《12》
Sabtu pagi di penghujung minggu ini bak mimpi paling nyata yang tak akan pernah Renjun lupa.
Lonceng gereja berbunyi nyaring, misa pernikahan akan segera dilaksanakan kurang dari beberapa jam lagi. Renjun biasa mendengarnya dari apartemen di minggu pagi, sekedar menikmati lonceng sesaat itu. Tapi pagi ini, lonceng itu adalah suara yang akan membawanya pada upacara sakral sekali seumur hidupnya. Ia gugup. Rasa senang dan haru bercampur menjadi satu. Apalagi saat ibu dan ayahnya tak henti-hentinya mengelus lengannya dengan mata berkaca-kaca. Juga Haechan yang sedari tadi menemaninya di ruang rias sembari menangis tersedu-sedu. Hingga Renjun harus menenangkannya dengan memeluk tubuh sang sahabat sembari ikut menangis juga.
Hari ini begitu biru, hingga rasanya burung-burung yang ikut bernyanyi di langit biru yang menaungi gereja juga seperti terciprati warna-warna cerah yang cantik, seperti di negeri dongeng, begitu berwarna-warni. Bertebangan ke sana ke mari menghaburkan suka cita yang mengharu biru.
Waktu rasanya berlalu begitu cepat dalam sekejap. Lonceng dan rangkaian acara misa ini kini telah sampai pada perarakan. Jeno dan Renjun berjalan bersama menuju altar. Di belakangnya ada orang-orang yang sedari tadi menghujani mereka dengan binar tulus dan tangis bahagia, ikut mengantar mereka dalam penyatuan suci sehidup semati. Tubuh Jeno bergetar hebat. Jantungnya berdebar kencang dan dadanya meledakkan perasaan yang membuatnya tak bisa menahan semua yang ia rasakan. Langkah tegap sang papa di depannya membuat hatinya terenyuh. Punggung pria itu terlihat begitu rapuh, namun langkahnya masih tegap dan tegar. Seolah kasih sayangnya yang begitu besar membuatnya rela melepas anak sekaligus teman satu-satunya yang ia punya di sisa hidupnya, sendirian, tanpa pendamping yang bisa ia genggam untuk menguatkan.
Mata Jeno memanas. Tangannya mengepal kuat. Tapi kemudian, tangan itu digenggam oleh tangan mungil yang sedikit berkeringat.
Tatapannya ia alihkan pada Renjun yang tersenyum ke arahnya meski dengan mata yang berkaca-kaca, dan saat itu air mata Jeno tumpah. Meski hanya setetes, namun Jeno tahu bahwa orang di sampingnya inilah yang akan menjadi tempat ia menumpahkan air mata di sepanjang hidupnya nanti, mulai dari hari ini, hingga selamanya.
Keduanya sampai ke altar dalam suasana yang khidmat dan tenang. Jeno dan Renjun kini saling berhadapan. Ekspresi keduanya sama-sama tak dapat dideskripsikan oleh masing-masing. Namun satu yang mereka tahu, bahwa wajah yang kini mereka tatap adalah wajah yang akan mereka lihat pertama kali untuk mengawali hari, juga wajah terakhir yang akan menemani di penghujung hari.
Masing-masing wajah yang mereka tatap sekarang adalah wajah yang akan mengantar mereka meninggalkan dunia suatu hari nanti dalam kedamaian.
Hati mereka menghangat, mata mereka kembali berkaca-kaca, terlalu gamang untuk mendeskripsikan bagaimana perasaan yang meledak-ledak di dalam sana.
"Lee Jeno dan Huang Renjun, sungguhkah kalian dengan hati bebas, tulus, dan ikhlas hendak meresmikan perkawinan ini?"
Jeno menatap Renjun sebelum bibirnya dan bibir Renjun berucap, "Ya. Sungguh."
"Selama menjalani pernikahan nanti, bersediakan kalian...."
Keduanya masih saling memandang dengan tatapan dalam, menenangkan hati masing-masing dengan memandang wajah yang kini seolah menjadi pusat dari dunia baru mereka. Suara Imam yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebelum pengucapan janji sehidup semati seolah makin mengukuhkan kemantapan hati mereka untuk yakin bahwa wajah yang masing-masing mereka tatap inilah pelabuhan hati terakhir.
Dalam keterkejutannya Jeno sadar bahwa ini saatnya ia mengucap janji pernikahan. Setelah berdehem kecil, ia hembuskan napasnya dengan panjang.
"Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua dan saksi, saya, Lee Jeno, dengan niat yang suci dan hati yang ikhlas memilihmu, Huang Renjun, menjadi istri saya dan berjanji untuk setia kepadamu dalam untung dan malang, suka dan duka, sehat dan sakit. Dengan segala kekurangan dan kelebihanmu, saya akan selalu mencintai dan menghormatimu sepanjang hidup saya."
"Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua dan para saksi, saya Huang Renjun, dengan niat suci dan hati yang ikhlas memilihmu, Lee Jeno, sebagai suami saya dan berjanji untuk selalu setia kepadamu dalam untung maupun malang, suka maupun duka, sehat maupun sakit. Dan dengan segala kekurangan maupun kelebihanmu, saya akan selalu mencintaimu dan menghormatimu sepanjang hidup saya."
Riuh tepuk tangan tamu seolah melepas beban yang mengganjal di diri keduanya. Jeno tersenyum manis ke arah Renjun, yang dibalas oleh senyuman bangga dari pengantinnya. Keduanya kemudian memagutkan bibir mereka secara perlahan, menyatukan dua jiwa mereka sebagai perlambangan dari penyatuan selamanya.
Donghae yang sedari tadi matanya sudah berkaca-kaca akhirnya menjatuhkan air mata saat menyadari ia sudah melepas anaknya dalam sebuah pernikahan yang ia harap akan bahagia selamanya. Jenonya sudah dewasa sekarang, sudah memiliki bahu lain yang bisa menompang hidupnya, kesepiannya, juga kesakitannya selama ini. Pria setengah baya itu menangis dalam diam. Ia lega kehidupannya sudah lengkap. Anak sekaligus orang yang paling ia sayangi dan khawatirkan sepanjang hidupnya kini jatuh ke pelukan orang yang tepat. Ia tak lagi takut jika suatu hari nanti harus menutup mata untuk selamanya. Jeno dan Renjun membuat kepulangannya terasa damai nanti.
Dirogohnya saku jasnya untuk mengeluarkan sebuah cincin putih yang serupa dengan yang melingkari jari manisnya, senyumnya terkembang di tengah matanya yang masih berkaca-kaca, "Jeno sudah bahagia, Soo Yeon-ah...."
Sementara di bangkunya, Haechan sudah banjir air mata meski ia mati-matian berusaha menahan tangisnya. Perasaannya berkecamuk dalam hati. Ia merasa sedih dan bahagia. Sedih karena harus melepas Renjun, satu-satunya orang yang ia miliki, ke hidup orang lain. Meski begitu, ia tahu bahwa ia tak bisa seegois ini untuk senyum bahagia sahabatnya di altar sana.
"Hallo! Kamu kerabat yang ikut perarakan tadi kan?"
Tangannya yang sibuk mengusap wajahnya terhenti saat sebuah suara berat menyapa gendang telinganya. Di sampingnya kini sudah duduk seorang pria tinggi dengan jas rapi dan kulit yang sedikit kecoklatan, begitu tampan. Haechan yang tak siap dengan air matanya yang masih tersisa berusaha tetap tersenyum, meski dalam hati memaki dirinya sendiri yang pasti terlihat memalukan sekarang. Seingatnya, bangku di sebelahnya ini terisi oleh seorang ibu-ibu tadi.
"Iya. Aku temannya Renjun."
"Wah benarkah? Teman dekatnya ya? Ah kenalkan, aku Wong Yukhei, sepupunya Renjun dari China. Aku juga ikut perarakan tadi."
Haechan ber-oh ria sembari mengangguk mengiyakan. Ia terima jabatan tangan yang jauh lebih besar darinya itu, "Aku Haechan, Lee Haechan. Temannya Renjun sejak bangku kuliah."
Yukhei tersenyum lebar hingga sosoknya semakin terlihat hangat, "Senang bertemu denganmu, Haechan-ssi. Kebetulan aku tak ada teman di sini, semua teman Koreaku akan datang nanti. Jadi saat melihatmu yang juga sendirian, aku langsung datang. Kamu tidak keberatan kan?"
Si manis berkulit tan itu langsung menggeleng sembari sedikit tergelak dalam tawa, mengapresiasi Yukhei yang langsung banyak bicara sekaligus mencairkan suasana di antara mereka. Teman barunya ini pasti orang yang baik dan menyenangkan, pikir Haechan.
"Tadi kamu bilang kamu punya teman di Korea, itu berarti kamu juga tinggal di sini?"
Pria dengan tubuh atletis yang tetap terlihat meski dalam balutan jas itu mengangguk, "Aku bekerja sebagai model pakaian di rumah mode milik kakak iparku."
Mata Yukhei teralih ke bangku di ujung barisan, menunjuk dua orang dewasa yang terlihat tengah berbincang. Salah satu dari mereka yang berwajah dingin namun cantik memangku seorang gadis kecil bergaun putih dengan pita berwarna senada yang tersemat di rambut halusnya, "Itu, kakakku dan suaminya, Kak Winwin dan Jaehyun Hyung."
Haechan mengangguk sambil matanya ikut menatap dua orang yang ditunjuk Yukhei. Ia sedikit terpana dengan visual keduanya yang nyaris sempurna. Tak heran mengapa gadis mungil yang sibuk berceloteh sendiri di pangkuan ibunya itu menjadi pusat perhatian para orang tua di sekitarnya.
"Haechan-ssi...."
Atensi Haechan kembali teralih ke arah pria di sebelahnya, "Ya?"
"Tidak tertarik untuk ikut mendapatkan bunga?"
Pandangan keduanya sama-sama tertuju pada sang mempelai yang siap melemparkan bunga dari atas altar dengan beberapa teman dekat yang menunggu lemparan bunga itu di bawahnya. Haechan terkekeh kecil sembari menggelengkan kepala, "Ckck konyol. Kalau sudah waktunya aku pasti akan menemukan jodohku kok meski tidak mendapatkan bunga itu."
Yukhei yang mendengar itu menatap sesaat teman bicaranya yang masih memandangi kerumunan di depan sana. Dirinya tersenyum kemudian mendengar jawaban itu, "Ya, kau benar."
Acara inti mulai berganti menjadi resepsi. Para tamu mulai dapat berinteraksi dengan pengantin. Beberapa teman Renjun sudah berkesempatan berbincang dan memberi selamat kepada sang mempelai, pun dengan teman dan rekan bisnis Jeno maupun sang papa.
"JENO-YA!!"
Teriakan nyaring seseorang yang naik ke atas pelaminan itu membuat atensi keduanya teralih. Seseorang dengan wajah manis dan tubuh yang tinggi tiba-tiba saja menerjang Jeno dengan pelukan erat dan pukulan 'semangat' di bahunya, "YAK! HEY AKHIRNYA KAU MENIKAH!!"
"Ish, berisik Nana-ya!"
Orang yang dipanggil Nana itu terkekeh kencang sebelum seorang pria di belakangnya menghentikan dengan lingkaran tangannya di pinggang si manis, "Maaf, istriku ini masih suka berlebihan dan heboh. Oh ya, selamat ya Jeno, selamat juga Renjun-ssi."
Jeno tersenyum lebar mendengar ujaran permintaan maaf sang sahabat dan istrinya yang sudah menjadi sahabatnya sejak kecil itu. Ia menerima jabatan tangan suami sahabatnya sebelum keduanya berpelukan akrab, "Tidak apa-apa Mark Hyung. Aku sudah sangat maklum dengan dia. Oh ya, terima kasih sudah menyempatkan datang! Pasti lelah ya langsung ke Korea setelah berbulan madu di Bali kemarin?"
"Apa-apaan terima kasih itu? Kami kan keluargamu, sudah seharusnya datang tahu!"
"Siapa yang keluargamu huh? Mark Hyung saja sebenarnya malas jadi suamimu."
"Ish Jeno!"
"Hei, kalian tidak malu dengan Renjun-ssi? Jangan-jangan nanti Renjun-ssi juga malas jadi istrimu, Jeno-ya."
Tawa keempatnya pecah, termasuk Renjun yang sedari tadi hanya diam itu. Kalau boleh jujur ia memang masih sangat asing dengan semua teman Jeno. Tapi khusus yang tadi itu, yang dipanggil Nana, sepertinya ia tertarik untuk mengenalnya. Orangnya terlihat sangat bersahabat dan mungkin tahu Jeno lebih baik dari dirinya.
"Renjun-ah...."
"Ya?"
"Ada jeda sebentar untuk kita istirahat dan makan. Mau makan bersama?"
Renjun menatap keadaan di sekitarnya yang masih ramai oleh tamu, meski sudah tak ada yang menyalami mereka. Ia lirik sekilas jam dinding yang tergantung mewah di muka pintu gereja besar ini, sudah menunjukkan jam makan siang. Meski begitu ia tak merasa lapar.
"Kalau kamu tidak lapar cukup temani aku makan di ruangan privat kita."
"Huh, memang ada?"
Jeno tersenyum manis, "Khusus untuk kita, pihak gereja menyediakannya."
Renjun sedikit merasa tak percaya. Ia akan mengangguk mengiyakan sebelum suara Jeno kembali terdengar.
"Ayo! Ingatkan janji kita tadi bahwa akan selalu bersama selamanya, di manapun, kapan pun!"
Renjun terkekeh kecil mendengar penuturan yang keluar dari mulut suaminya itu. Ia tak ingat bahwa tadi mengucapkan kata-kata itu, tapi biar sajalah. Toh wajah semangat Jeno yang sepertinya sudah kelaparan membuatnya tak tega untuk menolak keinginannya itu.
"Habis ini acaranya akan semakin padat. Kita akan pindah ke gedung resepsi. Nikmati waktu kita berdua dulu meski hanya sesaat, oke?"
Lagi-lagi Renjun hanya dapat menurut. Ia genggam tangan suaminya itu kemudian mencuri satu kecupan di pipi putih Jeno, "Oke!"
Semoga part pemberkatan ini ngefeel ya, soalnya aku agak terharu gitu pas nulis part innernya Jeno ke Donghae huhu;')
Oh ya, sekali lagi, kayanya aku gaakan pernah bosen ngucapin terima kasih ke kalian yang udah ngasih semangat, terutama yang lewat komentar. Makasih banget ya, aku sayang kalian semua<3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top