《13》
Jeno merasa hidupnya berubah dalam sekejap mata. Jika kemarin saat bangun tidur ia langsung mandi dan mengejar waktu agar sempat sarapan di kantor, maka saat ini, saat ia membuka mata dan beranjak keluar dari kamarnya, hal pertama yang ia lihat adalah seluruh gorden rumahnya yang terbuka lebar dan wangi masakan yang menguar.
Semua terasa semakin lengkap dengan suara dua orang yang tengah mengobrol ringan di meja makan.
Jeno tersenyum tipis. Netranya terbuka lebar saat disuguhi pemandangan dua orang paling berarti di hidupnya kini tengah bercengkrama di meja makan, papanya, dan Renjun.
Renjun yang sekarang adalah istrinya.
"Pagi!"
Orang yang baru saja menaruh secangkir kopi di hadapan sang papa dan menyadari kedatangannya itu menyapa Jeno semangat dengan senyumnya yang terkembang lebar, membuat Jeno ikut menarik dua sudut bibirnya, hal yang tak pernah ia lakukan sepanjang hidupnya di pagi hari seperti ini.
"Ayo ayo sarapan! Renjun sudah masak banyak. Bibi Im sampai bingung harus masak apa."
"Aku gosok gigi dulu sebentar."
Saat ia kembali ke meja makan, hal pertama yang disadarinya adalah makanan-makanan yang tertata tak seperti biasanya. Biasanya, Bibi Im selaku asisten rumah sekaligus juru masak di rumah mereka hanya akan menyediakan roti panggang, salad, dan secangkir kopi untuk papanya. Tapi kini, mungkin karena yang mengambil alih dapur adalah orang yang berbeda, maka yang tersaji di depannya adalah makanan-makanan berat yang membuat perutnya keroncongan seketika.
Jeno melamun selama beberapa saat, memikirkan berapa lama Renjun menyiapkan ini semua.
"Aku suka masak dan bereksperimen dengan bahan makanan, jadi aku iseng masak banyak pagi ini. Sekalian untuk Bibi Im dan Paman Ahn."
Renjun menjawab keheranannya yang bahkan belum ia utarakan sembari membawa masakan terakhir. Istrinya itu dengan cekatan melepas apron hitam yang melapisi pakaian tidurnya kemudian bergabung dengannya di meja makan, tepat di sebelahnya, "Maaf kalau sarapan kali ini agak mengejutkan kalian."
"Tidak apa-apa! Papa suka, pokoknya nanti Papa hubungi Paman Chanyeol sekalian untuk ikut makan di sini. Akan kupamerkan kemampuan menantuku kepadanya."
Donghae berkata dengan begitu girang, membuat Renjun semakin tersenyum lebar. Jeno yang masih belum membuka mulutnya diam-diam tersenyum manis, dalam hati merasa bersyukur untuk wajah bahagia sang papa di depannya.
Jeno bahkan lupa kapan terakhir kali papanya terlihat sangat bahagia seperti ini.
"Ah ya, nanti pukul sembilan Papa akan pergi untuk melakukan peninjauan terkait program baru yayasan."
"Bukannya Papa masih libur? Maksudku--kita berdua sepakat untuk rehat sejenak setelah pernikahanku."
Papanya tersenyum simpul, "Bukan pekerjaan formal, hanya peninjauan biasa sambil minum kopi bersama teman-teman Papa. Lagipula...."
Pria paruh baya itu menghentikan kata-katanya kemudian memandang jahil mereka berdua, "Papa juga ingin memberi kalian waktu berdua.... sebagai pengantin baru."
Jeno mendengus kecil, sementara Renjun di sampingnya hanya terkekeh canggung. Tampak sekali kalau istri Lee Jeno mengerti tatapan jenaka yang diberikan mertuanya, "Hati-hati Papa. Beritahu aku kalau Papa akan mengundang teman-teman, biar aku masak lebih banyak lagi nanti."
Donghae mengangguk sembari tersenyum hangat. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan pelan ke arah Renjun, mengelus surai sang menantu lembut, "Terima kasih Sayang...."
Ia kemudian berbalik menatap Jeno yang masih sibuk dengan sarapannya, "Papa akan ke kamar dan menyelesaikan urusan sampai berangkat nanti. Kalian nikmati waktu di sini dulu saja, jangan terburu-buru pulang ke apartemenmu."
Jeno mengangguk dan mengacungkan jempolnya, mulutnya masih sibuk mengunyah masakan kaya cita rasa sang istri. Sementara Renjun di sampingnya juga mulai menikmati hasil kerja keras bangun pagi-paginya itu.
Keadaan rumah kembali sepi saat sang tuan rumah pergi. Jeno memang memutuskan untuk tinggal sementara waktu di kediaman sang papa sampai si tuan rumah merasa 'rela' melepas mereka berdua untuk hidup mandiri nantinya. Bersyukurnya Jeno karena Renjun menyetujui permintaan Donghae tanpa banyak membantah, bahkan, istrinya itu kini sudah semakin dapat beradaptasi dengan 'orang-orang rumah' di hari ke-enam pernikahan mereka ini.
"Bekas piringnya taruh di situ saja, biar Bibi Im yang mencucinya."
Renjun yang sudah menyalakan keran air itu memutarnya, ia tatap Jeno dengan bingung, "Memangnya kenapa kalau aku mencuci?"
Suaminya itu hanya menaikkan kedua bahunya, "Itu kan bukan tugasmu."
Renjun mendengus kecil, "Ini bukan soal tugas siapa, tapi soal tanggung jawab. Kan yang makan aku, masa piring kotornya aku kasih ke Bibi Im."
"Kalau begitu harusnya tadi Papa juga mencuci piringnya. Kenapa ia malah tetap menaruhnya di meja makan dan membiarkanmu membawanya ke wastafel untuk dibersihkan?"
Si manis yang masih berdiri di depan wastafel itu sedikit menganga tak percaya atas ucapan suaminya, apalagi dengan ekspresi wajah si tampan yang tetap datar saat mengatakan kata-kata menyebalkan tadi. Sejak enam hari yang lalu menyandang marga Jeno, baru kali ini ia mendapat 'pengetahuan' soal sifat lain suaminya itu.
Tak meneruskan kegiatannya, Renjun tetap berdiri di sana sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menatap suaminya tajam, "Kamu mau mengajakku berdebat soal apakah papa salah karena tidak membawa piringnya ke wastafel?"
Jeno mendongakkan wajahnya dan mendapati wajah kesal sang istri. Pria itu tiba-tiba ingin tertawa kencang karena tahu kalimat tak berartinya tadi telah membuat Renjun kesal. Sembari menyelesaikan kunyahan terakhirnya, pria di usia awal tiga puluh itu bangkit dari duduknya sembari membawa piring dan sendok yang baru saja ia gunakan ke wastafel yang masih dipijaki sang istri dengan wajah kesal.
Setibanya di depan Renjun, Jeno tersenyum lebar kemudian mengecup kilat pipi tembam istrinya, "Tidak. Aku cuma mau mengajakmu mencuci piring bersama."
Renjun sedikit kaget, tapi kemudian langsung mengerti maksud jahil suaminya tadi. Ia langsung bergabung dengan Jeno yang sudah memakai sarung tangan mencucinya dan membantu sang suami yang membersihkan piring kotor mereka.
"Aigo Jeno, kamu pasti belum pernah mencuci piring sebelum ini."
"...."
"Mulai sekarang kamu harus membiasakannya. Kita tidak akan sewa asisten rumah tangga setelah tingga berdua."
"Hm, tidak masalah. Ada kamu yang akan membantu, kan?"
Pandangan keduanya bertemu. Jeno memandang Renjun dengan wajah stoiknya yang dibalas oleh sang istri dengan senyuman tertahan.
"Mau buat jadwal pekerjaan rumah? Aku memasak dan kau mencuci piring."
Jeno mengangguk, "Ayo! Aku akan jadi ahli pencuci piring setelah ini!"
-
-
Meski Renjun mendapat cuti menikah selama dua minggu dan Jeno memutuskan hal yang sama, tapi keduanya masih belum menentukan kegiatan apa yang akan dilakukan selama mengisi waktu cuti itu. Selain karena masih lelah dan butuh mengistirahatkan diri setelah pemberkatan dan pesta pernikahan yang dilaksanakan hampir selama tiga hari kemarin, keduanya juga memang belum memikirkan soal rencana bulan madu sama sekali. Saat menikah secara tiba-tiba kemarin, Renjun bahkan memutar cara bagaimana agar pekerjaannya tetap terselesaikan mengingat ia punya beberapa daftar klien yang harus diurusi. Minggu lalu harusnya ia sudah menyusun rancangan asesmen untuk mendiagnosis pasien terbarunya, tapi niatnya urung karena persiapan pernikahan yang semakin mencekik. Jadi tugasnya itu untuk sementara ia tampung hingga suasana tenang.
Dan mungkin, sekaranglah waktu yang tepat untuk ia mengerjakan pekerjaannya yang tertunda itu.
Renjun membuka laptopnya dan siap merancang pertanyaan-pertanyaan sebagai bentuk observasi untuk asesmennya nanti. Ia menghembuskan napas lega saat tahu bahwa rancangannya sudah ia buat hampir sebagian, itu artinya Renjun tak perlu banyak memutar otak untuk memikirkan konsep pertanyaan dari observasinya ini.
Pintu terbuka dan menampilkan Jeno yang terlihat segar sehabis mandi. Pria itu hanya mengenakan celana pendek dan kaus tipis. Rambutnya masih sedikit agak basah dan kulitnya terlihat makin pucat. Renjun masih sedikit terpukau dengan penampilan sang suami sehabis mandi meski ia sudah berkali-kali melihatnya belakangan ini.
"Sedang mengerjakan apa?"
Jeno bergabung duduk di sampingnya. Wangi mint menguar dari tubuh atletis itu.
"Observasi untuk asesmen klienku. Oh ya, kamu sudah lapar?"
Renjun melirik penunjuk jam yang ada di layar laptopnya, "Sudah mau jam makan siang...."
Jeno yang ditanyai begitu sedikit kaget dan merasa pertanyaan sang istri sedikit lucu. Ia seperti tengah diperlakukan bak anak kecil oleh ibunya, "Memangnya kalau aku lapar kamu mau apa?"
Renjun mengalihkan tatapannya dari layar pc-nya itu, "Memasak untukmu. Memang apalagi?"
Si tunggal Lee yang mendengar jawaban istrinya itu terkekeh kecil hingga matanya menyerupai bulan sabit. Ia tak menjawabnya dan malah menidurkan kepalanya di paha empuk sang istri.
"Belum lapar. Aku ingin tiduran dulu seperti ini. Laparnya nanti saja kalau kamu sudah selesai."
Meski agak sedikit kaget, namun Renjun tetap tersenyum manis. Jeno yang sudah menghadapkan wajah tampannya ke perutnya sembari memejamkan mata itu membuat Renjun tak tahan untuk tidak mengelus surai basah suaminya, "Rambutmu masih basah, masa sudah mau tidur lagi?"
"Tidak tidur, cuma ingin istirahat saja. Aku lelah sekali rasanya."
"Lelah habis apa?"
"Mencuci piring."
Renjun tidak tahu harus merespon ucapan konyol suaminya dengan cara apa, apalagi saat kini Jeno membuka matanya dan malah terkekeh sendiri, menertawakan ucapan menyebalkannya tadi.
"Aku khawatir tahu! Apalagi semalam badanmu agak panas."
Tangan dengan tanda lahir bulatan hitam di punggungnya itu menyentuh dahi suaminya dan mendapati suhu normal di sana. Renjun lega karena ternyata Jeno benar-benar baik-baik saja.
"Aku memang cuma ingin seperti ini kok." Balas Jeno sembari menenggelamkan wajahnya di perut sang istri, seolah tahu bahwa Renjun pasti akan kembali memperdebatkan kondisinya.
"Ya sudah, seperti ini dulu saja. Kalau lapar jangan lupa bilang."
Jeno mengangguk-angguk kecil hingga Renjun dapat merasakan pergerakan halus di permukaan perutnya. Si manis bermata rubah itu tersenyum kecil sembari tanpa sadar mengelus surai basah suaminya dengan lembut, menimang bayi besarnya yang sebentar lagi mungkin akan menjelajahi mimpinya.
"Kamu mengingatkanku pada anak-anak di yayasan." Gumamnya pelan. Kini pikirannya sudah tak lagi bergelung dengan pekerjaan di depannya, melainkan pada suasana yayasan yang ramai oleh suara ribut anak-anak kecil dengan segala aktivitas mereka. Renjun tersenyum samar, perasaannya menghangat seketika saat rindu terhadap anak-anak yang memanggilnya 'mama' itu menghinggapi jiwanya.
Tarikan sudut bibirnya semakin bertambah lebar saat otaknya yang liar kini mulai menciptakan sosok baru yang akan memanggilnya dengan panggilan serupa. Sosok mungil menggemaskan yang wajahnya akan menjadi perpaduan sempurna antara Jeno dan dirinya. Sosok mungil menggemaskan yang akan meramaikan rumah sepi mereka.
Renjun hanyut dalam pikirannya yang bercabang hingga tak sadar bahwa orang yang kini membuatnya berfantasi liar adalah seorang Lee Jeno, suaminya yang tak pernah menyinggung apapun soal kehadiran sosok menggemaskan itu di antara mereka.
Mau nanyain kabar kalian tapi sadar kalau kita baru aja ketemu di chap sebelumnya dua hari yang lalu wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top