DAY 1 - Kenangan dalam Peti Mati

Rintik-rintik membahasahi bumi, menciptakan genangan dangkal di trotoar dan aspal. Aroma melankolis mengepul di udara, menemani perjalanan sore yang terasa lebih romantis di bawah payung biru kelabu. Dunia terasa begitu sepi karena terhalang kain di atas kelapa. Dunia terasa hanya milik berdua, sementara kebisingan kota terendam oleh tetes hujan.

Letupan bahagia tidak berhenti sejak Sumireka mengajaknya untuk jalan sore singkat di salah satu distrik kota HAMA. Nagi sudah antisipasi pada ketidakberuntungan yang akan dilempar, namun ekspektasi tak muncul. Tidak ada badai hujan yang menenggelamkan mereka, atau pohon tumbang dan hampir jatuh di atas kepala, atau sambaran petir yang bisa menggosongkan satu pohon besar. Hanya ada kebahagiaan yang tidak kunjung reda.

Nagi ingin melepaskan genggaman nyaman, membiarkan Sumireka berjalan bersama payung yang dia bawa dari asrama, dan meninggalkan Nagi yang tidak berani berjalan lebih lama karena tidak ingin menyakitinya. Namun. Sumireka tetap tertawa dan bercerita, seolah menghabiskan waktu bersama dengan Nagi adalah sesuatu berharga yang tidak ingin dia tawarkan dengan apapun.

"Oh, jalan ini!"

Di saat Sumireka berhenti maka Nagi mengikuti langkahnya juga. Dia menunjuk sebuah tempat di bawah lampu jalanan yang nyala benderang, melawan kabut hujan agar tiap orang yang melewati jalan tersebut dapat melihat langkah sendiri.

"Ini tempat kita pertama kali bertemu," ujar Sumireka dengan sumringah indah. "Aku menangis karena masalah sepele dan kamu datang untuk memberikan bunga. Sampai sekarang aku masih bingung kenapa kamu pilih bunga padahal aku mengganggu kenyamanan depan toko."

Nagi tersenyum tipis, tidak mampu menyamakan dengan senyuman lebar milik Sumireka. "Kau tidak menganggu. Lagipula, kami tidak selalu penuh oleh pembeli."

Hari itu juga hujan, walaupun tidak sederas sekarang. Nagi keluar dengan beberapa tangkai bunga dan payung, menghampiri Sumireka yang basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki. Hatinya tidak tega meninggalkan seorang remaja sendirian di tengah hujan, terutama dengan keadaan gang gelap terkadang diisi oleh preman pasaran.

"Seniorku hampir mengompol di celana saat melihatmu diam saja hari itu," gurau Nagi. Mantan seniornya hanya merinding sambil mengatakan Nagi saja yang berurusan dengan sosok yang terlihat seumuran dengannya.

Sumireka terbahak. Melodis terang membelah deras hujan. Suaranya begitu ringan, lebih ringan daripada kapas atas langit, dan Nagi bisa merasakan dirinya rela dihempas badai beberapa kali bila akhir perjuangannya dapat mendengar suara tawa yang memabukkan. Bagaikan kicauan burung pertanda hari baru telah tiba, Nagi tidak akan bosan mendengarnya setiap pagi hingga malam menghiasi langit biru.

"Nagi," panggilnya, begitu lembut tapi bisa terdengar jelas. Lagipula, seluruh atensi Nagi terletak pada Sumireka yang juga selalu memberikan perhatiannya pada dia. "Kamu melamun lagi. Terjebak dalam kenangan?"

Nagi tidak keberatan bila terjebak dalam kenangan yang dibingkai indah oleh beragam bunga. Tulip kuning, mawar merah muda, dan beberapa bunga liar yang belum dia ketahui artinya. Kenangan manis dan berkilau.

"Iya, kamu yang dulu sedikit berbeda dengan yang sekarang." Nagi masih ingat wajah canggung yang Sumireka perlihatkan pada pertemuan kedua mereka, kata-kata yang diucap penuh kebingungan dan terbata-bata, sangat menunjukkan bahwa dia belum pernah ke toko bunga sebelumnya.

"Oh? Kamu lebih suka aku yang lama?" Sumireka tersenyum miring sambil menyikut pelan sisi badannya.

"Tidak," jawab Nagi cepat. Wajah rona merah yang jauh di waktu lampau cepat tergantikan oleh senyuman percaya diri dan mata berbinar, tidak lagi merunduk untuk menyembunyikan perasaan. "Aku lebih suka dirimu yang sekarang."

Ada satu hal yang belum berubah dari Sumireka, yaitu sebuah senyuman yang muncul seperti pelangi setelah hujan.

-

Spot basah di bawah lampu jalanan tidak lagi membawa ekspresi kesal atau ringisan malu ketika dia melewatinya bersama Nagi. Rasanya baru kemarin Sumireka menggerutu teringat oleh momen memalukan di mana dia menangis sesengguk-sengguk karena dicampakkan dari lingkaran pertemanan secara halus. 

Nagi tersenyum lembut, memandang tempat mereka pertama kali bertemu dengan penuh harapan, seolah dia menantikan masa depan di mana mereka masih bergandengan tangan seperti sekarang. Sumireka ikut tersenyum, menyimpan harapan itu ke dalam hati.

Biarkan kenangan buruk tersimpan dalam peti mati. Waktu hidupnya masih panjang. Dia akan menumbuhkan lebih banyak kenangan indah bersama anggota HAMA lainnya, terutama bersama Nagi.

***

SFragment

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top