《1》

"Mendapat Penghargaan Dari Presiden, Huang Renjun si 'Ibu Sejuta Anak' Langsung Dipersunting 'Lee Foundation' "

Renjun menghela napas kasar membaca headline berita koran yang didapatnya secara cuma-cuma dari sahabatnya, Haechan, yang sengaja menggodanya. Ia menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa sembari berteriak tertahan, merasa malu sekaligus tak nyaman.

Media sekarang memang terlalu membesar-besarkan! Itu rutukan yang memenuhi otaknya sedari tadi. Ia tak menyangka bahwa sosok orang biasa sepertinya bisa sampai menjadi bahan berita di beberapa acara TV dan media massa selama beberapa hari ini. Sejak diundang ke salah satu stasiun televisi seminggu yang lalu, namanya mulai sering muncul di platform media massa. Awalnya hanya seputar sosok dirinya yang 'katanya' memberi inspirasi karena mau menjadi 'ibu asuh' untuk anak-anak terlantar di Korea Selatan. Renjun akui ia sedikit merasa bangga terhadap dirinya sendiri untuk tanggapan positif publik terhadap apa yang ia lakukan. Tapi lama-lama ia merasa bahwa sosoknya menjadi terlalu dibesar-besarkan, apalagi saat salah satu media berhasil mengendus kabar soal 'terkoneksinya' ia dengan yayasan kemanusian yang cukup besar, Lee Foundation.

Lambat laun, berita soal dirinya kini mulai dikait-kaitkan dengan berbagai hal seputar Lee Foundation. Dari mulai cocoklogi, sampai prediksi asal soal tanggal pernikahannya dengan anak satu-satunya pemilik yayasan tersebut. Padahal Renjun sudah cukup merasa tenang karena sosoknya--yang ia yakini tak akan bertahan lama membekas di ingatan publik--mulai dilupakan oleh para jurnalis-jurnalis kehausan berita itu.

"Hahhhh...."

Sekali lagi ia menghela napas kasar, sebelum kemudian Haechan datang dengan wajah serius yang jarang ia tampilkan.

"Ada tamu yang mencarimu. Dia di lobby sekarang."

"Siapa?" Jawabnya malas sembari merebut botol minuman di tangan Haechan.

"Entah." Haechan tak mau ambil pusing soal minumannya yang diambil paksa oleh Renjun, "Ia cuma memperkenalkan diri sebagai Tuan Park dari Lee Foundation."

Byurrrr

Karena ia tahu bahwa Renjun akan menyemburkan minumannya dan itu berarti mereka berdua sama-sama tidak menikmati minuman kaleng itu.

****

Renjun berdiri dengan gelisah di dalam lift yang membawanya turun ke lantai dasar. Tangannya yang menggenggam ponsel pintarnya itu sedari tadi memainkannya dengan asal. Sesekali mengecek aplikasi obrolan online, yang ia harapkan akan ada pesan dari Haechan. Sejak meninggalkan kamar apartemennya di lantai dua puluh empat dengan Haechan yang katanya mau menumpang nonton film, Renjun sudah gugup bukan main. Bahkan saat baru saja menaiki lift yang ia tunggu dalam waktu yang cukup lama, tangannya sudah bergerak lincah menulis pesan kepada Haechan agar anak itu mau menemuinya menemui--

"Ah, hallo, Huang Renjun-ssi!"

--Tuan Park yang kini muncul di muka pintu lift sembari tersenyum tipis.

Renjun tersenyum kikuk kemudian membungkuk kaku. Dalam hati, ingin rasanya ia kembali ke dalam lift dan pergi ke kamarnya kemudian memarahi Haechan yang membiarkannya terjebak dalam situasi canggung begini.

"Aku baru saja akan menyusulmu ke lantai dua puluh empat."

"Aku tidak peduli...." batin Renjun dalam hati, tapi ia urungkan mengingat pria paruh baya di depannya ini tak memiliki salah apapun terhadapnya. Karena yang salah adalah Renjun sendiri dengan sikap awkward-nya yang sudah akut itu.

"Ah, maaf jika saya membuat Anda menunggu terlalu lama." Balasnya dengan cepat sembari mengikuti Tuan Park yang kembali berjalan ke sofa di sudut ruangan lobby ini. Renjun sedikit merasa beruntung karena suasana lobby siang ini cukup sepi. Jadi ia tak perlu merasa tak nyaman dengan obrolannya mereka nantinya.

"Bisa kita pergi sekarang? Atau Anda butuh waktu untuk bersiap-siap?"

Renjun mengerutkan keningnya kemudian mulai merasakan jantungnya yang berdebar. Ia baru saja berdamai dengan perasaan enggannya untuk mengobrol berdua bersama Tuan Park, tapi kemudian harus kembali dibuat tegang saat ternyata mereka tak akan menghabiskan waktu di lobby untuk mengobrol bersama.

"Pergi ke mana?"

Tuan Park juga tak kalah terkejut mendengar itu, "Bukankah Tuan Lee sudah memberitahu Anda soal pertemuan siang ini?"

Ya Tuhan! Pertemuan macam apa yang dibicarakan pria ini sekarang? Renjun rasanya ingin mengacak rambutnya saking frustasi. Ia mengutuk dirinya sendiri yang bisa-bisanya melupakan hal krusial yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak semalam.

Pertemuan dengan Tuan Lee menjadi momok tersendiri bagi Renjun sejak tawaran itu dilayangkan tiga hari yang lalu, dan bisa-bisanya ia malah melupakan masalah krusialnya itu.

"Ah ya, aku ingat. Tapi aku lupa membawa tasku. Sebentar...." Katanya dengan sopan. Saat anggukan itu ia terima, Renjun buru-buru melangkahkan kakinya kemudian menyembunyikan wajah gugupnya di balik pintu lift yang perlahan tertutup.

"Ya Tuhan, tolong bantu aku untuk tidak bertindak memalukan dengan rasa canggungku!"




****

MBC Night News

"Apa yang membuat Anda tertarik untuk mengadopsi banyak anak, Renjun-ssi?"

Renjun tersenyum mendengar pertanyaan itu, "Sebelum menjawabnya, mungkin aku harus meluruskan soal adopsi. Aku tidak mengadopsi mereka secara penuh, hanya bertindak sebagai 'ibu' mereka baik secara finansial maupun pendidikan."

"Finansial secara penuh? Dengan uang Anda?"

"Aku tidak yakin soal apakah aku memberikan finansial secara penuh atau bahkan tidak sama sekali. Aku hanya bekerja sebagai seorang psikolog, gajiku mungkin tak seberapa untuk menghidupi tiga puluh satu anak yang sudah tertampung di yayasan yang aku bangun bersama rekan sesama pemerhati anak lainnya. Tapi, karena aku sudah membulatkan tekad untuk mendedikasikan hidupku bagi anak-anak yang membutuhkan, maka prioritasku saat ini adalah mereka, termasuk jika itu berarti aku harus banyak mengeluarkan uangku."

Sang pembawa acara mengangguk kemudian membacakan pertanyaan lainnya, pertanyaan yang sedari tadi Renjun tunggu, "Apa yang mendasari Anda untuk membangun yayasan seperti ini? Maksud saya, Anda pasti tahu bahwa selama ini sudah banyak sekali Yayasan serupa bahkan komunitas-komunitas pemerhati anak?"

Pertanyaan paling esensial yang ia tunggu itu Renjun jawab dengan nada yakin, "Aku tidak yakin soal ini, tapi belakangan, aku tertarik dengan parenting. Bagiku, memiliki dan merawat seorang anak bukan hanya soal memberikan mereka makan dan hal finansial lainnya. Tapi lebih dari itu, aku ingin menjadi seorang ibu yang bisa membuat seorang anak menjadi manusia yang bahagia dan berguna, setidaknya untuk dirinya sendiri."

"Dan Anda berpikir bahwa anak jalanan lah yang tepat?"

Renjun mengangguk mantap, "Tentu saja.
Anak yang bahkan lahir dari keluarga lengkap saja bahkan kadang tidak bahagia. Saya bicara sebagai seorang psikolog yang seringkali mendapati klien dengan trauma masa kecil yang membentuk kepribadiannya saat ini. Sejak saat itu, saya menyadari bahwa parenting yang ramah anak sangatlah penting. Terutama untuk Korea dengan tingkat kelahiran yang rendah. Setidaknya, saya ingin membuat anak-anak yang jarang dilahirkan di negeri ini bisa menjadi seorang anak yang membanggkan dan berharga, terutama untuk dirinya sendiri.

"Singkatnya, aku mendirikan yayasan ini bukan hanya untuk menghabiskan uangku untuk mereka, tapi juga menghabiskan hidupku untuk belajar bersama mereka. Aku akan belajar menjadi seorang Ibu yang baik, yang bisa membentuk mereka menjadi 'manusia' yang sesungguhnya."

--

Di balik kaca mata bacanya yang melorot sampai pangkal hidung, pria tua itu tersenyum hangat. Tayangan TV yang ia tonton berulang-ulang itu semakin membuatnya yakin akan keputusan yang telah ia pikirkan baru-baru ini. Matanya yang sayu kemudian teralih pada jam tangan mewah yang melingkari pergelangan tangannya, terus memantau waktu yang terasa merangkak lambat saat ia sudah merasa tak sabar untuk pertemuan yang ditunggunya itu.

"Saya dan Renjun-ssi sudah sampai di tempat yang Anda tentukan, Tuan Lee."








--




Mohon maaf yang sebesar-besarnya kalau dirasa plottingnya rada aneh dan (as always) psikologi banget hehe;'3


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top