The sun and The Moon
Bumi memutari Matahari. Bulan memutari Bumi.
Lalu aku yang selalu berharap bisa menjadi pusat bagimu agar kau putari terus. Aku adalah bulan dan kau adalah matahari. Harapan yang takkan terwujud. Aku hanya bongkahan batu kecil yang bersembunyi di balik bayang-bayang bumi di saat kau selalu dikelilingi oleh para planet yang membutuhkan cahaya darimu.
Aku merasa dicurangi. Sekali saja, aku ingin memonopoli sinarmu dan menyembunyikanmu dibelakang punggungku. Meski hanya sebentar, aku ingin membuat semua yang ada di bumi cemburu, bahwa meski kemungkinannya hanya 0,1% sekalipun aku bisa membuatmu berpaling padaku, wahai matahariku.
.
"Jadi, aku adalah mataharinya?" tanya Tsurumaru. Ia mengangkat dagu dan melirikku yang sedang bersandar pada punggungnya sambil membaca sebuah novel romansa.
"Tunggu, kenapa kau tiba-tiba berpikir kalau kau matahari?" aku menurunkan buku dengan wajah terheran.
Tsurumaru tertawa. "Soalnya aku teringat kau yang selalu cemburu setiap kali orang-orang mulai mengerubungiku." Katanya. "Aku suka saat kau yang melihat ke arahku sejenak dari jauh, lalu saat mata kita bertemu kau langsung menarik matamu dan pergi seolah tidak ada yang terjadi. Padahal sebenarnya kau sedang cemburu, kan, Ichigo?" Dia menggodaku sambil terus tertawa geli.
Aku menggembungkan sebelah pipi. Menutup buku dan melempar muka jauh-jauh seraya menyilangkan tangan di dada. Aku mendorong kuat punggungnya dengan punggungku. "Aku nggak cemburu." sangkalku dengan nada agak kesal.
"Jadi waktu itu kau sebenarnya sedang malu?" Godanya lagi, tak terpengaruh dengan sikapku.
Marahku memuncak. Aku menarik pundak Tsurumaru dan mendorongnya jatuh ke lantai lalu menguncinya di antara kedua lenganku. "Aku benci karena Tsurumaru menganggap santai aku yang tidak suka melihatmu dikelilingi orang lain. Kau malah bilang aku yang seperti itu lucu sementara aku harus menahan sesak dibuat ingin menangis olehmu. Kau puas melihatku yang seperti ini? Kenapa kau kejam sekali, Tsurumaru?" seruku kesal, membuncahkan seluruh kedongkolan di dalam hati hingga mataku memanas dan setetes airmataku jatuh ke pipinya. Aku menangis terisak.
Ia diam dan tak bergerak melihat wajah tangisku. "Ciyeee marah." Tsurumaru masih melanjutkan godaannya.
"Aku sekarang sedang serius!" Pekikku dengan alis menukik sambil mengcengkram kuat kerah bajunya dan mengguncang tubuhnya.
Tsurumaru tersenyum lembut menatapku yang berada di atasnya. Tangannya menyentuh wajahku dan menangkupnya, menghapus airmata yang akan jatuh dari kelopak mataku. "Maaf, ya. Aku tidak bermaksud membuat Ichigo marah. Aku mengerti amarahmu, Tapi aku tak bisa menahan rasa senang saat tau kau cemburu dengan sekelilingku. Itu tanda kau sangat mencintaiku dan aku pun jadi semakin tambah mencintaimu. Ichigo percaya kata-kataku, kan?" Ujarnya perlahan.
Kata-katanya terasa hangat. Bagai embun di pagi hari yang melembabkan tanah yang mengering. Hatiku dibuat berdesir oleh ketulusan Tsurumaru. Perasaan tentram memenuhi rongga-rongga nadi pada sekujur tubuh. Aku menjatuhkan diri di atas tubuhnya. Tangannya tersilang merengkuhku.
"Maaf aku sudah membuatmu menangis." Bisiknya minta maaf di telingaku. Telapak tangannya yang besar mengusap-usap kepala belakangku perlahan. "Maaf, ya. Maaf. Maafkan aku yang terlalu mencintaimu, Ichigo." Katanya lagi lalu mengecup pucuk kepalaku.
Beban dalam hatiku menghilang karena kalimat-kalimat jujurnya. Aku dibuat tak berdaya. Tanganku berusaha mencari tangannya. Tsurumaru cepat sadar, ia memasukkan jari-jarinya di antara sela jariku dan menggenggam tanganku erat. Hangat tubuh dan suara detak jantungnya yang terdengar dari telinga yang kutempelkan di dadanya menenangkanku. Aku menutup mata perlahan-lahan lalu jatuh tertidur karena dininabobokan oleh kelembutan serta kehangatan dari irama debaran jantung Tsurumaru.
.
.
.
.
"Kau adalah mataharinya dan aku adalah bulan yang berharap bisa bersama di sampingmu selamanya."
.
.
.
.
"Seandainya pun aku adalah matahari sungguhan, mungkin aku akan jatuh cinta pada sang bulan." Ujar Tsurumaru. Ia tiba-tiba bergumam tidak jelas di siang yang tenang ini bersamaan dengan hembusan angin sepoi-sepoi.
Aku menjauhkan smartphone dari depan muka dan menatapnya yang sedang berbaring di atas pahaku dengan alis berkerut. "Ada apa tiba-tiba membahas itu?" tanyaku penasaran.
Dia menyengir lebar. "Cuma kepikiran saja. Lagipula kisah matahari dan bulan itu cukup romantis, kok. Hehe." Jawabnya. Ia tampak menikmati berimajinasi dengan khayalannya.
"Romantis karena tidak bisa bertemu?" Aku pun ditarik untuk bertanya lebih jauh.
"Romantis karena mereka saling mengharapkan untuk bertemu satu sama lain dalam jarak yang lebih dekat. Bulan dan matahari berada di posisi yang amat jauh, keduanya hanya bisa saling melihat dan memendam perasaan masing-masing tanpa bisa mengutarakannya. Keajaiban adalah satu-satunya harapan mereka, karena itu bulan dan matahari mau menunggu hingga saat keajaiban itu sungguh-sungguh datang." Jawab Tsurumaru.
Saat mengatakan itu ekspresinya terlihat tanpa beban. Aku bingung, padahal bukankah itu malah menyedihkan untuk keduanya? Hanya bisa melihat tanpa bisa menyentuh atau bahkan mendengar suaranya. Apa dia tak mengerti seberapa besar perasaan rindu matahari dan bulan yang mengharapkan keajaiban yang entah kapan itu terjadi akan datang suatu hari nanti?
"Itu. . . ironis. Kenapa kau bisa mengatakan itu romantis?" Aku merasakan sesak. Jujur saja aku tidak setuju dengan kata-katanya.
Ia diam menatapku. Bola matanya menyelami sorot dalam ekspresiku. "Itu romantis, karena, meski pun harus menunggu seribu tahun atau berjuta-juta tahun lamanya, mereka tetap akan percaya bahwa harapan mereka untuk bersatu itu akan sungguhan terjadi suatu hari nanti. Lalu di saat itu terjadi, meski hanya sebentar, mereka akan berpelukan, memanggil satu sama lain, dan bersuka cita penuh sambil tersenyum sampai bercucuran airmata. Karena meskipun hampir mustahil, harapan yang mereka percayai itu ternyata tidaklah sia-sia." Ucapnya dengan senyum bahagia. Tsurumaru mengangkat tangan, ia menyentuh wajahku, ibu jarinya menyapu lembut pipiku lalu mengusap bibirku dengan gerakan dari atas ke bawah perlahan.
Pipiku menghangat merah. Di dalam kepalaku, aku membayangkan bagaimana ekspresi yang akan dibuat oleh matahari dan bulan saat mereka akhirnya bisa bertemu. Itu pasti sangat membahagiakan sekali dan suka cita mereka akan mampu membuat semua yang ada di alam semesta ikut merasakan kebahagiaan keduanya.
Aku membungkukkan punggung seraya mendekatkan wajah. "Tsurumaru, kau bukan matahari dan aku bukan bulan, karena kita saat ini tidak saling menunggu ataupun mengharapkan keajaiban datang supaya bisa saling bertemu." Kataku dengan ekspresi yang seolah menunjukkan aku tak ingin dia membandingkan matahari dan bulan itu adalah kami saat ini.
Senyum lebar tersungging pada bibir Tsurumaru. Ia mengangkat kepala dan mendaratkan ciuman pada bibirku. "Aku tahu. Karena Ichigo milikku dan kita takkan pernah berpisah sampai kapan pun." Tsurumaru bangkit, ia mengubah posisi tubuh menjadi duduk lalu memberikanku ciuman hangat.
Aku menutup mata dan menyesapi hangatnya bibir yang menyentuh bibirku dengan debaran jantung yang hanya dia yang bisa membuatnya sekencang ini. Perasaan bahagia di dalam hatiku meletup-letup tak tertahankan seiring hembusan angin mematahkan daun-daun kering pada pohon tempatku dan Tsurumaru berteduh dan menghujaninya pada kami.
.
.
.
.
"Bulan yang iri pada matahari terkadang lupa bahwa matahari pun merasa iri padanya."
.
.
.
.
"Setiap kali aku melihat bulan, entah kenapa aku selalu merasa bulan itu sangat mirip denganmu, Ichigo." Ucap Tsurumaru saat kami sedang menikmati melihat bulan purnama di beranda sambil meneguk coklat panas.
"Mirip karena sifatku yang kadang suka menyendiri?" tanyaku sedikit tersinggung. Aku memangku dagu pada pembatas besi beranda.
"Sendiri? Kau tidak lihat bulan ditemani bintang-bintang yang sangat terang di sekelilingnya." Ia menunjuk satu persatu bintang yang ada di sekitar bulan lalu bintang-bintang yang lainnya yang agak jauh. "Dia mirip dengan Ichigo yang punya banyak orang-orang yang menyayangimu disekelilingmu." Ujar Tsurumaru. Matanya menatap antusias ke arah langit.
Aku meliriknya sebentar, lalu menarik mataku sambil meminum sedikit coklat panas dengan tersipu malu. "Kalau begitu, itu Tsurumaru?" Aku menunjuk salah satu bintang terdekat dengan bulan.
"Oh, bukan. Itu Maeda." Tsurumaru menggeleng.
"Kalau begitu yang itu?" Aku menunjuk bintang lain.
"Itu Honebami."
"Bagaimana kalau yang itu?"
"Kurasa itu Gokotai."
"Yang itu juga bukan?" Aku mulai terheran.
"Heum, mungkin itu Midare." Jawabnya.
"Kalau semuanya saudara-saudaraku, yang mana bintang Tsurumaru?" tanyaku menyerah yang akhirnya menyuruh dia memutuskan.
Tsurumaru hanya tersenyum menatapku.
Aku mengerjap tidak mengerti. "Ke-kenapa kau tersenyum seperti itu?" Mendadak agak bergidik karena dia tidak seperti biasanya.
Tsurumaru menatap ke arah bulan. "Kita pernah membicarakannya, bukan? Kalau kau bulan dan aku adalah matahari. Makanya, aku iri padamu yang tak pernah kesepian karena di sekelilingmu selalu ada orang yang akan menemanimu." Jawabnya dengan nada pesimis yang sendu.
Aku membulatkan mata. Kata-kata yang sudah ada di ujung lidah tiba-tiba kaku. Rahangku gemetar. Perasaan tak nyaman menggerogoti sisi tubuhku yang jauh darinya. Hampir kebingungan, aku menaruh gelasku di dekat pintu geser lalu segera berhambur memeluknya erat.
"I-Ichigo?" Tsurumaru terkejut. Ia menjauhkan gelas coklatnya yang hampir tumpah mengenaiku. Tangannya bergerak kacau di udara. "Ada apa? Kenapa tiba-tiba-"
"-doh. . . Dasar Tsurumaru bodoh." Umpatku kesal. Pelukanku semakin erat mencengkram tubuhnya.
"O-oke, oke. Oke, Ichigo" Ia mulai merasakan sesak. Tangannya yang bebas menepuk-nepuk punggungku. "Tadi itu aku nggak serius, kok. Meskipun aku matahari, kita pasti bakal bertemu waktu gerhana, kan?" Ia mencoba menenangkanku dengan mencerahkan situasi.
Aku merenggangkan pelukan dan menatapnya dengan ekspresi serius. "Tapi jangan katakan kalau kau sendirian. Aku di sini, di sampingmu dan saat ini sedang memelukmu. Kau pikir aku akan puas kalau hanya bertemu dengan Tsurumaru pada saat gerhana saja?" seruku tidak terima. Aku menundukkan kepala dengan wajah terluka.
Tsurumaru tertegun. Merasa berasalah, dia berdehem pelan lalu mengulas sebuah senyum dan menepuk kepalaku. "Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu sedih. Tapi terkadang, hanya terkadang saja, kok, aku iri padamu." Katanya lembut. Tatapan kami bertemu dan dia meyakinkanku semaksimal mungkin.
Aku tahu dia sama sekali tak ada niat membuatku khawatir, namun kata-katanya sebelum ini seolah membuatku terbayang sosok lain Tsurumaru yang tidak kuketahui yang mungkin saja sedang memendam perasaan perih di dalam hatinya. Aku tak mau melihatnya seperti itu. Selama aku ada di sampingnya, aku takkan membiarkan dia merasakan perasaan itu.
"Jangan katakan kau kesepian lagi. Janji?" Paksaku dengan wajah cemberut.
"Oke, janji." Tsurumaru mengangguk.
Aku kembali menatapnya. Memperhatikan setiap perubahan apa pun di dalam ekspresinya yang mungkin saja masih menyimpan sesuatu. Dia menatapku polos sambil mengerjap-ngerjapkan mata.
"Apa masih ada hal yang membuatmu cemas?" tanyanya, seolah bisa membaca pikiranku.
Aku menarik mata, berpikir sebentar. "Cium aku."
"Eh? HEH?" serunya tidak percaya.
"Tidak mau? Ya sudah." Kataku sambil menghela nafas keras lalu mengambil jarak selangkah darinya.
"Tidak. Tidak. Aku hanya kaget karena jarang-jarang Ichigo yang meminta duluan." Tsurumaru menangkap tanganku. Dia menaruh gelasnya di lantai agak jauh dari posisi kami.
Tangan kirinya melingkar dipinggangku, sementara jemari tangan kanannya menyusuri relief wajahku. Aku menaruh kedua tanganku pada pundaknya. "Padahal kita sudah berkali-kali berciuman, tapi entah kenapa sekarang aku begitu gugup melakukannya." Gumam Tsurumaru. Samar-samar aku bisa merasakan kegugupannya dari telapak tangannya yang menyentuhku.
"Berisik, ah. Jangan dijelaskan." Kataku tersipu. Aku pun merasakan hal yang sama sampai-sampai malu untuk menatap wajahnya langsung dan hanya menundukkan kepala.
"Apa mungkin karena saat ini bulan dan bintang-bintang sedang bersinar di hadapan kita jadi rasanya seperti mereka memperhatikan kita?" tanya Tsurumaru. Dia mencoba mencairkan kegugupan kami.
Aku tidak menjawab. Saat ini kepalaku tidak bisa berpikir lagi karena detak keras jantung yang memonopoli semua fungsi dalam organ tubuhku. Aku merasakan ujung jariku yang berkeringat mulai lemas dan kakiku berkedut agak gemetar. Di dalam hati, aku berteriak sekencang mungkin supaya keadaan ini cepat berlalu.
Jari Tsurumaru bergerak, ia memegang daguku dan mengangkat wajahku seraya menarik mulutku untuk terbuka. Bibirnya datang menangkup bibirku. Agak lama dia menahan bibirku, aku membalasnya ringan. Bibir kami berjauhan. Mata emasku menatap manik matanya yang bagai batu permata topaz bersinar terkena terpaan cahaya kekuninangan dari rembulan, indah sekali. Tsurumaru menempelkan jidat seraya tangannya bergerak turun memegang pinggangku. Dari jarak wajah sedekat ini, aku bisa merasakan hangat nafasnya yang menyentuh kulitku. Saat berciuman tadi pun ada rasa manis coklat yang tercap di bibir Tsurumaru.
Aku tanpa pikir panjang lagi langsung mengambil inisiatif mengalungkan kedua tanganku di lehernya dan merebut bibirnya duluan. Menciumnya beberapa kali hingga dia akhirnya membalasku dan memonopoli ciuman kami di hadapan sang bulan yang bersinar terang bersama para bintang-bintang kecil yang menemaninya.
.
.
.
.
"Tidak peduli apakah kau bulan ataupun aku adalah matahari, aku hanya berpusat padamu, satu-satunya cahayaku di alam semesta ini."
.
.
.
.
Kekasihku adalah orang supel yang selalu bisa membuat orang-orang merasa nyaman berada di dekatnya, karena itu sebelum dekat dengannya, aku dulu menjuluki dia si matahari.
Berkebalikan denganku yang lebih suka bersama dengan orang-orang yang kupercayai saja, dia menerima siapa pun yang datang padanya dan kurasa dia juga tak masalah kalau ada yang pergi meninggalkannya. Awalnya aku membenci orang seperti itu. Selalu tertawa seolah tak memiliki beban sambil keliling-keliling kampus dengan bergerombolan, dia juga sering jahil pada teman-temannya lalu mengucapkan maaf dengan ekspresi yang tidak menyesal. Bukankah itu menjengkelkan?
Tetapi, meski merasa kesal, keberadaannya selalu berhasil menarik mataku ke arahnya. Dimana pun aku selalu bisa menangkapnya dan aku selalu bisa dengan cepat mengenali suaranya dari jauh. Lama-lama rasa penasaranku berujung pada sesuatu yang mulai membuatku resah.
Lalu di saat aku sedang mencoba menolak gejolak-gejolak di dalam dadaku, Dia tiba-tiba datang padaku seorang diri dan berkata, "Aku menyukaimu, jadilah pacarku."
.
"Aku teringat waktu kau tiba-tiba menembakku dua tahun yang lalu, Tsurumaru." gumamku sambil melahap cemilan.
Matanya teralihkan dari layar televisi. "Ada apa tiba-tiba teringat ?" tanyanya. Ia membuka lebar mulut dan aku menyuapkan satu kripik padanya.
"Tidak ada hal khusus, sih. Hanya saja aku ingat karena waktu itu kau yang kubenci tiba-tiba datang menyatakan perasaan lalu setelahnya gila-gilaan mengejarku sampai membuatku malu setengah mati di depan orang banyak." kataku yang mengatakan itu dengan nada dan ekspresi datar.
"Itu bukti cintaku padamu, Ichigo. Sebelum menyatakan perasaan, aku berkali-kali menahan diri supaya tidak tiba-tiba melompat ke arahmu atau berteriak keras memanggilmu ketika tak sengaja melihat kau lewat di koridor." Dia membela diri dengan penggambaran yang membuatku hampir mual. Beruntung itu tidak terjadi sebelum kami berpacaran meski ada satu kejadian yang benar-benar membuatku dibuat tidak habis pikir dengan isi kepalanya.
"Jangan bilang kau lupa kejadian tiga bulan berikutnya, waktu ada festival di kampus dan kau terang-terang di atas panggung menyatakan perasaanmu. Meski kau tidak menyebut namaku, tapi kau membuatku hampir tak punya muka datang ke kampus setelah acara itu." Aku mengerucutkan bibir dan mengembungkan pipi sambil membuang jauh wajah.
"Tapi karena itu kau jadi semakin mudah untuk kudekati, kan? Meski aku harus menunggu satu bulan lagi, pada akhirnya kau membalas perasaanku, Ichigo." Seringai kemenangan muncul di wajahnya seraya ia memburu wajahku yang berpaling jauh darinya.
Mau tak mau aku mengakui. Dikejar terang-terangan seperti itu, bahkan dia juga pantang menyerah meski aku sudah berkali-kali menghindarinya. Rasanya capek dan merepotkan, tapi ujung-ujungnya aku pun luluh dihadapan Tsurumaru.
Aku memutar kepalaku ke arahnya dan mendapati dia masih melihat ke arahku dengan tatapan menunggu. Sedikit terkejut, aku refleks menjauhkan wajah sedikit. Dia terus menatapku tanpa mengucapkan sepatah kata. Aku mendadak kebingungan harus melakukan apa. Menarik mata, kabur dari tatapannya, berusaha melihat ke arah lain sambil melahap kripik.
Kraus kraus kraus
"Aku menyukaimu." Ucap Tsurumaru.
Gerakan gigiku terjeda sejenak, lalu kembali mengunyah hingga menelan makanan dalam mulutku. Kuambil lagi dua kripik dari dalam bungkus dan menguyahnya perlahan.
"Ichigo, aku menyukaimu." Tsurumaru mendekatkan jarak.
Aku spontan menjauhkan tubuh seraya memalingkan wajah dari Tsurumaru. Keringat dingin mengucur. Aku merasa seperti dikejar-kerja olehnya. "Oke. Aku tahu itu. Aku juga menyukaimu, Tsurumaru. Aku sangat mencintaimu, jadi tahan dirimu dulu, oke?" Kataku yang mencoba kabur dan menahannya supaya tidak mendekat lebih jauh karena merasakan tanda-tanda bahaya.
Diluar dugaan Tsurumaru benar-benar berhenti. Ketika kulirikkan mata, kulihat dia tersenyum lembut lalu membenarkan posisi duduknya ke semula dan kembali sibuk menonton televisi. Aku dibuat membeku di tempat, menatapnya terheran yang biasanya pasti bakal menggunakan kesempatan dalam kesempitan untuk menyerangku.
Aku membetulkan posisi duduk. Lanjut makan cemilan sampai habis. Mengelap tangan dan mencoba ikut fokus menonton televisi. Sayangnya, tak sampai lima menit gagal. Kepalaku sudah dipenuhi dengan tingkah anehnya barusan. Kulirik Tsurumaru lekat-lekat hingga mengeluarkan aura ancaman yang pekat, namun dia terus tak sadar dan masih terarah pada televisi. Aku akhirnya menyerah. Duduk terdiam bersandar pada sofa dengan perasaan hampa. Mendadak aku merasakan sepi karena Tsurumaru tiba-tiba tak berinisiatif hari ini.
Haruskah kuberikan kode?
Kucoba menempelkan tubuh kami lalu menyandarkan kepala di bahunya. Tak lama kami diam, aku membuka mulut. "Hei, Tsurumaru. Aku penasaran, bagaimana kau bisa jatuh cinta duluan pada-"
Cup
Satu ciuman darinya datang tanpa kuduga dan menghentikan kata-kataku. Aku membeku. Saat bibir kami berjauhan, Tsurumaru menarik tubuhku dalam rengkuhannya dengan perlahan lalu menyandarkan keningnya di bahuku.
"Bagiku. . ." Dia menjeda sebentar, "Ichigo lah mataharinya. Aku hanyalah bongkahan batu berukuran lebih kecil darimu yang sangat besar juga terang di alam semesta. Orbitku berputar padamu. Aku memerlukanmu untuk hidup. Kalau tidak, mungkin aku akan mati dan lenyap dalam lubang hitam bintang yang meledak atau melayang tanpa pentunjuk dan menunggu sebuah meteor datang menghancurkanku." Bisiknya dengan nada suara lemah, seolah tidak berdaya. Tangannya yang melingkar di tubuhku terasa seperti sedang ketakutan bila detik ini aku tiba-tiba menghilang.
Nafasku tertahan. Aku terhenyak dengan pengakuan yang menekan-nekan dadaku. Ku dorong tubuhnya dengan ekpresi penolakan. "Ti-tidak. . . aku bukan bintang seterang matahari yang sanggup membuatmu bergantung padaku, Tsurumaru. Sebelum kita bertemu, bagaimana mungkin aku yang redup ini bisa menerangimu?" kataku yang mencoba menolaknya dengan sehalus mungkin. Tanganku gemetar. "Padahal ada banyak sekali orang-orang yang membutuhkan keberadaanmu. Kau disukai banyak orang dan mereka semua mempercayaimu. Kau lah sang matahari itu. Tapi kenapa-"
"Aku menyukaimu." Tsurumaru mengangkat wajahku dengan kedua tangannya dan membuatku menatap matanya baik-baik. Manik emas dan topaz kami bertubrukan. "Ichigo pikir karena kau diam di balik bayangan jadi kau tidak menarik perhatianku? Padahal sudah sejak pertama kali menemukanmu, hidupku hanya berputar padamu, Ichigo. Kecerobohanmu, kebaikanmu, sorot lurus matamu yang tanpa sadar melihat ke arahku, sikap malumu yang menggemaskan, dan senyum yang jarang kau tunjukkan, semuanya kusukai. Aku yang selalu dikelilingi orang-orang tertarik pada Ichigo yang begitu menikmati waktu luangmu di saat sendiri. Tanpa sadar aku jadi tidak bisa berhenti memikirkanmu. Setiap hari aku mencari sosokmu, menunggu kesempatan tepat untuk mengobrol, dan berkali-kali mencoba kabur dari rombonganku hanya demi mendekatimu. Orang lain menganggapku matahari tapi bagiku Ichigo lah matahariku. Meski kau menganggap dirimu bulan, tapi itu tetap tak mengubah pendapatku." Katanya dengan tatapan tulus yang seketika membuatku luluh tak berdaya.
"Ta-tapi. . . ." Aku masih bersikeras. "Tsurumaru adalah pusat hidupku. Tanpamu aku tak takkan bersinar terang saat malam hari." Ujarku.
Sekilas ada kilat kesedihan dalam sorot matanya. "Kalau begitu, bagaimana denganku yang harus bersinar seorang diri saat siang hari? Kau ingin membuatku kesepian menantimu? Bukankah Ichigo bilang tak ingin menunggu gerhana supaya kita bisa bertemu?" tanya Tsurumaru sendu.
Sudut hatiku berdenyut lagi. Perasaan bersalah memenuhi rongga dadaku hingga mendorongku untuk melepaskan airmata. Aku menggeleng kuat. "Tidak. Aku takkan membuatmu kesepian. Karena kau bukan matahari ataupun bulan." Aku ikut menangkup wajahnya dan menatapnya sungguh-sungguh. "Kau Tsurumaru. Kau manusia dan tubuh serta nafasmu hangat. Seperti apa pun kau menganggap dirimu, kenyataannya seluruh kehidupanku sudah diputar untuk berpusat padamu seorang." Ucapku, berusaha meyakinnya seraya saling menempelkan kening kami. Kutempelkan bibirku sesaat di bibir Tsurumaru lalu menatapnya lagi.
Ekspresi haru tergambar di wajah Tsurumaru. Ia meraih salah satu tanganku lalu memberikan kecupan ringan di telapak tangan. "Aku sangat beruntung sekali memilikimu di alam semesta ini, Ichigo. Mungkin luasnya alam semesta takkan cukup menjelaskan rasa cintaku padamu namun kuharap cukup untuk membuatmu bahagia." Ujar Tsurumaru dan perlahan kembali mengulaskan senyum lebar, ciri khasnya yang selalu bisa membuat hatiku merasa lebih baik setelah sebelumnya mengalami situasi tak mengenakkan.
Pipiku memerah. "Bodoh." Celetukku yang malu.
Kami lalu berdua saling tertawa. Merasa bodoh dengan topik pembicaraan yang tidak penting ini, bahkan kukuh dengan pendapat masing-masing meski sama-sama saling menyangkal. Senyumku terasa lebih ringan saat ini, perasaan yang kembali berbunga-bunga membawa tubuhku seolah di bawa terbang bebas di angkasa bersamanya. Perasaan tak ingin berpisah mengikat kami. Hasratku terhubung oleh hasratnya. Pikiranku di bawa melambung oleh rasa cinta.
"Aku tahu kau sangat menginginkannya. Monopoli aku sekarang, Tsurumaru." Bisikku seduktif di telinganya karena tak bisa menahan diri lebih dari ini.
Isi kepalaku seketika dipenuhi oleh sosok Tsurumaru, bahkan pita dalam tenggorokanku hanya mau menggetarkan namanya. Suara desahan kami mengudara. Kupanggil namanya dan dia memanggilku. Nafas Tsurumaru yang menyentuh permukaan kulitku semakin membuat tubuhku menggeliat dalam rengkuhannya. Punggungku melengkung membentuk kurva S saat kenikmatan memuncak hingga ke atas kepala. Ah. Aku dan dia sudah tak sanggup lagi menolak gejolak yang menggebu-gebu ketika melihat wajah penuh nafsu satu sama lain untuk segera saling memiliki.
Aku ingin merengkuhnya, aku ingin menciumnya, dan aku ingin dibungkus kehangatannya. Aku ingin setiap sentuhan Tsurumaru yang meninggalkan jejak kepemilikan pada tubuhku menemaniku malam ini. Seluruh keegoisanku ini hanya kau lah yang sanggup memberikannya.
Mungkin aku hampir-hampir tak pernah mengatakannya, tapi aku bahagia bisa bersamamu, Tsurumaru. Merasa beruntung memilikimu dan bertemu denganmu hari itu.
Tak peduli siapa yang matahari ataupun bulan, kau adalah cahaya dari kehidupanku dan aku membutuhkanmu untuk bernafas serta hidup.
Wahai bintangku yang paling terang.
.
.
.
END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top