Chapter 21 - End

Kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Tabib Kwon tidak bisa begitu saja ditutup karena pada kenyataannya, alasan tindak kriminal itu adalah balas dendam yang menyeret banyak pihak. Hal itulah yang membuat ibu suri kebakaran jenggot. Kepanikan membuat wanita itu hilang akal dan membabi buta.

"Kondisi pemerintahan kita tidak stabil, Anda harus mengangkat selir yang bisa memberikan keturunan untuk putra mahkota," cetus ibu suri penuh keyakinan.

Aku refleks menggaruk pelipis dan melirik permaisuri yang duduk di sampingku. Anggap saja kami sedang bertelepati karena setelah itu permaisuri melayangkan kalimat defensif untuk putri mahkota. "Kalau yang Anda khawatirkan adalah keturunan dan bukan menyingkirkan putri mahkota sekarang, Anda tidak perlu cemas."

"Bagaimana tidak cemas kalau dia sakit-sakitan?"

Raja yang berada di singgasana turut merespon, "Benar begitu, Seja Joeha?"

"Memang benar kalau putri mahkota sakit, tapi kami sedang dalam upaya pemulihannya. Anda tak perlu memikirkannya."

"Sebagai putra mahkota, mencintai istrinya adalah hal yang baik, tapi jangan sampai membuat lupa bahwa pernikahan —keluarga kerajaan— adalah keputusan politik, termasuk pemilihan selir," seru ibu suri dengan arogan.

Aku tahu, tapi apa yang disampaikan wanita itu tidak relevan. Namun, anehnya raja justru mendengarkan nasihat ibunya. "Mungkin bisa dipertimbangkan untuk kestabilan pemerintahan, Joeha."

Tidak percaya dengan apa yang kudengar, aku sampai membuang napas dengan kasar. Untuk kesekian kalinya, penuturan raja mengecewakanku.

"Tidak perlu ada pengangkatan selir, karena kita cukup fokus pada putri mahkota dan janin dalam perutnya," tegas permaisuri yang membuatku dan seisi ruangan terkejut. Baru beberapa minggu lalu, Tabib mengatakan salah mendiagnosis. Lalu sekarang?

Ibuku beranjak, meminta Dayang Shin memanggil Tabib Lee dan kemudian ia bicara dengan lantang, "Aku ... sengaja menyembunyikan kehamilan putri mahkota karena ibu kita tega meminta dayangnya untuk menambahkan serbuk penggugur kandungan dalam makanan putri mahkota. Selagi ibu suri meragukan kehamilannya —putri mahkota— kumanfaatkan kondisi itu untuk mengelabuhi mereka."

"Kauuu...." teriak ibu suri penuh amarah.

Pikiranku mendadak penuh. Aku tak tahu skenario ini. Muncul kekhawatiranku yang selama ini mengajak Yeju bepergian jauh dan tak memberikannya vitamin yang cukup untuk ibu hamil. Betapa bodohnya aku.

"Kita akan dengar kesaksian dari Tabib Lee setelah ini," lanjut permaisuri, "saya harap, Anda—raja— punya alasan yang cukup untuk mengadili semua tindak kejahatan ibu suri."

Boleh saja raja sempat membuatku kecewa dengan berbagai keputusannya, tapi tidak dengan permaisuri. Aku harus mengakui kalau kami berada pada kapal yang sama. Seorang yang bersalah harus diadili sebagaimana mestinya.

***

Sehari setelah pengakuan Tabib Lee, raja dengan berani mengeluarkan keputusan untuk menginvestigasi ibu suri terkait percobaan pembunuhan dan pembunuhan yang pernah dilakukan wanita itu. Sayangnya, penyelidikan harus terhenti ketika wanita itu ditemukan tak bernyawa di kediamannya. Sudah tak ada jalan keluar lagi untuk menyelamatkan reputasinya.

Kerajaan berduka. Kami berduka. Apapun yang pernah dilakukannya, ia tetap leluhur kami. Kami menjalani upacara pemakaman selama seminggu penuh.

***

Entah merasakan keterikatan yang kurang pada ibu suri, tepat setelah prosesi kremasi, Pangeran Agung Muan menghampiriku untuk mengajak bepergian bersama ketiga saudara putra mahkota. Awalnya aku menolak, tapi ia berjanji kalau kami akan kembali ke istana tak lama setelah matahari terbit.

Kenekatanku berbuah manis karena Pangeran Agung bersaudara mengajakku mengunjungi tempat semacam observatorium kuno di perbukitan sepanjang perbatasan Hanyang. Aku yakin Yeju akan iri kalau aku menceritakan pengalamanku padanya. Kami menghabiskan waktu sampai fajar, dengan menikmati langit malam berhias bintang yang indah. Sesekali, aku masuk ke dalam bangunan kuno itu untuk menemui Pangeran Agung Ilyeong yang mengamati rasi bintang. Ceritanya akan akan ilmu falak membuatku yakin ia akan bereinkarnasi menjadi astronom di masa depan.

"Kalau situasi istana tenang, kita bisa lebih sering pergi bersama," ujar Pangeran Agung Ilyeong ketika kami berdua menutup kembali pintu menara kecil dan menghampiri dua pria yang asik berbaring di atas rumput.

Pangeran Agung Muan yang berada paling dekat pun menyahut, "Aku setuju. Sudah lama kita tidak kabur keluar Hanyang, setelah Hyung menjadi putra mahkota. Selalu ada saja yang diurus."

Aku tertawa ringan seraya membasahi wajahku dengan air dari botol agar tetap terjaga, mengikuti langkah ketiga adik putra mahkota yang lebih dulu membasuh muka.

"Yeol, kudengar putri dari Bangsawan Lee sangat cantik," celetuk putra ketiga permaisuri tiba-tiba.

"Apa Hyung masih belum mau bertaubat?"

"Astaga, bukan begitu."

Aku yang melirik mereka sejak tadi pun tak tahan untuk menimpali, "Kalau kau punya waktu untuk bermain-main, sebaiknya besok-besok gunakan waktumu untuk belajar sistem pemerintahan."

"Kenapa bukan kalian saja yang belajar soal pemerintahan? Kapasitas otakku paling tidak memadai di antara 5 anak ibu. Jadi, ya, biar itu jadi urusan kalian."

"Lalu, kau akan jadi apa?"

"Hmm, setelah menikah aku akan buka biro jodoh di Hanyang."

"Kau?" responku pendek. Ia memang sosok yang pikirannya paling out of the box.

"Asal Hyung tahu, Hyung bisa bertemu dengan putri mahkota di Pulau Manwol karena jasaku yang menyuruhnya menyusulmu ke sana."

Sebentar, aku cukup terkejut dengan fakta itu. Kurasa, putra mahkota pun sependapat. Kami berdua tidak ada yang tahu cerita ini. "Apa? Jangan mengada-ada! Memang kau gila menyuruh seorang gadis ke sana."

"Sudah kubilang, aku ini berbakat menjadi biro jodoh," kelakar Pangeran Agung Muan dengan bangga. Ia bercerita sedikit soal pertemuannya dengan sosok Yoon Chungha yang sedang mencari putra mahkota saat itu.

"Hyung, jadi sebelum perjodohan kalian sudah menghabiskan waktu bersama," simpul adik terakhir putra mahkota, "kalau ibu dan tetua tahu bisa habis kalian."

Aku sendiri tidak tahu apa pernyataan itu benar. Tapi, melihat track record hubungan keduanya, mereka tak mungkin seberani itu. "Selama kalian semua menutup mulut, semua akan aman."

"Tergantung apa yang kau tawarkan, Hyung."

Aku melirik adik-adik putra mahkota bergantian. "Kalau kulaporkan ulah kalian di prosesi pemakaman ibu suri, bagaimana?"

Terlintas saja ingatan kaburnya mereka di hari upacara. Sempat kudengar, ada yang kembali tidur di kamarnya, ada yang justru ke halaman istana, dan bahkan tidak jelas pergi ke mana.

"Dasar tukang adu!" cibir Pangeran Agung Muan yang lantas menarik adiknya untuk mengekorinya pergi ke arah tempat kuda-kuda kami diikat.

Kepergian keduanya menyisakan aku dan Pangeran Agung Gyeseong yang sejak tadi tak banyak bicara. Setelah selesai merapikan sedikit barangku, aku tak lagi menemukan ketiga bocah itu di sekelilingku.

"Terima kasih banyak sudah membantu kakak dan ibuku mengungkap kasus ini."

Aku cukup terkejut mendengar warna suara itu. Hampir saja aku menjatuhkan heuklip saking kagetnya.

"Sebentar...."

"Pada akhirnya kita bisa berkenalan dengan lebih jelas," tukas pria yang lebih sering kusebut sebagai pria bercadar.

"Jadi, kau Pangeran Agung—"

"Ssst. Aku juga tidak suka orang memanggilku dengan itu. Jadi, simpan saja jawabanmu," jawabnya singkat. Ia sudah tak lagi membuatku bergidik ngeri seperti sebelum-sebelumnya. "Cepat atau lambat, kakakku aku akan kembali ke Joseon dan kau bisa merasakan duniamu lagi."

Entahlah, mendengar ucapan itu aku bingung menggambarkan perasaanku. Lega dan ... kecewa.

"Kapan?"

"Seharusnya portal akan terbuka di malam bulan purnama. Sekitar dua atau tiga hari lagi. Jadi, selagi kau masih di sini. Silakan nikmati keindahan Joseon bersama gadismu itu."

"Kau tahu ...."

"Tenang saja, rahasia kalian aman denganku. Selama kalian tak mengungkap identitasku," ujar pria itu seraya berbalik dan berjalan meninggalkanku.

Kulangkahkan kakiku mengikutinya. Aku sama sekali tidak menyangka kalau pria bercadar itu adalah salah satu adik putra mahkota.

Tiba-tiba, ia berhenti melangkah dan menoleh, "Untuk janjiku satu lagi, kau tunggu saja di masa depan. Aku masih memilih tanah yang paling cocok dengan kepribadianmu, anak muda."

***

"Kalau ini hari terakhirmu di Joseon, apa yang ingin kau lakukan?" tanyaku pada Yeju yang sedang bermalas-malasan di kediaman putri mahkota. Ini murni bukan basa-basi.

"Kau bicara seperti aku mau mati saja."

"Berkeliling istana dengan putra mahkota? Makan bersama putra mahkota?"

"Sebentar. Kau baca buku diary-ku?" pekik Yeju yang membuat telingaku pekak. Bisa-bisanya ia berteriak seperti aku tuna rungu saja. Ia mengomel sambil merapal impian putri mahkota yang tertulis di dalam buku diary-nya.

Gadis itu mondar-mandir di depanku dengan wajah panik. "Jangan salah sangka! Aku tidak pernah berkeinginan tur di istana ataupun punya banyak anak denganmu."

"Aku tahu itu. Tulisan dan gaya bahasa kalian berdua bagaikan bumi dan langit," pungkasku mengingat perbedaan karakter mereka yang sangat ketara. Lagi pula, karena itu aku menanyakan padanya. Kesempatan datang ke Joseon belum tentu akan ada yang kedua.

"Jadi, juga tidak ingin punya 7 anak dari Putra Mahkota, ya," gumamku.

"Apa kau pikir aku gila? Membayangkannya saja sudah ngeri. Meskipun beliau leluhurku, kami tumbuh di masa yang berbeda, tentu sikap kami berbeda."

Leluhur? Keningku mengernyit mendengar responnya. Tahu dari mana dia kalau putri mahkota leluhurnya?

"Aku belum cerita. Ia datang ke mimpiku mengenakan cincin yang kita beli di pasar dan binyeo yang kau berikan padaku," terangnya menangkap tanda tanyaku.

"Astaga! Jadi itu isi mimpi burukmu waktu itu? Pasti terbayang-bayang dua benda itu saking menyukainya."

Aku tahu dia tak pernah suka dengan komentarku soal asumsinya. Jadi, aku tidak kaget ketika matanya mebelalak sempurna.

"No! Benda itu kusimpan rapi di kotak perhiasan, tapi hari itu tiba-tiba aku terbangun dengan menggenggam keduanya. Putri mahkota berterima kasih pada kita karena sudah membantunya dan suaminya," jelas Yeju berapi-api.

"Oh, ya?"

"Kau tak pernah menganggap kata-kataku serius," ucap Yeju dengan keras. Lantas, ia meninggalkanku dalam kediaman putri mahkota dalam kondisi bingung. Astaga, gadis ini!

***

"Geez!"

Aku sudah menunggu Yeju sejak tadi, tapi gadis itu baru keluar dari kediaman putri mahkota. Padahal, jadwal kami hari ini cukup padat, kami akan mengunjungi beberapa tempat di Hanyang yang belum pernah kami datangi sebelumnya. Hitung-hitung ini adalah perpisahan kami dengan Joseon.

"Sudah kubilang sebelum matahari terbit, kan?"

"Iya, tapi 'kan ... ini ... bawaan bayi."

"Alasan saja."

"Memang begitu. Kata para selir, ibu hamil lebih mudah mengantuk. Aku butuh tidur yang lebih lama," kilah gadis itu seraya merapatkan mantelnya. Udara pagi ini cukup dingin. Jadi, sebenarnya wajar kalau kasur lebih menggodanya dari rencana jalan-jalan kami.

Kali ini, perjalanan kami tak didampingi oleh Duri, tapi aku membawa 2 orang pengawal yang akan membersamai kami setelah keluar dari gerbang istana.

"Aku baru sadar, istana ini sangat indah," celetuk Yeju ketika kami melewati istana utama.

"Masa? Kau sudah sering memujinya."

Bibir gadis itu melengkung ke bawah, mengisyaratkan ketidaksetujuannya. Tapi, aku tidak mengada-ada, kekaguman yang ia lontarkan hanya soal bangunan dan makanan. Selebihnya, lebih banyak cacian yang keluar dari mulut.

Tiba-tiba ia berhenti dan menunjuk sebuah tong dari tanah liat yang berada di dekat paviliun istana. "Kau tahu, ini apa?"

"Tong air!"

Yeju kembali menekuk bibirnya. "Bukan! Ini deumeu. Aku mengosongkan isinya dan menggunakan sebagai tempat bersembunyi saat kau dikepung komplotan pemberontak."

Aku reflek memukul keningnya. Bisa-bisanya ia bertindak ceroboh dan mengabaikan keselamatannya.

"Untung kau masih hidup."

"Kalau dipikir-pikir, nasibku sangat baik di Joseon," ujarnya dengan senyum yang dibuat-buat. Selama mengenalnya, baru sekarang aku melihat ia bisa bertingkat absurd.

"Kau ternyata mempelajari hal-hal kuno selama terjebak di Joseon. Setelah ini kau bisa pindah program studi," sindirku.

"Tidak begitu. Kakekku pernah cerita. Istana dibangun oleh kayu jadi rentan terhadap api. Deumeu ini berfungsi sebagai simbol proteksi dari ruh api yang mengerikan."

"Kenapa mengerikan?"

"Ruh api selalu ditakuti di cerita-cerita sejarah, bukan?" tanyanya retoris.

Aku menatap pantulan kami di tong yang disebutnya sebagai deumeu, terlintas ide untuk menjahilinya dari buku yang pernah kubaca. "Aku pikir ruh api terlihat tampan. Apa lagi semenjak aku mengenakan pakaian kebesaran ini. Kalau tidak, kau tidak akan sering diam-diam menguntitku latihan pedang."

"Percaya diri sekali? Aku tak pernah benar-benar menguntitmu!"

Ekspresi paniknya membuatku tertawa puas. Kupercepat derap langkahku untuk menyamai.

"Itu bawaan bayi," kilahnya.

"Jangan berlari! Bayi di perutmu belum bisa diajak berlari."

Gadis itu tak menghiraukanku dan berjalan cepat di depan, menuju gerbang istana yang mulai terlihat.Aku jadi gemas melihatnya yang menjaga jarak amannya dariku. "Kenapa jauh-jauh?"

"Tidak apa-apa. Panas, ada ruh api," sindirnya.

Muncul ide untuk merangkul pundaknya dan berbisik, "Kalau ingin mendekat tidak masalah."

Ia kembali melemparkan tatapan membunuh padaku, tapi aku sudah biasa.

"Aku akan menganggapmu malu untuk sekarang, Duri dan Kasim Cho pernah bilang kalau selama aku pergi keluar istana, kau sering meminjam jeogori yang sering kupakai dan memeluknya."

Aku yakin ia lebih terkejut sekarang karena intonasi bicaranya semakin naik. "Mereka berhalusinasi. Aku bukan pervert!"

Padahal aku tak mempermasalahkannya. Para dayang bercerita kalau itu hal yang wajar terjadi pada ibu hamil. Akunya saja yang baru tahu belakangan ini. Kalau yang berlaku seperti itu adalah Yeju di masa depan mungkin aku takut. Tapi, ini Yeju di tubuh putri mahkota yang sedang hamil. Jadi, sah-sah saja.

"Santai. Aku sudah biasa memiliki banyak penggemar."

"Tapi, maaf, aku bukan fans-mu. Jadi, jangan pernah percaya!" kilahnya tak mau kalah. Ugh, harga diri gadis ini tinggi sekali.

Aku iseng menghidu pakaiannya yang beraroma persik. Tentunya aku dihadiahi sebuah pukulan dari gadis itu. "Asal kau tahu, ketika akan mengenakan jeogori ini, aroma tubuhnya mirip dengan milikmu. Bukti-buktinya terlalu jelas."

Yeju menarik tubuhnya menjauh dan melepas tanganku yang terulur di bahunya. "Okay. Okay. Aku akan mengaku selama kau tak membahasnya lagi. Ini semua karena bayi dalam perutku."

"Apa? Bayi lagi? Senang sekali menggunakan royal baby sebagai alasan."

"Memang begitu. Anak putra mahkota merindukan ayahnya. Puas?"

"Kalau begitu, sekarang saat yang tepat untuk melepas kerinduannya."

Aku menarik jemari gadis itu dan menaruhnya dalam genggamanku. Sekalipun sempat berontak, hal itu tak berlangsung lama karena ia terdiam dan menunduk malu.

***

Tak banyak yang Yeju ingin lakukan di Hanyang. Mungkin karena sebelumnya ia menghabiskan lebih banyak waktu bersenang-senang di tempat ini bersama Duri. Sebenarnya, gadis itu ingin pergi ke Jeju atau Gunung Jiri. Tapi, sudah menjadi rahasia umum kalau kondisi putri mahkota kurang sehat dan ia sedang mengandung. Jadi, ia hanya minta ikut festival lampion. Sembari menunggu senja, kami mengunjungi kedai mie yang menurut gadis itu tak ada tandingannya di Korea.

"Aku mau 2 porsi."

"Kau hanya lapar mata. Tidak akan habis," ucapku memperingatkan Yeju yang tampak kalap.

"Tenang saja, makanku banyak. Kau saja yang tidak tahu," sanggahnya. Ia justru kembali memanggil pramusaji, "tolong tambahkan telur setengah matang di atasnya."

"Kau pikir ini ramen?"

"Jangan banyak komentar! Ini adalah kreasiku yang terbaik."

Baiklah. Aku turuti permintaannya yang ini. Gadis itu sedikit bercerita tentang Duri yang mengenalkan tempat ini dan ia menunjukkan bagaimana Pangeran Uiseong yang mengancam jadi berhutang nyawa padanya sejak hari itu.

Obrolan kami terhenti ketika ketiga mangkuk mie yang dipesan sudah datang. Melihat tampilannya, aku baru sadar ada yang terlupa, segera kuambil mangkuk miliknya.

"No! Itu punyaku. Kenapa langsung kau aduk?"

"Apa guna nya telur setengah matang kalau bukan untuk diaduk?"

"Ini setengah matang, bukan mentah. Hufth."

Aku menyerahkan milikku padanya dan alisnya menukik karena bingung. "Ibu hamil tidak boleh makan masakan yang belum matang."

"Setengah—"

"Sama saja," jawabku telak. Memang sama, mentah dan setengah matang tidak masuk kategori matang. Gadis itu memijat pelipisnya, meskipun ia mulai menyantap makanan yang kupesan.

"Enak," gumamku ketika merasakan paduan rasa mie dengan kuah kental yang bercampur.

"Aku tahu itu."

"Seleramu bagus."

"Memang."

Sepertinya ia benar-benar kesal. Karena setelahnya, Ia meletakkan sumpit dengan kasar dan lantas memanggil pramusaji, "Tolong sediakan 2 porsi mandu."

Seakan tahu apa yang akan kukomentari, ia berucap defensif, "Kau menukar 2 porsi makananku dengan milikmu. Porsi mandu lebih kecil dari makanan utama. Jadi, itu adalah angka yang masuk akal."

Oh, shit! Ia memperhitungkan jumlah makanan kami. Tingkahnya membuatku gemas dan tak tahan untuk mengusap kepalanya. Namun, aku sama sekali tak menyangka dengan responnya yang menghindar.

"Kuperingatkan, ya! Jangan memperlakukanku terlalu baik kalau kau tidak ada maksud dan tujuan tertentu."

"A–apa salahnya berbuat baik?"

"Salahnya adalah membuat orang jadi berharap. Kalau kau tidak bisa bertanggung jawab pada perasaanku, jangan pernah peluk, menggandeng tangan, mengusap kepala, ataupun terlihat mengkhawatirkanku!" tegas gadis itu telak.

Kali ini, aku kembali terdiam mendengar tegurannya. Apakah Tuhan menakdirkannya sebagai gadis yang akan selalu mengunci mulutku?

***

Peringatan Yeju terngiang-ngiang di kepalaku. Bahkan ketika kami sudah meninggalkan kedai tadi dan berada di tepi Sungai Han. Di saat aku sendiri termenung memikirkan bagaimana harus merespon ucapan Yeju, gadis itu sudah kembali ceria dan justru ikut berbaris dengan antusias untuk mengambil lampion kecil yang akan dilarung.

Ya, Festival Lampion akan diadakan di tepi sungai ini. Tidak di Hanyang ataupun Seoul, sungai ini tetap menjadi primadona untuk melangsungkan acara lampion. Bedanya, di masa depan kami merayakannya di musim semi sedangkan di Joseon adalah sebagai bagian dari festival panen musim gugur.

Di Joseon, ia tak perlu antre berjam-jam untuk mendapatkan satu lampion karena tak berselang lama, ia kembali ke tempatku.

"Tulis harapanmu di sisi sana, ya," ujar Yeju menunjuk sisi lampion yang dekat denganku. Ia bicara dengan lugas seolah tak ada yang salah hari ini. "Ini kuas dan tintamu. Tulis yang bagus. Jangan seperti cakar ayam!"

"Iya."

Sebelum menuliskan milikku, ekor mataku melirik ke arahnya. Ia terlihat serius menulis sesuatu.

"Dilarang mencontek!" tegurnya ketika aku melirik miliknya. Padahal, ini bukan ujian dan aku ingin menyamakan harapan kami.

Karena tak tahu apa yang harus kutuliskan, aku benar-benar menulis semua harapan untukku dan putra mahkota. Sepertinya tulisanku cukup panjang karena aku baru berhenti ketika mendengar peringatan dari Yeju.

"Apa saja yang kau tulis? Jangan lama-lama, lenteranya akan segera dilarung!"

Setelah kupastikan tidak ada yang terlewat, kami berdua menghanyutkan lampion kami dari tepian sungai.

"Yeju-ya, apa harapanmu?" tanyaku ketika lampion kami mulai terbawa arus.

"Rahasia," jawabnya singkat. Ia berjalan mendahuluiku, menuju bangku panjang.

"Kalau aku mengatakan harapanku, kau mau menceritakannya?"

Langkah gadis itu terhenti dan netranya terarah padaku.

"Aku berharap bisa tetap bersama Putri Mahkota Yoon Chungha di Joseon ataupun bocah ingusan bernama Oh Yeju di masa depan."

Ia sempat membeku di tempatnya. Namun, senyum simpulnya tersungging dan ia berteriak, "Aku bukan bocah!"

Sedewasa apapun ia nanti, bagiku Oh Yeju akan selalu menjadi bocah yang menggemaskan.

"Memang, apa harapanmu?"

Yeju memainkan kedua telunjuknya dan bola mata gadis itu berputar lamban. "Harapanmu–"

"Ya! Harapan itu harus kau rahasiakan atau tidak akan pernah terwujud," koreksinya tanpa menyelesaikan kalimat sebelumnya. Lantas, wajahnya mendongak, meraup udara sebanyak-banyaknya sebelum beralih menatap kedua kakinya.

Tubuhku berjalan mendekat dan turut memperhatikan ke tempatnya bola matanya terarah. Benar-benar hanya sepatu yang berpijak pada batuan kecil, tapi matanya belum mau berpindah. Aku menunggunya kembali bicara sambil sesekali menggosokkan sepatuku ke tanah. Membiarkan kami terhanyut dalam pikiran masing-masing.

"Seingatku aku membayar paket wisata ke Seogwipo untuk beberapa hari, tapi aku justru mendapat pengalaman ke Joseon selama lebih dari sebulan," celetukku.

"Bahkan, aku dibayar untuk itu," kelakarnya ringan.

"Ini benar-benar pengalaman yang tidak terduga. Tiba-tiba ditodong menjadi Sherlock Holmes Joseon dengan dalih keilmuan. Tapi, setidaknya kau memberikan warna untuk hidupku di sini."

Gadis itu mengalihkan pandangannya dari kerikil-kerikil ke arahku. "Warna? Bukan menyusahkanmu? Harus kuakui, terlepas apapun yang ada di kepalamu, dari sekian banyak turis di pantai, kalau aku bisa memilih siapa yang pergi bersamaku ke Joseon, aku tetap—"

Ucapannya terjeda, seperti ada keraguan untuk menyelesaikannya. Aku pun menoleh padanya untuk menuntut jawaban.

Namun, ketika pandangan kami saling bertemu, aku mendapat sorot mata paling lembut yang terpancar dari netranya. Aku bisa merasakan gemuruh di dada. Tanpa kusadari wajahku kian mendekati miliknya. Jujur, aku takut dia akan menghindar, tetapi kedua matanya yang terpejam menjadi sebuah jawaban. Tanganku terulur untuk mengusap pelan pipinya dan kukecup kening gadis itu untuk beberapa saat.

"This is ... one of the happiest times in my life," bisiknya dalam hening.

"Me too."

Aku menarik wajahku mundur, kulihat matanya yang indah sudah membentuk bulan sabit dan senyum merekah di bibirnya. Ya, Tuhan. Kenapa aku butuh banyak waktu untuk mengelaborasi perasaanku?

Netraku tak lepas dari wajahnya sampai kepulan asap menghalangi pandanganku. Teriakan panik yang sempat menggema di telinga mendadak berganti dengan sunyi. Aroma bunga persik dan sentuhan lembut gadis di hadapanku tak dapat lagi kuhirup. Bibirku pun kelu. Aku ... tak merasakan apapun.

Finally, kita sampai sampai di ujung cerita. Banyak gulanya part ini kalo aku baca. Semoga ga mual. Anggap aja sebagai hadiah farewell.

Nggak nyangka, kerandomanku di akhir tahun 2022 gara2 nonton UTQU sampai begadang-begadang bikin aku pingin bikin another version-nya. Walaupun, mungkin kalian merasakan vibes Mr. Queen juga di sini. Inspirasi isekaiku tuh si Mr. Queen. Hehe.

Kalo boleh curhat, sebenarnya 2022 aku super jarang nonton drama korea. Kalaupun nonton Netflix, lebih ke nonton series The Crown, Emily in Paris. Sisanya movies sekalian biar ga lama-lama bapernya. Nah, tahu-tahu nih, ada cut scene Yeju di IG explore yang part ketemu sama permaisuri di Hanyang. Aku suka banget karakternya yang bold dan polos (walaupun ga sepolos itu ternyata). wkwk. Terus lewat cut scene sama Seongnam di Manwol. Astaga! Baper aku tuh. Hiya, hiya. Karena belum sempat nonton, jadilah kusave semuanya dulu.

Sampai akhirnya burnout dan coba cari tontonan yang ok. Awalnya mau nonton 1 jam doang, jadi bablas sampai lewat tengah malam dan berlanjut besok-besoknya. Aku nggak nyesel sih nontonnya. Emang actingnya bagus-bagus semua. Plus banyak adek-adek ganteng di sana. Sekalipun yang rookie kaya Seongnam bersaudara, aku suka acting mereka. Ternyata lagi, Sangmin menang salah satu kategori Baeksang. Terharu banget aku, astaga!

Terima kasih banyak buat teman-teman yang udah baca ceritaku. Maaf buat kurang-kurangnya, lama updatenya. SANGJU - SEONGHA JAYA! Wkwk.

Sehat-sehat buat kalian semua. Semoga kalo special chapter bisa bikin, ya ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top