawan bicara kemudian menggeleng kecil, "Aku tidak pernah keluar seperti ini bersama Renjun. Kalaupun iya, dia pasti tidak akan makan banyak. Kau lihat saja tubuh kecilnya itu."
Haechan sontak memuntahkan tawanya, benar-benar merasa terhibur untuk pandangan serupa yang ditujukkan kepada sahabatnya. Ia kira hanya dirinya yang berpikir seperti itu.
"Aku setuju! Renjun itu memang payah kalau diajak kulineran seperti ini." Responnya sembari meneguk sekaleng kola yang mereka berdua beli tadi. Ia tatap Lucas yang tengah menahan tawanya, "Tapi mungkin kita bisa punya pandangan serupa karena kita berdua sama-sama hobi makan dan Renjun tidak."
Lucas mengangguk setuju. Tatapannya kemudian ia alihkan pada wajah Haechan yang sudah berpaling pada suasana malam di sekitar mereka. Orang-orang yang tadi memadati jalan perlahan mulai berkurang.
"Haechan-ssi...."
"Hm?"
"Apa kita akan kembali menghabiskan banyak waktu untuk kulineran bersama lagi?"
-
-
Jeno tak berharap kepulangan mereka akan diwarnai dengan saling diam seperti ini. Selepas menghabiskan samgyeopsalnya, ada yang sedikit berbeda dari Renjun. Istrinya itu jadi lebih banyak diam dan sesekali tertawa paksa. Niat Jeno yang akan kembali mencari makan untuk bisa bersama dengan Renjun nikmati itu pupus begitu saja saat sang istri dengan tiba-tiba mengajak pulang.
Dan di sinilah keduanya sekarang, berada di dalam mobil yang dingin dan sepi tanpa sepatah kata yang keluar dari bibir keduanya.
"Renjun...."
Jeno berani menjadi inisiator saat dirasa bahwa ia sudah mendapatkan simpul masalahnya. Renjun menjadi seperti ini selepas ia tertawa lebar untuk bahasan 'anak' yang disudutpandangi olehnya sebagai sebuah candaan. Meski begitu, ia tak begitu yakin untuk alasan eksplisit mengapa istrinya menjadi seperti ini.
Yang dipanggil olehnya kini mulai memalingkan atensi dan menatapnya dengan wajah yang sedikit mengantuk, "Hm?"
Jeno tak langsung menanggapinya. Pria itu memarkirkan mobilnya terlebih dahulu di parkiran terluar taman kota yang sudah sedikit lenggang. Matanya kemudian segera menangkap raut terkejut Renjun, "Kenapa parkir lagi?"
"Ada apa denganmu?"
Pertanyaannya mungkin terlalu pragmatis hingga mata sayu sang istri sontak terbelalak lebar, "Apa? Aku kenapa memangnya?"
Jeno menghela napas kecil kemudian memaksakan sebuah senyuman, "Kamu jadi banyak diam. Aku sedikit merasa khawatir."
Ia jatuhkan atensinya pada iris coklat sang istri yang pupilnya selalu membesar tiap kali netra keduanya saling berpagutan. Bibirnya kemudian tertarik tipis saat menyadari bahwa selalu ada binar samar dalam manik seindah senja itu.
"Aku hanya merasa sedikit terganggu dengan sesuatu."
"Soal anak?"
Renjun tak menunjukkan perubahan ekspresi berarti. Ia hanya menghela napas kasar kemudian memandang Jeno dengan sayu, "Sudah terlalu malam untuk berdebat mengenai dua hal yang bertentangan."
"Akan jauh lebih baik untuk terjaga sampai larut demi menyelesaikan sebuah masalah dari pada bangun lebih awal dengan permasalahan yang masih tertinggal dan menunggu diselesaikan."
Jeno bukannya mau menyulut perdebatan di antara mereka. Ia hanya memanfaatkan situasi di mana Renjun sudah menunjukkan kedewasaannya dengan mau berterus terang bahwa ada sesuatu yang mengganggu dirinya. Dan Jeno yang tahu sumber masalahnya merasa bersyukur karena itu artinya ia sudah dapat turun tangan lebih awal.
"Renjun...."
Ditatapnya dengan lembut netra sang istri yang kini tak terbaca, "Tidak ada yang bertentangan di sini."
Ia genggam tangan mungil itu dan meremasnya pelan saat dirasa tangan Renjun begitu dingin, "Aku minta maaf kalau itu sedikit mengganggumu akhir-akhir ini."
Iya, Jeno menyadarinya. Ia sadar bahwa Renjun mulai sensitif terhadap topik soal anak dan seolah menyembunyikannya rapat-rapat dari Jeno. Pria itu bukannya menghindar, hanya saja, ia tak ingin memberikan Renjun harapan semu.
Seingin apapun Jeno memiliki miniatur dirinya yang dilahirkan Renjun, tujuan esensialnya saat ini adalah memperbaiki dirinya sendiri dulu.
"Jeno-ya...."
Lamunannya buyar oleh suara halus sang istri yang kini sudah mengelus pipinya dengan lembut, "Jangan minta maaf, aku tidak marah. Hanya sedikit merasa kecewa kepada diriku sendiri yang terlalu banyak bermimpi."
Bibir merah muda itu tersenyum tulus untuk mencerahi wajah muram suaminya, "Harusnya aku mengerti keadaanmu."
Dikecupnya kening porselen sang suami yang terasa dingin hingga membuat Jeno seolah tersadar dari lamunannya. Pria itu kemudian memandang Renjun dengan matanya yang kelam. Tatapannya berubah menjadi sendu meski pada akhirnya sebuah senyuman tipis ia ulas perlahan.
"Terima kasih, Renjun."
Jeno membatin sedih. Bukan ini yang ingin dikatakannya. Ia ingin menjelaskan kepada Renjun bahwa dirinya juga memimpikan hal yang sama. Ia ingin bercerita bahwa dirinya juga mulai mengukiri seraut menggemaskan yang akan menjadi perpaduan sempurna antara wajah keduanya nanti. Ia ingin melihat darah dagingnya tumbuh dalam perut sang istri, menendang aktif saat tangannya mengelusnya dengan penuh kasih.
Jeno membatin sedih, kali ini untuk rasa kecewanya. Rasa kecewa pada dirinya yang masih berada dalam bayang-bayang ketakutan dan kecemasan akan mimpi indah yang mulai menghiasi bunga tidurnya itu.
"Maafkan aku, Renjun...."
Kesel banget sama part ini soalnya awalnya aku mau memproses adanya si bayi lumba-lumba huhu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top