BYT | 45
♛Its hurt to know that we are not belong to each other, that we're now a stranger ♛
Mataku jatuh pada Lufasz yang sedang berada di dalam ruang kerjanya, sebuah bilik yang berdindingkan kaca lutsinar , lelaki itu sentiasa menghabiskan waktunya di situ. Berkemungkinan dia membawa pulang segala urusan kerjanya. Semata-mata untuk kau ... untuk rawat kau...kau... suka kan...susahkan orang lain...
Coklat panas ku sisip perlahan, menemukan mug itu ke bibirku. Sweater lengan panjang yang aku pakai malam ini ku lirik sekilas, sejujurnya pada lengan kiriku yang berparut.
Ku selak ke atas lengan sweater kiri ku, menatap kosong parut yang kekal di sekitarnya. Garisan panjang , merah keungguan, seakan satu corak di kulitku.
these scar are not something you should afraid of to keep alive , these ... are not just a bad memory about him, its about you... your survival —— "
My survival, really—— bibirku tersenyum senget , melarikan jemariku di kesan parut itu ,
" and I will stay by your side , be your crown and your weapon , so please, never let your head down or your crown might slip away"
Crown...waepon ? Mataku naik menemui dirinya yang masih sibuk dengan kerjanya, jemarinya lincah menaip di keyboard laptopnya, malah ... dengan cermin mata bulatnya membuatkan aku tergamam pada awalnya, drastik dengan perubahan wajahnya dengan hanya cermin mata itu.
" you might dying, but that's the beauty of life , "
Dying... aku sememangnya berada dalam situasi itu...
" can I have your attention—— "
Terdongak aku melihatnya yang sudah berdiri dihadapanku, senget wajahnya membalas renunganku. Dan , bingkai cermin mata itu masih terletak di atas pangkal hidungnya ,
" uhm... sure ? " aku lihat dia membisu sementara melabuhkan duduk di sofa bertentanganku.
Anak matanya polos melirik lengan sweaterku yang terangkat, mendedahkan lengan kiriku yang berparut.
" aku dah setkan appointment dengan specialist pagi esok , for your scar ... "
Anggukan jadi jawapanku, masih kekok dengan 'penyelamat' ku ini.
" macam mana... " mataku melirik matanya, sebelum menyambung bicaraku,
" awak boleh jumpa saya time accident tu ? " pertanyaanku dibalas kebisuan dan renungannya yang redup.
Jemarinya disatukan , jelas terlihat di penglihatanku .
" bukan aku " pendek dan membuatkan lebih banyak persoalan bermain di benak fikiranku tika ini, namun belum sempat aku menyuarakan isi hati ,dia sudah menangkis ,
" that's all for tonight, have a good rest —— " ujarnya sebelum berdiri , berura-ura untuk kembali ke ruangan kerjanya namun terhanti saat dia sedar mataku terarah pada cincin di jemarinya.
Looks like a weeding ring —
Mungkin sedar akan tatapan ku pada cincin itu, dengan pantas tangannya yang lain menutupnya dari pandanganku , membuatkan mataku naik menemuinya.
" night " mendatar namun terselit ketegasan sebelum dia menyambung semula langkahnya ke ruang pejabat itu.
" kau datang esok ? " soal Lufasz dalam corong telefonnya,
Lucas mengeluh, " aku ada meeting dengan Carl's esok, I don't think I could make it ..mate —— "
" suka hati kau lah, but ... aku dah beritahu dia yang bukan aku jumpa dia waktu accident tu —— " tutur Lufasz sesekali melirik ke luar biliknya, melihat sama ada Dhia Hazatul masih berada di situ.
" did you mention bout me ? "
" nope " balas Lufasz sebelum menambah lagi ,
" not yet , I'm looking for it " jelasnya membuatkan sahabatnya mengeluh panjang. Senyuman sinis meniti di bibirnya.
" Fine , aku akan jumpa dia ..and I'll tell her ok ? But, please not now... my snowflakes shouldn't know about me yet ... untill semua masalah ni selesai ... I can't risk her life again... "
" snowflakes hum —— macam mana dia survive kalau kau sendiri ..."
" eh , kau jangan nak pertikaikan ..suka hati akulah..aku abang dia ! " selaran Lucas membuatkan Lufasz chuckle .
" sure —— " balas Lufasz bersahaja sebelum mematikan panggilan itu.
Iphone nya diletakkan di atas meja sementara dia duduk di hujung meja itu, menyandarkan hampir separuh tubuhnya.
Cincin di jemarinya ditatap kosong, jarinya sudah menarik keluar cincin itu namun terhenti di seperuh jalan, hela berat dilepaskan sebelum cincin itu benar-benar ditanggalkannya dan disimpan ke dalam poket seluar.
"
Best treatment ... by surgery to remove the scar ... or by sillicon sheet to flatten the scar —— "
" surgery ... plastic surgery ? "
Pertanyaanku dibalas senyuman pahit oleh specialist itu, sebelum matanya melirik Lufasz di sisiku .
Bibirku ketap , menjatuhkan pandanganku ke arah dinding lutsinar di koridor hospital itu. Melihat pantulan diriku, tanganku naik menyentuh permukaan sisi wajahku yang bertampal kain kasa.
Aku ...cacat ?
Rambut yang berikat ku lepaskan, melindung sisi wajah ini, kerana jauh di sudut hatiku... I'm feel... weird...and kind of hurts...
Hela berat ku hela, meliarkan mata cuba mencari susuk Lufasz yang menghilang.
Sebelum tiba-tiba bahuku dirempuh, mataku pantas naik melirik pelakunya,
Kaki ku goyah, saat mata ini bertentang dengan matanya yang jelas menikam wajahku tajam.
Sebelum sempat aku melarikan diri, lenganku sudah digenggamnya, kasar memakukan kaki ku .
" kenapa lari —— " tegas suaranya menikam jiwaku, namun aku cuba meleraikan genggamannya pada lengan ini, kerana lengan kiriku yang terluka menjadi sasarannya tanpa sedar.
Bibirku ketap kuat menahan perit cengakaman kukunya pada kesan luka yang terselindung di balik sweater .
" finn please , you hurt me " tuturku masih mengetap bibir , namun dia masih tidak hiraukan.
" Apa yang Haq tanggung tu lebih sakit daripada ini ! " selarnya tanpa sedar kukunya jauh menikam lenganku. Tidak kurang sesaat, lenganku ditariknya tanpa belas.
" ikut aku, tempat yang sesuai untuk kau adalah penjara —— " marahnya masih menarik kasar lenganku , memaksa kaki ini mengejar langkahnya. Beberapa jururawat dan orang awam yang melihat hanya tercengang , tiada yang cuba ke hadapan bagi menyoal tindakan lelaki ini.
" finn tolonglah...let me explain ! "
" sure ! Dalam sel besi nanti" kakinya terus mara ke hadapan menarikku ibarat guni .
Sehinggalah dia tiba-tiba berhenti , menoleh padaku dengan kening yang bertaut.
Anak matanya jatuh pada lengan sweater ku yang sudah diselaputi tompokan darah. Darah dari luka di lenganku.
Cecair hangat itu memenuhi tapak tangannya , sebelum lengan sweater ku itu dia tarik ke atas.
Naik turun nafas cuba aku tenangkan, sementara dia menilik lenganku. Wajahnya berkerut , jelas kebingungan meniti di segenap wajahnya sebelum anak mata sama naik menemuiku.
" muka kau —— " tuturnya perlahan , " lengan kau ,what happened ? "
Sama ada dia tidak tahu atau hanya...berpura-pura... dan aku balas dengan kebisuan. Fikiranku lebih memfokus pada butir bicaranya tadi.
Apabila tangannya cuba menyentuh wajahku , dua tapak aku berundur darinya, membina jurang antara kami.
" dhia —— "
" penjara ? Lari ? " anak mataku tajam menemuinya sebelum realiti benar-benar memukul ku, " —— awak fikir saya bunuh Haq " satu pernyataan keluar dari bibirku, membuatkan tubuhnya kaku.
" dhia...aku —— " tangannya yang cuba merangkul tanganku aku tepis, tergeleng dengan andaian dia.
Jadi..di mata dia..aku pembunuh pula...mudahnya ...begitu mudah membuat andaian...
" he is not good for you..I'm sorry, but... I don't see any good in your relationship... "
" he is broken..too broken to be fix either by you —— "
" he is right — " gumamku, apa yang haq cakapkan..betul... lelaki ini..tidak baik untukku.. aku ..terlalu bodoh fikir kami akan ada pengecualian... no, aku bodoh kerana terus menerus berharap cinta dia..yang sememangnya hanya buat kekasihnya...
" dhia... a—aku tak tahu kau cedera... I'm sorr—— "
" I think its enough " suara mendatar Lufasz menangkis bicara Finn Qaees.
" kau ! " selaran Finn Qaees membuatkan aku melirik Lufasz aneh.
Lufasz hanya melirik kosong sebelum matanya jatuh pada lenganku yang bertompokan darah.
" we need to fix that one first —— , then " anak matanya melirik pada Finn Qaees sebelum menyambung , " I'll talk to you "
Lufasz mengarahkan aku berpusing , kembali ke dalaam hospital untuk merawat lenganku. Aku lirik sekali lagi wajah Finn Qaees sebelum mengejar langkah Lufasz yang sudah jauh menapak meninggalkan kami.
" macam mana awak kenal Finn Qaees —— "
Dia membisu, menjatuhkan tumpuan sepenuhnya pada Ipad di tangannya, beberapa kertas kerjanya dilirik sepantas kerdipan mata ,membandingkan dengan data yang dipaparkan di skrin Ipad itu.
" kau nak berdiri di situ sampai aku beri jawapan " ujarnya , tidak dapat ku tebak sama ada ia adalah pertanyaan atau pernyataan memandangkan suaranya hanya mendatar.
" mungkin ? "
Jemarinya kaku, mengambil beberapa saat sebelum anak matanya naik menemuiku. Renungan kosong.
" anak aku ada dengan dia "
Anak ? Keningku bertaut tanpa paksaan. Aku meliriknya, mengharapkan dia menyambung lagi bicaranya, sekurang-kurangnya memberi penjelasan untuk kefahaman ku.
" you got the answer so , get out from my office —— "
Dengan arahan itu dia terus menyambung kerjanya, langsung tidak menghiraukan aku di sini.
Kaki aku paksakan ke arah daun pintu pejabatnya , automatik pintu itu terbuka bila mana menghampirinya,
" I might be your crown and weapon , but you don't own me , so please don't step on the boundaries miss Dhia "
Dan daun pintu lutsinar itu tertutup rapat sebelum dinding pejabatnya yang lutsinar bertukar kabur, menghalang aku melihat dirinya.
Auni memeluk erat teddy bearnya sementara menanti pembantu rumahnya menyambung panggilan telefon kepada Lufasz. Sudah lama dia tidak bertemu dengan Lufasz yang kini menjadi sahabat baiknya.
Pembantu rumah itu memberi telefon itu kepadanya saat Lufasz sudah ditalian. Auni tersenyum lebar , menekap telefon itu ke telinganya.
" lofu ! " jeritnya keriangan, sementara tangannya mengutil-ngutil telinga teddy bear itu.
" yes butterfly... miss me that much hun ? "
" mestilah...Lofu dah lama tak datang... bila Uni call pun kadang-kadang Lofu tak angkat ..hum..sedih.. "
Tawa Lufasz kedengaran,
" I'm sorry butterfly.. my bad.. kalau macam tu.. nanti I belikan hadiah ok ? "
" hum... tak nak hadiah..nak jalan-jalan dengan Lofu... "
" jalan-jalan ? Hum, buat masa sekarang tak boleh lah butterfly... busy sikit... lain kali hum —— "
" tak nak... nak keluar... Uni takut.... Uni nak keluar... please... "
" kenapa takut pula ? Ada mosnter bawah katil Uni ke ... nanti I halau dia... "
" bukan bawah katil...tapi... dekat...bilik ... akak Qaseh.."
Ujarnya separuh berbisik.
" Qaseh? Kenapa... ada monster dalam bilik tu ker ? Dia kacau Uni ? "
" bukan Uni... tapi.. dia 'kacau' uncle Ha—— "
" hoi budak kau call siapa tu ! " tengkingan Qaseh selari dengan rebutan telefon itu dari tangan Auni, membuatkan kanak-kanak itu berundur menjauhinya dengan teddy bear .
" aku tak nak kau kacau budak ni lagi faham ! " selar Qaseh , mengetahui gerangan pemanggil di corong telefon itu.
Mug minumannya digenggam lepas , sementara matanya meliar ke sekitar laman rumah agam itu.
Finn Qaees mengeluh apabila fikirannya melayang semula pada insiden pagi tadi. Perihal Dhia Hazatul, dan... kehadiran lelaki itu pula menambahkan lagi kekeruhan situasi antara mereka.
Apa hubungan kau dengan lelaki tu ... and why him...
Just why ? Why must him! Apa kena mengena lelaki tu dengan kau !
Lufasz,
Dulu Qaseh... now... Auni..and ..Dhia ?
Kau memang tamak kan ——
Seorang kanak-kanak perempuan duduk bersimpuh, memetik bunga liar yang melata di sekitarnya . Padang permainan di sisinya dilirik sekilas, melihat kanak-kanak lain bermain sesama sendiri, tertawa riang. Tidak sepertinya, duduk berseorangan.
" snowflakes "
Kanak-kanak itu mendongak, melihat abangnya yang mulai melabuhkan duduk di hadapannya, melirik bunga-bunga yang dipetiknya.
" kenapa duduk sini ? " soal si abang , menyengetkan wajah,menanti jawapan adik perempuannya.
Kanak-kanak perempuan itu menggelengkan kepalanya, matanya kembali jatuh pada bunga-bunga liar dalam dress labuhnya.
Si abang mengeluh, tahu adik perempuannya merajuk dek kerana sikapnya yang lebih mementingkan kawan sepermainan . Langsung melupakan si adik yang ingin bermain dengannya.
Bunga liar dipetik si abang sebelum menyelitkannya di belakang telinganya sendiri, bibir dipout dan pipi dikembungkan sebelum kedua tangan disatukan , meminta maaf dari si adik.
Si adik tersenyum , membuatkan si abang mencuit hidung adiknya sebelum mencium halus pipi kanak-kanak perempuan itu. Senyumannya melebar saat berjaya memujuk adiknya.
Sejak hari itu, dia akan luangkan masa dengan si adik, sama ada menemani si adik bermain lanun-lanun ataupun mendandan rambut si adik meski dia dilabel lemah oleh kawan sepermainannya .
" Lucas... kenapa tak main dengan dorang ? "
Rambut si adik didandam rapi oleh tangan montel si abang, si abang tersenyum lebar saat dandanannya sempurna .
" hum... Lucas tak nak snowflakes sorang-sorang... "
Si adik mengemam bibirnya , sesekali melirik kawan-kawan abangnya yang menjeling pada mereka, malah setiap kali ada sahaja percubaan menendang bola sepak itu ke arah mereka.
Si adik menolak tangan si abang, bibir kecilnya menjuih pada sekumpulan kanak-kanak lelaki yang bermain bola.
" hari ni... Lucas boleh pergi main bola dengan dorang ... " ujar si adik bersama senyuman yang menampakkan giginya.
" serius ? Betul ni ? " soal si abang meminta kepastian. Apabila si adik mengganguk barulah si abang berdiri , memeluk erat si adik sebelum berlari mendapatkan kawan sepermainannya.
Tanpa dia sedari, pelukan itu merupakan pelukan terakhir mereka...
Tbc
Vote
Comment
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top